POV SherlySekembalinya Kami dari berbelanja, Tante terlihat berbeda, beliau langsung pamit pulang lebih awal dan tidak singgah dulu. Mimik wajahnya pun sepertinya sering melamun tidak seceria biasanya.Aku mengingat lagi, siapa tahu aku pernah berucap kasar ataupun menyinggung perasaannya. Kurasa tidak. Semua normal seperti sebelum-sebelumnya. Ah, mungkin saja Tante lagi badmood ataupun datang bulan. Aku menghela napas ini, pandanganku kembali menatap tumpukan barang belanjaan yang belum dibereskan. Pesanan yang di mebel tadi tidak kunjung diantarkan membuat kami menunda pekerjaan seperti ini.Aku menilik jam di pergelangan tangan ini, sudah hampir magrib. Mungkin acara syukurannya ditunda besok. , kalau hari ini aku yakin waktunya tidak cukup apalagi kompor juga belum terpasang.Aku pun mencari jam tangan yang aku beli tadi. Kupandangi kotak box yang melindunginya. Semoga saja Herman suka dan cocok untuknya.Aku pun segera mencari kontak WA Herman. Lalu segera mengirimkan pesan u
“Jangan Pak dong. Kelihatan tua banget aku, kan kita seumuran,” keluhnya dengan mengerutkan keningnya.“Herman ayo masuk gitu? Kok rada kayak gak etis ya , hehehe.“ Aku sedikit tersenyum canggung ke arahnya.“Iya, gak papa. Begitu saja. Nanti kalau sudah bersuami istri baru panggil Mas.““Hah?““Sudah lupakan saja, mari masuk.“ Ia langsung melangkah masuk mendahului ku.Aku pun begitu, aku yakin dia hanya sebatas bercanda dan tidak ada maksud dan tujuan di balik ini.“Mereka siapa, Sherly?“ tanya Herman yang langsung menghentikan langkahnya yang membuatku hampir menubruk tubuh kekarnya.Akupun langsung mundur dua langkah darinya dan mengusap ujung hidung ini. Lalu melihat ke arah dimana Herman menunjukkan ke suatu tempat dengan memainkan matanya. Ternyata Herman sedang menunjuk ke arah di mana orang tuaku sedang mengobrol dengan satu sama lain. Sepertinya mereka tidak sadar akan kedatangan Herman.“Ah, mereka orang tuaku, Herman, Kamu lupa ya, dulu saat penerimaan rapot para wali mu
”Assalamualaikum ... itu motor siapa, Sherly?”Suara Tante terdengar nyaring dari luar. Aku pun segera bangkit untuk menyambutnya.Lengkap sudah, bahagia sekali rasanya saat pada ngumpul begini."Walaikumsalam, Tante ... itu motornya Herman, tuh orangnya ada di dalem,” tunjukku sambil menyalami Tante.Tante langsung merangsek ke dalam tanpa menjawab ucapanku barusan. Akupun dibuat penasaran olehnya, aku mengekori dari belakang. Tante berhenti di kejauhan menatap Bapak dan Herman yang sedang asyik mengobrol sambil sibuk melakukan sesuatu. Tante pun berbalik dan menarik lenganku lalu mengajak duduk lesehan.”Tante, Mau bicara serius sama, Kamu sherly.” Aku mengangguk mengiyakan keinginan Tante. Namun hati ini juga penasaran. Gerangan apa yang membuat Tante terlihat seperti tegang.”Ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama, nanti berbahaya,” ucapnya lagi dengan napas tersengal-sengal."Tante tenangkan diri dulu ya, Sherly buatkan minum untuk, Tante. Nanti kita lanjutkan obrolannya." Aku m
POV SherlyArgh, rasa pening kini menguasaiku, aku hanya takut kejadian dengan mas Pram dulu akan terulang lagi ...Apa aku harus menerima lamaran Tante?Ataukah aku menolaknya dan fokus dengan karier dulu?“Tante, bolehkah aku meminta waktu? Maksudku ijinkan aku mengenal Anak Tante dulu. Memastikan apakah dia benar mencintaiku atau seperti apa,” lirihku ke arah Tante.Setelahnya aku menengok ke arah Emak juga Bapak yang sama terkejutnya dengan Aku, ia mengangguk setuju dengan apa yang aku ucapkan barusan.Aku tidak ingin buru-buru mengambil langkah. Aku sangat tahu kalau Tante itu baik. Karena itu aku takut salah melangkah. “Terserah, Kamu Sherly. Tante hanya mau mengutarakan maksud Tante. Setelah ini bebas mau nolak atau setuju itu hak, Kamu. Kita tetap seperti ini, akan selalu sedekat ini,” ungkapnya dengan merentangkan kedua tangannya.Lalu aku pun berhambur ke dadanya. Entahlah ada perasaan sesak memenuhi dada ini. “Makasih, Tante.“Tante mengangguk lalu mengelus rambut belaka
