Sengaja aku datang pagi untuk memeriksa data tentang anggaran yang dananya begitu besar itu. Kutelusuri semua berkas yang berhubungan dengan anggaran besar yang begitu saja ada di laporan keuangan.
Kuteliti lagi, tapi aku membutuhkan beberapa staff auditor. Kutelepon Arfian untuk datang ke ruangan. Tidak lama pria muda itu datang."Jangan panggil saya Nyonya. Ibu saja," pintaku karena dia kemarin memanggilku Nyonya.""Iya, Bu.""Tolong telepon auditor yang biasa mengurusi laporan keuangan. Tolong datang hari ini, bisa?" tanyaku memastikan."Sebentar saya telepon."Aku menunggu beberapa saat Arfian menelepon. Aku menggeleng saja, kenapa Mas Wiji seberani itu dalam bertindak. Berengsek sekali dia membuat aku menahan uang belanja dengan irit. Sementara, uang gaji sebesar itu dia gunakan sendiri. "Bu, mereka akan datang siang ini. Adabyang bisa saya bantu lagi?" tanyanya."Tidak, kmu bisa kembali.""Bu, boleh saya bertanya?"Sepertinya aku melihat hal yang tidak mengenakkan. Apa yang akan ditanyakan Arfian? Benar dugaanku, ia menanyakan hal pribadi. Jujur saja aku tidak suka jika ada yang bertanya tentang pernikahanku."Ibu masih muda, apa tidak berniat menikah dengan pria muda?" Pertanyaan Arfian membuat aku tertawa miris."Untuk apa mencari pria muda kalau hidup susah? Jaman sekarang, uang adalah segalanya." Aku puas membuat Arfian tidak berkutik.Benar bukan, menikah dengan Mas Wiji, hidupku susah. Setelah diselingkuhi, aku semakin menderita. Kini, saat Mas Bambang menawarkan diri sebagai suamiku, mengapa harus menolak?Tujuanku bukan harta, tapi aku ingin hidup layak. Membuat anakku keluar dsri penderitaannya. Dan, membuat Mas Wiji, merasa menyesal telah meninggalkanku."Fian," panggilku lagi."Iya, Bu.""Jangan sekali lagi bertanya hal pribadi. Karena aku tidak segan membuatmu mengundurkan diri."Wajahnya semakin pucat mendengar penuturanku. Biar saja dia kapok dan tidak banyak bertanya. Aku hanya ingin bekerja dengan profesional di sini."Maafkan, saya.""Ok, kembali ke ruanganmu."***Auditor telah memanggil akuntan di kantor sekaligus team mereka. Termaksud Mas Wiji, yang bertanggung jawab sebagai manager keuangan.Mereka semua terduduk lesu saat aku mengintrogasi mereka. Salah satu dari mereka bilang, hanya mengikuti perintah. Ck! Sama saja, jika mereka dapat uang dan menikmati hasilnya.Mas Wiji sengaja aku panggil ke ruanganku. Ayah dari anakku ini masih santai setelah semuanya terbukti. Namun, aku tahu dia pasti sangat cemas."Ada apa kamu mendatangkan auditor saat belum waktunya kantor ini di audit?" tanya Mas Wiji."Aku pemimpin di sini, bebas melakukan apa yang aku inginkan. Termaksud mengaudit keuangan perusahaan ini. Bahkan, menendang kamu dari sini." "Sombong sekali kumu, kamu pikir kau hebat?""Memang aku hebat, buktinya aku berada di atas kamu. Jangan lupa, dunia berputar. Jangan harap kamu bisa