Clara mengerjapkan matanya, dan saat menyadari kehadiranku dia langsung beranjak duduk dan menutup bajunya. Aku menahannya dan membiarkan saja.Aku mengelus pipinya, saat berada di dekatnya, aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Segera aku mengambil bedcover dan menatanya di lantai. Tentu saja sebagai alas untuk kita nantinya. Aku mendongak tersenyum ke arah Clara. Clara pun menyambut dan menyusulku, tanpa disuruh ia langsung membuka kancing kemejaku satu per satu. ***“Sayang, besok Mas mau ke showroom, mau ikut?“ tanyaku ke Clara yang tiduran di atas dadaku tanpa sehelai benang. Sesekali aku mendongak ke atas untuk memastikan Amira masih tidur atau sudah terbangun.“Ngapain?“ tanyanya acuh tak acuh.“Beli mobil, gak mau ikut ya?““La yang hitam itu kan masih bagus. Kok beli lagi?““Itu buat Sherly, nanti kita beli baru lagi, yang lebih bagus,” ucapku sambil mengelus kepalanya.“Kenapa itu enggak buatku saja, Mas?“ tanyanya dengan mengerucutkan bibirnya.“Sabar dong, Sayang. Na
Tanganku menengadah siap menerima, tapi kenapa Sherly tidak berjalan ke arahku?Dia melewatiku begitu saja. “Eh, Mbak. Mana jatahku,” teriak Clara menyusul Sherly.Aku pun ikut menyusul, perutku memberontak dan ingin segera merasakan nasi goreng buatan Sherly yang tiasa duanya itu. Sherly sudah duduk manis di meja makan. Rupanya dia masak untuk dirinya sendiri, segera aku mengambil sendok dan langsung menyendok nasi goreng itu.Sendokku ditahan oleh sendoknya. Aku menoleh menatap ke arahnya.Clara pun langsung ingin menarik piring itu tapi sudah ditahan juga oleh Sherly.“Cuih.“ Sherly menyemprotkan ludahnya sendiri ke nasi goreng itu. “Ih, Mbak. Menjijikkan,”ujar Clara dengan muka masam lalu mundur.Aku pun mengurungkan niat ingin meminta nasi goreng lagi. Menatap sendu ke arahnya. “Silahkan kalau mau,” tawar Sherly menyodorkan piring ke arahku.Aku ragu-ragu menerima dan dengan sangat pelan hendak menyendokkan nasi itu. Tapi langsung ditarik kasar oleh Sherly.“Kalau jijik gak
Bab 14.POV SherlySebentar lagi, tahan Sherly, kuatkan hatimu!Aku menarik napas ini, rumah tanggaku dalam hitungan bulan sudah berubah 360 derajat. Dulu sebelum kedatangan wanita itu, aku dan Mas Pram begitu sangat romantis, hingga aku tidak sabar menanti kepulangannya sewaktu bekerja.Ia selalu sebelum berangkat dan sesudah pulang mengecup keningku, membuat aku menjadi wanita paling beruntung. Begitu hangat hati ini. Bahkan kicauan dari Ibu Mertua tidak pernah sampai ke hati. Aku membiarkan berapa banyak kata yang menghujam diriku, aku tidak peduli, yang aku pedulikan hanya 1. Suamiku.Aku selalu melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Bahkan aku tidak pernah melewatkan sehari pun tanpa membuatkan segelas teh untuk mas Pram.Aku pun bersolek secantik mungkin dan tetap aku lakukan meskipun dapat nyinyiran dari mertua.Aku rela berhenti bekerja sesuai keinginan Mas Pram dulu sebelum menikah. Aku rela berjauhan dari ibu bapakku, bahkan sahabat, teman dan saudara.Semua kulakukan d
Semenjak Mas Pram membawa wanita itu, aku lebih memerhatikan diri sendiri dan sudah tidak pusing lagi memikirkan menu apa yang akan dimasak. Tidak perlu tiap hari menawari menginginkan makanan apa yang ingin dimakan. Sudah tidak peduli lagi.Aku membuka kulkas satu-satunya yang aku beli dulu, saat pertama menginjak rumah ini, aku merogoh tabunganku untuk membeli segala perabotan di rumah ini. Kuratukan keluarga Mas Pram, kumudahkan segala pekerjaan rumah tangga, bahkan sebelum datang ke rumah ini, mesin cuci pun belum terpasang di rumah ini. Aku membelinya namun ternyata apa yang aku perbuat semakin membuat tinggi hati Ibu mertua, semakin hari semakin banyak pula tuntutan yang ia beri. Bahkan lucu sekali, menu makan pun ia langsung merubah sendiri dan harus ada daging. Oke, aku turuti dengan iklas keinginannya karena beliau adalah orang tua Suamiku yang pastinya adalah orang tuaku sendiri. Aku menyayangi mereka seperti aku menyayangi ibu bapak kandungku.Namun sayang sekali kebaikank
