Aku menghela napas untuk menetralkan perasaan, segera ku raih ponsel yang tergeletak di balas. Lalu aku menjatuhkan badan ini ke ranjang dan segera kunyalakan ponsel untuk berjalan-jalan ke sosmed. Tidak ada pesan masuk satu pun. list Pesanan endorse pun masih ada yang belum aku kerjakan. Aku akan melakukan diujung dateline saja. Sekalian biar mood lebih baik lagi. Pikiranku berkelana, langkah apa yang aku lakukan setelah keluar dari rumah ini. Akhirnya setelah beberapa menit, aku baru menemukan sebuah ide brilian. lebih baik uang hasil jual rumah aku belikan sebuah ruko di tengah kota. Terus belakangan di dalamnya dibuat studio untuk konten. Semoga uangnya cukup. Tidak sabar aku langsung menghubungi Herman, semoga saja dia bisa membantu dan mencarikan kios yang pas. Aku segera memencet tombol panggil dan tidak lama panggilan tersambung. “Halo, Pak Herman. Maaf mengganggu, lokasi besok sudah ready ya, Pak. Kalau mau survei,” ucapku langsung ke inti. “Oke, siap nanti aku terusk
POV Sherly.Aku terbangun dari tidurku, setelah kepulangan mas Pram tadi lalu aku beranjak masuk ke kamar merebahkan diri, dan ternyata aku tertidur cukup lama.Aku beranjak, segera kuraih handuk untuk membersihkan badan. Stelah ini aku ingin sekali nongkrong di kafe yang sempat tertunda. Aku keluar kamar, tatapanku mengernyit saat ada sebuah kertas yang teronggok di samping TV. Aku meraihnya dan segera membuka setelah tau siapa pemiliknya dan ternyata untuk diriku.Akhirnya aku buka dengan sangat jelas, pengajuan balik nama yang kemarin sudah jadi dan baru STNK nya. Alhamdulillah tidak perlu menunggu lama. Setelah ini aku esok aku harus kembali ke kantor Samsat lagi untuk mengurus BPKB. Kuedarkan pandangan, sangat sepi. Aku rasa semenjak kedatangan Clara, Mereka lebih banyak menghabiskan waktu hanya di kamar dan aku seorang diri.Aku melangkah lagi, mandi. Lalu pergi jalan-jalan. Ah, sepertinya lebih baik ajak Tante Yanti saja, hanya itu temanku saat ini, daripada seorang diri ke ka
“Coba, Sherly. Kamu akan sangat pantas memakai Ini,” suruh Tante Yanti menyodorkan sebuah baju yang berwarna putih tulang dan ada beberapa mutiara yang terlihat.Aku membuka resleting pembungkus itu. Lagi, aku dibuat terkejut. Aku sangat yakin pakaian ini harganya pasti mahal, dan manik-manik pun sepertinya di Payet menggunakan tangan bukan mesin. Aku merabanya. Jujur sangat kagum dengan desainnya. Sangat simpel tapi elegan terlihat mewah. Maniknya ada di pinggang berbentuk kupu-kupu kecil. Juga ada lagi manik di bahu. Sangat cantik.Aku pun pamit ke toilet seraya mau ganti baju juga di sana. Tante Yanti mengangguk akupun langsung beranjak. Aku berjalan sesuai telunjuk Tante yang mengarahkan.Setelah menggantinya, aku sedikit terperanjat memandang diri ini dari pantulan cermin. Merasa kagum sendiri dengan tubuhku saat memakai gamis yang sedikit longgar. Aku melangkah keluar, Bu Yanti tersenyum ke arahku. Membuatku jadi tersipu malu, bahkan orang lain bisa berbuat baik. Tapi kenapa k
“Kamu sudah pernah berjumpa dengan Zen, Sherly?“ tanya Tante yang membuyarkan lamunan.Aku menoleh tertegun sejenak untuk menerima pertanyaannya. Aku mengernyit bagaimana mungkin aku pernah bertemu, bentuknya seperti apa? Tubuhnya kecil atau besar? Sungguh aku tidak penasaran dan tidak ingin tahu Apalagi menerka siapa dia. Ditambah aku juga jarang keluar dan nimbrung dengan tetangga membuatku kudet dengan kehidupan termasuk nama-nama para tetangga.Aku menggeleng menjawab pertanyaan Tante. Aku menoleh ke arahnya, ia tersenyum ke arahku lalu pandangannya kembali ke kaca depan.Aku pun melajukan lagi, mengikuti arah Google Maps yang sudah aku stel ke arah tujuan. 20 menit perkiraan Maps akan sampai. Kami pun kembali diam. Hingga tidak lama kami sampai di tempat tujuan.Tante turun lebih awal, ia menantiku di pintu gerbang pondoknya. Sementara mobil diparkir di depan Parkiran masjid yang terletak di samping Pondok.Kami pun masuk dan memberi tahu kan tujuan kamu untuk menjenguk putra T
