Tidurku malam ini tidak tenang memikirkan masalah kemarin. Siapa yang berbuat nekat seperti ini? Dia pikir aku akan menyerah begitu saja.
Dengan mengumpulkan keberanian, aku tetap pergi ke kantor. Entah, ini adalah panggilan hati. Aku harus bisa melihat siapa musuhku. Seperti sudah dijanjikan temanku, seorang pengawal datang. Dia wanita cantik, bertubuh langsing. Namanya Irma. Dia sudah terlatih sebagai pengawal wanita. Kini, dia sudah bertugas sebagai sekretarisku. Sengaja aku minta ia menyamar agar tidak terlalu mencolok."Kamu siap, Irma?" tanyaku."Siap, Bu.""Kamu mengerti bukan, bagaimana menjadi sekretaris? Hmm ... dengan tampilan seperti ini, kamu tidak akan dikenali sebagai pengawalku," ucapku sambil melihat penampilan Irma sekarang."Bu Raisa, idenya keren. Selama saya menjadi pengawal, mereka hanya menganggap saya, ya pengawal. Jadi, saya tetap berpakaian seperti biasa seragam saja.""Benarkah?" "Iya, Bu. Saya juga dapat dia gaji jadinya."Aku tidak mungkin membiarkan Irma memakai pakaian seragam. Kalau seperti itu, mereka akan tahu kapan Irma ada dan tak ada.Siapa tahu Irma bisa membuat mereka mengakui siapa dalang semua ini. Dengan kecantikkannya, siapa saja akan menyukainya. Kulirik sekitar ruangan, aku memperkenalkan Irma pada mereka. Beberapa karyawan pria mulai mendekati Irma dan banyak terdengar memuji kecantika wanita itu.Aku sudah berpesan pada Mas Bambang, untuk sementara waktu tetap berada di rumah. Jangan pernah keluar selagi belum aman. Ia menurut, dan aku pun sudah memberikan pengawalan untuknya. Tadinya mas Bambang tidak mau. Akan tetapi, aku memaksanya.Irma sudah didampingi Anita di ruangannya. Anita yang kebetulan sedang mengandung, senang karena aku sudah menemukan orang yang akan menggantikannya. "Anita, tolong ajarkan Irma bagaimana mengatur semuanya. Jadi, kalau kamu cuti, dia sudah bisa.""Iya, Bu."Sebelum aku masuk ke ruangan, aku berpas-pasan dengan Harlan. Cara dia menatapku aneh. Apa dia yang menyuruh membunuhku? Namun, ia terlihat kembali santai.Apa dia pikir aku masih bisa hidup setelah percobaan pembunuhan waktu itu? Atau dia hanya heran denganku kali ini."Ada apa?" Aku memulai perbincangan."Aku butuh tanda tanganmu. Ada pengeluaran dana. Silahkan baca."Aku membaca pelan, kata Mas Bambang, aku harus teliti dengan pengeluaran yang akan kutandatangani. Budget kali ini tidak terlalu besar. Segera kutandatangani, setelah itu Harlan kembali ke ruangannya. Kali ini pria itu tidak banyak bicara. Mungkin sedang malas berdebat denganku."Biarkan aku masuk!" Suara gaduh terdengar sampai ke ruanganku. Aku bangkit untuk melihat siapa yang membuat keributan di luar. Aku sedikit kaget, saat melihat sosok Rianti mencoba menerobos masuk. Apa dia tidak punya tatakrama? Oh, iya, aku lupa. Dia hanya gadis kampung yang pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, tetapi malah merebut suamiku."Ada apa Irma?" "Wanita ini memaksa ingin bertemu Ibu.""Biarkan saja dia masuk," perintahku.Irma mengangguk. Rianti kupersilahkan masuk ke dalam ruangan. Kulihat dia seperti menatap takjub sekeliling ruang ini. Apa yang dia lakukan sampai ia datang ke sini?"Benar kata