Bagaskara terdiam sendiri di sudut kamar, pikirannya menerawang pada masa lalu saat dia pertama kali menggauli tubuh indah Sarita. Memang diujung juniornya tidak terdapat noda darah sedikitpun, tetapi rasa nikmat dan sempit begitu membuat dia merasa ketagihan. Rasa yang tidak sama saat dia menyentuh tubuh wanita lainnya yang biasa menemani ranjang."Rasa yang terkadang membuatku gila, tetapi sesuatu sudah menodai kepercayaanku," gumam Bagaskara."Apakah memagbenar anak itu adalah daah dagingku, tetapi jika bukan mengapa kau erasa ada yang berbeda dari tatapan mata indah itu?" Bagaskara masih terus bermonolog membayangkan jika anak itu adalah darah dagingnya.Cukup lama Bagaskara berdiri di sudut ruang itu hingga ingatannya tertuju pada Mbok Marni. Maka senyum tipis pun terbit di bibir pria itu. Gegas dia keluar dari kamarnya dan menuju ke rumah belakang tempat Mbok Marni tinggal selama ini di mansion tersebut bersama para pelayan lainnya.Bagaskara pun melangkah cepat menuju ke rumah
"Ada apa, Mbok?" tanya Bagas."Tidak ada, Den. Semua sudah terjadi, maka biarkan mengalir apa adanya. Jangan diusik lagi, kasihan hidupnya yang selalu susah!" kata Marni datar."Tetapi jika benar itu Sarita, berarti anak itu darah dagingku, Mbok!" kata Bagas dengan nada lugas."Bisa jadi, tetapi bukankah dulu Aden yang menolaknya bahkan mengusir dengan tuduhan jual badan!" kata Marni.Bagaskara diam. Dia sadar dan ingat benar apa yanh diucapkan pada Sarita. Saat itu hatinya sedang diliputi emosi, bagaimana tidak emosi jika istrinya sedang memadu kasih di ruang kerja ibunya dalam keadaan baju atas basah kuyub. Satu lagi, posisi Sarita saat itu duduk dipangkuan pria lain dalam keadaan dipeluk.Simbok hanya tersenyum sinis melihat reaksi anak majikannya itu. Sebenarnya wanita tua itu tahu setiap perkembangan anak asuhnya, tetapi dia enggan bicara jujur. Marni juga sadar jika Sarita berasal dari keluarga kaya raya. Namun, Marni ingin tahu sejauh apa perjuangan Bagas untuk mendapatkan hak
Semua terlihat sibuk dengan acaranya sendiri, bahkan Sarita masih menghadap laptop meski jam sudah menunjukan pukul tujuh pagi. "Mama, ayo berangkat sudah jam tujuh!" rengek Alifian."Iya, Sayang. Ini kurang dikit lagi!" "Ini sudah jam tujuh lho, Ma. Nanti Alif terlambat," keluh Alifian."Sini biar om yang antar Alif sekolah. Sepertinya mama sedang sibuk," kata Saga.Alifian pun segera meraih tapak tangan mamanya untuk diciumnya, setelah itu giliran mencium kedua pipi Sarita. Wanita itu pun segera menghentikan gerak jari jemarinya yang sejak tadi menari di atas tuts."Iih anak mama kok manja ya, ada apa ini?' tanya Sarita.Alifian tersenyum, kemudian kepalanya menggeleng pelan. Ditatapnya manik mata sang ibu dengan sendu, lalu bibirnya tersenyum tipis."Jangan kerja terlalu keras, Mam. Bukankah semua sudah terpenuhi oleh paman Saga?" tanya Alifian."Yee tidak boleh seperti itu juga, Alif. Om saga juga butuh uang itu untuk keperluan hidup suatu hari nanti dengan istri dan anaknya," k