selamat dari masalah ini."Mas Wiji tertawa sinis, ia seperti menyepelekan aku. Kita lihat, Mas, aku atau kamu yang akan hancur "Aku bisa saja membawa kasus ini ke kantor polisi, tapi, aku masih berbaik hati padamu. Mulai hari ini, kamu kembali menjadi bawahan. Staff biasa, tanpa embel-embel jabatan." Aku menatap bengis pria yang telah menduakan cintaku.Mas Wiji menggebrak meja dengan keras. Wajahnya memerah, entah apa yang ia pikirkan sekarang. "Kamu nggak bisa seenaknya menurunkan jabatan aku!""Kenapa tidak, apa kamu mau aku buat langsung ke penjara?""Awas kamu, Sa!""Kamu mengancam aku? Aku nggak takut, Mas. Kamu harus merasakan saat aku terluntang lantung di jalan. Aku masih berbaik hati, tidak membuat kamu langsung menjadi gembel!"Aku tidak peduli, aku tahu resiko yang akan aku terima setelah ini. Aku pun sudah berencana mencari bodyguard untuk aku dan Mas Bambang. Mas Wiji ke luar dengan tampang kesal. Harusnya aku langsung memasukkannya ke dalam penjara. Akan tetapi, aku ingin melihatnya terpuruk perlahan. Rianti pun harus merasakan hidup seperti aku, gaji 100 persen Mas Wiji, akan berubah menjadi 50 persen. Selamat mengirit untuk kalian berdua. Apa masih bisa Rianti ke salon? Mobil yang di cicil Mas Wiji, aku pun tahu masih sisa satu tahun lagi. Rumah mewahnya, pun masih mencicil bank. Bagaimana, kejutan dariku, cukup untuk pemanasan.Baru saja ingin kembali bertemu dengan Auditor, Harlan tanpa permisi datang ke ruanganku. Pasti dia akan membahas tentang audit dadakan yang aku datangkan hari ini."Apa kamu tidak punya sopan santun, Harlan?""Halah, untuk apa berbaik hati padamu. Untuk apa kamu datangkan auditor tanpa sepengetahuanku?" "Untuk apa aku ijin padamu? Aku sudah bicara dengan Papamu. Hari ini aku mengungkap aliran dana yang tidak ada dalam anggaran. Harusnya kamu berterima kasih padaku."Harlan keras kepala sekali. Aku paham, ia masih tidak terima dengan apa yang aku lakukan di sini. Pria ini masih berpikir dirinya adalah CEO."Kamu lupa ingatan, aku sudah menurunkan jabatanmu menjadi wakilku. Lupa?"Harlan menatapku dengan tatapan tidak bisa diartikan. Entah, duda satu anak itu memang sangat arogan."Wanita serakah!" Ia berteriak seperti tak punya malu."Serakah? Aku atau kamu?" tanyaku dengan santai."Kamu tidak punya malu, menikah dengan pria sudah tua dan hanya ingin mendapatkan harta Papaku. Di mana otakmu?" "Otakku tetap di dalam kepala. Hanya saja, aku berpikir dengan jernih. Menikahi papamu itu dengan keikhlasan." Sedikit menaikkan dagu, aku ragu jika ia akan percaya dengan apa yang aku katakan."Ikhlas? Kamu itu racun dalam keluargaku," ujar Harlan."Kamu harusnya sadar, kalau saja kamu lebih perhatian dengan papa kamu, mungkin dia akan berbaik hati berbagi perusahaan denganmu. Jangan teruskan hidup hanya untuk bermain wanita. Ingat, anak kamu perempuan.""Jangan