Mas Wiji, kamu sekarang jadi orang kaya. Pergi ke dukun mana kamu?" "Hah, dukun? Jaman sekarang masih main dukun? Lucu sekali pikiranmu. Apa jangan-jangan kemarin kamu guna-guna Mas Wiji?" Segera aku menuding dirinya."Eh, enak aja. Nggak mungkin, Mas Wiji itu beneran suka sama aku karena dia bosan melihat kamu yang jelek." Pembelaan diri Rianti sungguh menjengkelkan."Itu dulu, sekarang, aku lebih cantik dari kamu. By the way, kamu bisa pulang dari salon itu, apa kamu meninggalkan ponselmu atau ktpmu?" Sengaja aku tersenyum mengejeknya. "Kamu puas, sudah buat aku seperti itu?""Belum.""Sialan, kamu, Ri.""Hmm ... belum puas kalau belum buat kamu menderita."Rianti semakin geram saat mendengar ucapanku. Dia tak mampu menjawab apa yang aku katakan. "Langsung saja, mau apa kamu ke sini?""Kembalikan posisi Mas Wiji menjadi manager. Kamu gila, langsung menurunkan jabatannya?""Aku nggak gila. Selama ini, Mas Wiji banyak menggelapkan uang. Masih bersyukur, aku tidak memenjarakannya. Dia sendiri memilih, untuk turun jabatan.""Karena kamu membuat ia memilih dengan sulit.""Jangan banyak bicara, kamu mau Mas Wiji kubuat masuk jeruji?"Rianti bergeming. Pasti dia tidak mau suami barunya masuk penjara. Baru turun jabatan saja dia sudah kelimpungan. Bagaimana jika kumasukkan dalam penjara. Pasti akan membuat hidupnya semakin menderita. Sengaja aku menelepon Mas Wiji untuk datang ke ruanganku. Tidak lama, pria itu datang menghadap. Awalnya ia heran mengapa Rianti ada di sini. Namun, ya, mereka sama saja menyebalkan."Kamu sengaja menyuruh istrimu datang? Untuk apa? Memohon?""Aku tidak meminta dia datang," ujar Mas Wiji."Mas, aku nggak terima dia menurunkan jabatanmu! Dia pikir dia siapa?"Bagus sekali Rianti, dia menjadi istri yang berbakti. Saat suaminya kesulitan, ia datang menolong. Namun, sayang, aku tidak akan terkecoh denganmu."Sa, kembalikan jabatanku. Aku tidak suka dengan pekerjaan yang menyita waktuku dan penghasilan yang rendah. Kamu pikir dong," ucapnya."Terserah kamu, apa kamu mau ke penjara saja?""Kurang ajar, kamu, Sa. Kamu bakal menyesal, aku akan memisahkan kamu dari Arman!""Apa? Apa aku nggak salah dengar? Asal Mas tahu, sampai kapanpun, Arman nggak Sudi tinggal sama kamu. Kamu tahu, bagaimana aku terluka melihat Arman berlari mengejar mobil kamu sampai ia terjatuh dan terluka. Bukan kakinya saja yang sakit, tapi hatinya."Aku menatap bengis mereka. Dua orang di hadapanku telah membuat hidupku menderita. Saat aku benar-benar terusir dari rumah yang kami beli dari hasil berdua. Kini, mereka menikmatinya. "Sa, kamu nggak punya hati. Dengan gaji kecil, mana bisa aku memenuhi kebutuhan hidup yang besar saat ini?" Mas Wiji mulai mengiba."Memenuhi kebutuhan hidup atau kebutuhan istri baru kamu!" pekikku. Dulu, mana pernah aku menuntut banyak. Yang ia kasih, aku terima dengan lapang dada. Saat jatahku berkurang setengahnya, aku hanya menerima tanpa mengeluh. Namun, apa yang dia perbuat. Uangnya dihamburkan bersama sepupuku. Mereka tega menusukku dari belakang."Lebih baik kalian ke luar!" "Sa, sombong sekali kamu. Mentang-mentang sudah menikah dengan orang kaya!" Kini giliran Rianti berkata."Iya, aku berterima kasih dengan kalian, akibat perselingkuhan kalian, aku bisa bertemu suamiku yang kaya."Mas Wiji mengusap wajah kasar. Ia menarik lengan Rianti ke luar dari ruanganku. Aku terduduk di kursi. Membayangkan betapa jahat mereka dulu. Kini, mereka hanyalah butiran debu. Aku membuka pesan masuk di ponsel. Aku terhenyak dengan isi pesan itu.