Aku tercekat saat menatap layar ponsel. Jantung ini berdetak tak karuan, aku takut? Ya, siapa yang tidak takut saat mendapat pesan ini.
Segera kutelepon Irma untuk datang ke ruanganku. Tidak lama wanita itu sudah menghadap. Kuberikan ponsel itu untuk dibaca oleh Irma."Irma, kamu tahu maksud ini?" tanyaku."Ini sebuah ancaman. Kita bisa melacak nomernya," jelas Irma. Irma terus memperhatikan sekeliling. Ia terus melangkah ke tiap sudut ruangan, sampai ia mendapatkan sesuatu yang membuat aku tercekat. Sebuah CCTV, siapa yang berani memasangnya? Irma mencabut kasar, ternyata wanita itu sangat jeli memperhatikan. "Ir, kamu hebat. Bagaimanapun kamu tahu ada yang memasang ini?" tanyaku pelan. "Aku sudah lama menjadi pengawal. Aku banyak tahu trik abal-abal seperti ini. Jangan takut, Bu Raisa. Ada saya yang akan menjaga Ibu."Aku tidak salah, wanita di depanku adalah wanita tangguh yang memiliki tanggung jawab hebat. Biasanya, wanita seperti Irma terbentuk dari sebuah penyesalan dalam hidupnya."Ir, aku takut. Jujur saja aku takut menghadapi ini. Aku benar-benar tidak membayangkan jika aku harus dilanda rasa takut terus menerus.""Tenangkan pikiran, Bu."Aku mengikuti saran dari Irma. Aku harus kuat, jangan biarkan mereka menemukan titik lemahku. Aku terbentuk dari sebuah amarah, hingga membuat diri ini selalu membenci setiap perselingkuhan.Irma sudah kembali ke ruangannya. Aku pun kini harus mengupulkan puzel yang berserakan tentang siapa yang berbuat itu padaku?"Permisi, Bu." "Masuk.""Saya mau minta tanda tangan Ibu, untuk sebuah acara karyawan."Aku membaca detail, untuk apa acara ini? Arfian terus menatap ke sekeliling ruangan. Apa dia mencari-cari sesuatu, apa dia yang mengancamku?Aku segera membacanya lalu memberikan pada Arfian. Pria muda di hadapanku masih tidak sadar jika aku memperhatikannya.Jika benar, Arfian pelakunya, tidak segan aku akan membuatnya masuk jeruji. "Fian, ada apa?"Tidak, aku hanya takjub dengan kinerja Anda, Bu. Dalam waktu singkat, berhasil menyingkirkan mereka yang korupsi." Arfian terus memuji, sampai aku mual mendengarnya."Itu biasa saja."Setelah berbasa basi, Arfian keluar dari ruanganku. Dia sangat mencurigakan, di terus menelusuri sekeliling ruang kerjaku. Mas Bambang bercerita kalau Arfian itu sangat giat bekerja. Ia membuktikan walau dengan pendidikan yang tidak tinggi dirinya mampu bersaing dengan mereka yang memiliki gelar banyak.Akan tetapi, Mas Bambang bilang jangan pernah percaya pada siapa pun yang ada di kantor ini. Semua penjilat, seperti Mas Wiji.***Aku dan Irma melangkah bersama untuk makan siang. Sari kejauhan terlihat Mas Wiji seperti ingin menghampiriku. Ada apa lagi, sih?Dia menatap Irma yang kini berada di sampingku. Dasar mata keranjang, melihat wanita bening saja sudah tidak tahan matanya. Pantas saja mudah tergoda dengan Rianti. Ah, membayangkan hal itu membuat aku muak. Perselingkuhan yang menyesakkan dada."Raisa, kita harus bicara.""Maaf, aku mau makan siang, tidak bisa.""Sekali