Kendaraan roda empat yang aku tumpangi membelah jalan raya dengan kecepatan sedang, hingga puluhan menit kemudian mobil milik Maya berhenti di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Maya menekan klakson mobil beberapa kali hingga tak berselang lama pintu gerbang itu terbuka.
Sepersekian detik kemudian terlihatlah sosok lelaki berkumis tebal berperawakan tinggi besar dan berpakaian khas orang satpam menyembul dari balik pintu gerbang. Maya menurunkan kaca mobil hingga akhirnya satpam itu bisa melihat wajah Maya. Maya meminta orang itu untuk membuka pintu gerbang. Mungkin karena satpam tersebut sudah mengenal Maya sehingga ia itu membuka pintu gerbang setelah menganggukkan kepalanya ke arah Maya.
Beberapa detik mobil melaju masuk ke dalam halaman rumah hingga pada akhirnya kendaraan roda empat kami berhenti tepat di depan rumah yang terlihat begitu megah. Rumah yang bergaya modern, berlantai tiga dan berwarna putih. Ada banyak bunga-bunga yang berjajar dengan rapi dan terlihat begitu terawat di depan rumah tersebut, tentu saja menambah kecantikan dan keindahan rumah ini.
"Kamu sudah yakin kan?" tanya Maya kembali memastikan.
"Yakin, May, memang apa yang membuatku ragu? Daripada harta ini jatuh ke tangan Mas Yoga dan dinikmati oleh mereka berdua. Aku Benar-benar merasa tidak rela," ucapku meyakinkan Maya.
Maya pun menganggukkan kepalanya beberapa kali. Aku melepaskan sabuk pengaman. Bergegas aku membuka tas yang kubawa guna memastikan jika surat-surat yang berupa sertifikat rumah sertifikat, sertifikat bangunan restoran dan juga BPKB mobil yang biasa digunakan oleh Mas Yoga sudah aku bawa.
"Ayo kita turun," ajak Maya setelah ia pun melepaskan sabuk pengaman.
Aku pun dengan cepat meraih gagang pintu mobil, menekannya, lalu mendorong pintu tersebut sehingga terbuka lalu aku keluar bersamaan dengan Maya.
Aku dan Maya pun berjalan, menapaki teras rumah yang berlantai marmer.
Maya menekan bel yang ada di samping pintu, hingga beberapa menit kami menunggu, pintu itu terbuka.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster bermotif bunga, berwarna coklat dan rambut yang digelung. Bisa kutebak, dia adalah seorang asisten rumah tangga di rumah ini.
"Saya mau bertemu dengan Pak Chandra. Kebetulan tadi sudah janjian," ucap Maya.
"Mbak Maya ya? Silahkan masuk, Mbak. Saya panggilkan Tuan dulu," ucap perempuan paruh baya itu sembari membuka pintu rumah semakin lebar.
Sejenak aku dan Maya saling berpandangan, lalu melangkah masuk ke dalam rumah megah itu. Saat baru beberapa langkah, kedua netraku langsung disuguhi oleh nuansa ruang tamu yang terlihat begitu mewah. Guci bertengger cantik di sudut ruangan. Beberapa foto berukuran besar menggantung di dinding ruang tamu.
Aku dan Maya saling berbincang sembari menunggu Pak Chandra keluar menemui kami. Sepanjang perbincangan kami, yang aku tangkap adalah jika Pak Chandra adalah sosok pria beristri empat dengan limpahan harta yang tak akan habis dimakan tujuh turunan.
Beberapa menit kami menunggu, muncullah sosok pria berkumis tebal dengan bibir hitam, dengan tinggi tubuh kutafsir sekitar seratus enam puluh centi meter dengan tubuh bisa dibilang gemuk. Perut itu membuncit. Sudah seperti seorang perempuan hamil tujuh bulan.
Benar-benar tak sesuai ekspektasi yang aku bayangkan. Kupikir pria yang ingin kutemui adalah sosok lelaki gagah, tampan dan juga maco sebab memiliki empat istri. Ternyata perkiraanku bereset.
