Semua dewan direksi ikut dalam rapat dadakan yang diadakan Mas Bambang. Ia memperkenalkan aku sebagai CEO perusahaan ini. Semua mata memandang seperti mengejek.
Tak sedikit juga memandang sinis. Aku tidak peduli. Terutama, Harlan yang kini turun jabatan menjadi bawahanku. Entah ini keputusan benar atau tidak.Aku menegakkan tubuh, saat netra ini bersirobok dengan Mas Wiji. Aku tahu kamu pasti kaget saat ternyata aku menjadi seorang yang tinggi derajatnya di atas kamu.Akan kubuat menyesal kamu, Mas.
"Perkenalkan, ini istri saya, Raisa. Semua yang berhubungan dengan perusahaan langsung ditangani oleh Raisa." Mas Bambang memperkenalkan aku pada karyawannya."Senang, berjumpa dengan kalian. Semoga saya bisa bekerja sama dengan kalian," ucapku. "Pa, tidak bisa seperti itu!" teriak Harlan. "Semua keputusan tidak bisa diganggu gugat. Ingat, saya yang memiliki kuasa di sini." Walaupun sudah tua, Mas Bambang kembali bisa bersikap tegas.Sebelumnya, ia tidak berdaya. Hanya mengurung diri di kamar. Hidup dengan meminum obat tanpa memiliki keinginan hidup lebih panjang.Tidak banyak yang disampaikan oleh Mas Bambang. Rapat selesai, dan mereka satu persatu meninggalkan ruangan."Saya ke toilet dulu, Mas.""Iya."Aku berjalan ke toilet, tetapi jalanku terhalang oleh Mas Wiji. Ia menarik tanganku dengan kencang, dan membawaku ke lorong kantor yang sepi."Lepaskan aku!" pekikku sembari melepas cengkeramannya."Sa, ini kamu, Raisa?" tanyanya."Iya, ini aku. Memang kenapa?" Aku sudah mengetahui pasti dia akan berusaha mendekatiku."Ka--kamu kenapa bisa menikah dengan Pak Bambang. Kamu gila, usia dia lebih tua dari kamu. Jauh sekali, Sa."Aku mengangkat dagu, aku rasa dia hanya mengejekku. Menikah dengan Mas Bambang memang keinginanku. Dan aku menikahinya dengan ikhlas. Walaupun sudah tua, ia lebih baik dari pada Mas Wiji. Persetan dengan gunjingan orang."Aku nggak gila. Aku sadar, usianya lebih tua memang, tapi dia lebih baik dari pada kamu.""Sa, aku tahu, aku salah. Maafkan aku, Sa."Apa? Maaf? Enteng sekali dia bicara hal itu. Apa ia lupa saat berselingkuh dengan wanita sialan itu? Ck! "Enak saja kamu bilang maaf, permisi aku masih banyak keperluan."Ia menahanku, menarik lengan ini hingga aku tersudut di pojokan. Sialan, mau apa Mas Wiji?Aku mencoba berontak, tetapi ia sangat kuat."Kamu berbeda dari yang dulu, Sa. Cantik, andai kamu dulu seperti ini. Mungkin aku tidak akan berpaling.""Aku masih beruntung bisa lepas dari kamu, pria yang hanya mengungkap kecantikan sang istri, tanpa mau memberikan lebih.""Kamu berubah cantik pasti uang dari Bambang, kan?" "Iya, kenapa?"Mas Wiji bergeming. Entah, apa yang kini ada dipikirannya. Dalam hidupnya hanya ada wanita yang sempurna. Akan tetapi, ia tidak sadar dirinya tidak berguna."Di mana Arman?""Kamu menanyakan di mana Arman? Dia aman, tidak perlu kamu tanyakan. Selama ini pun kamu tidak peduli dengannya. Untuk apa bertanya."Hati ini perih, saat ia menanyakan Arman. Kemana ia saat kami kelaparan? Aku tidak bisa mengatakan betapa menderitanya kami. Arman selalu merengek meminta makan telur, tapi yang ada aku kembali memberikannya nasi bercampur