saja."Apa yang akan dibicarakannya? Pasti dia mau merayu untuk memperbolehkan tetap berada di posisi dia yang dulu. Aku memberi kode pada Irma untuk menjauh sementara.Namun, Mas Wiji ingin kami berbiacara di ruang kerjaku. Lebih santai katanya. Kali ini aku mengikuti kemauan pria itu. "Silahkan, mau bicara apa?" tanyaku cepat."Sa, aku tahu kamu sekarang sangat membeci aku, tapi jangan mematikan rezekiku. Aku tidak mau menjadi bawahan.""Oh, jadi kamu memilih jeruji besi?""Sa." "Mas, asal Mas tahu, hidupku dulu lebih menderita dari Mas. Masih untung, Mas bisa bekerja. Sementara, aku, apa Mas tahu bagaimana aku menjalani hidup saat Mas dengan tega mengusirku!"Mas Wiji terdiam. Biar saja dia berpikir aku jahat, tapi siapa yang lebih jahat, aku atau dia. Berselingkuh dengan sepupuku, apa dia tidak punya otak?"Maafkan aku, Sa. Aku mau menebus semuanya. Bagaimana kalau kamu kembali padaku?""Apa? Kamu gila, ya, Ma?""Nggak kok, Sa. Aku waras. Kamu ambil semua kekayaan milik suamimu, nanti aku bantu menyingkirkannya."Aku menggebrak meja. Dia pikir aku seperti dia. Demi Allah, aku tidak seperti apa yang dipikirkan Mas Wiji. Mana mungkin aku menyingkirkan Mas Bambang, sedangkan dia begitu baik.Orang seperti Mas Wiji harus secepatnya di basmi karena meresahkan juga."Jangan pikir aku mau mengikuti apa yang kamu mau. Nggak punya otak apa kamu, Mas?""Alah, jangan munafik. Aku tahu kamu pun mengincar harta kekayaan suamimu. Lagi pula, kamu cantik. Kalau dia mati, banyak meninggalkan kekayaan." Mas Wiji bersedekap di hadapanku.Semua perkataannya sangat tidak logis. Enak saja meminta kembali, setelah apa yang kamu lakukan padaku. Aku mau kamu mengikuti mempermainkan kamu.Aku sangat berterimakasih pada Mas Bambang. Karena dia, anakku bisa hidup kayak. Aku bisa berada di titik seperti ini. Enak saja dia mau merusak kepercayaan Mas Bambang padaku.Aku tidak akan pernah kembali padamu. Jika aku jatuh miskin sekali pun, aku tidak akan pernah mau kembali pada Mas Wiji."Kamu tidak perlu mengotori tanganmu, biar aku yang melakukan. Semua beres, setelah itu, kita bisa kembali bersama. Menjadi keluarga utuh untuk Arman."Percaya diri sekali dia. Jangan harap Mas aku mau bersama kamu lagi. Melihat wajahmu saja aku muak. Apalagi kembali berumah tangga denganmu.Arman pun tidak akan mau memiliki ayah seperti Mas Wiji. Dia akan memilih Mas Bambang yang baginya adalah segala-galanya."Cukup, ya, Mas. Jangan sampai kamu membuat aku marah. Kamu simpan saja ide jahatmu! Silahkan keluar!""Sa, pikirkan lagi.""Maaf, nggak akan aku melakukan hal bejat seperti itu. Dan, berhenti mengkhayal kembali padaku. Sampai kapan pun aku tidak mau kembali padamu.""Sombong, sekali kamu."Mas Wiji keluar dari ruanganku, pintu terbanting keras. Dia pikir aku akan setuju dengan semua ide liciknya. Mana bisa di percaya mulut pria macam Mas Wiji.Aku kembali menemui Irma. Waktu begitu cepat, gegas aku beranjak pergi. "Ir, kita makan di luar saja. Saya nggak nyaman makan di sini.""Iyalah, Ibu