"Apa maksud Anda?" tanya Sarita saat berbalik badan.Kedua mata pria itu seketika membola, dia tidak menyangka bahwa wanita itu adalaj manyam istrinya."Sarita! Apa ini kamu, lalu apaa maksud semua ini?" tanya Bagas Seorang wanita cantik berjalan cepat menuju ke Bagas. Dia langsung memeluk lengan sang pria dan tersenyum penuh kemenangan atas kebersamaan dia dan Bagas."Ada apa, Sayang? Apakah wanita ini tidak mampu membeli produk kamu dan melakukan komplain?" cerca Ni Luh."Maaf, untuk furnitur seperti ini bukan kelas saya. Ini saja ingin aku retur ke perusahaan asalnya."Bagaskara seketika menatap tajam oada manik biru milik Sarita. Dia tidak percaya dengan kalimat yang lolos dari bibir seksi di depannya."Di retur, apa maksudnya? Lalu apa hak mu hingga semudah itu mengucapkan kata retur pada barang sebagus ini?" cerca Bagaskara."Tuan Bagaskara yang terhormat! Barang Anda adalah palsu," kata Sarita datar.Bagaskara semakin terlihat emosi. Barang yang masih baru dan mulus dicap seba
Terlihat tawa bahagia anak laki-laki yang masih balita. Sesekali Bagas memeluk bocah aktif itu. Alifian sangat menikmati kebersamaannya dengan Bagas, pria dewasa yang baru saja menjadi teman mainnya."Bagaimana Jagoan, apakah kamu sudah cukup bermainnya?" tanya Bagaskara."Boleh, aku sudah lapar dan haus!" "Baik, kita ke resto dulu. Kamu ingin makan apa?" "Bagaimana jika nasi goreng seafood, Paman? Sudah lama mama tidak masak itu untukku," keluh Alifian.Bagaskara mengangguk, dengan sekali hentak tubuh mungil itu sudah berada dalam dekapannya. Alifian tampak tenang bahkan terlihat seperti memeluk ayahnya posesif. Bagaskara begitu menikmati kebersamaan itu hingga tidak menyadari waktu terus berjalan.Pada awalnya, pria itu hanya meminta waktu dua jam bersama Alifian sambil menunggu jam pulang sekolah. Namun, akibat keasyikan bermain membuat pria dewasa itu lupa waktu. Semua baru teringat saat perut si kecil berbunyi."Wah nyaring sekali bunyinya? Sepeertinya cacing di perut pada dem
Apa yang dikhawatirkan oleh Sarita terjadi juga, Saga mendengar bahwa ponakannya belum pulang dari sekolah dan tidak ada juga di sekolah. Seketika emosinya naik, segera semua anak buahnya dikerahkan untuk mencari keberadaan Alifian.Telepon Sarita berdering, gegas wanita itu merogoh ponselnya yang dia simoan di dalam tas kerjanya. Kedua matanya membola kala di layar tertera nama Saga."Iya, Saga!" kata Sarita datar."Apa kamu juga berniat sembunyikan sesuatu padaku, Sarita?" tanya Saga dingin."Apa yang bisa Sarita sembunyikan dari Abangnya, Hem!""Lalu mengapa kamu masih diam dan santai hadapi masalah ini, apa kamu tidak khawatir jika putramu hilang selamanya, Hah!"Sarita terkekeh lirih, hal itu membuat dengus kasar di seberang. Sangat bisa dibayangkan oleh Sarita wajah Saga yang datar dan dingin dengan sedikit semburat merah akibat menahan emosi."Sudahlah, biarkan saja. Nanti juga akan dia antar pulang, Saga!" "Berarti kamu tahu saat ini Alifian bersama dengan siapa?""Tidak, han
Semeentara di ruang kerja dalam sebuah gedung tinggi, seorang pria sedang termenung menatap luar. Pandangannya terlihat kosong."Sudah lama aku mencari keberadaanmu, Sarita. Kini setelah kutemukan mengapa justru tumbuh rasa ini!" gumam pria itu."Rasanya tidak mungkin jika rasa ini terbalaskan, sepeertinya cinta untuk pria itu masih ada!" lanjutnya masih bermonolog.Saat sedang melamun sambil membayangkan wajah seorang wanita yang akhir-akhir ini menemani harinya, terdengar suara dering telepon yang menandakan adanya panggilan masuk. Segera kakinya bergerak menuju ke meja di mana benda pipih itu berbunyi."Hallo, katakan saja apa maumu!"Saga, pria itu bernama Sagara. Tanpa banyak bicara pria itu langsung ke inti tujuan pebicara yang ada di seberang. Mendengar semua informasi penelepon, Saga langsung memutus sambungan dan tangannya meraih kunci mobil dan dompetnya."Oper janji temu dengan klien dua jam ke depan. Aku ada perlu penting!" kata Sagara pada sekretarisnya saat dia melewati