“Eh, Dek. Tunggu. Dek boleh pinjam satu juta tidak?“Aku menoleh memasang wajah jengah, k7alau dulu aku pasti langsung memberikannya tapi sekarang. Rasanya semakin sadar siapa yang benalu di sini.“Gak ada,” jawabku dengan melanjutkan langkahku.Aku pun dengan langkah cepat meraih kunci mobil sebelum Ibu keluar kamar. Menunda waktu saja bila sampai ketemu beliau.Segera aku kemudikan mobil hitam ini menuju kantor Samsat. Sungguh nyaman sekali memakainya. Hitungan jam akan sepenuhnya milikku. Aku tersenyum lebar kali ini.**Aku memarkirkan mobil di parkiran mobil yang disediakan Samsat, lalu aku keluar lagi dengan jalan kaki mendatangi penjual nasi uduk yang berjualan disamping jalan yang sekilas nampak tadi.Sesampainya aku segera memesan dan duduk menanti.Akupun meraih tas dan mengambil ponsel, kuusap layarnya. Kupencet ikon Facebook lalu ku scroll beranda.Mataku sedikit melebar saat menemukan Poto yang barusan di upload. Mas Pram baru saja mengupload dan ngetag seseorang dengan a
PoV SherlyMataku menyipit saat melihat pesan dari Mas Pram. Maksudnya apa Fortuner kan mahal, mana bisa angsuran 3,8 juta. Atau belinya bekas? Atau DP nya yang banyak. Tapi uang darimana?Lebih baik aku pastikan saja daripada penasaran setengah mati ini.[Yakin, Mas angsuran 3,8 juta dapat Fortuner?]Pesan aku kirim, tidak lama pesan langsung dibuka olehnya. Gerak cepat sekali dia.[Maaf, Dek. Angkanya kurang 1, tadi. Harusnya 13, 8 juta. Hehehe soalnya tadi buru-buru ngetiknya]Aku membeliak tidak percaya. Gila! Uang darimana angsuran berani ambil segitu, sedangkan gaji mas Pram gak nyampe segitu. Mau tombok darimana? Ditambah angsuran bayar ponsel yang lalu. Aku menggeleng tidak percaya dengan kekonyolan Mas Pram.[Banyak banget, mau bayar pake uang apa? Daun? Gaji, Mas saja tidak nyampai segitu. Ibu, Bapak makan apa, Mas?“][Hehehe, katanya kemarin, Adek mau bantuin kan. Makanya mas berani ambil segitu, kata teman Mas kalau endorse itu banyak bayarannya. Jadi aku yakin, adek pas
Aku rasa lebih baik mampir ke kafe dulu, segelas kopi hangat sepertinya akan membuat diri ini lebih tenang.Kubawa mobil ini dengan sangat pelan, kupandangi jalanan yang tidak rame juga sepi, semua sedang-sedang saja, sepertinya semesta sedang mendukung diri ini. Hingga alam pun tidak ikut bising.Suara getaran ponsel membuyarkan anganku, aku melirik ke samping, tertera nama suami sedang menelepon. Mungkin dia sudah jenuh atau Amira rewel.Kuraih ponselnya lalu kupencet tombol merah. Kubuka deretan pesan darinya.[Sherly. Niat jemput tidak? Kenapa lama sekali?][Halo, Sherly. Teleponku diangkat dong!][Sherly, kami kepanasan, Amira rewel. Lekaslah kesini][Sherly, cepat kesini. Clara marah-marah. Maas sudah tidak punya ongkos buat bayar taksi, semua sudah buat DP mobil]Aku menghela napas, lalu putar arah menuju ke arah alamat yang dikirim Mas Pram.Sepertinya sekarang harus tunduk dulu agar tidak dicurigai.10 menit setelahnya, dadi kejauhan, di trotoar jalan di depan showroom, terli
“Sherly, apa-apaan, Kamu!“ Mas Pram ikut menimpali dan langsung turun, ia langsung ambil alih dan menyuruhku turun untuk menggantikanku nyetir mobil.“Maaf, lagi belajar,” jawabku sangat lirih. Kupasang wajah memelas. “Tidak usah masuk lagi! Kamu jalan saja bukain pintu gerbang!“ seru Ibu meneriakiku saat tangan ini hendak membuka pintu mobil.Aku pun mundur, lalu berjalan kaki ke rumah, nampak tetangga depan sedang menatap ke arah kami, lantas aku pun langsung memasang wajah sedih dan berusaha mengeluarkan air mata ini. Segera aku mengingat kenangan paling menyedihkan agar aku bisa mengeluarkan air mata. Akhirnya usahaku berhasil. Aku melangkah maju dan pura-pura jalan dengan langkah terseok-seok. Langkahku sangat pelan hingga Mas Pram pun membunyikan klakson sesuai keinginanku.Aku menunduk pura-pura mengusap air mataku, sesekali aku mencuri pandang ke arah tetangga yang barusan aku lewati. Kebetulan rumah Mas Pram melewati beberapa petak rumah.Nampak si tetangga itu sangat penas
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!