kan CEO di sini. Masa makan di kantin.""Ah, kamu bisa saja."Aku melangkah bersama Irma menyusuri gedung perusahaan ini. Semuanya bagus, dan masih begitu baik.Sengaja aku memfasilitasi Irma mobil, kebetulan ia pun bisa mengendarainya. Aku masuk ke dalam mobil, kemudian meninggalkan gedung itu.Salut sekali aku dengan wanita cantik di sampingku. Semua dia lakukan dengan baik. Aku memperhatikan mobil dibelakangku, ah sial. Sepertinya kejadian seperti kemarin akan terulang kembali."Irma, hati-hati," ucapku."Baik, Bu."Irma mengemudikan dengan kecepatan tinggi. Namun, mobil di belakangku juga ikut memepet kami. Irman sekuat tenaga memutar setir, memutar arah berbelok. Sial, semakin kita kencang, mobil itu pun semakin kencang. Sampai akhirnya, Irma mengerem mendadak membuat aku terkesiap. Mobil itu berada di depan mobil kami."Bagaimana ini, Irma?" tanyaku lirih.Aku takut, iya sangat takut. Orang di dalam mobil keluar dengan wajah yang di tutup. Tanganku dingin, sedangkan Irma masih terdiam."Turun!" "Tenang, ya, Bu. Saya akan turun, Ibu kunci saja pintu mobil. Takut ada yang lain.""Ta-tapi, bagaimana dengan kamu?" Aku sangat cemas dengan Irma. Bagaimana kalau dia terluka?***BersambungAku seperti melihat adegan filmaction. Irma ke luar dengan berani dari mobil menghampiri pria tak dikenal itu. Sungguh berani nyalinya, bahkan aku takut Irma terluka.Irma wanita tangguh yang pembera7. Ia sudah terbiasa mungkin denga hal itu.Astaga, pria itu hampir saja membuat Irma terjatuh, tetapi gadis itu lebih cepat menendang perut si penjahat. Ah, Irma, kenapa aku yang deg-degan di sini.Irma mengambil balok, lalu memukul tubuh pria itu. Tidak lama ia berhasil menundukkannya. Kaki Irma kini mantap berada di atas perut penjahat itu.Kubuka kaca mobil dan meneriaki Irma untuk cepat masuk ke mobil. Kulihat dia menarik penutup wajah pria itu, tetapi sepertinya aku tidak mengenalnya.Kulihat Irma menarik kerahnya, lalu beberapa kali menampar wajah pria itu. Keren, seperti melihat adegan dalam sebuah film.Sepertinya Irma akan melakukan sesuatu. Dia mengambil tali di sampingnya. Lalu, mengikat
Aku harus mencari tahu siapa dibalik semua ini. Rekaman itu harus kutemukan, jika tidak ingin berlarut dalam sebuah masalah. Aku menarik napas panjang, lalu mengambil tas danponsel.Segera kutelepon Irma untuk menungguku di kantor. Sepertinya aku harus menemui Mas Wiji, semoga saja bisa membuka kedok siapa yang ada di balik semua ini.Jika benar Mas Wiji yang melakukan itu padaku, kupastikan dia akan membusuk di penjara.Aku meminta Pak Ardi mengantarku ke kantor. Kebetulan, dia ada di rumah dan mobil sudah dibawa dari bengkel kemarin sore."Nyonya, yakin pergi sendiri?" tanya Pak Ardi cemas."Yakin, Pak. Kalau nggak, saya takut masalah akan berlarut."Setelah mendengar penjelasanku. Pak Ardi mengantarku ke kantor, ada rasa takut juga terjadi hal semacam kemarin. Begitu juga Pak Ardi yang sangat cemas."Pak, sebelumnya apa pernah kejadian ini menimpa Mas Bambang?" tanyaku.