garam. Atau tempe yang aku beli dengan harga 2.000 di warteg.Aku tak henti mengumpat mantan suamiku yang bejat. Saat aku menjadi itik buruk rupa, ia mencampakkan aku, kini ketika angsa ini berubah menjadi cantik. Seolah ia lupa pernah mencampakkanku."Apa pedulimu, hah?""Kamu sendiri yang tidak mau memberikan Arman padaku.""Tidak akan, Mas. Bisa-bisa anakku mati di tangan gundikmu!""Enak saja bicara kamu.""Bisa apa dia, sekarang pun aku yakin kalian belum memiliki anak."Aku menarik napas pajang. Wajah Mas Wiji sudah pucat, segera aku tinggalkan saja dia. Air mata ini harusnya tidak menetes, tapi aku teringat saat sulit dulu. Saat ia membuangku.***"Belum puas kamu menikah dengan Papaku, sekarang kamu membuat dia memberikan perusahaan ini untukmu, hebat sekali kamu, Raisa." Harlan kini membuat aku sakit kepala. Pria paruh baya itu sudah tua, tapi tidak punya pikiran. Andai ia mau merawat ayahnya, pasti Pak Bambang tidak memberikan hartanya untukku. Mereka hanya mengincar harta. Tanpa mau peduli dengan orang tunya. Bahkan, mereka terlihat sangat senang jika Pak Bambang meninggal. Mereka belum tahu jika semua aset sudah jatuh atas namaku. "Aku memang hebat, asal Pak Harlan tahu, semua bukan kemauanku. Ini murni keinginan dari Pak Bambang.""Halah, wanita licik."Aku tidak mau menanggapinya. Bisa-bisa seluruh kantor memperhatikan kami. Segera aku menghindar darinya. Mas Bambang sudah menungguku di mobil. Hari ini cukup perkenalanku, dan puas sudah membuat Mas Wiji kapok. Ini belum seberapa Mas, lihat besok apa yang akan kulakukan."Sudah, Sa?" tanya Mas Bambang."Sudah, Mas. Kita mau kemana lagi?" tanyaku. "Saya mau ke rumah sakit, kamu mau mengantar saya?" Tanpa harus ditanya pun aku akan mengantar kemana ia mau. "Iya, Mas.""Arfian, terima kasih."Pria muda itu menunduk. Lalu, membantu Mas Bambang masuk ke dalam mobil. Arfian mengulas senyum padaku.Mas Bambang tidak banyak bicara, aku pun belum bercerita tentang Mas Wiji. Aku takut membuat ia tidak enak hati. "Jangan pernah percaya pada siapa saja di perusahaan itu.""Termaksud, Arfian?""Iya.""Bukannya, Mas percaya sama dia?""Awalnya sangat percaya, tapi saya pikir jangan percaya pada siapa pun.""Sama saya juga begitu?""Tidak. Saya percaya sama kamu, kalau kamu mau, saat ini kamu bisa mengusir saya jika kamu mengincar harta saya."Netraku sudah berembun. Pantas saja mereka menyebutku kacang lupa kulitnya. Memang, jika mereka tidak menerimaku menjadi suster pengasuh Papa mereka, pastilah aku masih menggembel di jalan. Tidak tahu juga bagaimana nasib Arman kala itu. Akhirnya air mata ini tumpah membasahi pipi."Raisa nggak tahu kalau nggak ada keluarga Mas, mungkin kami masih tidur diemperan jalan."Lagi, aku menangis tergugu di hadapan Mas Bambang. Anakku senang saat ia memasuki rumah besar milik Mas Bambang.Bahkan, ia kembali ceria saat menemukan kasur empuk di kamar. Kembali aku mengingat celoteh Arman."Bu, kita bisa tidur di kasur. Arman sakit badannya tidur di emperan. Arman juga takut kenapa-kenapa sama Ibu makanya Arman nggak pernah tidur."Aku mengusap sudut mata, celotehannya membuat aku menangis. Tidak menyangka, jika