Mas Bambang masih saja diam sampai hari ini. Mumet sekali kepalaku. Kenapa harus berhubungan dengan Mas Wiji? Menyebalkan sekali akibat pria itu aku terkena masalah. Lagi pula, pintar sekali mencari celah untuk membuat aku terlihat memiliki hubungan dengan Mas Wiji.
"Masuk," ucapku saat mendengar orang mengetuk pintu.Pria yang aku pikirkan kini berada di hadapanku. Mau apalagi dia di sini? Kupasang wajah tidak suka padanya. Namun, ia sepertinya tidak peduli. Datang ke ruanganku, pasti ingin membuat kegaduhan."Sa, to the point' aja. Aku datang ke sini untuk meminta kembali jabatanku. Kamu pikir dengan gaji karyawan biasa aku bisa membayar semua pengeluaran aku?""Mana aku tahu tentang itu. Aku hanya melakukan dengan keinginanmu, kan Mas? Kemarin kamu memilih untuk turun jabatan.""Ck! Karena kamu memberikan aku pilihan sulit. Nggak mungkin aku memilih hidup di penjara.""Lebih bagus, kan. NggSesuai janji, Arfian mengajakku ke tempat yang menurutnya bisa membuat pikiran jernih. Sebelum pergi, Irma sudah mewanti-wanti aku agar jangan mematikanponsel.Irma mengatakan sesuatu bisa saja terjadi, maka dari itu aku harus waspada dannjangan sampai terjadi hal yang membuat aku menyesal.Perasaan ini tak karuan saat Mas Bambang meneleponku. Tak kuhiraukan, karena percuma suamiku akan bertanya macam-macam. Mungkin, fotoku bersama Arfian sudah masuk ke ponselmiliknya.Benar dugaanku, sebuah pesan darinya begitu keras. Ia mengirimkan sebuah foto aku saat memasuki mobil Arfian. Aku menarik napas panjang, setelah itu kubaca pesan darinya.[Mas kecewa][Kamu tidak tulus]Aku menghela napas mencoba untuk meraup pasokan oksigen. Aku tahu ini menyakitkan bagimu, Mas. Namun,semua kulakukan untuk membuktikan jika aku tidak salah.Maaf, Mas. Ini demi nama baik aku yang terlanjur salah di matamu. Ak
PoV IrmaTiba-tiba saja koneksi Bu Raisa menghilang. Sementara, ia bersama Arfian yang sangat berbahaya. Kucoba untuk meneleponnya.Ah, pasti dia masih berdekatan dengan Arfian, sampai tidak mengangkat telepon dariku. Semoga saja Bu Raisha tidak apa-apa. Salahku kenapa tidak mengikutinya dari belakang. Kupikir, Arfian terlalu licik untuk hal ini.Kucoba mengirimkan pesan pada Bu Raisha. Syukurlah, ia sudah membaca dan membalas. Namun, sepertinya aku telat memberitahukannya.[Arfian tidak mau berhenti. Bagaimana ini Irma?]Dalam pekerjaan ini aku tidak pernah kecolongan. Kali ini aku sangat menyesal melepas Bu Raisa sendiri menjalankan misinya.Seperti yang dia katakan, beberapa foto sudah berada di tangan Pak Bambang. Sepertinya aku harus bergegas ke rumahnya sebelum ia berpikiran terlalu jauh.Aku tidak bisa tenang saat Bu Raisha tidak membalas pesan terakhir dariku.