[Bersenang-senanglah, sebelum kamu mati]Si--siapa yang mengirimkan pesan ini? Tangan ini bergetar sangat hebat, jantung pun seakan berhenti saat ini juga. ***BersambungAku tercekat saat menatap layarponsel.Jantung ini berdetak tak karuan, aku takut? Ya, siapa yang tidak takut saat mendapat pesan ini.Segera kutelepon Irma untuk datang ke ruanganku. Tidak lama wanita itu sudah menghadap. Kuberikanponselitu untuk dibaca oleh Irma."Irma, kamu tahu maksud ini?" tanyaku."Ini sebuah ancaman. Kita bisa melacak nomernya," jelas Irma.Irma terus memperhatikan sekeliling. Ia terus melangkah ke tiap sudut ruangan, sampai ia mendapatkan sesuatu yang membuat aku tercekat.Sebuah CCTV, siapa yang berani memasangnya? Irma mencabut kasar, ternyata wanita itu sangat jeli memperhatikan."Ir, kamu hebat. Bagaimanapun kamu tahu ada yang memasang ini?" tanyaku pelan."Aku sudah lama menjadi pengawal. Aku banyak tahu trik abal-abal seperti ini. Jangan takut, Bu Raisa. Ada saya yang akan menjaga Ibu."Aku tidak
Aku seperti melihat adegan filmaction. Irma ke luar dengan berani dari mobil menghampiri pria tak dikenal itu. Sungguh berani nyalinya, bahkan aku takut Irma terluka.Irma wanita tangguh yang pembera7. Ia sudah terbiasa mungkin denga hal itu.Astaga, pria itu hampir saja membuat Irma terjatuh, tetapi gadis itu lebih cepat menendang perut si penjahat. Ah, Irma, kenapa aku yang deg-degan di sini.Irma mengambil balok, lalu memukul tubuh pria itu. Tidak lama ia berhasil menundukkannya. Kaki Irma kini mantap berada di atas perut penjahat itu.Kubuka kaca mobil dan meneriaki Irma untuk cepat masuk ke mobil. Kulihat dia menarik penutup wajah pria itu, tetapi sepertinya aku tidak mengenalnya.Kulihat Irma menarik kerahnya, lalu beberapa kali menampar wajah pria itu. Keren, seperti melihat adegan dalam sebuah film.Sepertinya Irma akan melakukan sesuatu. Dia mengambil tali di sampingnya. Lalu, mengikat
Aku harus mencari tahu siapa dibalik semua ini. Rekaman itu harus kutemukan, jika tidak ingin berlarut dalam sebuah masalah. Aku menarik napas panjang, lalu mengambil tas danponsel.Segera kutelepon Irma untuk menungguku di kantor. Sepertinya aku harus menemui Mas Wiji, semoga saja bisa membuka kedok siapa yang ada di balik semua ini.Jika benar Mas Wiji yang melakukan itu padaku, kupastikan dia akan membusuk di penjara.Aku meminta Pak Ardi mengantarku ke kantor. Kebetulan, dia ada di rumah dan mobil sudah dibawa dari bengkel kemarin sore."Nyonya, yakin pergi sendiri?" tanya Pak Ardi cemas."Yakin, Pak. Kalau nggak, saya takut masalah akan berlarut."Setelah mendengar penjelasanku. Pak Ardi mengantarku ke kantor, ada rasa takut juga terjadi hal semacam kemarin. Begitu juga Pak Ardi yang sangat cemas."Pak, sebelumnya apa pernah kejadian ini menimpa Mas Bambang?" tanyaku.