ceramah."Terserah kamu mau berkata apa. Harlan pergi dengan emosi. Anak Mas Bambang yang pertama memang sangat arogan. Padahal, Mas Bambang pernah cerita, Harlan dulu sangat perhatian, semenjak istrinya meninggal, ia semakin menggilai kerja dan wanita. Tak pernah perhatian pada Mas Bambang.Sungguh miris hidupnya. Ketiga anaknya yang lain berada di lain kota. Jangan salah mereka tiga wanita tangguh yang sekali melabrakku waktu itu. Hidup ini pilihanku, menjadi istri pria tua pun aku sudah memikirkan resikonya.Lebih keras dari Raya, yang sudah membuat aku geram. Namun, mereka tidak kembali lagi, karena suami mereka tidak ingin mereka ikut campur urusan sang papa.Salah satu dari mereka pun suatu saat akan kembali datang dan membuat aku kembali menyumpah serapah. Mereka tak tahu diri, orang tua sudah baik malah diabaikan. Anak macam apa itu? Hartanya mereka gerogoti, tapi tak mau mengurusi.Gegas aku merapikan pekerjaan, dan cepat untuk pergi karena Mas Bambang menelepon sudah berada di lobbi menungguku.***Bersambung...Di rumah sakit, Mas Bambang sangat semangat untuk bisa berjalan. Terapi pertamanya, membuat dia sedikit kelelahan. Akan tetapi, tidak mengendurkan semangatnya.Dibantu dokter dan suster, hari ini cukup baik. Setelah itu, kami kembali pulang ke rumah. Aku sengaja tidak ingin pergi ke mana-mana. Beristirahat karena memang sedang lelah melakukan banyak aktivitas.Otakku pun lelah menghadapi beberapa orang hari ini. Ah, tapi aku butuh refleksi. Sepertinya aku tahu kemana harus pergi merilekskan pikiran."Mas, kalau Mas pulang dengan Pak Ardi, nggak apa-apa?" tanyaku."Nggak masalah, memang kamu mau ke mana?""Ke salon sebentar, kepala agak sedikit pusing, enak kalau di pijat. Nanti, turunkan saja aku di salon, kalau mau pulang, aku minta Pak Ardi menjemputku, Mas.""Iya, sudah terserah kamu saja. Mas cuma bisa bilang hati-hati." Mas Bambang berpesan padaku.Pasti aku selalu hati-hati karena musuh akan semakin b
Tidurku malam ini tidak tenang memikirkan masalah kemarin. Siapa yang berbuat nekat seperti ini? Dia pikir aku akan menyerah begitu saja.Dengan mengumpulkan keberanian, aku tetap pergi ke kantor. Entah, ini adalah panggilan hati. Aku harus bisa melihat siapa musuhku. Seperti sudah dijanjikan temanku, seorang pengawal datang. Dia wanita cantik, bertubuh langsing.Namanya Irma. Dia sudah terlatih sebagai pengawal wanita. Kini, dia sudah bertugas sebagai sekretarisku. Sengaja aku minta ia menyamar agar tidak terlalu mencolok."Kamu siap, Irma?" tanyaku."Siap, Bu.""Kamu mengerti bukan, bagaimana menjadi sekretaris? Hmm ... dengan tampilan seperti ini, kamu tidak akan dikenali sebagai pengawalku," ucapku sambil melihat penampilan Irma sekarang."Bu Raisa, idenya keren. Selama saya menjadi pengawal, mereka hanya menganggap saya, ya pengawal. Jadi, saya tetap berpakaian seperti biasa seragam saja."
