Sarita memutar kedua bola matanya dan menatap jengah pada Sagara, tetapi pria itu dengan santainya menjalankan mobilnya menuju ke butik. Dia bisa merasakan aura kesal dari wanita yang ada di sampingnya. Namun, Sagara masih fokus pada kepadatan jalan. Hingga akhirnya mobil memasuki area deretan ruko dimana butik Sarita ada. Mobil berwarna silver metalik dengan merek ternama terus malaju mencari tempat parkir yang kosong dan tempatnya tidak jauh dari butik. Akhirnya Sagara menemukan tempat kosong. Segera diparkirkan mobil tersebut dan dia turun untuk membukakan pintu bagi Sarita. "Sudah segera kamu menuju tempat meeting itu, kasian Sisil jika harus presentasi sendiri!" Sarita berkata sambil turun dari bangku penumpang. "Kau mengusirku, Cantik!"Seketika bola mata Sarita membeliak mendengar kata cantik terlontar dari mulut Sagara. Jika kata itu diberikan pada perempuan lain mungkin dia akan bahagia dan melonjak girang. Sayangnya kata cantik itu terucap untuk Sarita, jadi wanita itu ha
Bagas meletakkan tiga gelas jus di atas meja, Alifian yang sudah kehausan segera meraih salah satu gelas dan meneguknya hingga separo karena sedikit tersedak. Tangan perempuan itu terulur dan menggeser tubuhnya lebih dekat lalu menepuk punggung Alifian pelan. "Pelan saja minumnya, Sayang. Nah, sudah habiskan!" Suara perempuan itu begitu lembut dan manja masuk ke gendang telinga Alifian. "Kenalkan dulu, ini adalah Nona Ni Luh Ayu. Dia calon istri ketiga ayah dan itu artinya dia ibu kamu juga meski statusnya sekedar ibu tiri, Nak. Hormati dia selayaknya bunda kamu!"Ni Luh mengulurkan tangannya pada Alifian, pria kecil itu menyambut uluran tangan dengan sedikit berdecih. Sikap Alifian ini membuat Ni Luh tersenyum dan mengusap ujung kepala bocah itu. Alifian sendiri memutar kedua bola matanya malas meladeni sikap perempuan itu yang sok akrab. "Dimana kamarku, Ayah? Aku ingin rebahan sebentar sebelum kembali pulang," kata Alifian. Bagaskara tersenyum dan berdiri dari duduknya lalu men
Sore yang indah, senja masih setia temani sepinya rumah Sarita. Perempuan itu duduk bersama dengan Marni di taman belakang. Keduanya masih tenggelam pada pikirannya masing-masing apalagi setelah Sarita menceritakan kegiatannya seharian ini bersama Sagara tanpa Alifian. Keduanya terhenyak kaget saat terdengar suara notif dari ponsel Sarita. "Segera buka, Nduk. Moga dari Alifian!"Sarita menuruti apa yang diperintahkan oleh simboknya, lalu dibukanya dinding chatnya dengan Alifian. Kedua matanya seketika menyimpit membaca isi chat putranya itu. "Bagaimana bisa dia menulis kata sepanjang ini, sejak kapan?" Sarita berkata dengan nada yang rendah bahkan cenderung berbisik. "Memangnya kamu itu bicara apa to, Nduk?""Ah, ini lho, Mbok, si Fian minta dijemput dari rumah bapaknya," jelas Sarita. "Iya kamu jemput to, gampang 'Kan!"Sarita diam, dia sedikit ragu untuk mengatakan semua yang ada di pikirannya. Namun, Marni mengerti apa yang membuat risau hati putri angkatnya itu, "Semua pasti ad