Mas Bambang masih saja diam sampai hari ini. Mumet sekali kepalaku. Kenapa harus berhubungan dengan Mas Wiji? Menyebalkan sekali akibat pria itu aku terkena masalah. Lagi pula, pintar sekali mencari celah untuk membuat aku terlihat memiliki hubungan dengan Mas Wiji."Masuk," ucapku saat mendengar orang mengetuk pintu.Pria yang aku pikirkan kini berada di hadapanku. Mau apalagi dia di sini? Kupasang wajah tidak suka padanya. Namun, ia sepertinya tidak peduli. Datang ke ruanganku, pasti ingin membuat kegaduhan."Sa,to the point'aja. Aku datang ke sini untuk meminta kembali jabatanku. Kamu pikir dengan gaji karyawan biasa aku bisa membayar semua pengeluaran aku?""Mana aku tahu tentang itu. Aku hanya melakukan dengan keinginanmu, kan Mas? Kemarin kamu memilih untuk turun jabatan.""Ck! Karena kamu memberikan aku pilihan sulit. Nggak mungkin aku memilih hidup di penjara.""Lebih bagus, kan. Ngg
Sesuai janji, Arfian mengajakku ke tempat yang menurutnya bisa membuat pikiran jernih. Sebelum pergi, Irma sudah mewanti-wanti aku agar jangan mematikanponsel.Irma mengatakan sesuatu bisa saja terjadi, maka dari itu aku harus waspada dannjangan sampai terjadi hal yang membuat aku menyesal.Perasaan ini tak karuan saat Mas Bambang meneleponku. Tak kuhiraukan, karena percuma suamiku akan bertanya macam-macam. Mungkin, fotoku bersama Arfian sudah masuk ke ponselmiliknya.Benar dugaanku, sebuah pesan darinya begitu keras. Ia mengirimkan sebuah foto aku saat memasuki mobil Arfian. Aku menarik napas panjang, setelah itu kubaca pesan darinya.[Mas kecewa][Kamu tidak tulus]Aku menghela napas mencoba untuk meraup pasokan oksigen. Aku tahu ini menyakitkan bagimu, Mas. Namun,semua kulakukan untuk membuktikan jika aku tidak salah.Maaf, Mas. Ini demi nama baik aku yang terlanjur salah di matamu. Ak
PoV IrmaTiba-tiba saja koneksi Bu Raisa menghilang. Sementara, ia bersama Arfian yang sangat berbahaya. Kucoba untuk meneleponnya.Ah, pasti dia masih berdekatan dengan Arfian, sampai tidak mengangkat telepon dariku. Semoga saja Bu Raisha tidak apa-apa. Salahku kenapa tidak mengikutinya dari belakang. Kupikir, Arfian terlalu licik untuk hal ini.Kucoba mengirimkan pesan pada Bu Raisha. Syukurlah, ia sudah membaca dan membalas. Namun, sepertinya aku telat memberitahukannya.[Arfian tidak mau berhenti. Bagaimana ini Irma?]Dalam pekerjaan ini aku tidak pernah kecolongan. Kali ini aku sangat menyesal melepas Bu Raisa sendiri menjalankan misinya.Seperti yang dia katakan, beberapa foto sudah berada di tangan Pak Bambang. Sepertinya aku harus bergegas ke rumahnya sebelum ia berpikiran terlalu jauh.Aku tidak bisa tenang saat Bu Raisha tidak membalas pesan terakhir dariku.
"Bu Raisha sudah sadar?"Kudengar suara Irma menyapa, mata ini masih sangat sulit terbuka lebar. Ya Allah, aku selamat dari hal buruk yang dilakukan Arfian. Terima kasih karena aku masih bisa mendengar suara Irma.Kuanggukan kepala saat lidah begitu Kelu untuk berbicara. Hanya gerakan bada yang bisa dilakukan. Tubuh ini rasanya begitu sakit, teringat berkali-kali terlempar ke tanah.Bagaimana aku bisa di sini? Apa Irma tepat waktu menyelamatkanku? Aku tidak peduli, bagaimanapun, kini diri ini sudah aman bersama Irma.Setelah Irma, kini Mas Bambang sudah berada di hadapanku. Irma membantunya untuk berada di sisi ranjang. Kepala masih terasa berat untuk mengingat semua. Aku masih bersyukur masih bisa selamat."Sa, maafkan saya karena nggak percaya sama kamu. Saya sungguh bodoh, lebih percaya orang lain. Maaf."Samar-samar kudengar permintaan maaf dari Mas Bambang. Allah, terima kasih telah mengembalikan kepercayaa
Apa yang dilakukan Rianti tidak bisa aku maafkan. Percuma meminta dengan alasan meminjam, kalau dipikir, sekarang ia meminjam, kapan mau dilunasi."Jangan mentang-mentang kamu sekarang kaya raya, jadi kamu bisa sombong, Sa.""Dasar kamu, wanita nggak tahu diri. Merebut Mas Wiji, dan apa kamu lupa perbuatan kamu terhadapku? Kurasa, orang sepertimu harus di binasahkan.""Jaga bicaramu.""Irma, bisa tolong ke luarkan parasit ini dari sini?""Dengan senang hati."Irma menarik lengan Rianti, wajah pelakor itu begitu menggemaskan. Berulang kali ia menepis saat Irma menariknya."Aku bisa ke luar sendiri.""Silahkan."Aku menghela napas saat ia sudah pergi. Dunia itu berputar, aku tidak mau menjadi orang baik, yang nyatanya kebahagiaanku malah direbutnya.Aku benar-benar menyesal membuat mereka bisa melakukan itu di belakangku. Di rumah aku bersusah payah mencuci, gosokkan bajunya, eh dia malah merebut suamiku. 