"Apakah jawaban ini penting buatmu, Saga?"Sagara hanya menatap dalam manik mata wanita di depannya dengan bibir tertutup rapat. Sarita membalas tatapan itu dengan sorot sendu nan lembut."Bisa dikatakan penting, bahkan levelnya naik," jawab Sagara."Apalah arti sebuah nama bagimu, Saga. Itu tidak akan mampu menghentikan setiap langkahmu. Aku sangat paham bagaimana kau jalankan pion itu," kata Sarita datar.Saga tersenyum tipis yang masih terlihat jelas oleh penglihatan Sarita. Kemudian perempuan itu bangkit dari duduknya dan menghempaskan bobot di samping kanan Saga yang kosong. Disentuhnya pipi pria itu dan kepalanya mendekat, lalu ... Cup!Saga terhenyak kaget, tetapi responnya datang terlambat. Karena Sarita sudah berdiri dan berjalan kembali ke meja kerjanya. Wanita itu pun meraih tas selempang dam memakainya."Aku akan jemput Alifian sebelum pria itu mengambilnya lagi. Apakah kamu ikit atau masih duduk di sana?" tanya Sarita.Sagara segera bangkit dari duduknya dan berjalan men
Sarita terbangun masih dalam pelukan Sagara, bahkan sinar mentari pagi sudah menyapa lembut kulitnya. Dia sedikit terkejut saat ujung kakinya tersentuh oleh buih air. "Dimana aku?""Sudah bangun? Lihatlah, sinar jingga menghiasi langit timur!"Sarita bangkit dari posisinya, dia berdiri menatap sinar jingga sambil merentangkan kedua lengannya. Dadanya terlihat naik perlahan menandakan sedang menghirup udara. Sagara ikut berdiri dan berjalan mengikis jarak, lalu dipeluknya tubuh Sarita dan berbisik, "Bagaimana dengan tawaranku semalam, Sayang?"Sagara meletakkan kepalanya pada ceruk lerer Sarita dan mulai menghidu aroma yang sudah membuatnya candu. Telapak tangan Sarita pun bergerak mengusap kepala Sagara. Wanita itu menyunggar surai rambut sang lelaki, kemudian menekannya lembut. Sarita merasa nyaman dengan setiap sentuhan Sagara, tetapi sisi hatinya yang lain masih enggan untuk menyambut cinta yang ditawarkan. "Akankah kau selalu ada untukku?" tanya Sarita lembut. Tidak ada jawaba
Di antaranya bukti keterlibatan Madam Anne atas kematian Alinsky Waluyo. Meskipun dari hasil pemeriksaan, Alinsky dinyatakan meninggal karena kecelakaan tunggal.Akan tetapi, pada fakta yang ditemukan, Alinsky meninggal karena luka parah yang dideritanya setelah kecelakaan yang dialaminya, dan yang lebih mengejutkan ternyata kecelakaan tersebut dipicu karena rem blong sebab tali rem mobil Alinsky telah dipotong. Tidak hanya itu saha, Madam Anne bahkan memerintahkan seseorang untuk membuat sebuah rekaman palsu yang menceritakan bahwa Alinsky pergi dari rumah Pradipta dengan seorang pria. Kemudian dengan segala tipu daya dan rayuan, Madam Anne pun mendekati Pradipta yang tengah terluka dan kehilangan Alinsky serta calon anak yang masih berada di kandungan Alinsky untuk selamanya. Pradipta yang merasa kecewa dengan sikap Alinsky pun perlahan mulai termakan omongan Madam Anne muda dan bersedia menikahi Madam Anne beberapa bulan setelah kepergian Alinsky yang tanpa kabar tersebut.Yang