“Yo wes. Teko jalani sek ae. Sambil lihat keadaan besok gimana, itu Herman tak lihat Yo kayaknya suka sama, Kamu Sher,” ujar bapak kemudian.“Ah ... yo mending Karo anakke mbak yanti, wes jelas bibit e gemati ngono owk. Jal nek wong lanang kui biasane apik mung nek awale tok. Tuh lihat. Pram dulu juga gimana, baik banget to awale, iling pora, Pak?“ “Neng tak sawang ki, Herman Karo Pram Ki beda lho, Mak. Koyo luih gemati Herman.“Aku menghela napas ini, memandang mereka secara gantian. Rasanya lama-lama aku menjadi pusing mendengar pendapat mereka. “Pak ... Mak, Sherly pusing. Ijin istirahat dulu ya?“Pamitku ke mereka dan langsung bangkit menuju ke lantai atas yang sudah dikasih springbed tadi.“Besok, Mak bangunin pagi ya, Nak. Kita mulai masak pagi!“ teriak emak ke arahku.“Ya, Mak!“Sesampainya kamar, aku segera menutup pintu lalu menjatuhkan badan ini ke ranjang. Kutatap langit-langit kamar yang masih sedikit berbau cat baru.Aku terpaku dengan sarang laba-laba yang baru terbuat
“Nak, setelah ini, Kamu bikin sambal tomatnya ya!“ suruh emak yang menarik paksa lamunanku. “Baik, Mak.““Assalamualaikum!““Assalamualaikum!“Kami serempak kaget mendengar suara dari luar. Apalagi suara itu terdengar sahut-sahutan tidak cuma 2 orang. “Siapa ya, Nak?““Entahlah, Mak. Sherly juga bingung ... yuk samperin ke sana, Mak!“ Ajakku langsung bangkit dan berjalan keluar. Membukakan pintu yang masih terkunci.Setelah pintu terbuka, mataku membulat sempurna, syok dan haru bercampur jadi satu. Aku terkejut dengan kedatangan mereka. Bahkan tidak terdengar suara kendaraan parkir pun tiba-tiba para tetanggaku sudah berdiri di depan rumah.“Sherly apa kabar?“ tanya mbak Ratna langsung memelukku.“Alhamdulillah, baik. Ya ampun ini kejutan banget kalian bisa datang sepagi ini, padahal aku nyuruhnya nanti habis duhur lho,”ucapku ke mereka setelah menyalami satu per satu juga memeluknya.“Namanya juga kejutan.““Owh, iya. Ini kenalkan Emak aku, bapak masih di dalam tapi lagi nyuci aya
POV Zen Tentang Zen.Aku membolak-balikkan halaman kitab ini dengan pikiran kosong. 5 bulan sudah aku mengalami gejala yang tidak aku tahu apa penyakitnya, yang jelas semenjak kepulangan Mama sama perempuan itu pikiranku melalang buana sendiri.Aku di sini sudah menjadi pengajar untuk santri putra kelas pertama. Hidupku aku dedikasikan dengan belajar dengan giat hingga ini akhirnya, aku lulus lebih awal dibandingkan teman seangkatanku. Sekarang aku tidak perlu ikut mengaji di majelis, karena aku langsung dibimbing oleh Abah langsung dengan seangkatan para ustadz yang lebih awal mengajar.Tapi Semenjak kehadiran perempuan itu, hidupku sangat berantakan, seringkali aku meminta ijin untuk bolos mengajar. Karena percuma, di dalam kelas pun aku hanya menghabiskan waktuku dengan melamun hingga seorang santri yang mengingatkan. Itu sangat membuatku malu, aku yang terkenal paling giat dan antusias dalam belajar tapi bisa kecolongan dengan memikirkan wanita yang tidak jelas.Aku memijit pelip
Dia berdiri mengusap kasar wajahnya. Sepertinya tidak terima dengan apa yang aku katakan barusan. Aneh! Aku yang curhat dia yang gusar sendiri. Lagian kenapa dengan janda. Buatku tidak masalah yang penting setelahnya hanya aku yang memiliki.“Kang Dimas, boleh minta tolong lagi, Ndak?““Apa?““Pinjamkan ponsel di ustadz Zaki, pengen nelpon orang rumah aku.““Huh, Kamu ini. Ya sudah lah. Aku ke tempat kang Zaki dulu.“Aku mengangguk lega, setidaknya mungkin ini bisa membantu. “Assalamualaikum. Kang Zen. Ada tamu di bawah nyariin, Kang Zen,” seru seorang santri dari luar.Aku lekas keluar dan merapikan baju. “Terimakasih, Kang.“ Sebelum turun ke bawah aku menepuk pundak kang Ilham untuk turun lebih awal.Mungkinkah itu Ibu? Semoga saja benar dan bersama wanita itu, batinku girang dengan setengah berlari menuju ke tempat yang biasa untuk bertemu dengan wali murid.Benar saja, dari jauh terlihat Ibu sudah duduk manis di kursi tunggu dengan memainkan ponselnya. Kulanjutkan langkah ini l