Sagara menatap Sarita, lalu mengulas senyum tipis. Diraihnya telapak tangan wanita itu dan mengusapnya lembut. Jantung Sarita seketika berdetak lebih cepat dari biasanya bahkan mungkin wajahnya bersemu merah akibat malu mulai menyapa hati. "Bersabarlah beberapa jam ke depan, kita pasti jemput Alifian. Hai ... Ada apa dengan wajahmu?"Sarita menunduk menyembunyikan wajahnya lalu menarik pelan telapak tangannya dari genggaman Saga. Tetapi jemarinya justru dikaitkan dengan jemari pria itu. Semua perlakuan Sagara malam ini membuat Marni tersenyum kemudian wanita tua itu beranjak dari duduknya. "Sepertinya aku harus istirahatkan otak dan badanku bila berada di antara kalian. Pikirkan sendiri bagaimana caranya membawa pulang Alifiannya. Selama malam!"Sarita menatap kepergian Marni lalu berpaling pada Sagara, "Tuh, gara-gara kamu, Saga!""Kok jadi aku, dimana salahku?""Ini!" jawab Sarita sambil mengangkat tangannya yang jari-jemari saling terkait dengan jari Sagara. Lelaki tampan dan ma
Sagara menatap lembut wanitanya, dia tidak tahan melihat kesedihan bergelayut di wajah Sarita. Perlahan dibimbing wanita yang sudah membuat hatinya luluh menuju ke teras rumah dan mendudukkan pada bangku di taman menghadap jalan. Sarita hanya diam mengikuti apa saja yang diinginkan oleh sepupunya tersebut. Setelah duduk di taman, kepalanya tengadah menatap langit malam, "Apakah Alifian bisa tidur di bawah tekanan?""Apakah kamu yakin jika putramu dalam keadaan tertekan, Sari? Kita belum tahu pasti." Saga berkata sambil berjongkok menatap manik mata cokelat, "Tidak mungkin seorang ayah berniat mencelakai putranya, bahkan seekor hewanpun mempertaruhkan nyawanya untuk keselamatan sang putra.""Bukan itu maksud aku, mungkin dia tidak nyaman dengan semua kondisi di sana hingga ingin segera dijemput," ungkap Sarita dengan nada sendu. "Jangan banyak berpikir dan membuat praduga yang belum tentu kebenarannya." Sagara bangkit dan duduk di samping Sarita lalu meriah jemarinya dan menggenggam
Mobil porche hitam mulus meluncur membelah malam kota Semarang. Sagara membawa mobilnya dengan kecepatan sedang menuju ke alamat yang tertera di ponsel Sarita. Sebuah arah jalan yang cukup ramai tetapi daerah subur dan ramah lingkungan. Akhirnya mobil memasuki area perumahan mewah dengan lebel Amazon Regency, sesekali ekor mata Sagara melirik ponsel Sarita untuk memastikan nama jalan dan nomer rumah Bagaskara, "Apakah ini rumahnya?"Sarita melihat sekitarnya, lalu tersenyum tipis seakan ada yang dia sembunyikan. "Cukup besar dan mewah!""Bagaimana, apa malam ini juga kita jemput Alifian, Sari?""Tidak perlu aku ada rencana lain yang mungkin lebih seru, kemarikan telinga kamu, Saga!"Sagara pun mengikuti apa yang diinginkan oleh Sarita, didekatkan cupingnya lalu menyimak apa yang dikatakan Sarita. Bibir pria itu mengulas senyum dan mengangguk pelan kemudian menjalankan mobilnya berbalik arah menuju ke rumah Sarita. Perjalanan malam yang lengang membuat mobil segera sampai ke alamat y
Sagara terlihat gelisah menunggu Sarita keluar dari kamarnya, sesekali matanya menatap pada pintu kamar wanitanya bahkan melihat jam di pergelangan tangannya. Hal ini membuat Marni tersenyum penuh arti. Marni beranjak dari duduknya lalu berjalan ke wastafel untuk mencuci kedua tangannya. Setelahnya berjalan kembali ke meja makan. Wanita tua berbisik pada cuping Sagara, "Bersabarlah, Anak Muda!""Bukan soal itu, Nek. Waktu terus berjalan tidak lucu lah jika kondangan datangnya telat!"Marni tersenyum, lalu menepuk bahu Sagara. Lelaki yang diluaran terlihat bagitu garang tetapi saat bersama kelurga terkadang suka asal omongannya. Sikap ini yang membuat Marni gemes apalagi jika Saga mulai merayunya, wanita tua hanya mampu terkekeh renyah dengan gelengan kepala. "Mau kemana, Nek?" tanya Saga ketika dilihatnya Marni berjalan meninggalkan dia. "Ke teras rumah, mau lihat bunga yang bermekaran. Bosan lihat wajah mayun kamu itu!"Sagara terkekeh, dia pun akhirnya ikut beranjak dari duduknya