Mas Bambang masih saja diam sampai hari ini. Mumet sekali kepalaku. Kenapa harus berhubungan dengan Mas Wiji? Menyebalkan sekali akibat pria itu aku terkena masalah. Lagi pula, pintar sekali mencari celah untuk membuat aku terlihat memiliki hubungan dengan Mas Wiji."Masuk," ucapku saat mendengar orang mengetuk pintu.Pria yang aku pikirkan kini berada di hadapanku. Mau apalagi dia di sini? Kupasang wajah tidak suka padanya. Namun, ia sepertinya tidak peduli. Datang ke ruanganku, pasti ingin membuat kegaduhan."Sa,to the point'aja. Aku datang ke sini untuk meminta kembali jabatanku. Kamu pikir dengan gaji karyawan biasa aku bisa membayar semua pengeluaran aku?""Mana aku tahu tentang itu. Aku hanya melakukan dengan keinginanmu, kan Mas? Kemarin kamu memilih untuk turun jabatan.""Ck! Karena kamu memberikan aku pilihan sulit. Nggak mungkin aku memilih hidup di penjara.""Lebih bagus, kan. Ngg
Sesuai janji, Arfian mengajakku ke tempat yang menurutnya bisa membuat pikiran jernih. Sebelum pergi, Irma sudah mewanti-wanti aku agar jangan mematikanponsel.Irma mengatakan sesuatu bisa saja terjadi, maka dari itu aku harus waspada dannjangan sampai terjadi hal yang membuat aku menyesal.Perasaan ini tak karuan saat Mas Bambang meneleponku. Tak kuhiraukan, karena percuma suamiku akan bertanya macam-macam. Mungkin, fotoku bersama Arfian sudah masuk ke ponselmiliknya.Benar dugaanku, sebuah pesan darinya begitu keras. Ia mengirimkan sebuah foto aku saat memasuki mobil Arfian. Aku menarik napas panjang, setelah itu kubaca pesan darinya.[Mas kecewa][Kamu tidak tulus]Aku menghela napas mencoba untuk meraup pasokan oksigen. Aku tahu ini menyakitkan bagimu, Mas. Namun,semua kulakukan untuk membuktikan jika aku tidak salah.Maaf, Mas. Ini demi nama baik aku yang terlanjur salah di matamu. Ak
PoV IrmaTiba-tiba saja koneksi Bu Raisa menghilang. Sementara, ia bersama Arfian yang sangat berbahaya. Kucoba untuk meneleponnya.Ah, pasti dia masih berdekatan dengan Arfian, sampai tidak mengangkat telepon dariku. Semoga saja Bu Raisha tidak apa-apa. Salahku kenapa tidak mengikutinya dari belakang. Kupikir, Arfian terlalu licik untuk hal ini.Kucoba mengirimkan pesan pada Bu Raisha. Syukurlah, ia sudah membaca dan membalas. Namun, sepertinya aku telat memberitahukannya.[Arfian tidak mau berhenti. Bagaimana ini Irma?]Dalam pekerjaan ini aku tidak pernah kecolongan. Kali ini aku sangat menyesal melepas Bu Raisa sendiri menjalankan misinya.Seperti yang dia katakan, beberapa foto sudah berada di tangan Pak Bambang. Sepertinya aku harus bergegas ke rumahnya sebelum ia berpikiran terlalu jauh.Aku tidak bisa tenang saat Bu Raisha tidak membalas pesan terakhir dariku.