PoV Wiji Rianti kembali mengomel padaku, uang yang biasa kuberikan padanya harus berkurang jauh dari sebelumnya. Bukan karena aku pelit, tapi gara-gara Raisha menurunkan jabatanku, membuat gaji turun drastis.Mumet memang hidup ini. Terkadang ada penyesalan saat melihat Raisha yang kini begitu cantik. Langsing dan glowing kalau kata wanita jaman sekarang.Kebutuhan Raisha dan Rianti jauh berbeda. Hidup bersama istri pertama membuat aku tidak mengeluarkan banyak uang, berbeda dengan bersama Rianti. Tabunganku sampai habis memenuhi keinginnya.Raisha, dulu saat kubelikan daster seharga 50.000 di pasar pun senang sekali. Sementara, Rianti maunya baju yang bermerek.Sedih bukan main, belum juga gajian sudah ditodong uang oleh Rianti. Wanita sialan memang, terus saja memberondong dengan uang shoping.Dalam hidup, aku tidak pernah meminta belas kasih pada siapa pun. Saat aku berselingkuh dengan Rianti pun, tidak pernah
Ibunya Rianti memeluk Raisha dengan berlinang air mata. Wanita tua itu tidak menyangka jika putrinya sudah meninggal. Setelah penguburan yang tidak memakan waktu banyak, Raisha kembali ke rumah Budenya."Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" tanya wanita tua itu.Suasana masih sangat berkabung. Raisha kembali berpikir ulang untuk menceritakan kejadian semula. Mereka masih sangat berduka dan tidak mungkin bisa mendengar cerita Raisha."Sa, ceritakan pada Bude." Wanita tua itu memulai memaksa."Bude, nanti saja. Kalian masih berduka, aku tidak mungkin bercerita tentang hal itu." Sebisa mungkin Raisha menolak."Tolong." Wanita itu terus memohon.Setelah memohon berulang kali pada Raisha, akhirnya wanita tua itu menjerit mendengar kelakuan Rianti sebelum meninggal. Ia berulang kali memukul dada yang sesak. Tak tahan, Raisha memeluk Bude dengan pedih. Itu sudah masa lalu dan ia pun sudah memaafkan Rianti.Ibunya Rianti tidak menyangka
Raisha merebahkan tubuh di kasur setelah lelah membuat Rianti terpojok. Ia sudah tenang karena wanita itu sudah mau di pulangkan ke kampung. Setelah berdebat panjang lebar dan Rianti tidak bisa menolak lagi.Akhirnya satu masalah terselesaikan.Bambang masuk ke kamar setelah pulang dari rumah Harlan. Wajahnya masih sangat tegang saat emosi memuncak membuat dirinya harus meminum obat untuk menenangkan diri."Mas, sini aku pijitin," ujar Raisa pada suaminya."Nggak usah, Sa. Kamu juga lelah sepertinya." Bambang menolak karena melihat Raisah pun sudah lelah."Sa, waktu penyelidikan audit, kamu memeriksa Harlan juga?""Iya, kenapa?""Apa yang kamu temukan tentang dia?""Tidak ada hal aneh. Dia bersih."Bambang menggeleng. Tidak mungkin Harlan bisa bersih, sedangkang Wiji saja bisa tertangkap auditor. Ia kembali mengambilponsel,lalu mencoba menghubungi beberapa audito