Sarita berjalan menjauh dari posisinya berdiri saat pemberkatan, dia menyelinap di antara tamu undangan hingga bertemu dengan petugas katering. "Maaf, hendak kemana, Nyonya?""Aku ingin ke toilet, tolong beri tahu dimana letaknya?""Lurus saja, tepat di sebelah tangga ada pintu kecil. Di sanalah kamar mandinya," ucap petugas itu. Lalu Sarita berjalan sesuai arahan wanita tadi, tetapi sesekali kepala Sarita menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan wanita muda. Sarita melihat sekelilingnya, setiap ruang yang ada di balik dekor dibukanya satu per satu untuk mencari keberadaan Alifian. Sikap Sarita yang dilihat oleh pelayan pribadi Bagaskara menjadi curiga, akhirnya dia menghampiri wanita itu, "Sedang mencari siapa Anda, Ibu Sarita?""Eh, Bi Ami. Saya hanya ingin melihat-lihat saja sekalian mencari Alifian. Apakah Bibi melihatnya?""Maaf, untuk keberadaan aden tidak semua orang boleh tahu apalagi Anda, Ibu Sarita yang terhormat.""Apa maksud kalimatmu itu, Bi Ami? Alifian adala
Sarita terbangun masih dalam pelukan Sagara, bahkan sinar mentari pagi sudah menyapa lembut kulitnya. Dia sedikit terkejut saat ujung kakinya tersentuh oleh buih air. "Dimana aku?""Sudah bangun? Lihatlah, sinar jingga menghiasi langit timur!"Sarita bangkit dari posisinya, dia berdiri menatap sinar jingga sambil merentangkan kedua lengannya. Dadanya terlihat naik perlahan menandakan sedang menghirup udara. Sagara ikut berdiri dan berjalan mengikis jarak, lalu dipeluknya tubuh Sarita dan berbisik, "Bagaimana dengan tawaranku semalam, Sayang?"Sagara meletakkan kepalanya pada ceruk lerer Sarita dan mulai menghidu aroma yang sudah membuatnya candu. Telapak tangan Sarita pun bergerak mengusap kepala Sagara. Wanita itu menyunggar surai rambut sang lelaki, kemudian menekannya lembut. Sarita merasa nyaman dengan setiap sentuhan Sagara, tetapi sisi hatinya yang lain masih enggan untuk menyambut cinta yang ditawarkan. "Akankah kau selalu ada untukku?" tanya Sarita lembut. Tidak ada jawaba
Di antaranya bukti keterlibatan Madam Anne atas kematian Alinsky Waluyo. Meskipun dari hasil pemeriksaan, Alinsky dinyatakan meninggal karena kecelakaan tunggal.Akan tetapi, pada fakta yang ditemukan, Alinsky meninggal karena luka parah yang dideritanya setelah kecelakaan yang dialaminya, dan yang lebih mengejutkan ternyata kecelakaan tersebut dipicu karena rem blong sebab tali rem mobil Alinsky telah dipotong. Tidak hanya itu saha, Madam Anne bahkan memerintahkan seseorang untuk membuat sebuah rekaman palsu yang menceritakan bahwa Alinsky pergi dari rumah Pradipta dengan seorang pria. Kemudian dengan segala tipu daya dan rayuan, Madam Anne pun mendekati Pradipta yang tengah terluka dan kehilangan Alinsky serta calon anak yang masih berada di kandungan Alinsky untuk selamanya. Pradipta yang merasa kecewa dengan sikap Alinsky pun perlahan mulai termakan omongan Madam Anne muda dan bersedia menikahi Madam Anne beberapa bulan setelah kepergian Alinsky yang tanpa kabar tersebut.Yang