ia begitu menjaga Ibunya."Sudah, Sa."Tepukan halus di pundakku membuat aku tersadar dari lamunan. Ini memang takdirku, kesulitan yang kualami membuat aku kuat dalam menjalani hidup. Sekarang bukan Mas Wiji saja yang kuhadapi, tapi kelima anak Mas Bambang. Kuat, Sa, aku harus kuat. ***Bersambung...Aku senang dengan perkembangan Mas Bambang. Dokter bilang banyak perubahan, Mas Bambang terlihat segar dan sudah bisa berkomunikasi dengan baik. Tidak seperti saat belum ada aku.Dokter Ramzi bertanya apa yang aku lakukan untuk membuat Mas Bambang menjadi lebih bugar. Aku tidak melakukan apa pun. Karena, Mas Bambang memiliki semangat hidup yang tinggi."Pak Bambang, perkembangannya baik sekali. Makanannya di kontrol, ya. Raisa sangat hebat membantu kesembuhan Anda," puji Dokter Ramzi.Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan dokter. Sebelumnya, Dokter Ramzi bilang, Mas Bambang tertekan dengan semua keadaan. Tidak adasupportdari keluarga. Ia menjadi murung dan membuatnya tidak sehat."Kamu bisa saja Ramzi. Istriku ini yang membuat aku lebih muda dari kamu," ucap Mas Bambang."Wah, hebat. Saya selalu doakan, kalian selalu bahagia. Raisa, jangan lupa obat-obatan Pak Bambang harus selalu dikonsumsi deng
Suasana masih memanas kala Raya masih menatapku tajam sambil memegangi pipinya. Aku tidak tahan saat mereka menyebutku hanya mengeruk harta kekayaan Mas Bambang.Anak seperti Raya wajar mendapat pengajaran dariku. Ucapannya sangat tidak pantas di dengar.Aku menikah dengan Mas Bambang dengan ikhlas. Walaupun cinta itu belum ada, tetapi aku bersungguh-sungguh merawat Mas Bambang. Aku berharap, cinta itu akan tumbuh di hati ini.Raya cukup berani datang ke rumah ini untuk melabrakku. Aku mengusap wajah dengan kasar. Maafkan aku, Mas, telah berbuat kasar pada anakmu. Akan tetapi, ia harus mendapatkan pengajaran agar tidak kurang ajar."Lebih baik kamu pulang, papa mau istirahat," ujar Mas Bambang."Pa, Raya nggak banyak meminta, tapi buka mata Papa. Wanita itu tidak pantas untuk menjadi istri Papa. Usianya hampir seumuran dengan anak Papa." Raya bersikeras membuat Mas Bambang menceraikan aku."Lalu, siapa yang pantas u
Sengaja aku datang pagi untuk memeriksa data tentang anggaran yang dananya begitu besar itu. Kutelusuri semua berkas yang berhubungan dengan anggaran besar yang begitu saja ada di laporan keuangan.Kuteliti lagi, tapi aku membutuhkan beberapastaff auditor.Kutelepon Arfian untuk datang ke ruangan. Tidak lama pria muda itu datang."Jangan panggil saya Nyonya. Ibu saja," pintaku karena dia kemarin memanggilku Nyonya.""Iya, Bu.""Tolong telepon auditor yang biasa mengurusi laporan keuangan. Tolong datang hari ini, bisa?" tanyaku memastikan."Sebentar saya telepon."Aku menunggu beberapa saat Arfian menelepon. Aku menggeleng saja, kenapa Mas Wiji seberani itu dalam bertindak. Berengsek sekali dia membuat aku menahan uang belanja dengan irit. Sementara, uang gaji sebesar itu dia gunakan sendiri."Bu, mereka akan datang siang ini. Adabyang bisa saya bantu lagi?" tanyanya."Ti
