POV Ibu mertua.Aku menatap jam yang terpasang di dinding ruang tamu. Angka sudah menunjukkan pukul setengah 10. Sherly tidak Juga kunjung pulang. Rasa lapar yang mendera sedari siang membuat perut ini serasa kram melilit. Aku beranjak mondar-mandir. Bapak pun habis sarapan langsung pergi dan belum pulang bahkan tidak meninggalkan uang serupiah pun. Aku bisa saja memakai uang pribadiku, tapi uang itu buat nambah besok ke Bali. Aku tidak ingin sampai di sana kekurangan uang. Bisa payah nanti.Sebentar. Jangan-jangan Sherly mau menipu?Lekas aku bangun dan beranjak menghampiri Pram yang sedang asyik bermain game di ponselnya.“Pram? Besok benar kan mau ke Bali?“ tanyaku memastikan.Pram menoleh setelah memencet tombol di ponselnya yang aku tidak paham apa itu.“Ya jadilah, Bu. Kita tunggu Sherly aja dulu untuk memastikan berangkat jam berapa.“Aku bergeming, aku menatap koper yang sudah siap, selimut bahkan bantal yang akan dibawa pergi besok. Andaikan Sherly membohongiku dan tidak ja
Tanpa menjawab dia berjalan masuk melaluiku, aku pun langsung menahan lengannya, enak saja! Sudah seharian tidak ngapa-ngapain sekarang pulang mau langsung ke kamar. Tidak akan aku biarkan. “Jangan durhaka, Kamu Sherly! Hanya telur saja tidak mampu. Gitu kok pengen jadi anak berbakti. Ngimpi! Ini alasan ibu gak suka sama, Kamu Sherly!“ “Lah! Ibu yang gak tau diri. Sudah tahu aku baru pulang langsung disuruh ini itu. Yang lapar siapa kenapa aku yang direpotin!“ sungutnya tidak terima. Aku menatap wajahnya. Kurang aja sekali, sudah mulai berani menjawab. Daritadi aku menunggunya demi terisi ini perut. Eh ternyata malah sama saja. “Lagian, Kamu pergi ke mana saja, Sherly. Bisa-bisanya sudah larut malam baru pulang. Jangan-jangan, Kamu lagi menggoda para lelaki di luar sana ya? Makanya sekarang kecapekan,“ tebakku dengan menatapnya tajam. “Astaghfirullah ... jahat sekali mulut, Ibu. Itu sudah termasuk fitnah, Bu!“ ucapnya melengking membuat Pram yang asik main game pun menoleh. “Kam
POV SHERLY.Aku terbangun jam setengah 4 sesuai alarm yang aku stel kemarin malam. Aku tidak ingin mereka gagal berangkat ke Bali hanya karena bangun kesiangan. Bisa gagal rencana yang kususun sedemikian rupa.Setelah duduk sejenak, akupun segera keluar kamar. Mengetuk pintu kamar Ibu sampai pintu dibukakan oleh sang empu.Tidak menunggu lama pintu itu dibuka, kepala Ibu dengan wajah yang ditutup masker putih menyembul keluar. “Ada apa sih! Menggangu saja!“ sungutnya tidak terima.“Ayo, Bu. Lekas siap-siap. Jangan sampai terlambat, kita juga harus berangkat ke bandara dulu.““Iya, Ibu tahu.“ Dia berbalik dan menutup pintunya kembali.Aku mengedikkan bahu lalu berjalan meninggalkannya dan menuju kamar Clara yang sudah dihuni bersama Mas Pram calon mantan suamiku.Aku mengetuknya. Mas Pram keluar setelah membukakan pintu. “Sudah bangun, Mas. Ayo lekas mandi! Baju sudah aku siapkan di koper, tinggal barang penting yang aku tidak tahu, Kamu simpan di mana,” jelasku sambil melirik ke dal
“Benar yang diomongin Sherly, Bu. Tinggal saja. Lebih aman di rumah daripada dibawa. Sana simpan dalam kamar!“ titah Bapak yang tiba-tiba sudah berada dekat Ibu.Ibu hanya menghentakkan kakinya tapi menurut dan masuk kembali ke kamarnya.Mas Pram mendekatiku, ia meraih kopernya.“Ini gabung kan, Dek sama punyamu?“Aku menggeleng. “Mas, sepertinya aku harus tinggal di rumah saja. Aku harus mengurus BPKB juga aku ragu-ragu kalau Clara yang jaga rumah ini,” lirihku.“Maksudnya?“ “Mm, sepertinya aku harus di rumah saja, Mas. Gak ikut.““Yang benar, Dek?““Iya, Mas.“ Aku mengangguk dan memasang wajah sedikit menyesal.“Berarti kalau tiketnya, Adek diganti sama Clara, gak papa kan, Dek?“ tanyanya ragu dan sedikit memohon ke arahku.Aku mengangguk, kukira respon dia akan sedih ketika aku tidak ikut, dan ternyata dia begitu girang saat melihatku mengangguk, lalu berlari ke arah Clara meninggalkanku.Dasar!“Yang benar, Mas? Terus Amira bagaimana?“ respon Clara terdengar jelas olehku.Aku tid
Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Amira tertidur dalam gendonganku. Akupun segera mengambil ponselku yang aku bawa di dalam tas. Segera aku membagikan semua link boarding pass yang sudah dipesan ke nomornya mas Pram. Juga aku mentransfer 5 juta ke ATM nya.“Mas, nanti cek ponselmu ya! Tiket sudah aku share, duit juga sudah masuk ke rekeningmu,” ucapku agak mendoyongkan tubuhku agar mas Pram mendengar dengan jelas.“Oke. Siap.“Tidak lama mobil yang kami tumpangi pun sudah masuk masuk terminal Sukarno Hatta. Setelah mobil diparkir kami pun keluar. Aku ikut keluar dan mengantarkan mereka sampai benar-benar pesawat yang mereka tumpangi lepas landas.Kami masuk dan langsung berjalan ke arah lobi bandara. Lalu ke loket setelah itu diarahkan ke bagasi. Aku pun duduk di dekat boarding lounge. Sementara mereka yang sudah mendapatkan boarding pass setelah check in pun duduk di boarding lounge menunggu jam keberangkatan sesuai yang tertera.Tidak lama waktu tiba di jam pemberangkatan m
Sekarang jadwal hari ini menunggu pembeli datang ke rumah untuk mengambil barang. Aku pun langsung menyicil dan membersihkan barang yang sudah laku sementara Amira aku taruh di bawah dengan dialasi selimut tebal. Tidak lupa meninggalkan mainan untuknya.Setelah cukup aman, aku segera keluar meninggalkan Amira. Lalu aku menuju ke kamar untuk mengambil beberapa peralatan untuk konten.Aku mengunci semua pintu lalu menutup jendela dengan begrond kain. Lalu mengusun rak gantung baju portable yang sudah aku siapkan sedari awal. Kupasang ponsel ini ring highlight yang sudah tersedia lalu mengepaskan dan menyesuaikan dengan tempat aku berdiri. Setelah semua oke. Akupun membawa box container lalu mengambil baju Clara, Mas Pram lalu aku bawa ke luar dekat di mana aku live nanti.Aku pun segera mengambil kunci kamar yang ada di tas lalu mengeluarkannya dan berjalan ke arah kamar ibu dengan membawa box container kosong. Setelah bisa masuk tanpa menunggu lama, aku memilih baju yang sekiranya mas
POV SHERLYSetelah semua terpost satu per satu. Akhirnya aku bisa istirahat. Tinggal nanti untuk pengemasan lalu pengiriman ke kantor JNI. Kulihat saldo yang sudah bertambah banyak. Hampir saja menyentuh angka 20 juta. Tas ibu yang mendongkraknya.Kuusap keringat yang menetes di pipi samping, aku melirik ke arah Amira yang sudah tertidur pulas. Akupun menghampiri dan ikut tidur di sampingnya. Tidak perlu menunggu lama mata ini terpejam.**Aku terbangun saat suara ketukan pintu yang mengagetkan pendengaran. Aku berjalan ke luar, sebelum membuka pintu aku mengintip dulu dengan menyingkap sedikit kain korden di jendela.Ternyata pasangan suami istri dengan berpakaian rapi. Aku pun langsung bergegas membukakan pintu. Juga berbasa-basi sebentar, dan rupanya mereka yang akan membeli kulkas. Akupun langsung menyuruhnya masuk. Dengan kesusahan kami menggotong kulkas dua pintu itu. Akhirnya sampai juga nangkring di atas mobil box.Aku berdiri di luar menunggu sampai pergi si pembeli.Terli
“Eh, Tante di sini juga?“ ujarku berbasa-basi.“Iya, Sherly. Kebetulan pas keluar tadi kok rame-rame ya sudah aku samperin ke sini.““Ayok. Cepet semua ke rumahku sekarang!“ ajak ibu yang menawari tadi. Beliau nampak sangat berantusias sekali.Kami pun berbondong-bondong mengikuti Ibu tadi. Masuk ke dalam rumah yang berseberangan dengan rumah yang aku tinggali.Kuhitung para ibu tadi sekitar ada 7 orang. Belum sama anak mereka yang ikut. Kami pun langsung duduk lesehan di ruang tamu si ibu.“Bentar ya, Ibu-ibu. Tak buatkan minuman dulu.“Kami mengangguk serentak.“Amira ini anaknya siapa, Mbak. Kok aku belum pernah liat, Mbak belum hamil kok tiba-tiba nggendong anak?“ tanya wanita yang bertubuh kurus.Aku menoleh ke arah yang mengajakku berbicara. Aku mengulaskan senyuman untuknya, “Bingung mau mulai dari mana ceritanya ya, Bu.““Iya gak papa cerita saja, Sherly. Mereka orangnya pada baik kok,” ucap Tante Yanti sembari menepuk pundakku.Kupandangi mereka satu persatu. Sepertinya merek
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!