Aku tercekat saat menatap layarponsel.Jantung ini berdetak tak karuan, aku takut? Ya, siapa yang tidak takut saat mendapat pesan ini.Segera kutelepon Irma untuk datang ke ruanganku. Tidak lama wanita itu sudah menghadap. Kuberikanponselitu untuk dibaca oleh Irma."Irma, kamu tahu maksud ini?" tanyaku."Ini sebuah ancaman. Kita bisa melacak nomernya," jelas Irma.Irma terus memperhatikan sekeliling. Ia terus melangkah ke tiap sudut ruangan, sampai ia mendapatkan sesuatu yang membuat aku tercekat.Sebuah CCTV, siapa yang berani memasangnya? Irma mencabut kasar, ternyata wanita itu sangat jeli memperhatikan."Ir, kamu hebat. Bagaimanapun kamu tahu ada yang memasang ini?" tanyaku pelan."Aku sudah lama menjadi pengawal. Aku banyak tahu trik abal-abal seperti ini. Jangan takut, Bu Raisa. Ada saya yang akan menjaga Ibu."Aku tidak
Aku seperti melihat adegan filmaction. Irma ke luar dengan berani dari mobil menghampiri pria tak dikenal itu. Sungguh berani nyalinya, bahkan aku takut Irma terluka.Irma wanita tangguh yang pembera7. Ia sudah terbiasa mungkin denga hal itu.Astaga, pria itu hampir saja membuat Irma terjatuh, tetapi gadis itu lebih cepat menendang perut si penjahat. Ah, Irma, kenapa aku yang deg-degan di sini.Irma mengambil balok, lalu memukul tubuh pria itu. Tidak lama ia berhasil menundukkannya. Kaki Irma kini mantap berada di atas perut penjahat itu.Kubuka kaca mobil dan meneriaki Irma untuk cepat masuk ke mobil. Kulihat dia menarik penutup wajah pria itu, tetapi sepertinya aku tidak mengenalnya.Kulihat Irma menarik kerahnya, lalu beberapa kali menampar wajah pria itu. Keren, seperti melihat adegan dalam sebuah film.Sepertinya Irma akan melakukan sesuatu. Dia mengambil tali di sampingnya. Lalu, mengikat
Aku harus mencari tahu siapa dibalik semua ini. Rekaman itu harus kutemukan, jika tidak ingin berlarut dalam sebuah masalah. Aku menarik napas panjang, lalu mengambil tas danponsel.Segera kutelepon Irma untuk menungguku di kantor. Sepertinya aku harus menemui Mas Wiji, semoga saja bisa membuka kedok siapa yang ada di balik semua ini.Jika benar Mas Wiji yang melakukan itu padaku, kupastikan dia akan membusuk di penjara.Aku meminta Pak Ardi mengantarku ke kantor. Kebetulan, dia ada di rumah dan mobil sudah dibawa dari bengkel kemarin sore."Nyonya, yakin pergi sendiri?" tanya Pak Ardi cemas."Yakin, Pak. Kalau nggak, saya takut masalah akan berlarut."Setelah mendengar penjelasanku. Pak Ardi mengantarku ke kantor, ada rasa takut juga terjadi hal semacam kemarin. Begitu juga Pak Ardi yang sangat cemas."Pak, sebelumnya apa pernah kejadian ini menimpa Mas Bambang?" tanyaku.
Mas Bambang masih saja diam sampai hari ini. Mumet sekali kepalaku. Kenapa harus berhubungan dengan Mas Wiji? Menyebalkan sekali akibat pria itu aku terkena masalah. Lagi pula, pintar sekali mencari celah untuk membuat aku terlihat memiliki hubungan dengan Mas Wiji."Masuk," ucapku saat mendengar orang mengetuk pintu.Pria yang aku pikirkan kini berada di hadapanku. Mau apalagi dia di sini? Kupasang wajah tidak suka padanya. Namun, ia sepertinya tidak peduli. Datang ke ruanganku, pasti ingin membuat kegaduhan."Sa,to the point'aja. Aku datang ke sini untuk meminta kembali jabatanku. Kamu pikir dengan gaji karyawan biasa aku bisa membayar semua pengeluaran aku?""Mana aku tahu tentang itu. Aku hanya melakukan dengan keinginanmu, kan Mas? Kemarin kamu memilih untuk turun jabatan.""Ck! Karena kamu memberikan aku pilihan sulit. Nggak mungkin aku memilih hidup di penjara.""Lebih bagus, kan. Ngg