Sarita terdiam, wanita itu menatap pada Sagara begitu juga sebaliknya. Hanya Alifian yang terlihat asyik sendiri tanpa beban. Kemudian dia beranjak meninggalkan kedua orang dewasa menuju ke teras rumah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan apakah keduanya sudah berjalan. Namun, hingga kaki kecil sampai di ambang pintu kedua orang dewasa belum juga terlihat membuat Alifian berteriak memanggil bundanya. "Sebaiknya kita antar dulu putra kamu itu, Sari. Setelahnya baru ke butik bahas lebih lanjut," kata Sagara sambil meraih jemari Sarita dan menautkan pada jemarinya. Sarita terdiam mengikuti semua pergerakan Sagara wanita itu sama sekali tidak menolak ataupun menghindar. Hingga sampai di depan Alifian pun tautan jemari mereka tidak terlepas. "Masuklah bersama Alif di belakang, Sari!"Sarita segera masuk menyusul putranya dan duduk di samping Alifian. Pria kecil menatap bundanya sekilas lalu berpaling ke samping melihat jalanan yang mulai padat. Mobil berjalan perlaha
Tangan kanan Sagara mengepal erat, sebuah bogem mentah sudah hendak dihadiahkannya untuk Bagaskara. Namun, diurungkan karena ada jemari lentik yang menghentikan niatan tersebut. Sagara memalingkan wajah ke samping. Tampak pemilik jari tersebut menggelengkan kepala sambil menyuguhkan senyum lembut yang mampu melelehkan hatinya. Emosi Sagara seketika menguap begitu saja, sementara Bagaskara semakin merasa geram karena mantan istri malah memberikan senyum terbaik pada laki-laki selain dirinya. Gelap mata! Itu yang dirasakan Bagaskara saat ini. Penuh emosi, Bagas menarik bahu pria yang lima tahun lebih tua tersebut. Giginya gemeretuk, rahangnya mengencang, mata pun sudah memerah, dan detik berikutnya ... Bugh! Bagas meninju rahang Sagara yang langsung terhuyung. Sungguh beruntung, pengendalian keseimbangan pria itu cukup baik sehingga dia tidak sampai terjatuh hanya sedikit oleng saja. Sagara ingin membalas Bagas, tetapi Sarita dengan cepat menarik tangan Sagara. Sambil memberikan s
Aknat dan Bagas refleks saling bertukar pandang saat mendengar pertanyaan hakim ketua. Apa maksud hakim ketua dengan mempermainkan? Kenapa lelaki jelang senja itu bisa berkata demikian? Jangan-jangan .... Didorong oleh rasa penasaran, Aknat pun bermaksud kembali maju untuk memeriksa ulang apakah ada kesalahan yang tidak disengajanya saat menyerahkan bukti ketidakberesan Sarita sebagai ibu. Akan tetapi, baru saja mengangkat tubuhnya dari kursi, ketua majelis hakim yang terhormat sudah mengangkat tangan -- melarangnya untuk maju. Akhirnya, dengan penuh kebingungan, Aknat menuruti perintah ketua majelis sidang. Sambil bertanya-tanya, Aknat menatap hakim ketua dan Bagaskara bergantian. Pemuda itu bahkan hanya bisa mengedikkan bahu ketika Bagaskara menanyakan hal tersebut padanya. Ketua majelis hakim yang terhormat masih menatap Aknat dan Bagaskara dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Pria yang sudah berprofesi menjadi hakim selama dua puluh tahun tersebut merasa terhina. "Apa maksud
Keesokkan paginya tidak jauh dari sebuah rumah mewah bercat putih, tampak sebuah city car berwarna hitam. Pengemudi city car tersebut tampak serius mengamati rumah mewah yang dijaga ketat oleh seorang petugas keamanan. "Aku harus bisa masuk ke rumah itu untuk mencari berkas-berkas penting yang mereka sebutkan kemarin. Hanya saja bagaimana ya caranya?"Pemuda tersebut memutar otaknya -- mencari cara agar dia bisa masuk ke dalam rumah mewah dan menjalankan misinya tanpa ketahuan oleh penghuni rumah. Dia pun memeriksa seluruh penjuru mobilnya. Elfrada mengobrak-abrik seluruh isi dashboard mobil dan menemukan dua buah benda yang diyakini bisa membantu meloloskan niatnya masuk ke dalam rumah target. Dengan keyakinan penuh, lelaki tersebut mempersiapkan diri. Setelah semua siap, dia kembali mengawasi rumah mewah yang hanya selisih dua rumah dari tempatnya. Beberapa menit kemudian, tampaklah sebuah mobil mewah dan elegan berwarna silver metalik keluar dari halaman rumah tersebut. Dengan