"Bu Raisha sudah sadar?"Kudengar suara Irma menyapa, mata ini masih sangat sulit terbuka lebar. Ya Allah, aku selamat dari hal buruk yang dilakukan Arfian. Terima kasih karena aku masih bisa mendengar suara Irma.Kuanggukan kepala saat lidah begitu Kelu untuk berbicara. Hanya gerakan bada yang bisa dilakukan. Tubuh ini rasanya begitu sakit, teringat berkali-kali terlempar ke tanah.Bagaimana aku bisa di sini? Apa Irma tepat waktu menyelamatkanku? Aku tidak peduli, bagaimanapun, kini diri ini sudah aman bersama Irma.Setelah Irma, kini Mas Bambang sudah berada di hadapanku. Irma membantunya untuk berada di sisi ranjang. Kepala masih terasa berat untuk mengingat semua. Aku masih bersyukur masih bisa selamat."Sa, maafkan saya karena nggak percaya sama kamu. Saya sungguh bodoh, lebih percaya orang lain. Maaf."Samar-samar kudengar permintaan maaf dari Mas Bambang. Allah, terima kasih telah mengembalikan kepercayaa
Apa yang dilakukan Rianti tidak bisa aku maafkan. Percuma meminta dengan alasan meminjam, kalau dipikir, sekarang ia meminjam, kapan mau dilunasi."Jangan mentang-mentang kamu sekarang kaya raya, jadi kamu bisa sombong, Sa.""Dasar kamu, wanita nggak tahu diri. Merebut Mas Wiji, dan apa kamu lupa perbuatan kamu terhadapku? Kurasa, orang sepertimu harus di binasahkan.""Jaga bicaramu.""Irma, bisa tolong ke luarkan parasit ini dari sini?""Dengan senang hati."Irma menarik lengan Rianti, wajah pelakor itu begitu menggemaskan. Berulang kali ia menepis saat Irma menariknya."Aku bisa ke luar sendiri.""Silahkan."Aku menghela napas saat ia sudah pergi. Dunia itu berputar, aku tidak mau menjadi orang baik, yang nyatanya kebahagiaanku malah direbutnya.Aku benar-benar menyesal membuat mereka bisa melakukan itu di belakangku. Di rumah aku bersusah payah mencuci, gosokkan bajunya, eh dia malah merebut suamiku. 
PoV Wiji Rianti kembali mengomel padaku, uang yang biasa kuberikan padanya harus berkurang jauh dari sebelumnya. Bukan karena aku pelit, tapi gara-gara Raisha menurunkan jabatanku, membuat gaji turun drastis.Mumet memang hidup ini. Terkadang ada penyesalan saat melihat Raisha yang kini begitu cantik. Langsing dan glowing kalau kata wanita jaman sekarang.Kebutuhan Raisha dan Rianti jauh berbeda. Hidup bersama istri pertama membuat aku tidak mengeluarkan banyak uang, berbeda dengan bersama Rianti. Tabunganku sampai habis memenuhi keinginnya.Raisha, dulu saat kubelikan daster seharga 50.000 di pasar pun senang sekali. Sementara, Rianti maunya baju yang bermerek.Sedih bukan main, belum juga gajian sudah ditodong uang oleh Rianti. Wanita sialan memang, terus saja memberondong dengan uang shoping.Dalam hidup, aku tidak pernah meminta belas kasih pada siapa pun. Saat aku berselingkuh dengan Rianti pun, tidak pernah
PoV Wiji Rianti kembali mengomel padaku, uang yang biasa kuberikan padanya harus berkurang jauh dari sebelumnya. Bukan karena aku pelit, tapi gara-gara Raisha menurunkan jabatanku, membuat gaji turun drastis.Mumet memang hidup ini. Terkadang ada penyesalan saat melihat Raisha yang kini begitu cantik. Langsing dan glowing kalau kata wanita jaman sekarang.Kebutuhan Raisha dan Rianti jauh berbeda. Hidup bersama istri pertama membuat aku tidak mengeluarkan banyak uang, berbeda dengan bersama Rianti. Tabunganku sampai habis memenuhi keinginnya.Raisha, dulu saat kubelikan daster seharga 50.000 di pasar pun senang sekali. Sementara, Rianti maunya baju yang bermerek.Sedih bukan main, belum juga gajian sudah ditodong uang oleh Rianti. Wanita sialan memang, terus saja memberondong dengan uang shoping.Dalam hidup, aku tidak pernah meminta belas kasih pada siapa pun. Saat aku berselingkuh dengan Rianti pun