"Maaf sudah menunggu lama," ucap lelaki itu sembari menyalami kami satu per satu.
"Tidak apa-apa, Pak," jawab Maya sembari mengulas senyum.
"Oh, iya, Maya. Ada apa? Katanya ada urusan penting hingga membuat wanita secantik dan sesibuk dirimu mau menyempatkan waktu berkunjung di rumahku."
Serasa ingin tertawa rasanya saat mendengarkan celotehan lelaki berkumis tebal itu. Akan tetapi aku menahan kuat-kuat agar kedua sudut bibir ini tidak tertarik ke atas, takut jika ekspresiku akan menyinggung dirinya.
Terlihat Maya tersenyum canggung lalu melirik ke arahku.
"Begini, Pak ...."
"Jangan panggil gitu, dong. Kesannya kok tua banget. Panggil saja Mas atau Om juga boleh." Pak Chandra memotong ucapan Maya.
Tanganku terangkat, mengusap pucuk hidungku untuk menutupi bibir yang bergetar karena sudah tak bisa menahan tawa.
Lihatlah, mentang-mentang lelaki berduit, ia seenak jidatnya merayu perempuan. Padahal dia sudah memiliki empat istri.
Ah ... tapi wajar saja sih jika Pak Candra memiliki banyak istri, hartanya saja melimpah. Setidaknya ada sesuatu yang bisa dibanggakan dari lelaki berkumis dan berperut buncit itu.
"Baik, Pak. Eh, Om, maksudnya ...."
"Nah, gitu kan enak didengar. Lanjutkan, apa yang ingin kamu sampaikan."
"Begini, Om. Teman saya ingin menggadaikan rumah, restoran beserta bpkb mobil."
Cepat kedua netra Pak Candra beralih ke arahku. Aku menganggukkan kepala. Tanpa menyela.
"Ada surat-suratnya?"
"
"Ada surat-suratnya?" "Ada, Om," ucap Maya lalu menolehkan kepalanya ke arahku yang duduk di sampingnya. "Tunjukkan surat-suratnya," ucap Maya dengan nada setengah berbisik. Bergegas aku membuka tas yang kubawa, lalu mengeluarkan surat-surat penting dari dalam sana. Ya, aku memang berniat menggadaikan rumah, restoran dan juga mobil. Jika kalian bertanya kenapa aku melakukan ini, salah satunya karena aku ingin mengambil semua harta-harta itu. Kedua, karena aku ingin memberikan pelajaran pada mereka berdua. Sebenarnya ada pilihan lain, yaitu menjual aset-aset ini. Akan tetapi, terlalu lama tentunya untuk mencari pembeli dengan cepat. Apalagi semua aset itu atas nama Mas Yoga. Tentu aku yang akan kesulitan jika menjual tanpa sepengetahuan Mas Yoga. Dan aku memilih jalan yang paling mudah, yaitu menggadaikan. Meskipun uang yang kuterima tak sebanyak dari hasil penjualan. Ya, biarlah mereka nanti terkejut saat mengetahui jika semua aset telah kugadaikan dan uang telah kubawa semuanya
Aku bangkit dari persimpuhanku, bergegas aku berjalan menuju ke arah tempat dudukku yang semula. Aku menghapus jejak-jejak air mata yang masih tersisa dengan punggung tanganku. Entah setan apa yang merasukiku kali ini, begitu mudahnya aku mengeluarkan air mata. Padahal selama ini aku bukanlah tipe perempuan yang cengeng. Bahkan, mendapati suamiku berselingkuh pun aku tak bisa menangis. Lantas, kenapa hari ini begitu mudahnya aku mengeluarkan air mata? Oho ... sepertinya itu karena aku takut jika aku tak mendapatkan harta itu. Bukankah jika semua aset jatuh ke tangan Mas Yoga beserta selingkuhannya itu jauh lebih menyakitkan dibandingkan dengan sebuah pengkhianatan?"Akting kamu bagus sekali, Ren." Maya mengacungkan jempolnya tepat di depan wajahku. Segera aku menepis tangan itu, sebab tinggal satu centi saja jempol maya sudah menyentuh pucuk hidungku. "Aku nggak nyangka kamu pintar sekali mengeluarkan air mata palsu." Maya tergelak tawa setelah menyelesaikan satu kalimatnya. "Apa
