“Tapi, Dek?““Mas coba pikir sekarang, umur ibu sudah berapa tahun sekarang? Apa ya pantas sudah tua masih ada acara bercerai? Apakah, Mas mau para tetangga mengecap keluarga Mas itu bukan orang baik. Lihat rumah tangga, Mas saja pernah gagal, masak rumah tangga ibu juga akan gagal, Mas?“ jelas Clara yang langsung membuatku diam seribu bahasa. Bagiamana pun penjelasan Clara ada benarnya, toh di sana tinggal bersama Bapak. Pastinya akan aman-aman saja, lagian bapak pasti akan menjaganya. Aku menghela napas ini panjang lalu mengeluarkannya perlahan.“Ini demi kebahagiaan kita semua, Mas,” ucapnya lagi.“Baiklah nanti Mas bicarakan dengan Ibu dulu.““Iya, Mas, Clara mau mau mandi dulu.“ Aku bangkit berjalan menuju kamar Ibu. Di sana Ibu sedang memainkan kuku-kukunya. Kuurungkan niat ini untuk menghampirinya. Sepertinya lebih aku menidurkan Amira dulu baru ke kamar Ibu. Kurasa semenjak tinggal di sini aku belum pernah mendapatkan Ibu bahagia dan tertawa lepas. Yang ia lakukan hanya me
Ibu bangkit ia meraih tas besar lalu memasukkan bajunya lembar demi lembar, baju yang aku beli dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit sisa duit belanja. Hatiku terasa meremas begitu saja. Secepat itu kemewahan dan kejayaan hilang dalam sekejap. Aku pun ikut bangkit lalu bersiap diri untuk memakai jaket serta mengganti celana yang lebih panjang agar tidak kedinginan saat perjalanan nanti.“Clara, aku mengantarkan ibu dulu, Kamu di rumah ya jaga rumah juga Amira!“ suruhku ke Clara yang sedang sibuk mengaplikasikan masker ke wajahnya.Tidak ada sahutan, hanya anggukan semata, pun Clara tidak ada niatan untuk menyalami sebagai tanda perpisahan.Aku mendesah, membuang napas ini berat lalu berbalik dan menutup pintu kamarnya.Aku sejenak menatap ibu. Sebentar lagi kehidupanku akan berbeda karena tanpa kehadiran ibu. Semoga saja di tempat baru, ibu menemukan kebahagiaan dan lebih nyaman.Aku melangkah keluar dan mengambil tas ibu lalu membawanya ke arah di mana motor roda dua terparkir. L
POV ibu mertua.Kutatap punggung Pram yang mulai menjauh dan terlepas dari pandangan. Anak yang aku perjuangkan kini melemparku ke dasar jurang yang bisa saja terpeleset.Aku menunduk menatap telapak kaki yang mulai terasa dingin. Aku berdiri di teras dengan dalih ingin mengantar anakku pulang. Aku merasa enggan untuk melangkah masuk ke rumah istri maduku. Aku mengira di sini hanya tinggal bersama dengan mas Bambang juga istri dan anaknya. Nyatanya di sini masih ada bapaknya. Judes pula.Ingin sekali meraup bibir tebal yang penuh kesombongan itu. Namun lagi-lagi nyali itu hilang sejak lama.Aku menghela napas ini. Kerinduanku yang memupuk dari hari demi hari masih nyata di benak. Bapak pun dengan teganya mengucapkan akan memprioritaskan istri mudanya yang sedang hamil lagi di depan kakek itu.Kenapa hidupku semenyedihkan ini? Dulu saat masih bersama Sherly bahkan kuku jariku lama tidak menyentuh rendaman baju bahkan aku bisa merawat dan menghias dengan aneka cat kutek.“Mau tidur di
“Iya. Ibu adalah istri pertama Bapak, kan? Aku sudah tahu. Aku mengijinkan kok kalau mau ikut tinggal bersama kami.““Adik itu masih cantik juga muda tapi kenapa mau menikah dengan Bapak?“ tanyaku lagi. Jujur daritadi aku belum bisa menemukan alasan apa yang membuat dia mau dengan Bapak.“Aku mencintai Mas Bambang. Itu saja.““Tapi, Adik tahu kalau pak Bambang itu sudah beristri?““Tahunya setelah hamil. Mau bagaimana lagi? Aku tidak meminta mas Bambang menceraikanmu. Bahkan rela kalau mau dibawa ke sini tinggal bersama. Jadi, kita impas ya?“Ia menjawab dengan mengedikkan bahunya acuh tak acuh.“Tapi, Ibu tidak mau kalau hanya dijadikan pembantu di sini.“ Aku melipat tanganku di dada. “Ya gak papa. Silahkan. Tapi, ibu harus ingat. Satu butir nasi akan haram untukmu kalau tidak mau mengerjakan pekerjaan, dan juga Mas Bambang itu numpang di sini. Bahkan sepeser rupiah pun dia tidak memegangnya.“Aku menoleh ke bapak yang masih saja menunduk. Sepertinya lebih baik aku kembali saja ke r