POV Ibu mertua.Aku menatap jam yang terpasang di dinding ruang tamu. Angka sudah menunjukkan pukul setengah 10. Sherly tidak Juga kunjung pulang. Rasa lapar yang mendera sedari siang membuat perut ini serasa kram melilit. Aku beranjak mondar-mandir. Bapak pun habis sarapan langsung pergi dan belum pulang bahkan tidak meninggalkan uang serupiah pun. Aku bisa saja memakai uang pribadiku, tapi uang itu buat nambah besok ke Bali. Aku tidak ingin sampai di sana kekurangan uang. Bisa payah nanti.Sebentar. Jangan-jangan Sherly mau menipu?Lekas aku bangun dan beranjak menghampiri Pram yang sedang asyik bermain game di ponselnya.“Pram? Besok benar kan mau ke Bali?“ tanyaku memastikan.Pram menoleh setelah memencet tombol di ponselnya yang aku tidak paham apa itu.“Ya jadilah, Bu. Kita tunggu Sherly aja dulu untuk memastikan berangkat jam berapa.“Aku bergeming, aku menatap koper yang sudah siap, selimut bahkan bantal yang akan dibawa pergi besok. Andaikan Sherly membohongiku dan tidak ja
Tanpa menjawab dia berjalan masuk melaluiku, aku pun langsung menahan lengannya, enak saja! Sudah seharian tidak ngapa-ngapain sekarang pulang mau langsung ke kamar. Tidak akan aku biarkan. “Jangan durhaka, Kamu Sherly! Hanya telur saja tidak mampu. Gitu kok pengen jadi anak berbakti. Ngimpi! Ini alasan ibu gak suka sama, Kamu Sherly!“ “Lah! Ibu yang gak tau diri. Sudah tahu aku baru pulang langsung disuruh ini itu. Yang lapar siapa kenapa aku yang direpotin!“ sungutnya tidak terima. Aku menatap wajahnya. Kurang aja sekali, sudah mulai berani menjawab. Daritadi aku menunggunya demi terisi ini perut. Eh ternyata malah sama saja. “Lagian, Kamu pergi ke mana saja, Sherly. Bisa-bisanya sudah larut malam baru pulang. Jangan-jangan, Kamu lagi menggoda para lelaki di luar sana ya? Makanya sekarang kecapekan,“ tebakku dengan menatapnya tajam. “Astaghfirullah ... jahat sekali mulut, Ibu. Itu sudah termasuk fitnah, Bu!“ ucapnya melengking membuat Pram yang asik main game pun menoleh. “Kam
POV SHERLY.Aku terbangun jam setengah 4 sesuai alarm yang aku stel kemarin malam. Aku tidak ingin mereka gagal berangkat ke Bali hanya karena bangun kesiangan. Bisa gagal rencana yang kususun sedemikian rupa.Setelah duduk sejenak, akupun segera keluar kamar. Mengetuk pintu kamar Ibu sampai pintu dibukakan oleh sang empu.Tidak menunggu lama pintu itu dibuka, kepala Ibu dengan wajah yang ditutup masker putih menyembul keluar. “Ada apa sih! Menggangu saja!“ sungutnya tidak terima.“Ayo, Bu. Lekas siap-siap. Jangan sampai terlambat, kita juga harus berangkat ke bandara dulu.““Iya, Ibu tahu.“ Dia berbalik dan menutup pintunya kembali.Aku mengedikkan bahu lalu berjalan meninggalkannya dan menuju kamar Clara yang sudah dihuni bersama Mas Pram calon mantan suamiku.Aku mengetuknya. Mas Pram keluar setelah membukakan pintu. “Sudah bangun, Mas. Ayo lekas mandi! Baju sudah aku siapkan di koper, tinggal barang penting yang aku tidak tahu, Kamu simpan di mana,” jelasku sambil melirik ke dal
“Benar yang diomongin Sherly, Bu. Tinggal saja. Lebih aman di rumah daripada dibawa. Sana simpan dalam kamar!“ titah Bapak yang tiba-tiba sudah berada dekat Ibu.Ibu hanya menghentakkan kakinya tapi menurut dan masuk kembali ke kamarnya.Mas Pram mendekatiku, ia meraih kopernya.“Ini gabung kan, Dek sama punyamu?“Aku menggeleng. “Mas, sepertinya aku harus tinggal di rumah saja. Aku harus mengurus BPKB juga aku ragu-ragu kalau Clara yang jaga rumah ini,” lirihku.“Maksudnya?“ “Mm, sepertinya aku harus di rumah saja, Mas. Gak ikut.““Yang benar, Dek?““Iya, Mas.“ Aku mengangguk dan memasang wajah sedikit menyesal.“Berarti kalau tiketnya, Adek diganti sama Clara, gak papa kan, Dek?“ tanyanya ragu dan sedikit memohon ke arahku.Aku mengangguk, kukira respon dia akan sedih ketika aku tidak ikut, dan ternyata dia begitu girang saat melihatku mengangguk, lalu berlari ke arah Clara meninggalkanku.Dasar!“Yang benar, Mas? Terus Amira bagaimana?“ respon Clara terdengar jelas olehku.Aku tid
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!