Aku mengalihkan pandangan ke arah Pak Chandra yang sedang menatapku lalu aku berkata, "Saya setuju, Pak.""Silahkan ditandatangani."Aku mengangguk yakin. Bergegas aku membubuhkan tandatangan lalu kuselipkan nama di bawah tandatangan yang sudah tertempel oleh materai. Aku menerima jangka waktu selama enam bulan sebab aku yakin, di bulan itu aku sudah resmi bercerai dengan Mas Yoga. Seyakin itu kah diriku?Tentu!Tak lama lagi aku akan melayangkan gugatan ceraiku ke pengadilan. Proses perceraian pun pasti tak akan berlangsung lama. Sebab, tak akan ada penyelesaian soal harta gono-gini maupun hak asuh anak di persidangan nanti. Toh Mas Yoga pun juga sudah berniat menceriakan aku. Tentu ia senang hati kalau aku telah menggugat cerai dirinya, apalagi tanpa membawa secuil harta miliknya. Aku benar-benar bernapas lega.Kuletakkan lembaran kertas yang sudah kububuhi tandatanganku. Pak Chandra menyerahkan dua amplop tersebut. Dengan senang hati tentunya aku menerima amplop itu. "Hitunglah
Setelah membayar tagihan makanan, kami pun bergegas keluar, hingga saat kami hampir sampai di ambang pintu, gendang telingaku menangkap suara yang sangat aku kenali mengucapkan kalimat yang seketika menciptakan gemuruh di dalam dada. Seketika aku menghentikan langkahku saat mendengar suara dari seseorang yang begitu aku kenali. Maya yang menyadari langkahku yang terhenti, seketika ikut menghentikan langkahnya lalu menolehkan kepalanya ke arahku. "Rena sudah lima tahun nikah dengan Yoga, tepi belum juga mendapatkan keturunan. Ibu yakin, setelah menikah dengan kamu. Kamu akan cepat memberikan cucu pada Ibu. Dia itu perempuan mandul. Bukan perempuan sempurna."Deg. Seketika jantungku terasa berdegup dengan kencang saat mendengar penuturan yang keluar dari mulut ibu mertua. Entah sejak kapan ibu mertua datang ke kota ini. Di sana, di meja makan itu ada ibu mertua yang duduk memunggungi keberadaanku, sedangkan perempuan itu menghadap ke arahku. Mungkin ia belum mengenali aku yang merup
Akhirnya aku pun mengenakan sabuk pengaman, pun juga yang dilakukan oleh Maya. Hingga beberapa menit kemudian, mobil mulai keluar dari halaman cafe dan melesat membelah jalan raya. "Kamu tahu kalau mertua kamu ada di sini?" tanya Maya yang saat aku menolehkan kepala ke arahnya, pandangannya lurus ke depan menatap jalan raya. "Aku nggak tahu. Entah sejak kapan Ibu ada di sini. Bisa jadi hari ini dia baru datang.""Kok bisa sama selingkuhan suami kamu ya? Apa mereka sudah saling mengenal dan Ibu mertua kamu pun tahu soal hubungan gelap mereka? Dan ya, apalagi mertua kamu bilang soal cucu. Bukankah itu artinya ....""Ya, itulah yang juga aku pikirkan saat ini. Mungkin Ibu mertua sudah mengetahui dan mendukung perselingkuhan yang dilakukan oleh putranya, bahkan sampai mendukung ke jenjang pernikahan," jawabku dengan cepat saat kurasa Maya sengaja menggantung ucapannya. Mungkin ia tak enak jika ingin melanjutkan apa yang ingin ia katakan itu. "Kebangetan itu kalau sampai-sampai emaknya