"Makan yang banyak, aku tahu kamu sudah lama nggak makan enak," cibir Raisha.Rianti tidak memperdulikan ucapan Raisha. Kini, hanya makanan enak di hadapannya yang begitu menarik. Raisha pun paham dengan sikap Rianti karena ia pernah menjadi seperti dia."Kamu akan diantar pulang ke kampung."Rianti memberhentikan aktivitas makannya, lalu menantap bingung pada Raisha."Pulang ke mana?" Rianti bertanya balik."Kampung, bertemu dengan keluargamu. Untuk apa lagi kamu di sini? Apa kamu mau aku antar ke kelab malam itu?""Ja--jangan, Sa." Makanan dari mulutnya hampir saja ke luar saat ia berbicara.Raisha tertawa renyah melihat Rianti yang sangat takut dengan ancamannya. Dia pikir Raisha akan membawanya ke rumah besar suami barunya. Namun, ternyata tidak. Setelah makan, Rianti dititipkan di rumah Irma setelah itu besok akan diantarkan oleh supir."Apa aku bisa tinggal di rumah kamu sementara saj
Bambang menghapiri Raisha di kamar, pria itu mengelus lembut telapak tangan sang istri, lalu mengecupnya. Ia merasa menyesal sempet tidak percaya dan seolah-olah berpikir sang istri sedang berhalusinasi.Pria itu berjanji akan melakukan apa pun untuk membuat Raisha bahagia. Walaupun dia tidak bisa melindunginya secara langsung, setidaknya akan ada banyak yang menjaganya.Bambang kembali ke ruang kerja dan berbicara empat mata dengan Heri. Tidak lama Irma datang untuk ikutmeetingdengan mereka tanpa sepengetahuan Raisha."Maksud kamu Wiji bebas bersyarat?" tanya Bambang."Iya, Pak. Sudah beberapa hari Bu Raisha seperti diteror, tetapi Wiji berbuat seolah-olah Ibu berhalusinasi."Bambang berpikir sejenak dengan apa yang dituturkan Irma. Kalau benar, berarti kejadian tadi memang nyata. Dan, Wiji sangat pintar membuat semua orang percaya kalau Raisha itu berhalusinasi.Sampai dirinya saja tidak p
Keduanya terkesiap melihat mobil terbakar. Tubuh Raisha mendadak lemas, lututnya pun tak mampu bangkit dari duduknya. Sementara Irma, menarik napas panjang dan bergegas menelepon pihak polisi."Bu, tenang."Kalimat itu selalu Irma lontarkan kala melihat Raisha cemas. Hal ini tidak bisa didiamkan karena sudah masuk kriminal. Irma membantu Raisha duduk di pinggir jalan. Masih dengan kondisi sangat syok, Raisha hanya bisa terdiam."Ini sudah kriminal, Bu. Saya sudah telepon polisi untuk menuntaskan semua.""Bagiamana kita melaporkan ke polisi, sedangkan mereka saja menutupi jika Wiji sudah ke luar dari penjara? Apa kamu yakin mereka akan menindak jika memang ada persekongkolan?"Irma membenarkan apa yang dituturkan Raisha. Kini, dia harus memutar otak untuk mencari tahu semuanya. Sepertinya memang benar ada persekongkolan orang dalam hingga membuat mereka mudah membuat pihak Raisha panik."Saya pikirkan lagi, yang
Raisha sudah mulai pergi ke kantor menyelesaikan beberapa hal yang harus diselesaikan olehnya. Ia melangkah masuk ke lobi, beberapa karyawan mulai menyapanya.Dia masuk ke dalam lift, lalu tidak lama masuk seorang pria mengenakan jaket hoodie ikut masuk ke lift. Raisha tidak memperhatikannya semula, tetapi pria itu memangilnya dan membuatnya tersentak."Mas Wiji?" Tubuhnya bergetar hebat saat tahu pria yang harusnya di penjara itu kini berada di sampingnya."Kamu akan membalas semua yang telah kamu perbuat padaku. Perlahan, tapi pasti."Lift terbuka, Raisha langsung bergegas meningalkan Wiji. Wajah putihnya berubah menjadi pasi, ia melangkah dengan cepat ke ruangan Irma untuk memberitahukan apa yang ia lihat tadi."Ada apa Bu Raisha?" Irma bertanya saat melihat Raisha begitu cemas."Mas Wiji mengancamku!""Mengancam? Bagaimana bisa, kan dia ada di penjara?""A--aku, nggak tahu. Tiba-tiba sa