Di rumah sakit, Mas Bambang sangat semangat untuk bisa berjalan. Terapi pertamanya, membuat dia sedikit kelelahan. Akan tetapi, tidak mengendurkan semangatnya.Dibantu dokter dan suster, hari ini cukup baik. Setelah itu, kami kembali pulang ke rumah. Aku sengaja tidak ingin pergi ke mana-mana. Beristirahat karena memang sedang lelah melakukan banyak aktivitas.Otakku pun lelah menghadapi beberapa orang hari ini. Ah, tapi aku butuh refleksi. Sepertinya aku tahu kemana harus pergi merilekskan pikiran."Mas, kalau Mas pulang dengan Pak Ardi, nggak apa-apa?" tanyaku."Nggak masalah, memang kamu mau ke mana?""Ke salon sebentar, kepala agak sedikit pusing, enak kalau di pijat. Nanti, turunkan saja aku di salon, kalau mau pulang, aku minta Pak Ardi menjemputku, Mas.""Iya, sudah terserah kamu saja. Mas cuma bisa bilang hati-hati." Mas Bambang berpesan padaku.Pasti aku selalu hati-hati karena musuh akan semakin b
Tidurku malam ini tidak tenang memikirkan masalah kemarin. Siapa yang berbuat nekat seperti ini? Dia pikir aku akan menyerah begitu saja.Dengan mengumpulkan keberanian, aku tetap pergi ke kantor. Entah, ini adalah panggilan hati. Aku harus bisa melihat siapa musuhku. Seperti sudah dijanjikan temanku, seorang pengawal datang. Dia wanita cantik, bertubuh langsing.Namanya Irma. Dia sudah terlatih sebagai pengawal wanita. Kini, dia sudah bertugas sebagai sekretarisku. Sengaja aku minta ia menyamar agar tidak terlalu mencolok."Kamu siap, Irma?" tanyaku."Siap, Bu.""Kamu mengerti bukan, bagaimana menjadi sekretaris? Hmm ... dengan tampilan seperti ini, kamu tidak akan dikenali sebagai pengawalku," ucapku sambil melihat penampilan Irma sekarang."Bu Raisa, idenya keren. Selama saya menjadi pengawal, mereka hanya menganggap saya, ya pengawal. Jadi, saya tetap berpakaian seperti biasa seragam saja."
Aku tercekat saat menatap layarponsel.Jantung ini berdetak tak karuan, aku takut? Ya, siapa yang tidak takut saat mendapat pesan ini.Segera kutelepon Irma untuk datang ke ruanganku. Tidak lama wanita itu sudah menghadap. Kuberikanponselitu untuk dibaca oleh Irma."Irma, kamu tahu maksud ini?" tanyaku."Ini sebuah ancaman. Kita bisa melacak nomernya," jelas Irma.Irma terus memperhatikan sekeliling. Ia terus melangkah ke tiap sudut ruangan, sampai ia mendapatkan sesuatu yang membuat aku tercekat.Sebuah CCTV, siapa yang berani memasangnya? Irma mencabut kasar, ternyata wanita itu sangat jeli memperhatikan."Ir, kamu hebat. Bagaimanapun kamu tahu ada yang memasang ini?" tanyaku pelan."Aku sudah lama menjadi pengawal. Aku banyak tahu trik abal-abal seperti ini. Jangan takut, Bu Raisa. Ada saya yang akan menjaga Ibu."Aku tidak
Aku seperti melihat adegan filmaction. Irma ke luar dengan berani dari mobil menghampiri pria tak dikenal itu. Sungguh berani nyalinya, bahkan aku takut Irma terluka.Irma wanita tangguh yang pembera7. Ia sudah terbiasa mungkin denga hal itu.Astaga, pria itu hampir saja membuat Irma terjatuh, tetapi gadis itu lebih cepat menendang perut si penjahat. Ah, Irma, kenapa aku yang deg-degan di sini.Irma mengambil balok, lalu memukul tubuh pria itu. Tidak lama ia berhasil menundukkannya. Kaki Irma kini mantap berada di atas perut penjahat itu.Kubuka kaca mobil dan meneriaki Irma untuk cepat masuk ke mobil. Kulihat dia menarik penutup wajah pria itu, tetapi sepertinya aku tidak mengenalnya.Kulihat Irma menarik kerahnya, lalu beberapa kali menampar wajah pria itu. Keren, seperti melihat adegan dalam sebuah film.Sepertinya Irma akan melakukan sesuatu. Dia mengambil tali di sampingnya. Lalu, mengikat
