“Tante, tolong masalah ini jangan sampai bocor ya, Tante. Aku tidak enak apalagi berhubungan dengan aib keluarga.““Iya-iya, tenang saja.““Mas Pram mau menikah lagi, Tante. Tadi aku marah-marah di mobil dan diturunkan begitu saja di jalan depan sana. Terus aku tidak sengaja menginjak kerikil dan membuatku keseleo.“ Aku sedikit berakting dan sedikit menggigit bibir ini.“Astaghfirullah, terus, Kamu tidak ditolong? Malah suruh bukain pintu gerbang? Zolim sekali mereka!“ sungutnya.Aku hanya mengangguk.“Bahkan, Kamu mau ditinggal nikah lagi? Dasar Pram belagu, OKB itu memang seperti itu, suka lupa dulu seperti apa. Ih, Tante gemas!““OKB itu apa, Tante?““Orang kaya baru. Aku paling benci sama Lelaki yang tega sama istri dan mau menikah lagi. Emang katanya kenapa mau menikah lagi?““Katanya aku mandul, padahal usia pernikahan kami baru 4 tahun, Tante,” lirihku dan pura-pura menangis.“Astagfirullah! Amit-amit punya tetangga seperti itu. Owh iya nama, Kamu siapa? Tante lupa.““Sherly, T
POV PRAMPLAK!!Tangan ini lepas begitu saja, aku menatap telapak tangan ini. Tidak percaya yang barusan aku lakukan. Aku menampar wajah istriku. Aku menatap wajahnya yang menatap ke arahku dengan pandangan kosong. Marahkah? Kecewa?Ah, biarlah. Biar dia tahu marahnya aku seperti apa. Sungguh aku melihat kegilaan Istriku menyetir tadi. Sangat membahayakan anakku dan ibu. Aku tidak bisa mentolerirnya ditambah saat menyaksikan Clara muntah-muntah.Pemandangan itu sangat menyakitkan.Bukannya punya hati langsung membantu malah enak-enakan ngobrol dengan tetangga, sungguh tidak punya hati.“Heh! Biadab! Bisa-bisanya melakukan kekerasan dengan wanita!“ Seorang wanita tua mendorong bahuku.Ingin sekali aku balas dan mendorong lebih keras biar tahu rasa. Namun aku sadar nanti hanya akan menambah masalah saja. Lebih baik tidak perlu dihiraukan.Segera aku tarik lengan Sherly menuju ke rumah. Dia harus meminta maaf sama ibu juga Clara. Tidak masalah dengan diriku. Aku tidak peduli. Tapi merek
“Itu karena kesalahan, Kamu Sherly. Sudahlah jangan membahas yang tidak penting, cepatlah minta maaf ke mereka!“ suruhku mempersingkat masalah. “Tidak penting katamu? Kamu baru saja membahayakan nyawaku, lihat bibirku berdarah! Apa tidak nampak! Clara hanya muntah. Ibu juga tidak kenapa-kenapa. Tapi aku disuruh minta maaf! Hatimu dibuang kemana?!“ tanyanya mendelik membuatku frustasi.Aku mengusap kasar wajah ini. Kenapa susah sekali mendamaikan mereka. Apa perlu kuceraikan saja dia? Tapi aku baru saja mengambil angsuran tinggi. Tidak! Sherly adalah aset yang perlu dipertahankan.“Sherly, aku mohon! Minta maaflah,” ujarku dengan memelankan suara.“Baiklah,” lirihnya. Ia mendekat dan lalu berbisik dekat kupingku. “Aku akan melakukan permintaanmu ... tunggu saja konsekuensinya.“Setelah berucap seperti itu. Ia mundur dan melangkah ke arah ibu.“Bu, maafkan Sherly tadi,” ucapnya ke arah Ibu.“Hem.“ Ibu hanya berdehem dan masih mendongak menatap Sherly.“Clara. Mbak minta maaf.“ Kini ia
“Kamu Kenapa?“Sherly hanya menggeleng, sedangkan juniorku meronta-ronta di bawah. Aku menyejepitnya dengan kedua pahaku, setidaknya menahan beberapa saat.Aku pun dengan gerakan pelan, memapah Sherly ke ranjang.Ia tidak menolak juga tidak meresponnya. Namun aku tidak bisa memilih, juniorku harus dipuaskan. Aku pun membuka roknya yang menutupi dirinya.Kini aku merangkak naik dan saat melihat wajahnya, lagi. Ia sudah berlinang air mata. Apa aku salah meminta hakku sebagai suami?“Kamu kenapa? Bicaralah jangan hanya menangis?“ tanyaku lalu beranjak dan duduk di sebelahnya. Kecewa.Aku menoleh, melihatnya yang ikut bangun dan memungut bajunya lalu mengenakannya.“Mas, hatimu ke mana? Tadi menamparku dan sekarang minta enak-enak. Aku ini apa di matamu?“ tanyanya dengan nada pelan.“Bukannya hubungan intim kita sama-sama enak? Kamu lupa dulu, Kamu yang sering meminta duluan. Tapi kenapa sekarang seolah-olah, Kamu tidak menikmati dan mengatakan kalau mas jahat?“ Aku menggeleng menatapnya