Sesuai janji, Arfian mengajakku ke tempat yang menurutnya bisa membuat pikiran jernih. Sebelum pergi, Irma sudah mewanti-wanti aku agar jangan mematikanponsel.Irma mengatakan sesuatu bisa saja terjadi, maka dari itu aku harus waspada dannjangan sampai terjadi hal yang membuat aku menyesal.Perasaan ini tak karuan saat Mas Bambang meneleponku. Tak kuhiraukan, karena percuma suamiku akan bertanya macam-macam. Mungkin, fotoku bersama Arfian sudah masuk ke ponselmiliknya.Benar dugaanku, sebuah pesan darinya begitu keras. Ia mengirimkan sebuah foto aku saat memasuki mobil Arfian. Aku menarik napas panjang, setelah itu kubaca pesan darinya.[Mas kecewa][Kamu tidak tulus]Aku menghela napas mencoba untuk meraup pasokan oksigen. Aku tahu ini menyakitkan bagimu, Mas. Namun,semua kulakukan untuk membuktikan jika aku tidak salah.Maaf, Mas. Ini demi nama baik aku yang terlanjur salah di matamu. Ak
PoV IrmaTiba-tiba saja koneksi Bu Raisa menghilang. Sementara, ia bersama Arfian yang sangat berbahaya. Kucoba untuk meneleponnya.Ah, pasti dia masih berdekatan dengan Arfian, sampai tidak mengangkat telepon dariku. Semoga saja Bu Raisha tidak apa-apa. Salahku kenapa tidak mengikutinya dari belakang. Kupikir, Arfian terlalu licik untuk hal ini.Kucoba mengirimkan pesan pada Bu Raisha. Syukurlah, ia sudah membaca dan membalas. Namun, sepertinya aku telat memberitahukannya.[Arfian tidak mau berhenti. Bagaimana ini Irma?]Dalam pekerjaan ini aku tidak pernah kecolongan. Kali ini aku sangat menyesal melepas Bu Raisa sendiri menjalankan misinya.Seperti yang dia katakan, beberapa foto sudah berada di tangan Pak Bambang. Sepertinya aku harus bergegas ke rumahnya sebelum ia berpikiran terlalu jauh.Aku tidak bisa tenang saat Bu Raisha tidak membalas pesan terakhir dariku.
Ibunya Rianti memeluk Raisha dengan berlinang air mata. Wanita tua itu tidak menyangka jika putrinya sudah meninggal. Setelah penguburan yang tidak memakan waktu banyak, Raisha kembali ke rumah Budenya."Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" tanya wanita tua itu.Suasana masih sangat berkabung. Raisha kembali berpikir ulang untuk menceritakan kejadian semula. Mereka masih sangat berduka dan tidak mungkin bisa mendengar cerita Raisha."Sa, ceritakan pada Bude." Wanita tua itu memulai memaksa."Bude, nanti saja. Kalian masih berduka, aku tidak mungkin bercerita tentang hal itu." Sebisa mungkin Raisha menolak."Tolong." Wanita itu terus memohon.Setelah memohon berulang kali pada Raisha, akhirnya wanita tua itu menjerit mendengar kelakuan Rianti sebelum meninggal. Ia berulang kali memukul dada yang sesak. Tak tahan, Raisha memeluk Bude dengan pedih. Itu sudah masa lalu dan ia pun sudah memaafkan Rianti.Ibunya Rianti tidak menyangka
Raisha merebahkan tubuh di kasur setelah lelah membuat Rianti terpojok. Ia sudah tenang karena wanita itu sudah mau di pulangkan ke kampung. Setelah berdebat panjang lebar dan Rianti tidak bisa menolak lagi.Akhirnya satu masalah terselesaikan.Bambang masuk ke kamar setelah pulang dari rumah Harlan. Wajahnya masih sangat tegang saat emosi memuncak membuat dirinya harus meminum obat untuk menenangkan diri."Mas, sini aku pijitin," ujar Raisa pada suaminya."Nggak usah, Sa. Kamu juga lelah sepertinya." Bambang menolak karena melihat Raisah pun sudah lelah."Sa, waktu penyelidikan audit, kamu memeriksa Harlan juga?""Iya, kenapa?""Apa yang kamu temukan tentang dia?""Tidak ada hal aneh. Dia bersih."Bambang menggeleng. Tidak mungkin Harlan bisa bersih, sedangkang Wiji saja bisa tertangkap auditor. Ia kembali mengambilponsel,lalu mencoba menghubungi beberapa audito