Aku harus mencari tahu siapa dibalik semua ini. Rekaman itu harus kutemukan, jika tidak ingin berlarut dalam sebuah masalah. Aku menarik napas panjang, lalu mengambil tas danponsel.Segera kutelepon Irma untuk menungguku di kantor. Sepertinya aku harus menemui Mas Wiji, semoga saja bisa membuka kedok siapa yang ada di balik semua ini.Jika benar Mas Wiji yang melakukan itu padaku, kupastikan dia akan membusuk di penjara.Aku meminta Pak Ardi mengantarku ke kantor. Kebetulan, dia ada di rumah dan mobil sudah dibawa dari bengkel kemarin sore."Nyonya, yakin pergi sendiri?" tanya Pak Ardi cemas."Yakin, Pak. Kalau nggak, saya takut masalah akan berlarut."Setelah mendengar penjelasanku. Pak Ardi mengantarku ke kantor, ada rasa takut juga terjadi hal semacam kemarin. Begitu juga Pak Ardi yang sangat cemas."Pak, sebelumnya apa pernah kejadian ini menimpa Mas Bambang?" tanyaku.
Ibunya Rianti memeluk Raisha dengan berlinang air mata. Wanita tua itu tidak menyangka jika putrinya sudah meninggal. Setelah penguburan yang tidak memakan waktu banyak, Raisha kembali ke rumah Budenya."Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" tanya wanita tua itu.Suasana masih sangat berkabung. Raisha kembali berpikir ulang untuk menceritakan kejadian semula. Mereka masih sangat berduka dan tidak mungkin bisa mendengar cerita Raisha."Sa, ceritakan pada Bude." Wanita tua itu memulai memaksa."Bude, nanti saja. Kalian masih berduka, aku tidak mungkin bercerita tentang hal itu." Sebisa mungkin Raisha menolak."Tolong." Wanita itu terus memohon.Setelah memohon berulang kali pada Raisha, akhirnya wanita tua itu menjerit mendengar kelakuan Rianti sebelum meninggal. Ia berulang kali memukul dada yang sesak. Tak tahan, Raisha memeluk Bude dengan pedih. Itu sudah masa lalu dan ia pun sudah memaafkan Rianti.Ibunya Rianti tidak menyangka
Raisha merebahkan tubuh di kasur setelah lelah membuat Rianti terpojok. Ia sudah tenang karena wanita itu sudah mau di pulangkan ke kampung. Setelah berdebat panjang lebar dan Rianti tidak bisa menolak lagi.Akhirnya satu masalah terselesaikan.Bambang masuk ke kamar setelah pulang dari rumah Harlan. Wajahnya masih sangat tegang saat emosi memuncak membuat dirinya harus meminum obat untuk menenangkan diri."Mas, sini aku pijitin," ujar Raisa pada suaminya."Nggak usah, Sa. Kamu juga lelah sepertinya." Bambang menolak karena melihat Raisah pun sudah lelah."Sa, waktu penyelidikan audit, kamu memeriksa Harlan juga?""Iya, kenapa?""Apa yang kamu temukan tentang dia?""Tidak ada hal aneh. Dia bersih."Bambang menggeleng. Tidak mungkin Harlan bisa bersih, sedangkang Wiji saja bisa tertangkap auditor. Ia kembali mengambilponsel,lalu mencoba menghubungi beberapa audito