"Bu Raisa, Bu, bangun."Aku merasa tubuhku terguncang-guncang, saat membuka mata, aku langsung mencari di mana Arman. Ya Allah, itu mimpi, kenapa seperti nyata? Apa aku terlalu takut dengan Arfian hingga membuat aku terbayang-bayang?"Ibu, minum dulu. Saya coba bangunkan dari tadi Ibu malah terus berteriak. Mimpi apa, Bu?" Irma bertanya sembari memberikan minuman padaku.Aku meneguk air yang diberikan Irma untuk menenangkan diri. Bagaimana keadaan Arman?"Sa--saya, beneran mimpi? Arman mana?" tanyaku masih dengan gugup."Arman tidur, Ibu jangan banyak pikiran. Nanti, stres. Pasti Ibu memikirkan Arfian, kan?"Seperti dugaan Irma, memang aku memikirkan Arfian. aku takut dia datang dan mengacaukan hidupku. Seperti yang kualami di mimpi itu. Perasaan takut sampai membuat aku tidur saja tidak tenang.Memang aku trauma dengan hal itu. Membingungkan memang, harusnya aku tenang dengan adanya Irma dan penjagaan poli
POV WiJi"Kamu dari mana, Mas?" tanya Rianti."Lembur." Kujawab saja asal, dia tidak boleh tahu kalau aku bertemu Arman tadi."Kopi buat aku mana?""Kopi, gula semua habis.""Loh, kemarin aku, kan baru saja kasih kamu uang, masa, iya habis?""Ya, ampun, Mas. Uang 500.000 seminggu dapat apa? Aku saja makan sehari online bisa 100.000. Kamu tahu nggak, aku sampai pakai tabungan aku nih.""Gila kamu, sudah tahu aku lagi pailit, kenapa nggak diirit saja. Beli makan di warteg depan sana, biar cukup seminggu.""Mas, mana level aku sama makanan itu. Adanya sakit perut."Aku benar-benar muak dengan tingkah Rianti. Semenjak aku pailit, dia bukan memberi semangat, tetapi malah membuat aku semakin pusing dengan berbagai permintaannya.Uang yang kuberikan kemarin saja habis, pasti dia akan meminta uang kembali nanti."Halah, sebelum menikah sama aku, kamu juga ma
Ibunya Rianti memeluk Raisha dengan berlinang air mata. Wanita tua itu tidak menyangka jika putrinya sudah meninggal. Setelah penguburan yang tidak memakan waktu banyak, Raisha kembali ke rumah Budenya."Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" tanya wanita tua itu.Suasana masih sangat berkabung. Raisha kembali berpikir ulang untuk menceritakan kejadian semula. Mereka masih sangat berduka dan tidak mungkin bisa mendengar cerita Raisha."Sa, ceritakan pada Bude." Wanita tua itu memulai memaksa."Bude, nanti saja. Kalian masih berduka, aku tidak mungkin bercerita tentang hal itu." Sebisa mungkin Raisha menolak."Tolong." Wanita itu terus memohon.Setelah memohon berulang kali pada Raisha, akhirnya wanita tua itu menjerit mendengar kelakuan Rianti sebelum meninggal. Ia berulang kali memukul dada yang sesak. Tak tahan, Raisha memeluk Bude dengan pedih. Itu sudah masa lalu dan ia pun sudah memaafkan Rianti.Ibunya Rianti tidak menyangka