Bambang sudah kembali tenang setelah Harlan ke luar dari ruangan itu. Raisha sangat cemas dengan keadaan sang suami sampai ingin turun dari kasurnya."Diam di sana, saya nggak apa-apa."Raisha kembali ke tempatnya. Ia tak berani mendekati Bambang.Bambang masih terus memegangi dada yang masih terasa sesak. Bisa saja dia terkena serangan jantung mendadak kalau tidak mengatur emosinya. Harlan benar-benar membuat Bambang naik darah dan membuatnya hampir mati. Mungkin itu yang diinginkannya.Memang benar kata Harlan kalau masalah tidak ada habisnya. Namun, semua bukan karena adanya Raisha di sisinya. Melainkan mereka yang selalu membuat masalah.Terpikir dibenak pria tua itu kalau dirinya tiba-tiba tidak bernyawa lagi. Apa yang akan dilakukan anak-anaknya pada Raisha? Bambang kembali menenangkan hatinya.Suatu saat Harlan akan melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan Raisha demi menduduki kursi kepemimpinan. Maka dar
"Tolong, tolong saya!" Rianti berteriak dengan lantang.Beberapa orang sudah berkumpul mengelilingi mereka. Pria itu semakin panik, sedangkan Rianti semakin kencang berteriak."Ada apa, Mba?""Pria ini mau menangkap saya dan dijadikan wanita bayaran, Mas. Tolong saya," ujar Rianti."Ngg--gak, jangan percaya." Pria itu mengelak saat semua warga sudah siaga menangkapnya.Rianti memang cerdik dalam mengambil simpati. Dia menangis di depan semua orang agar mereka Iba. Mereka semua berlari mengejar Joni yang sudah lari tunggang langgang.Beberapa Ibu-ibu menenangkan Rianti. Ada yang belas kasih memberikannya uang. Ada juga memberikan makanan. Sungguh rezeki tak terduga pikirnya.Rianti melangkah pergi. Dia yakin Joni tidak akan datang menemuinya. Sepertinya dia harus merubah diri menjadi seorang pria. Supaya tidak di goda oleh siapa pun atau preman sekitar."Ka, dapat banyak makanan tuh,"
POV 3POV 3Rianti berjalan terus sampai dia kelelahan. Kembali dia memegangi perut karena kelaparan. Dia mendekat ke arah anak-anak jalanan yang sedang makan."De, minta, makanannya boleh nggak?" Rianti bertanya seraya matanya tak henti memperhatikan makanan."Kalau mau, Kakak kerja. Masa minta sama aku.""Kerja apa?"Anak kecil itu menunjukkan karung dan alat mengambil botol. Rianti bergidik mendengar penuturan anak kecil itu. Sebelum melakukan, dia sudah bergidig ngeri. Seumur hidupnya, dia tidak menyangka akan melakukan hal seperti itu."Itu kalau Kakak mau, kalau nggak, tahan aja tuh perut." Tawa anak kecil itu membuat Rianti kesal.Benar yang dikatakan anak itu, Rianti akan kelaparan jika tidak makan, dan salah satu cara mendapatkan makanan itu adalah dengan bekerja. Namun, dia kembali teringat saat dirinya mengejek Raisha."Duh, hidupmu sial sekali, ya.