Sarita terdiam, wanita itu menatap pada Sagara begitu juga sebaliknya. Hanya Alifian yang terlihat asyik sendiri tanpa beban. Kemudian dia beranjak meninggalkan kedua orang dewasa menuju ke teras rumah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan apakah keduanya sudah berjalan. Namun, hingga kaki kecil sampai di ambang pintu kedua orang dewasa belum juga terlihat membuat Alifian berteriak memanggil bundanya. "Sebaiknya kita antar dulu putra kamu itu, Sari. Setelahnya baru ke butik bahas lebih lanjut," kata Sagara sambil meraih jemari Sarita dan menautkan pada jemarinya. Sarita terdiam mengikuti semua pergerakan Sagara wanita itu sama sekali tidak menolak ataupun menghindar. Hingga sampai di depan Alifian pun tautan jemari mereka tidak terlepas. "Masuklah bersama Alif di belakang, Sari!"Sarita segera masuk menyusul putranya dan duduk di samping Alifian. Pria kecil menatap bundanya sekilas lalu berpaling ke samping melihat jalanan yang mulai padat. Mobil berjalan perlaha
Tangan kanan Sagara mengepal erat, sebuah bogem mentah sudah hendak dihadiahkannya untuk Bagaskara. Namun, diurungkan karena ada jemari lentik yang menghentikan niatan tersebut. Sagara memalingkan wajah ke samping. Tampak pemilik jari tersebut menggelengkan kepala sambil menyuguhkan senyum lembut yang mampu melelehkan hatinya. Emosi Sagara seketika menguap begitu saja, sementara Bagaskara semakin merasa geram karena mantan istri malah memberikan senyum terbaik pada laki-laki selain dirinya. Gelap mata! Itu yang dirasakan Bagaskara saat ini. Penuh emosi, Bagas menarik bahu pria yang lima tahun lebih tua tersebut. Giginya gemeretuk, rahangnya mengencang, mata pun sudah memerah, dan detik berikutnya ... Bugh! Bagas meninju rahang Sagara yang langsung terhuyung. Sungguh beruntung, pengendalian keseimbangan pria itu cukup baik sehingga dia tidak sampai terjatuh hanya sedikit oleng saja. Sagara ingin membalas Bagas, tetapi Sarita dengan cepat menarik tangan Sagara. Sambil memberikan s
Aknat dan Bagas refleks saling bertukar pandang saat mendengar pertanyaan hakim ketua. Apa maksud hakim ketua dengan mempermainkan? Kenapa lelaki jelang senja itu bisa berkata demikian? Jangan-jangan .... Didorong oleh rasa penasaran, Aknat pun bermaksud kembali maju untuk memeriksa ulang apakah ada kesalahan yang tidak disengajanya saat menyerahkan bukti ketidakberesan Sarita sebagai ibu. Akan tetapi, baru saja mengangkat tubuhnya dari kursi, ketua majelis hakim yang terhormat sudah mengangkat tangan -- melarangnya untuk maju. Akhirnya, dengan penuh kebingungan, Aknat menuruti perintah ketua majelis sidang. Sambil bertanya-tanya, Aknat menatap hakim ketua dan Bagaskara bergantian. Pemuda itu bahkan hanya bisa mengedikkan bahu ketika Bagaskara menanyakan hal tersebut padanya. Ketua majelis hakim yang terhormat masih menatap Aknat dan Bagaskara dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Pria yang sudah berprofesi menjadi hakim selama dua puluh tahun tersebut merasa terhina. "Apa maksud
Keesokkan paginya tidak jauh dari sebuah rumah mewah bercat putih, tampak sebuah city car berwarna hitam. Pengemudi city car tersebut tampak serius mengamati rumah mewah yang dijaga ketat oleh seorang petugas keamanan. "Aku harus bisa masuk ke rumah itu untuk mencari berkas-berkas penting yang mereka sebutkan kemarin. Hanya saja bagaimana ya caranya?"Pemuda tersebut memutar otaknya -- mencari cara agar dia bisa masuk ke dalam rumah mewah dan menjalankan misinya tanpa ketahuan oleh penghuni rumah. Dia pun memeriksa seluruh penjuru mobilnya. Elfrada mengobrak-abrik seluruh isi dashboard mobil dan menemukan dua buah benda yang diyakini bisa membantu meloloskan niatnya masuk ke dalam rumah target. Dengan keyakinan penuh, lelaki tersebut mempersiapkan diri. Setelah semua siap, dia kembali mengawasi rumah mewah yang hanya selisih dua rumah dari tempatnya. Beberapa menit kemudian, tampaklah sebuah mobil mewah dan elegan berwarna silver metalik keluar dari halaman rumah tersebut. Dengan