Raisha merebahkan tubuh di kasur setelah lelah membuat Rianti terpojok. Ia sudah tenang karena wanita itu sudah mau di pulangkan ke kampung. Setelah berdebat panjang lebar dan Rianti tidak bisa menolak lagi.Akhirnya satu masalah terselesaikan.Bambang masuk ke kamar setelah pulang dari rumah Harlan. Wajahnya masih sangat tegang saat emosi memuncak membuat dirinya harus meminum obat untuk menenangkan diri."Mas, sini aku pijitin," ujar Raisa pada suaminya."Nggak usah, Sa. Kamu juga lelah sepertinya." Bambang menolak karena melihat Raisah pun sudah lelah."Sa, waktu penyelidikan audit, kamu memeriksa Harlan juga?""Iya, kenapa?""Apa yang kamu temukan tentang dia?""Tidak ada hal aneh. Dia bersih."Bambang menggeleng. Tidak mungkin Harlan bisa bersih, sedangkang Wiji saja bisa tertangkap auditor. Ia kembali mengambilponsel,lalu mencoba menghubungi beberapa audito
"Makan yang banyak, aku tahu kamu sudah lama nggak makan enak," cibir Raisha.Rianti tidak memperdulikan ucapan Raisha. Kini, hanya makanan enak di hadapannya yang begitu menarik. Raisha pun paham dengan sikap Rianti karena ia pernah menjadi seperti dia."Kamu akan diantar pulang ke kampung."Rianti memberhentikan aktivitas makannya, lalu menantap bingung pada Raisha."Pulang ke mana?" Rianti bertanya balik."Kampung, bertemu dengan keluargamu. Untuk apa lagi kamu di sini? Apa kamu mau aku antar ke kelab malam itu?""Ja--jangan, Sa." Makanan dari mulutnya hampir saja ke luar saat ia berbicara.Raisha tertawa renyah melihat Rianti yang sangat takut dengan ancamannya. Dia pikir Raisha akan membawanya ke rumah besar suami barunya. Namun, ternyata tidak. Setelah makan, Rianti dititipkan di rumah Irma setelah itu besok akan diantarkan oleh supir."Apa aku bisa tinggal di rumah kamu sementara saj
Bambang menghapiri Raisha di kamar, pria itu mengelus lembut telapak tangan sang istri, lalu mengecupnya. Ia merasa menyesal sempet tidak percaya dan seolah-olah berpikir sang istri sedang berhalusinasi.Pria itu berjanji akan melakukan apa pun untuk membuat Raisha bahagia. Walaupun dia tidak bisa melindunginya secara langsung, setidaknya akan ada banyak yang menjaganya.Bambang kembali ke ruang kerja dan berbicara empat mata dengan Heri. Tidak lama Irma datang untuk ikutmeetingdengan mereka tanpa sepengetahuan Raisha."Maksud kamu Wiji bebas bersyarat?" tanya Bambang."Iya, Pak. Sudah beberapa hari Bu Raisha seperti diteror, tetapi Wiji berbuat seolah-olah Ibu berhalusinasi."Bambang berpikir sejenak dengan apa yang dituturkan Irma. Kalau benar, berarti kejadian tadi memang nyata. Dan, Wiji sangat pintar membuat semua orang percaya kalau Raisha itu berhalusinasi.Sampai dirinya saja tidak p
Keduanya terkesiap melihat mobil terbakar. Tubuh Raisha mendadak lemas, lututnya pun tak mampu bangkit dari duduknya. Sementara Irma, menarik napas panjang dan bergegas menelepon pihak polisi."Bu, tenang."Kalimat itu selalu Irma lontarkan kala melihat Raisha cemas. Hal ini tidak bisa didiamkan karena sudah masuk kriminal. Irma membantu Raisha duduk di pinggir jalan. Masih dengan kondisi sangat syok, Raisha hanya bisa terdiam."Ini sudah kriminal, Bu. Saya sudah telepon polisi untuk menuntaskan semua.""Bagiamana kita melaporkan ke polisi, sedangkan mereka saja menutupi jika Wiji sudah ke luar dari penjara? Apa kamu yakin mereka akan menindak jika memang ada persekongkolan?"Irma membenarkan apa yang dituturkan Raisha. Kini, dia harus memutar otak untuk mencari tahu semuanya. Sepertinya memang benar ada persekongkolan orang dalam hingga membuat mereka mudah membuat pihak Raisha panik."Saya pikirkan lagi, yang