"Bu Raisha sudah sadar?"Kudengar suara Irma menyapa, mata ini masih sangat sulit terbuka lebar. Ya Allah, aku selamat dari hal buruk yang dilakukan Arfian. Terima kasih karena aku masih bisa mendengar suara Irma.Kuanggukan kepala saat lidah begitu Kelu untuk berbicara. Hanya gerakan bada yang bisa dilakukan. Tubuh ini rasanya begitu sakit, teringat berkali-kali terlempar ke tanah.Bagaimana aku bisa di sini? Apa Irma tepat waktu menyelamatkanku? Aku tidak peduli, bagaimanapun, kini diri ini sudah aman bersama Irma.Setelah Irma, kini Mas Bambang sudah berada di hadapanku. Irma membantunya untuk berada di sisi ranjang. Kepala masih terasa berat untuk mengingat semua. Aku masih bersyukur masih bisa selamat."Sa, maafkan saya karena nggak percaya sama kamu. Saya sungguh bodoh, lebih percaya orang lain. Maaf."Samar-samar kudengar permintaan maaf dari Mas Bambang. Allah, terima kasih telah mengembalikan kepercayaa
Apa yang dilakukan Rianti tidak bisa aku maafkan. Percuma meminta dengan alasan meminjam, kalau dipikir, sekarang ia meminjam, kapan mau dilunasi."Jangan mentang-mentang kamu sekarang kaya raya, jadi kamu bisa sombong, Sa.""Dasar kamu, wanita nggak tahu diri. Merebut Mas Wiji, dan apa kamu lupa perbuatan kamu terhadapku? Kurasa, orang sepertimu harus di binasahkan.""Jaga bicaramu.""Irma, bisa tolong ke luarkan parasit ini dari sini?""Dengan senang hati."Irma menarik lengan Rianti, wajah pelakor itu begitu menggemaskan. Berulang kali ia menepis saat Irma menariknya."Aku bisa ke luar sendiri.""Silahkan."Aku menghela napas saat ia sudah pergi. Dunia itu berputar, aku tidak mau menjadi orang baik, yang nyatanya kebahagiaanku malah direbutnya.Aku benar-benar menyesal membuat mereka bisa melakukan itu di belakangku. Di rumah aku bersusah payah mencuci, gosokkan bajunya, eh dia malah merebut suamiku. 
Ibunya Rianti memeluk Raisha dengan berlinang air mata. Wanita tua itu tidak menyangka jika putrinya sudah meninggal. Setelah penguburan yang tidak memakan waktu banyak, Raisha kembali ke rumah Budenya."Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" tanya wanita tua itu.Suasana masih sangat berkabung. Raisha kembali berpikir ulang untuk menceritakan kejadian semula. Mereka masih sangat berduka dan tidak mungkin bisa mendengar cerita Raisha."Sa, ceritakan pada Bude." Wanita tua itu memulai memaksa."Bude, nanti saja. Kalian masih berduka, aku tidak mungkin bercerita tentang hal itu." Sebisa mungkin Raisha menolak."Tolong." Wanita itu terus memohon.Setelah memohon berulang kali pada Raisha, akhirnya wanita tua itu menjerit mendengar kelakuan Rianti sebelum meninggal. Ia berulang kali memukul dada yang sesak. Tak tahan, Raisha memeluk Bude dengan pedih. Itu sudah masa lalu dan ia pun sudah memaafkan Rianti.Ibunya Rianti tidak menyangka
Raisha merebahkan tubuh di kasur setelah lelah membuat Rianti terpojok. Ia sudah tenang karena wanita itu sudah mau di pulangkan ke kampung. Setelah berdebat panjang lebar dan Rianti tidak bisa menolak lagi.Akhirnya satu masalah terselesaikan.Bambang masuk ke kamar setelah pulang dari rumah Harlan. Wajahnya masih sangat tegang saat emosi memuncak membuat dirinya harus meminum obat untuk menenangkan diri."Mas, sini aku pijitin," ujar Raisa pada suaminya."Nggak usah, Sa. Kamu juga lelah sepertinya." Bambang menolak karena melihat Raisah pun sudah lelah."Sa, waktu penyelidikan audit, kamu memeriksa Harlan juga?""Iya, kenapa?""Apa yang kamu temukan tentang dia?""Tidak ada hal aneh. Dia bersih."Bambang menggeleng. Tidak mungkin Harlan bisa bersih, sedangkang Wiji saja bisa tertangkap auditor. Ia kembali mengambilponsel,lalu mencoba menghubungi beberapa audito