“Tidak. Lang! Aku sudah nyaman di sini. Tolong jangan ganggu aku lagi, kita sudah mantan.“ Begitu suara yang aku dengar, ternyata dia sedang bertelepon.Aku menarik kepala ini dan kini berdiri tegak. Senyumku sedikit menyungging saat mendengar tadi, betapa setianya calon istriku ini. Lantas aku pun mengetuk pintu kamarnya.Tidak lama Clara membukakan pintu itu, wajahnya terkejut saat aku berada di depannya. Ia terlihat gugup lalu merapikan rambutnya.“Kenapa, Mas?“ tanyanya.“Amira mana? Biar aku ajak ke warung. Biar, Kamu bisa ngapa-ngapain.““Amira, Mas. Dia lagi ngedot. Bentar ya, aku ambilkan.“Aku mengangguk, menantinya.“Ini, Mas. Mau digendong?“ tanyanya sembari menyodorkan Amira ke arahku. Aku langsung sigap meraihnya dengan hati-hati.“Ia gendong saja.“Ia kembali masuk dan tidak lama membawa sebuah kain jarik, lalu ia melingkarkan jarik itu ke badanku. Lalu melilitkan setelah semua pas.Wangi badannya tercium oleh indera penciumanku. Saat badannya hendak menjauh, aku meraih
POV SherlyAku menatap punggung Mas Pram saat ia pergi meninggalkanku. Setelah pintu itu tertutup rapat, segera kuhapus air mataku ini. Lalu aku bangun dan mata ini memindai setiap inci untuk mencari rontokan rambut Mas Pram. Aku menyibak badcover, masih juga belum menemukan. Lalu kuraih ponsel yang masih tersimpan rapi di tas untuk menyalakan senter. Kuusap layar ponsel, ternyata ada pesan dari Herman. Akupun langsung membukanya.[Rumah kapan siap disurvei? Soalnya sudah ada calon pembeli yang tertarik ingin melihat-lihat]Akupun langsung mengetik untuk membalasnya.[Insyaallah secepatnya, nanti saya kabari lagi, ya][Kalau bisa Minggu ini ya, soalnya yang survei dari luar kota dan bisanya Minggu ini][Siap]Aku langsung menutup aplikasi WhatsApp lalu segera ke playstore untuk mendownload sebuah aplikasi pemesan tiket.Setelah menunggu sekian detik, akupun langsung memasukkan beberapa data juga alamat yang diminta. Setelah itu segera aku pesan 4 tiket ke Bali untuk hari lusa, pulan
“Yasudah, ini Amira gendong!“ “Argh, ya! Ya! Aku ambilkan air minum!“ desisnya lalu berjalan dengan menghentakkan kakinya.Lihatlah tingkahnya sok sekali, siapa dia di rumah ini, kamu akan menyesali perbuatanmu, Clara!Aku pun segera kembali ke kamar, lalu mengambil plastik klip yang selalu tersedia di lemari kecilku.Aku pun memasukkan rambut Clara ke satu wadah plastik khusus dan tidak lupa menamai pemiliknya.Setelah itu aku memasukkan ke dalam dompet pribadiku.Kutatap Amira, rambutnya sudah lebat meskipun pendek. Segera aku raih empeng yang dikalungkan di lehernya lalu memasukkan ke bibirnya, setelah itu dengan sangat terpaksa. Aku mencabut rambutnya beberapa helai. Kupandangi wajah Amira yang sedikit meringis.Akupun segera mengayunkan badannya. Tidak lama ia pun langsung tertidur. Aku pun langsung menyimpan rambut tadi seperti yang aku lakukan kayak rambut Clara tadi. Dan menyimpan dalam wadah yang berbeda.Kini hanya tinggal punya mas Pram yang belum.Setelah tersimpan rapi,
Aku begitu girang dalam hati. Modal 30 juta akan balik 10 kali lipat. Hahahaha.Psst ... aku segera menunduk, tentu saja menyembunyikan raut wajahku, susah sekali untuk tidak ketawa.Segera aku tarik napas dalam-dalam. Lalu aku mendongak kembali. Terlihat Clara yang cemberut. Wajahnya tertekuk.Aku suka sekali melihat raut wajahnya.“Lantas buat apa aku suruh ke sini? Maksud, Mbak mau pamer ke aku gitu?!“ desisnya ke arahku.Aku tidak mengindahkan, biar dia gondok saja dulu.“Assalamualaikum!“ terdengar salam dari luar .Kami kompak langsung menatap ke arah pintu luar, tidak lama Bapak masuk dengan kail pancingannya.“Bapak, besok kita jalan-jalan, Pak!” seru Ibu menyambut Bapak dan sedikit berlari ke arahnya. Girang sekali.Bapak tidak menyambut pelukan dari ibu, ia sempat syok sesaat lalu memandang kamu untuk meminta penjelasan.Tapi ibu langsung melepaskan pelukan dan menggandeng berjalan mendekat ke arah kami.Bapak pun ikut duduk. Meminta penjelasan dengan kening masih berkerut.
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!