Raisha sudah mulai pergi ke kantor menyelesaikan beberapa hal yang harus diselesaikan olehnya. Ia melangkah masuk ke lobi, beberapa karyawan mulai menyapanya.Dia masuk ke dalam lift, lalu tidak lama masuk seorang pria mengenakan jaket hoodie ikut masuk ke lift. Raisha tidak memperhatikannya semula, tetapi pria itu memangilnya dan membuatnya tersentak."Mas Wiji?" Tubuhnya bergetar hebat saat tahu pria yang harusnya di penjara itu kini berada di sampingnya."Kamu akan membalas semua yang telah kamu perbuat padaku. Perlahan, tapi pasti."Lift terbuka, Raisha langsung bergegas meningalkan Wiji. Wajah putihnya berubah menjadi pasi, ia melangkah dengan cepat ke ruangan Irma untuk memberitahukan apa yang ia lihat tadi."Ada apa Bu Raisha?" Irma bertanya saat melihat Raisha begitu cemas."Mas Wiji mengancamku!""Mengancam? Bagaimana bisa, kan dia ada di penjara?""A--aku, nggak tahu. Tiba-tiba sa
Bambang sudah kembali tenang setelah Harlan ke luar dari ruangan itu. Raisha sangat cemas dengan keadaan sang suami sampai ingin turun dari kasurnya."Diam di sana, saya nggak apa-apa."Raisha kembali ke tempatnya. Ia tak berani mendekati Bambang.Bambang masih terus memegangi dada yang masih terasa sesak. Bisa saja dia terkena serangan jantung mendadak kalau tidak mengatur emosinya. Harlan benar-benar membuat Bambang naik darah dan membuatnya hampir mati. Mungkin itu yang diinginkannya.Memang benar kata Harlan kalau masalah tidak ada habisnya. Namun, semua bukan karena adanya Raisha di sisinya. Melainkan mereka yang selalu membuat masalah.Terpikir dibenak pria tua itu kalau dirinya tiba-tiba tidak bernyawa lagi. Apa yang akan dilakukan anak-anaknya pada Raisha? Bambang kembali menenangkan hatinya.Suatu saat Harlan akan melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan Raisha demi menduduki kursi kepemimpinan. Maka dar
"Tolong, tolong saya!" Rianti berteriak dengan lantang.Beberapa orang sudah berkumpul mengelilingi mereka. Pria itu semakin panik, sedangkan Rianti semakin kencang berteriak."Ada apa, Mba?""Pria ini mau menangkap saya dan dijadikan wanita bayaran, Mas. Tolong saya," ujar Rianti."Ngg--gak, jangan percaya." Pria itu mengelak saat semua warga sudah siaga menangkapnya.Rianti memang cerdik dalam mengambil simpati. Dia menangis di depan semua orang agar mereka Iba. Mereka semua berlari mengejar Joni yang sudah lari tunggang langgang.Beberapa Ibu-ibu menenangkan Rianti. Ada yang belas kasih memberikannya uang. Ada juga memberikan makanan. Sungguh rezeki tak terduga pikirnya.Rianti melangkah pergi. Dia yakin Joni tidak akan datang menemuinya. Sepertinya dia harus merubah diri menjadi seorang pria. Supaya tidak di goda oleh siapa pun atau preman sekitar."Ka, dapat banyak makanan tuh,"
POV 3POV 3Rianti berjalan terus sampai dia kelelahan. Kembali dia memegangi perut karena kelaparan. Dia mendekat ke arah anak-anak jalanan yang sedang makan."De, minta, makanannya boleh nggak?" Rianti bertanya seraya matanya tak henti memperhatikan makanan."Kalau mau, Kakak kerja. Masa minta sama aku.""Kerja apa?"Anak kecil itu menunjukkan karung dan alat mengambil botol. Rianti bergidik mendengar penuturan anak kecil itu. Sebelum melakukan, dia sudah bergidig ngeri. Seumur hidupnya, dia tidak menyangka akan melakukan hal seperti itu."Itu kalau Kakak mau, kalau nggak, tahan aja tuh perut." Tawa anak kecil itu membuat Rianti kesal.Benar yang dikatakan anak itu, Rianti akan kelaparan jika tidak makan, dan salah satu cara mendapatkan makanan itu adalah dengan bekerja. Namun, dia kembali teringat saat dirinya mengejek Raisha."Duh, hidupmu sial sekali, ya.