"Makan yang banyak, aku tahu kamu sudah lama nggak makan enak," cibir Raisha.Rianti tidak memperdulikan ucapan Raisha. Kini, hanya makanan enak di hadapannya yang begitu menarik. Raisha pun paham dengan sikap Rianti karena ia pernah menjadi seperti dia."Kamu akan diantar pulang ke kampung."Rianti memberhentikan aktivitas makannya, lalu menantap bingung pada Raisha."Pulang ke mana?" Rianti bertanya balik."Kampung, bertemu dengan keluargamu. Untuk apa lagi kamu di sini? Apa kamu mau aku antar ke kelab malam itu?""Ja--jangan, Sa." Makanan dari mulutnya hampir saja ke luar saat ia berbicara.Raisha tertawa renyah melihat Rianti yang sangat takut dengan ancamannya. Dia pikir Raisha akan membawanya ke rumah besar suami barunya. Namun, ternyata tidak. Setelah makan, Rianti dititipkan di rumah Irma setelah itu besok akan diantarkan oleh supir."Apa aku bisa tinggal di rumah kamu sementara saj
Bambang menghapiri Raisha di kamar, pria itu mengelus lembut telapak tangan sang istri, lalu mengecupnya. Ia merasa menyesal sempet tidak percaya dan seolah-olah berpikir sang istri sedang berhalusinasi.Pria itu berjanji akan melakukan apa pun untuk membuat Raisha bahagia. Walaupun dia tidak bisa melindunginya secara langsung, setidaknya akan ada banyak yang menjaganya.Bambang kembali ke ruang kerja dan berbicara empat mata dengan Heri. Tidak lama Irma datang untuk ikutmeetingdengan mereka tanpa sepengetahuan Raisha."Maksud kamu Wiji bebas bersyarat?" tanya Bambang."Iya, Pak. Sudah beberapa hari Bu Raisha seperti diteror, tetapi Wiji berbuat seolah-olah Ibu berhalusinasi."Bambang berpikir sejenak dengan apa yang dituturkan Irma. Kalau benar, berarti kejadian tadi memang nyata. Dan, Wiji sangat pintar membuat semua orang percaya kalau Raisha itu berhalusinasi.Sampai dirinya saja tidak p
Keduanya terkesiap melihat mobil terbakar. Tubuh Raisha mendadak lemas, lututnya pun tak mampu bangkit dari duduknya. Sementara Irma, menarik napas panjang dan bergegas menelepon pihak polisi."Bu, tenang."Kalimat itu selalu Irma lontarkan kala melihat Raisha cemas. Hal ini tidak bisa didiamkan karena sudah masuk kriminal. Irma membantu Raisha duduk di pinggir jalan. Masih dengan kondisi sangat syok, Raisha hanya bisa terdiam."Ini sudah kriminal, Bu. Saya sudah telepon polisi untuk menuntaskan semua.""Bagiamana kita melaporkan ke polisi, sedangkan mereka saja menutupi jika Wiji sudah ke luar dari penjara? Apa kamu yakin mereka akan menindak jika memang ada persekongkolan?"Irma membenarkan apa yang dituturkan Raisha. Kini, dia harus memutar otak untuk mencari tahu semuanya. Sepertinya memang benar ada persekongkolan orang dalam hingga membuat mereka mudah membuat pihak Raisha panik."Saya pikirkan lagi, yang
