POV Pram5 bulan kemudian ....Aku menatap lembaran kertas yang bertuliskan akta perceraian aku dengan Sherly. Aku tidak menyangka selama 4 tahun aku bisa bertahan dengan wanita iblis macam dia. Rumah yang dibangun bersama-sama dengan mudahnya ia menjual tanpa persetujuan denganku dan tidak memberi uang sepeserpun hasil jual rumah.Aku mencari ke mana-mana keberadaannya yang tidak kunjung ketemu dan tiba-tiba sebuah kertas tiba di rumah kontrakan.Kurang ajar sekali dia mempermainkanku. Belum cukup dia mempermainkanku kini dengan sombongnya melayangkan akta cerai kepadaku. Aku kehilangan semua secara bersamaan, Mobil kesayanganku sudah ditarik oleh leasing. Bahkan aku sudah menjadi pengangguran satu bulan yang lalu setelah tanggunganku lunas. Aku melemparkan akta cerai itu asal. Semua adalah masa lalu. Setidaknya dibalik ini ada keuntungan untukku agar bisa segera menikahi Clara secara sah Agama ataupun hukum.Aku menghela napas ini panjang lalu mengeluarkannya perlahan.Aku pun me
Aku sangat beruntung memiliki Clara, setidaknya dia bisa memiliki anak juga bisa bekerjasama seperti ini. Aku berhutang banyak dengan Clara. Sejauh ini dia membiayaiku dan ibu selama aku tidak bekerja. Kulirik jam dinding. Ternyata sudah jam 11 siang, waktunya memberi makan Mpasi untuk Amira. Aku sudah belajar banyak tentang cara membuat Mpasi sesuai umur, semua itu aku lakukan dengan senang hati. Setidaknya mengisi kegabutanku karena tidak ada aktivitas lagi.Aku pun mengambil nasi tim ayam yang aku buat tadi pagi dari pengukus lalu memindahkan ke piring saji Amira lalu membawa keluar di mana Amira sedang bermain.Aku melirik ke arah Ibu yang selalu duduk di teras menanti kehadiran Bapak. Ibu selalu menghabiskan waktunya dengan melamun. Bahkan kondisi ibu kini lebih memprihatinkan, terlihat dari ceruk leher yang semakin dalam. Bahkan ibu lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri. Mandi pun kalau tidak dipaksa tidak pernah mau. Aku menghela napas ini. Lalu melangkah lagi
“Bapak! Bapak njemput ibu?!“ tanya ibu yang bangkit dan menghamburkan badannya ke bapak. Terlihat sangat girang sekali.Bapak hanya menatapnya lalu melepaskan pelukan ibu. Ia sedikit mendorong ibu lalu berjalan masuk.Di dalam rumah hanya ada tikar yang digelar belumm ada kursi ataupun apa. Sangat sederhana berbeda jauh dengan rumah lama.Bapak langsung menjatuhkan badannya di atas tikar dengan menyenderkan badannya di tembok yang langsung disusul ibu. “Bapak, kenapa lama sekali datangnya, Pak? Aku tersiksa di sini, Clara tidak memperlakukanku dengan baik. Ibu gak kerasan tinggal di sini, Pak,” keluh ibu.Aku menatapnya, dulu saat bersama Sherly aku pasti akan memarahi Sherly dan selalu membela ibu. Tapi sekarang melihat di depan mata. Sepertinya ibu yang salah di sini.“Kamu memang wanita egois, Lin. Bahkan di kondisi seperti ini masih saja menjelekkan orang. Sampai kapan akan begini? Cobalah untuk menerima kehadiran seseorang.““Pak, bahkan ibu belum menceritakan kejadian yang sebe
POV PRAMAku menekuri lantai yang belum berkeramik ini, hari ini entah mengapa aku malas mengerjakan apapun semenjak kedatangan bapak tadi. Aku membiarkan Amira bermain seorang diri. Sedangkan Ibu juga daritadi Mondar-mandir sendiri. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan ibu secara intens. Entahlah aku juga tidak tau. Bapak memberikan 2 pilihan ke ibu. Bila ibu mau ikut tinggal dengannya, aku disuruh mengantarkan ke rumahnya dan masih menjadi istrinya tapi bila tidak mau maka, Bapak akan menceraikannya.Itu adalah pilihan yang sulit menurutku.Sementara aku juga sudah minta ijin sama bapak tadi kalau bulan depan akan menyelenggarakan pernikahan kecil-kecilan dengan Clara dan Bapak mengijinkan juga akan ikut meramaikan nanti. Aku menilik ke atas dinding, sudah jam setengah 5. Seharusnya Clara sudah sampai rumah tapi ini kok belum juga terlihat batang hidungnya.Biasanya jam segini aku sudah memandikan Amira dan memasak untuk nanti malam. Tapi hari ini tidak ada yang tersentuh satu p