"Makan yang banyak, aku tahu kamu sudah lama nggak makan enak," cibir Raisha.Rianti tidak memperdulikan ucapan Raisha. Kini, hanya makanan enak di hadapannya yang begitu menarik. Raisha pun paham dengan sikap Rianti karena ia pernah menjadi seperti dia."Kamu akan diantar pulang ke kampung."Rianti memberhentikan aktivitas makannya, lalu menantap bingung pada Raisha."Pulang ke mana?" Rianti bertanya balik."Kampung, bertemu dengan keluargamu. Untuk apa lagi kamu di sini? Apa kamu mau aku antar ke kelab malam itu?""Ja--jangan, Sa." Makanan dari mulutnya hampir saja ke luar saat ia berbicara.Raisha tertawa renyah melihat Rianti yang sangat takut dengan ancamannya. Dia pikir Raisha akan membawanya ke rumah besar suami barunya. Namun, ternyata tidak. Setelah makan, Rianti dititipkan di rumah Irma setelah itu besok akan diantarkan oleh supir."Apa aku bisa tinggal di rumah kamu sementara saj
Bambang menghapiri Raisha di kamar, pria itu mengelus lembut telapak tangan sang istri, lalu mengecupnya. Ia merasa menyesal sempet tidak percaya dan seolah-olah berpikir sang istri sedang berhalusinasi.Pria itu berjanji akan melakukan apa pun untuk membuat Raisha bahagia. Walaupun dia tidak bisa melindunginya secara langsung, setidaknya akan ada banyak yang menjaganya.Bambang kembali ke ruang kerja dan berbicara empat mata dengan Heri. Tidak lama Irma datang untuk ikutmeetingdengan mereka tanpa sepengetahuan Raisha."Maksud kamu Wiji bebas bersyarat?" tanya Bambang."Iya, Pak. Sudah beberapa hari Bu Raisha seperti diteror, tetapi Wiji berbuat seolah-olah Ibu berhalusinasi."Bambang berpikir sejenak dengan apa yang dituturkan Irma. Kalau benar, berarti kejadian tadi memang nyata. Dan, Wiji sangat pintar membuat semua orang percaya kalau Raisha itu berhalusinasi.Sampai dirinya saja tidak p
Keduanya terkesiap melihat mobil terbakar. Tubuh Raisha mendadak lemas, lututnya pun tak mampu bangkit dari duduknya. Sementara Irma, menarik napas panjang dan bergegas menelepon pihak polisi."Bu, tenang."Kalimat itu selalu Irma lontarkan kala melihat Raisha cemas. Hal ini tidak bisa didiamkan karena sudah masuk kriminal. Irma membantu Raisha duduk di pinggir jalan. Masih dengan kondisi sangat syok, Raisha hanya bisa terdiam."Ini sudah kriminal, Bu. Saya sudah telepon polisi untuk menuntaskan semua.""Bagiamana kita melaporkan ke polisi, sedangkan mereka saja menutupi jika Wiji sudah ke luar dari penjara? Apa kamu yakin mereka akan menindak jika memang ada persekongkolan?"Irma membenarkan apa yang dituturkan Raisha. Kini, dia harus memutar otak untuk mencari tahu semuanya. Sepertinya memang benar ada persekongkolan orang dalam hingga membuat mereka mudah membuat pihak Raisha panik."Saya pikirkan lagi, yang
Raisha sudah mulai pergi ke kantor menyelesaikan beberapa hal yang harus diselesaikan olehnya. Ia melangkah masuk ke lobi, beberapa karyawan mulai menyapanya.Dia masuk ke dalam lift, lalu tidak lama masuk seorang pria mengenakan jaket hoodie ikut masuk ke lift. Raisha tidak memperhatikannya semula, tetapi pria itu memangilnya dan membuatnya tersentak."Mas Wiji?" Tubuhnya bergetar hebat saat tahu pria yang harusnya di penjara itu kini berada di sampingnya."Kamu akan membalas semua yang telah kamu perbuat padaku. Perlahan, tapi pasti."Lift terbuka, Raisha langsung bergegas meningalkan Wiji. Wajah putihnya berubah menjadi pasi, ia melangkah dengan cepat ke ruangan Irma untuk memberitahukan apa yang ia lihat tadi."Ada apa Bu Raisha?" Irma bertanya saat melihat Raisha begitu cemas."Mas Wiji mengancamku!""Mengancam? Bagaimana bisa, kan dia ada di penjara?""A--aku, nggak tahu. Tiba-tiba sa