Pria muda berkaca mata hitam itu segera meluncur pergi dari depan rumah Bagaskara, dengan kecepatan tinggi pemuda tersebut memacu kendaraan roda empat yang dikemudikannya. Di tengah perjalanan pria itu menelepon seseorang, "Bos, tadi saya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Bagaskara, istrinya, dan kedua pengacara mereka melalui sebuah penyadap. Saya mendengar mereka mempunyai sebuah bukti yang akan bisa dipakai menekan dan mengalahkan Nyonya Sarita di pengadilan.""Bukti apa dan siapa yang membawa bukti tersebut?" tanya lawan bicara pria muda yang ditugaskan menjadi kata-kata tersebut. "Saya masih belum mendapatkan informasi bukti seperti apa yang dimaksud, hanya saja saya tahu siapa yang sudah menyimpan bukti tersebut." Info pemuda tersebut sambil terus mengemudikan kendaraan roda empatnya. Sementara itu, di tempat lain lawan bicara pria muda tersebut tampak sedang memikirkan strategi apa yang akan diambilnya untuk menghancurkan Bagaskara dan istrinya, Ni Luh. Sosok tersebu
"Tenang, Tuan Bagas. Bersantailah sedikit, tidak perlu seemosi itu. Saya hanya bertanya saja pada Anda. Apakah Anda yakin dengan keinginan Anda mengenai hak asuh anak?" Ulang Aknat pada Bagaskara yang menatapnya lekat dan tajam."Apa perlu saya ulang jawaban saya agar Anda yakin pada apa yang menjadi keinginan saya?" Kini giliran Bagaskara membalik pertanyaan Aknat. Nada suaranya rendah dan dalam, terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah pada pemuda yang duduk di samping Ni Luh.Mendengar jawaban Bagaskara yang begitu penuh kemarahan yang tertahan, Ni Luh mengerutkan dahinya. Wanita itu merasa sedikit aneh dengan sikap suaminya ketika mendengar pertanyaan Aknat.Ni Luh mengamati manik tegas suaminya lekat-lekat. Dia merasa penasaran dengan jawaban dan sikap Bagaskara selanjutnya. Sementara itu, sikap Aknat tampak berbanding terbalik dengan Bagaskara yang tampak begitu emosi.Pria matang yang dikenalkan dengan nama Arswendo merasa tidak enak melihat situasi yang mulai tidak kondu
Saat hendak menikmati madu alami pintu dibuka oleh pelayan dengan membawa makanan yang sesuai pesanan juga dua orang tamu. Bagas dan Ni Luh segera memperbaiki cara duduknya. "Silakan saja dilanjut, kami dengan sabar menunggu, Tuan dan Nyonya!" ujar Aknat pengacara pribadi Ni Luh. "Kau jangan bikin malu, Nat. Usiamu masih jauh," dengus Ni Luh. Aknat hanya mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di depan Ni Luh sedangkan pria yang berusia matang ikut duduk di samping Aknat. Ni Luh menatap suaminya penuh tanya. Bagaskara tersenyum dan mempersilakan kedua tamunya untuk menyantap menu yang ada. Menu sederhana tetapi mewah. "Silakan makan, Tuan Berdua!""Apakah tidak lebih baik kita saling kenal dulu, Kak!" Pinta Ni Luh. "Saya Bagaskara sebagai suami dari Ibu Ni Luh Ayu. Ini pengacara saya, Bapak Arswendo!" ujar Bagaskara. Bagas mengenalkan diri dan pengacaranya pada pria muda di depan istrinya. Aknat yang sejak tadi terlihat santai segera menerima uluran tangan Bagas dengan itika