“Tapi, Dek?““Mas coba pikir sekarang, umur ibu sudah berapa tahun sekarang? Apa ya pantas sudah tua masih ada acara bercerai? Apakah, Mas mau para tetangga mengecap keluarga Mas itu bukan orang baik. Lihat rumah tangga, Mas saja pernah gagal, masak rumah tangga ibu juga akan gagal, Mas?“ jelas Clara yang langsung membuatku diam seribu bahasa. Bagiamana pun penjelasan Clara ada benarnya, toh di sana tinggal bersama Bapak. Pastinya akan aman-aman saja, lagian bapak pasti akan menjaganya. Aku menghela napas ini panjang lalu mengeluarkannya perlahan.“Ini demi kebahagiaan kita semua, Mas,” ucapnya lagi.“Baiklah nanti Mas bicarakan dengan Ibu dulu.““Iya, Mas, Clara mau mau mandi dulu.“ Aku bangkit berjalan menuju kamar Ibu. Di sana Ibu sedang memainkan kuku-kukunya. Kuurungkan niat ini untuk menghampirinya. Sepertinya lebih aku menidurkan Amira dulu baru ke kamar Ibu. Kurasa semenjak tinggal di sini aku belum pernah mendapatkan Ibu bahagia dan tertawa lepas. Yang ia lakukan hanya me
Ibu bangkit ia meraih tas besar lalu memasukkan bajunya lembar demi lembar, baju yang aku beli dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit sisa duit belanja. Hatiku terasa meremas begitu saja. Secepat itu kemewahan dan kejayaan hilang dalam sekejap. Aku pun ikut bangkit lalu bersiap diri untuk memakai jaket serta mengganti celana yang lebih panjang agar tidak kedinginan saat perjalanan nanti.“Clara, aku mengantarkan ibu dulu, Kamu di rumah ya jaga rumah juga Amira!“ suruhku ke Clara yang sedang sibuk mengaplikasikan masker ke wajahnya.Tidak ada sahutan, hanya anggukan semata, pun Clara tidak ada niatan untuk menyalami sebagai tanda perpisahan.Aku mendesah, membuang napas ini berat lalu berbalik dan menutup pintu kamarnya.Aku sejenak menatap ibu. Sebentar lagi kehidupanku akan berbeda karena tanpa kehadiran ibu. Semoga saja di tempat baru, ibu menemukan kebahagiaan dan lebih nyaman.Aku melangkah keluar dan mengambil tas ibu lalu membawanya ke arah di mana motor roda dua terparkir. L
POV ibu mertua.Kutatap punggung Pram yang mulai menjauh dan terlepas dari pandangan. Anak yang aku perjuangkan kini melemparku ke dasar jurang yang bisa saja terpeleset.Aku menunduk menatap telapak kaki yang mulai terasa dingin. Aku berdiri di teras dengan dalih ingin mengantar anakku pulang. Aku merasa enggan untuk melangkah masuk ke rumah istri maduku. Aku mengira di sini hanya tinggal bersama dengan mas Bambang juga istri dan anaknya. Nyatanya di sini masih ada bapaknya. Judes pula.Ingin sekali meraup bibir tebal yang penuh kesombongan itu. Namun lagi-lagi nyali itu hilang sejak lama.Aku menghela napas ini. Kerinduanku yang memupuk dari hari demi hari masih nyata di benak. Bapak pun dengan teganya mengucapkan akan memprioritaskan istri mudanya yang sedang hamil lagi di depan kakek itu.Kenapa hidupku semenyedihkan ini? Dulu saat masih bersama Sherly bahkan kuku jariku lama tidak menyentuh rendaman baju bahkan aku bisa merawat dan menghias dengan aneka cat kutek.“Mau tidur di
“Iya. Ibu adalah istri pertama Bapak, kan? Aku sudah tahu. Aku mengijinkan kok kalau mau ikut tinggal bersama kami.““Adik itu masih cantik juga muda tapi kenapa mau menikah dengan Bapak?“ tanyaku lagi. Jujur daritadi aku belum bisa menemukan alasan apa yang membuat dia mau dengan Bapak.“Aku mencintai Mas Bambang. Itu saja.““Tapi, Adik tahu kalau pak Bambang itu sudah beristri?““Tahunya setelah hamil. Mau bagaimana lagi? Aku tidak meminta mas Bambang menceraikanmu. Bahkan rela kalau mau dibawa ke sini tinggal bersama. Jadi, kita impas ya?“Ia menjawab dengan mengedikkan bahunya acuh tak acuh.“Tapi, Ibu tidak mau kalau hanya dijadikan pembantu di sini.“ Aku melipat tanganku di dada. “Ya gak papa. Silahkan. Tapi, ibu harus ingat. Satu butir nasi akan haram untukmu kalau tidak mau mengerjakan pekerjaan, dan juga Mas Bambang itu numpang di sini. Bahkan sepeser rupiah pun dia tidak memegangnya.“Aku menoleh ke bapak yang masih saja menunduk. Sepertinya lebih baik aku kembali saja ke r