Bambang sudah kembali tenang setelah Harlan ke luar dari ruangan itu. Raisha sangat cemas dengan keadaan sang suami sampai ingin turun dari kasurnya."Diam di sana, saya nggak apa-apa."Raisha kembali ke tempatnya. Ia tak berani mendekati Bambang.Bambang masih terus memegangi dada yang masih terasa sesak. Bisa saja dia terkena serangan jantung mendadak kalau tidak mengatur emosinya. Harlan benar-benar membuat Bambang naik darah dan membuatnya hampir mati. Mungkin itu yang diinginkannya.Memang benar kata Harlan kalau masalah tidak ada habisnya. Namun, semua bukan karena adanya Raisha di sisinya. Melainkan mereka yang selalu membuat masalah.Terpikir dibenak pria tua itu kalau dirinya tiba-tiba tidak bernyawa lagi. Apa yang akan dilakukan anak-anaknya pada Raisha? Bambang kembali menenangkan hatinya.Suatu saat Harlan akan melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan Raisha demi menduduki kursi kepemimpinan. Maka dar
"Tolong, tolong saya!" Rianti berteriak dengan lantang.Beberapa orang sudah berkumpul mengelilingi mereka. Pria itu semakin panik, sedangkan Rianti semakin kencang berteriak."Ada apa, Mba?""Pria ini mau menangkap saya dan dijadikan wanita bayaran, Mas. Tolong saya," ujar Rianti."Ngg--gak, jangan percaya." Pria itu mengelak saat semua warga sudah siaga menangkapnya.Rianti memang cerdik dalam mengambil simpati. Dia menangis di depan semua orang agar mereka Iba. Mereka semua berlari mengejar Joni yang sudah lari tunggang langgang.Beberapa Ibu-ibu menenangkan Rianti. Ada yang belas kasih memberikannya uang. Ada juga memberikan makanan. Sungguh rezeki tak terduga pikirnya.Rianti melangkah pergi. Dia yakin Joni tidak akan datang menemuinya. Sepertinya dia harus merubah diri menjadi seorang pria. Supaya tidak di goda oleh siapa pun atau preman sekitar."Ka, dapat banyak makanan tuh,"
POV 3POV 3Rianti berjalan terus sampai dia kelelahan. Kembali dia memegangi perut karena kelaparan. Dia mendekat ke arah anak-anak jalanan yang sedang makan."De, minta, makanannya boleh nggak?" Rianti bertanya seraya matanya tak henti memperhatikan makanan."Kalau mau, Kakak kerja. Masa minta sama aku.""Kerja apa?"Anak kecil itu menunjukkan karung dan alat mengambil botol. Rianti bergidik mendengar penuturan anak kecil itu. Sebelum melakukan, dia sudah bergidig ngeri. Seumur hidupnya, dia tidak menyangka akan melakukan hal seperti itu."Itu kalau Kakak mau, kalau nggak, tahan aja tuh perut." Tawa anak kecil itu membuat Rianti kesal.Benar yang dikatakan anak itu, Rianti akan kelaparan jika tidak makan, dan salah satu cara mendapatkan makanan itu adalah dengan bekerja. Namun, dia kembali teringat saat dirinya mengejek Raisha."Duh, hidupmu sial sekali, ya.