"Makan yang banyak, aku tahu kamu sudah lama nggak makan enak," cibir Raisha.Rianti tidak memperdulikan ucapan Raisha. Kini, hanya makanan enak di hadapannya yang begitu menarik. Raisha pun paham dengan sikap Rianti karena ia pernah menjadi seperti dia."Kamu akan diantar pulang ke kampung."Rianti memberhentikan aktivitas makannya, lalu menantap bingung pada Raisha."Pulang ke mana?" Rianti bertanya balik."Kampung, bertemu dengan keluargamu. Untuk apa lagi kamu di sini? Apa kamu mau aku antar ke kelab malam itu?""Ja--jangan, Sa." Makanan dari mulutnya hampir saja ke luar saat ia berbicara.Raisha tertawa renyah melihat Rianti yang sangat takut dengan ancamannya. Dia pikir Raisha akan membawanya ke rumah besar suami barunya. Namun, ternyata tidak. Setelah makan, Rianti dititipkan di rumah Irma setelah itu besok akan diantarkan oleh supir."Apa aku bisa tinggal di rumah kamu sementara saj
Bambang menghapiri Raisha di kamar, pria itu mengelus lembut telapak tangan sang istri, lalu mengecupnya. Ia merasa menyesal sempet tidak percaya dan seolah-olah berpikir sang istri sedang berhalusinasi.Pria itu berjanji akan melakukan apa pun untuk membuat Raisha bahagia. Walaupun dia tidak bisa melindunginya secara langsung, setidaknya akan ada banyak yang menjaganya.Bambang kembali ke ruang kerja dan berbicara empat mata dengan Heri. Tidak lama Irma datang untuk ikutmeetingdengan mereka tanpa sepengetahuan Raisha."Maksud kamu Wiji bebas bersyarat?" tanya Bambang."Iya, Pak. Sudah beberapa hari Bu Raisha seperti diteror, tetapi Wiji berbuat seolah-olah Ibu berhalusinasi."Bambang berpikir sejenak dengan apa yang dituturkan Irma. Kalau benar, berarti kejadian tadi memang nyata. Dan, Wiji sangat pintar membuat semua orang percaya kalau Raisha itu berhalusinasi.Sampai dirinya saja tidak p
Keduanya terkesiap melihat mobil terbakar. Tubuh Raisha mendadak lemas, lututnya pun tak mampu bangkit dari duduknya. Sementara Irma, menarik napas panjang dan bergegas menelepon pihak polisi."Bu, tenang."Kalimat itu selalu Irma lontarkan kala melihat Raisha cemas. Hal ini tidak bisa didiamkan karena sudah masuk kriminal. Irma membantu Raisha duduk di pinggir jalan. Masih dengan kondisi sangat syok, Raisha hanya bisa terdiam."Ini sudah kriminal, Bu. Saya sudah telepon polisi untuk menuntaskan semua.""Bagiamana kita melaporkan ke polisi, sedangkan mereka saja menutupi jika Wiji sudah ke luar dari penjara? Apa kamu yakin mereka akan menindak jika memang ada persekongkolan?"Irma membenarkan apa yang dituturkan Raisha. Kini, dia harus memutar otak untuk mencari tahu semuanya. Sepertinya memang benar ada persekongkolan orang dalam hingga membuat mereka mudah membuat pihak Raisha panik."Saya pikirkan lagi, yang