POV Sherly.Aku menutup layar ponsel ini, 3 bulan sudah aku hiatus dari perkonten an. Mungkin Minggu depan aku sudah bisa memulainya lagi, beberes rumah ternyata tidak hanya mengeluarkan dana tapi juga menyita waktu serta tenaga.Kupandangi Bapak yang sedang mengecat tembok yang sebentar lagi finishing. Sementara Ibu lagi sibuk bebersih kaca, aku yang mendapat bagian membersihkan keramik. Semua diganti baru, termasuk keramik dan juga cat. Awal melangkah ke ruko ini sungguh dilihat pun seperti horor. Layaknya rumah hantu. 1 bulan aku menyewa tukang untuk merubah semua. Setelahnya Bapak dan Emak datang untuk membantu meneruskan pekerjaan tukang sementara tukang dihentikan. Biar hemat kata Bapak. Aku sangat bersyukur Bapak juga Emak mau ikut tinggal di ruko ini dan meninggalkan kampung halaman dan katanya rumahnya sudah dititipkan sama pak RT dan beliau meminta ijin sementara bapak ibu di sini rumahnya akan digunakan sebagai tempat untuk TPQ anak-anak di desanya . Tentu saja Bapak dan
Aku semakin mengencangkan tangis ini. Kenangan buruk dan haru terlintas di benak ini.Hati ini masih terpatri dengan pedasnya omongan ibu mertua juga sikap mantan suami yang menyakitkan hati ditambah selingkuh di depan mata.Jujur semua tidak seperti membalikkan selembar kertas. Rasa itu masih saja menghantuiku, kalau boleh memilih aku akan seperti ini. Sendiri dan menghabiskan waktu bersama emak Bapak. Tante mengingatkanku kenangan masa sulit yang lalu, juga mengingatkan rasa syukur. Rejeki tidak melulu tentang uang. Kehadiran Tante, juga orang tua yang baik juga Rejeki yang tidak terkira.“Nak, ceritalah! Jangan dipendam sendiri.“ Kini ibu memelukku. Meredakan rasa tangis ini.“Mak, Tante Yanti begitu baik, Mak. Aku terharu dari awal beliau membantuku, Mak. Bahkan sekarang dia meminjamkan 100 juta cuma-cuma.““Alhamdulillah, Kamu menemukan Mbak Yanti selama emak gak ada di sampingmu, Nak. Emak juga berutang banyak dengan Mbak Yanti. Semoga kita diberi kesempatan untuk membalas keba
POV SherlySekembalinya Kami dari berbelanja, Tante terlihat berbeda, beliau langsung pamit pulang lebih awal dan tidak singgah dulu. Mimik wajahnya pun sepertinya sering melamun tidak seceria biasanya.Aku mengingat lagi, siapa tahu aku pernah berucap kasar ataupun menyinggung perasaannya. Kurasa tidak. Semua normal seperti sebelum-sebelumnya. Ah, mungkin saja Tante lagi badmood ataupun datang bulan. Aku menghela napas ini, pandanganku kembali menatap tumpukan barang belanjaan yang belum dibereskan. Pesanan yang di mebel tadi tidak kunjung diantarkan membuat kami menunda pekerjaan seperti ini.Aku menilik jam di pergelangan tangan ini, sudah hampir magrib. Mungkin acara syukurannya ditunda besok. , kalau hari ini aku yakin waktunya tidak cukup apalagi kompor juga belum terpasang.Aku pun mencari jam tangan yang aku beli tadi. Kupandangi kotak box yang melindunginya. Semoga saja Herman suka dan cocok untuknya.Aku pun segera mencari kontak WA Herman. Lalu segera mengirimkan pesan u
“Jangan Pak dong. Kelihatan tua banget aku, kan kita seumuran,” keluhnya dengan mengerutkan keningnya.“Herman ayo masuk gitu? Kok rada kayak gak etis ya , hehehe.“ Aku sedikit tersenyum canggung ke arahnya.“Iya, gak papa. Begitu saja. Nanti kalau sudah bersuami istri baru panggil Mas.““Hah?““Sudah lupakan saja, mari masuk.“ Ia langsung melangkah masuk mendahului ku.Aku pun begitu, aku yakin dia hanya sebatas bercanda dan tidak ada maksud dan tujuan di balik ini.“Mereka siapa, Sherly?“ tanya Herman yang langsung menghentikan langkahnya yang membuatku hampir menubruk tubuh kekarnya.Akupun langsung mundur dua langkah darinya dan mengusap ujung hidung ini. Lalu melihat ke arah dimana Herman menunjukkan ke suatu tempat dengan memainkan matanya. Ternyata Herman sedang menunjuk ke arah di mana orang tuaku sedang mengobrol dengan satu sama lain. Sepertinya mereka tidak sadar akan kedatangan Herman.“Ah, mereka orang tuaku, Herman, Kamu lupa ya, dulu saat penerimaan rapot para wali mu