Raisha sudah mulai pergi ke kantor menyelesaikan beberapa hal yang harus diselesaikan olehnya. Ia melangkah masuk ke lobi, beberapa karyawan mulai menyapanya.Dia masuk ke dalam lift, lalu tidak lama masuk seorang pria mengenakan jaket hoodie ikut masuk ke lift. Raisha tidak memperhatikannya semula, tetapi pria itu memangilnya dan membuatnya tersentak."Mas Wiji?" Tubuhnya bergetar hebat saat tahu pria yang harusnya di penjara itu kini berada di sampingnya."Kamu akan membalas semua yang telah kamu perbuat padaku. Perlahan, tapi pasti."Lift terbuka, Raisha langsung bergegas meningalkan Wiji. Wajah putihnya berubah menjadi pasi, ia melangkah dengan cepat ke ruangan Irma untuk memberitahukan apa yang ia lihat tadi."Ada apa Bu Raisha?" Irma bertanya saat melihat Raisha begitu cemas."Mas Wiji mengancamku!""Mengancam? Bagaimana bisa, kan dia ada di penjara?""A--aku, nggak tahu. Tiba-tiba sa
Bambang sudah kembali tenang setelah Harlan ke luar dari ruangan itu. Raisha sangat cemas dengan keadaan sang suami sampai ingin turun dari kasurnya."Diam di sana, saya nggak apa-apa."Raisha kembali ke tempatnya. Ia tak berani mendekati Bambang.Bambang masih terus memegangi dada yang masih terasa sesak. Bisa saja dia terkena serangan jantung mendadak kalau tidak mengatur emosinya. Harlan benar-benar membuat Bambang naik darah dan membuatnya hampir mati. Mungkin itu yang diinginkannya.Memang benar kata Harlan kalau masalah tidak ada habisnya. Namun, semua bukan karena adanya Raisha di sisinya. Melainkan mereka yang selalu membuat masalah.Terpikir dibenak pria tua itu kalau dirinya tiba-tiba tidak bernyawa lagi. Apa yang akan dilakukan anak-anaknya pada Raisha? Bambang kembali menenangkan hatinya.Suatu saat Harlan akan melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan Raisha demi menduduki kursi kepemimpinan. Maka dar
"Tolong, tolong saya!" Rianti berteriak dengan lantang.Beberapa orang sudah berkumpul mengelilingi mereka. Pria itu semakin panik, sedangkan Rianti semakin kencang berteriak."Ada apa, Mba?""Pria ini mau menangkap saya dan dijadikan wanita bayaran, Mas. Tolong saya," ujar Rianti."Ngg--gak, jangan percaya." Pria itu mengelak saat semua warga sudah siaga menangkapnya.Rianti memang cerdik dalam mengambil simpati. Dia menangis di depan semua orang agar mereka Iba. Mereka semua berlari mengejar Joni yang sudah lari tunggang langgang.Beberapa Ibu-ibu menenangkan Rianti. Ada yang belas kasih memberikannya uang. Ada juga memberikan makanan. Sungguh rezeki tak terduga pikirnya.Rianti melangkah pergi. Dia yakin Joni tidak akan datang menemuinya. Sepertinya dia harus merubah diri menjadi seorang pria. Supaya tidak di goda oleh siapa pun atau preman sekitar."Ka, dapat banyak makanan tuh,"
POV 3POV 3Rianti berjalan terus sampai dia kelelahan. Kembali dia memegangi perut karena kelaparan. Dia mendekat ke arah anak-anak jalanan yang sedang makan."De, minta, makanannya boleh nggak?" Rianti bertanya seraya matanya tak henti memperhatikan makanan."Kalau mau, Kakak kerja. Masa minta sama aku.""Kerja apa?"Anak kecil itu menunjukkan karung dan alat mengambil botol. Rianti bergidik mendengar penuturan anak kecil itu. Sebelum melakukan, dia sudah bergidig ngeri. Seumur hidupnya, dia tidak menyangka akan melakukan hal seperti itu."Itu kalau Kakak mau, kalau nggak, tahan aja tuh perut." Tawa anak kecil itu membuat Rianti kesal.Benar yang dikatakan anak itu, Rianti akan kelaparan jika tidak makan, dan salah satu cara mendapatkan makanan itu adalah dengan bekerja. Namun, dia kembali teringat saat dirinya mengejek Raisha."Duh, hidupmu sial sekali, ya.