Pria muda berkaca mata hitam itu segera meluncur pergi dari depan rumah Bagaskara, dengan kecepatan tinggi pemuda tersebut memacu kendaraan roda empat yang dikemudikannya. Di tengah perjalanan pria itu menelepon seseorang, "Bos, tadi saya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Bagaskara, istrinya, dan kedua pengacara mereka melalui sebuah penyadap. Saya mendengar mereka mempunyai sebuah bukti yang akan bisa dipakai menekan dan mengalahkan Nyonya Sarita di pengadilan.""Bukti apa dan siapa yang membawa bukti tersebut?" tanya lawan bicara pria muda yang ditugaskan menjadi kata-kata tersebut. "Saya masih belum mendapatkan informasi bukti seperti apa yang dimaksud, hanya saja saya tahu siapa yang sudah menyimpan bukti tersebut." Info pemuda tersebut sambil terus mengemudikan kendaraan roda empatnya. Sementara itu, di tempat lain lawan bicara pria muda tersebut tampak sedang memikirkan strategi apa yang akan diambilnya untuk menghancurkan Bagaskara dan istrinya, Ni Luh. Sosok tersebu
"Tenang, Tuan Bagas. Bersantailah sedikit, tidak perlu seemosi itu. Saya hanya bertanya saja pada Anda. Apakah Anda yakin dengan keinginan Anda mengenai hak asuh anak?" Ulang Aknat pada Bagaskara yang menatapnya lekat dan tajam."Apa perlu saya ulang jawaban saya agar Anda yakin pada apa yang menjadi keinginan saya?" Kini giliran Bagaskara membalik pertanyaan Aknat. Nada suaranya rendah dan dalam, terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah pada pemuda yang duduk di samping Ni Luh.Mendengar jawaban Bagaskara yang begitu penuh kemarahan yang tertahan, Ni Luh mengerutkan dahinya. Wanita itu merasa sedikit aneh dengan sikap suaminya ketika mendengar pertanyaan Aknat.Ni Luh mengamati manik tegas suaminya lekat-lekat. Dia merasa penasaran dengan jawaban dan sikap Bagaskara selanjutnya. Sementara itu, sikap Aknat tampak berbanding terbalik dengan Bagaskara yang tampak begitu emosi.Pria matang yang dikenalkan dengan nama Arswendo merasa tidak enak melihat situasi yang mulai tidak kondu
Saat hendak menikmati madu alami pintu dibuka oleh pelayan dengan membawa makanan yang sesuai pesanan juga dua orang tamu. Bagas dan Ni Luh segera memperbaiki cara duduknya. "Silakan saja dilanjut, kami dengan sabar menunggu, Tuan dan Nyonya!" ujar Aknat pengacara pribadi Ni Luh. "Kau jangan bikin malu, Nat. Usiamu masih jauh," dengus Ni Luh. Aknat hanya mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di depan Ni Luh sedangkan pria yang berusia matang ikut duduk di samping Aknat. Ni Luh menatap suaminya penuh tanya. Bagaskara tersenyum dan mempersilakan kedua tamunya untuk menyantap menu yang ada. Menu sederhana tetapi mewah. "Silakan makan, Tuan Berdua!""Apakah tidak lebih baik kita saling kenal dulu, Kak!" Pinta Ni Luh. "Saya Bagaskara sebagai suami dari Ibu Ni Luh Ayu. Ini pengacara saya, Bapak Arswendo!" ujar Bagaskara. Bagas mengenalkan diri dan pengacaranya pada pria muda di depan istrinya. Aknat yang sejak tadi terlihat santai segera menerima uluran tangan Bagas dengan itika