Akhirnya kami usai sarapan dan aku segera membayarnya dan tidak lupa membungkuskan untuk bapak.Lalu setelah ini kita berniat bertamu langsung ke rumah pak Wibowo.Kami pun berjalan pulang dan akan mampir ke rumah pak Wibowo. Tidak lama kami sudah tiba di depan halaman rumah pak Wibowo. Rupanya Pak Wibowo sedang bersantai ria bermain Ponsel dan duduk nyantai di teras.Kami pun segera masuk menghampiri lelaki yang berkumis tebal itu.“Assalamualaikum, Pak Bowo,” sapa Emak.“Waalaikumsalam, ayo masuk-masuk! Wah anaknya lagi mudik dari kota ya?“ sapa pak Bowo. Sambil menyuruh kami masuk ke rumahnya.Aku masuk dan menggaruk leher yang tidak gatal ini, antara sungkan dan malu.“Lusi! Buatkan teh, kita ada tamu!“teriak Bowo mengarah ke belakang. Sementara kami sudah duduk di kursi sofa yang berwarna merah ini.“Begini, Pak Bowo. Maksud kedatangan kami, saya mau mengantarkan saudara saya ke sini karena ada hajat ingin membeli tanah di daerah sini,”ungkap Emak menunjuk Tante Yanti.Tante Ya
POV Pram5 bulan kemudian ....Aku menatap lembaran kertas yang bertuliskan akta perceraian aku dengan Sherly. Aku tidak menyangka selama 4 tahun aku bisa bertahan dengan wanita iblis macam dia. Rumah yang dibangun bersama-sama dengan mudahnya ia menjual tanpa persetujuan denganku dan tidak memberi uang sepeserpun hasil jual rumah.Aku mencari ke mana-mana keberadaannya yang tidak kunjung ketemu dan tiba-tiba sebuah kertas tiba di rumah kontrakan.Kurang ajar sekali dia mempermainkanku. Belum cukup dia mempermainkanku kini dengan sombongnya melayangkan akta cerai kepadaku. Aku kehilangan semua secara bersamaan, Mobil kesayanganku sudah ditarik oleh leasing. Bahkan aku sudah menjadi pengangguran satu bulan yang lalu setelah tanggunganku lunas. Aku melemparkan akta cerai itu asal. Semua adalah masa lalu. Setidaknya dibalik ini ada keuntungan untukku agar bisa segera menikahi Clara secara sah Agama ataupun hukum.Aku menghela napas ini panjang lalu mengeluarkannya perlahan.Aku pun me
Aku sangat beruntung memiliki Clara, setidaknya dia bisa memiliki anak juga bisa bekerjasama seperti ini. Aku berhutang banyak dengan Clara. Sejauh ini dia membiayaiku dan ibu selama aku tidak bekerja. Kulirik jam dinding. Ternyata sudah jam 11 siang, waktunya memberi makan Mpasi untuk Amira. Aku sudah belajar banyak tentang cara membuat Mpasi sesuai umur, semua itu aku lakukan dengan senang hati. Setidaknya mengisi kegabutanku karena tidak ada aktivitas lagi.Aku pun mengambil nasi tim ayam yang aku buat tadi pagi dari pengukus lalu memindahkan ke piring saji Amira lalu membawa keluar di mana Amira sedang bermain.Aku melirik ke arah Ibu yang selalu duduk di teras menanti kehadiran Bapak. Ibu selalu menghabiskan waktunya dengan melamun. Bahkan kondisi ibu kini lebih memprihatinkan, terlihat dari ceruk leher yang semakin dalam. Bahkan ibu lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri. Mandi pun kalau tidak dipaksa tidak pernah mau. Aku menghela napas ini. Lalu melangkah lagi
“Bapak! Bapak njemput ibu?!“ tanya ibu yang bangkit dan menghamburkan badannya ke bapak. Terlihat sangat girang sekali.Bapak hanya menatapnya lalu melepaskan pelukan ibu. Ia sedikit mendorong ibu lalu berjalan masuk.Di dalam rumah hanya ada tikar yang digelar belumm ada kursi ataupun apa. Sangat sederhana berbeda jauh dengan rumah lama.Bapak langsung menjatuhkan badannya di atas tikar dengan menyenderkan badannya di tembok yang langsung disusul ibu. “Bapak, kenapa lama sekali datangnya, Pak? Aku tersiksa di sini, Clara tidak memperlakukanku dengan baik. Ibu gak kerasan tinggal di sini, Pak,” keluh ibu.Aku menatapnya, dulu saat bersama Sherly aku pasti akan memarahi Sherly dan selalu membela ibu. Tapi sekarang melihat di depan mata. Sepertinya ibu yang salah di sini.“Kamu memang wanita egois, Lin. Bahkan di kondisi seperti ini masih saja menjelekkan orang. Sampai kapan akan begini? Cobalah untuk menerima kehadiran seseorang.““Pak, bahkan ibu belum menceritakan kejadian yang sebe