Raisha sudah mulai pergi ke kantor menyelesaikan beberapa hal yang harus diselesaikan olehnya. Ia melangkah masuk ke lobi, beberapa karyawan mulai menyapanya.Dia masuk ke dalam lift, lalu tidak lama masuk seorang pria mengenakan jaket hoodie ikut masuk ke lift. Raisha tidak memperhatikannya semula, tetapi pria itu memangilnya dan membuatnya tersentak."Mas Wiji?" Tubuhnya bergetar hebat saat tahu pria yang harusnya di penjara itu kini berada di sampingnya."Kamu akan membalas semua yang telah kamu perbuat padaku. Perlahan, tapi pasti."Lift terbuka, Raisha langsung bergegas meningalkan Wiji. Wajah putihnya berubah menjadi pasi, ia melangkah dengan cepat ke ruangan Irma untuk memberitahukan apa yang ia lihat tadi."Ada apa Bu Raisha?" Irma bertanya saat melihat Raisha begitu cemas."Mas Wiji mengancamku!""Mengancam? Bagaimana bisa, kan dia ada di penjara?""A--aku, nggak tahu. Tiba-tiba sa
Bambang sudah kembali tenang setelah Harlan ke luar dari ruangan itu. Raisha sangat cemas dengan keadaan sang suami sampai ingin turun dari kasurnya."Diam di sana, saya nggak apa-apa."Raisha kembali ke tempatnya. Ia tak berani mendekati Bambang.Bambang masih terus memegangi dada yang masih terasa sesak. Bisa saja dia terkena serangan jantung mendadak kalau tidak mengatur emosinya. Harlan benar-benar membuat Bambang naik darah dan membuatnya hampir mati. Mungkin itu yang diinginkannya.Memang benar kata Harlan kalau masalah tidak ada habisnya. Namun, semua bukan karena adanya Raisha di sisinya. Melainkan mereka yang selalu membuat masalah.Terpikir dibenak pria tua itu kalau dirinya tiba-tiba tidak bernyawa lagi. Apa yang akan dilakukan anak-anaknya pada Raisha? Bambang kembali menenangkan hatinya.Suatu saat Harlan akan melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan Raisha demi menduduki kursi kepemimpinan. Maka dar
"Tolong, tolong saya!" Rianti berteriak dengan lantang.Beberapa orang sudah berkumpul mengelilingi mereka. Pria itu semakin panik, sedangkan Rianti semakin kencang berteriak."Ada apa, Mba?""Pria ini mau menangkap saya dan dijadikan wanita bayaran, Mas. Tolong saya," ujar Rianti."Ngg--gak, jangan percaya." Pria itu mengelak saat semua warga sudah siaga menangkapnya.Rianti memang cerdik dalam mengambil simpati. Dia menangis di depan semua orang agar mereka Iba. Mereka semua berlari mengejar Joni yang sudah lari tunggang langgang.Beberapa Ibu-ibu menenangkan Rianti. Ada yang belas kasih memberikannya uang. Ada juga memberikan makanan. Sungguh rezeki tak terduga pikirnya.Rianti melangkah pergi. Dia yakin Joni tidak akan datang menemuinya. Sepertinya dia harus merubah diri menjadi seorang pria. Supaya tidak di goda oleh siapa pun atau preman sekitar."Ka, dapat banyak makanan tuh,"
POV 3POV 3Rianti berjalan terus sampai dia kelelahan. Kembali dia memegangi perut karena kelaparan. Dia mendekat ke arah anak-anak jalanan yang sedang makan."De, minta, makanannya boleh nggak?" Rianti bertanya seraya matanya tak henti memperhatikan makanan."Kalau mau, Kakak kerja. Masa minta sama aku.""Kerja apa?"Anak kecil itu menunjukkan karung dan alat mengambil botol. Rianti bergidik mendengar penuturan anak kecil itu. Sebelum melakukan, dia sudah bergidig ngeri. Seumur hidupnya, dia tidak menyangka akan melakukan hal seperti itu."Itu kalau Kakak mau, kalau nggak, tahan aja tuh perut." Tawa anak kecil itu membuat Rianti kesal.Benar yang dikatakan anak itu, Rianti akan kelaparan jika tidak makan, dan salah satu cara mendapatkan makanan itu adalah dengan bekerja. Namun, dia kembali teringat saat dirinya mengejek Raisha."Duh, hidupmu sial sekali, ya.