Saat baru saja pintu itu terbuka terlihatlah tiga seseorang yang saat ini berdiri di hadapanku. Seseorang yang seakan-akan mampu membuat dekap jantung ini seketika seperti berhenti berdetak. Bagaimana tidak, aku melihat Mas Yoga, ibu mertua dan juga selingkuhan suamiku datang ke rumah ini. Aku tidak terkejut jika Mas Yoga membawa ibunya akan tetapi berani sekali dia membawa gundiknya itu untuk datang ke sini. "Assalamualaikum, Ren."Aku tersentak dari lamunanku saat Mas Yoga mengucapkan salam. Aku mengerjapkan kedua mataku. "Waalaikumsalam, Mas," ucapku. Bergegas aku meraih punggung tangan Mas Yoga lalu mencium punggung tangan lelaki itu, setelahnya aku pun mencium punggung tangan ibu mertua. "Ibu datang ke sini, Ren. Baru saja tiba," ucap Mas Yoga yang tentu saja adalah sebuah kebohongan, Padahal jelas-jelas tadi siang aku melihat ibu bersama gundiknya itu. Akan tetapi Mas juga mengatakan jika Ibu baru saja tiba."Dia siapa Mas?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Oh dia, namanya muti
"Mas, makanannya habis?" "Iya Ibu dan mutiara lahap sekali makan masakan kamu, katanya enak," ucap Mas Yoga tanpa sedikitpun merasa bersalah. Bahkan lelaki itu masih dengan lahapnya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. "Ya Mbak, masakan kamu enak sekali. Bolehlah nanti selama saya tinggal di sini, Mbak mengajari saya masak. Biar suami saya nanti betah makan di rumah dan tidak jajan di luar," ucap Mutia menimpali sembari melempar senyum. Senyum yang menurutku terlihat begitu memuakkan.Aku hanya melirik sinis ke arah perempuan itu pandanganku kembali tertuju pada Mas Yoga yang masih dengan lahapnya menyantap makanan itu. "Tapi aku sama sekali belum makan loh, Mas. Kok kalian enak sekali langsung menghabiskan makanan ini?" Mendengar suaraku yang mulai meninggi kepala Mas Yoga langsung terangkat pandangan itu langsung menatapku. "Kamu belum makan? Maaf ya, Mas, kira kamu sudah makan. Makanya Mas langsung ajak Mutia dan ibu untuk makan duluan. Mas bener-bener nggak tau," ucap
[Kamu siapa?][Kenapa anda pakai foto profil dengan foto wajah saya?][Woy, katakan siapa kamu! Apa maksudmu membuat akun dengan fotoku seperti itu? Apa tujuan kamu?!][Woy, katakan siapa kamu!]Begitulah rentetan pesan yang kubaca. Ada pesan yang lainnya sebenarnya, tapi isinya sama. Tentang Mas Yoga yang penasaran siapa aku. Aku hanya terkikik, bahkan ada riwayat panggilan masuk pada akun fake milikku itu. Saat aku ingin membalas pesan tersebut, tiba-tiba terdengar seperti suara seseorang yang tengah membuka pintu kamar. Cepat kukeluarkan akun tersebut lalu masuk dengan akun milikku sendiri saat melihat Mas Yoga sedang berjalan ke arahku. "Ren ...."Aku tak menghiraukan panggilan Mas Yoga, aku sibuk menjelajahi sosial media berwarna biru itu. Mas Yoga mendaratkan tubuhnya di bibir ranjang sembari menatapku saat aku meliriknya sekilas lalu membuang pandang kembali ke arah layar ponsel. "Ren, jangan bersikap seperti itu di depan ibuku. Kamu tahu sendiri kan ibu seperti apa orangnya
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.