POV PRAMAku menekuri lantai yang belum berkeramik ini, hari ini entah mengapa aku malas mengerjakan apapun semenjak kedatangan bapak tadi. Aku membiarkan Amira bermain seorang diri. Sedangkan Ibu juga daritadi Mondar-mandir sendiri. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan ibu secara intens. Entahlah aku juga tidak tau. Bapak memberikan 2 pilihan ke ibu. Bila ibu mau ikut tinggal dengannya, aku disuruh mengantarkan ke rumahnya dan masih menjadi istrinya tapi bila tidak mau maka, Bapak akan menceraikannya.Itu adalah pilihan yang sulit menurutku.Sementara aku juga sudah minta ijin sama bapak tadi kalau bulan depan akan menyelenggarakan pernikahan kecil-kecilan dengan Clara dan Bapak mengijinkan juga akan ikut meramaikan nanti. Aku menilik ke atas dinding, sudah jam setengah 5. Seharusnya Clara sudah sampai rumah tapi ini kok belum juga terlihat batang hidungnya.Biasanya jam segini aku sudah memandikan Amira dan memasak untuk nanti malam. Tapi hari ini tidak ada yang tersentuh satu p
“Tapi, Dek?““Mas coba pikir sekarang, umur ibu sudah berapa tahun sekarang? Apa ya pantas sudah tua masih ada acara bercerai? Apakah, Mas mau para tetangga mengecap keluarga Mas itu bukan orang baik. Lihat rumah tangga, Mas saja pernah gagal, masak rumah tangga ibu juga akan gagal, Mas?“ jelas Clara yang langsung membuatku diam seribu bahasa. Bagiamana pun penjelasan Clara ada benarnya, toh di sana tinggal bersama Bapak. Pastinya akan aman-aman saja, lagian bapak pasti akan menjaganya. Aku menghela napas ini panjang lalu mengeluarkannya perlahan.“Ini demi kebahagiaan kita semua, Mas,” ucapnya lagi.“Baiklah nanti Mas bicarakan dengan Ibu dulu.““Iya, Mas, Clara mau mau mandi dulu.“ Aku bangkit berjalan menuju kamar Ibu. Di sana Ibu sedang memainkan kuku-kukunya. Kuurungkan niat ini untuk menghampirinya. Sepertinya lebih aku menidurkan Amira dulu baru ke kamar Ibu. Kurasa semenjak tinggal di sini aku belum pernah mendapatkan Ibu bahagia dan tertawa lepas. Yang ia lakukan hanya me
Ibu bangkit ia meraih tas besar lalu memasukkan bajunya lembar demi lembar, baju yang aku beli dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit sisa duit belanja. Hatiku terasa meremas begitu saja. Secepat itu kemewahan dan kejayaan hilang dalam sekejap. Aku pun ikut bangkit lalu bersiap diri untuk memakai jaket serta mengganti celana yang lebih panjang agar tidak kedinginan saat perjalanan nanti.“Clara, aku mengantarkan ibu dulu, Kamu di rumah ya jaga rumah juga Amira!“ suruhku ke Clara yang sedang sibuk mengaplikasikan masker ke wajahnya.Tidak ada sahutan, hanya anggukan semata, pun Clara tidak ada niatan untuk menyalami sebagai tanda perpisahan.Aku mendesah, membuang napas ini berat lalu berbalik dan menutup pintu kamarnya.Aku sejenak menatap ibu. Sebentar lagi kehidupanku akan berbeda karena tanpa kehadiran ibu. Semoga saja di tempat baru, ibu menemukan kebahagiaan dan lebih nyaman.Aku melangkah keluar dan mengambil tas ibu lalu membawanya ke arah di mana motor roda dua terparkir. L
POV ibu mertua.Kutatap punggung Pram yang mulai menjauh dan terlepas dari pandangan. Anak yang aku perjuangkan kini melemparku ke dasar jurang yang bisa saja terpeleset.Aku menunduk menatap telapak kaki yang mulai terasa dingin. Aku berdiri di teras dengan dalih ingin mengantar anakku pulang. Aku merasa enggan untuk melangkah masuk ke rumah istri maduku. Aku mengira di sini hanya tinggal bersama dengan mas Bambang juga istri dan anaknya. Nyatanya di sini masih ada bapaknya. Judes pula.Ingin sekali meraup bibir tebal yang penuh kesombongan itu. Namun lagi-lagi nyali itu hilang sejak lama.Aku menghela napas ini. Kerinduanku yang memupuk dari hari demi hari masih nyata di benak. Bapak pun dengan teganya mengucapkan akan memprioritaskan istri mudanya yang sedang hamil lagi di depan kakek itu.Kenapa hidupku semenyedihkan ini? Dulu saat masih bersama Sherly bahkan kuku jariku lama tidak menyentuh rendaman baju bahkan aku bisa merawat dan menghias dengan aneka cat kutek.“Mau tidur di
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!