SERANGAN DIANDRA Diandra melesat dari cekalan tangan suaminya. Wanita yang tengah kesetanan itu setengah berlari ke arah Arini. Tanpa sempat menghindar, Arini harus merasakan sakit di kulit kepala akibat tarikan kerudung yang mengenai rambutnya. "Aku sudah tak bisa lagi bersabar menghadapimu. Sudah kukatakan, jangan ganggu suamiku! Kenapa kau bebal sekali, hah? Berapa banyak uang Mas Yudha yang harus kamu gerogoti lagi? Sebagai istrinya aku benar-benar tidak ikhlas! Aku melarangnya memberikan satu rupiah pun uangnya padamu!" Arini mengaduh. Tangan Diandra benar-benar mencengkeram kuat kerudung dan rambut Arini. Suasana makin riuh, semua orang hampir memadati area keributan itu. Yuda kewalahan menenangkan istrinya. "Selangk*nganmu gatal? Bukankah kau sudah bekerja dengan germo yang memberimu banyak makanan?!" "Diandra!" teriak Yuda seolah tak terima dengan tuduhan istrinya pada Arini. Yakin sekali dia dengan Arini. Tak mungkin wanita itu menggadaikan harga dirinya demi rupiah yang
ARINI MELAWAN "Dia adalah ayah dari anak-anakku!" Arini menunjuk wajah Yuda tanpa ragu sedikit pun. Yuda sendiri memijit keningnya yang berdenyut nyeri. Tak dia sangka Arini akan seberani ini."Wanita ini bernama Diandra, dia yang mengambil laki-laki bernama Yuda ini dariku dan anak-anak. Mereka adalah pasangan selingkuh dan Diandra ini melarang laki-laki pengecut di sampingnya untuk menafkahi anak-anaknya! Bahkan asal kalian tahu, uang untuk pengobatan anakku pun tidak pernah sampai padaku. Wanita ini dengan begitu tega menahan hak anak-anakku hingga salah satu dari mereka akhirnya meninggal karena tak sempat diberi perawatan serius. Lalu kini aku yang sedang berusaha menata hati harus mendapat tekanan terus-menerus dari wanita gila ini? Dan kalian semua, dengan tanpa rasa berdosa sedikit pun ikut menghakimi sesuatu yang tidak kalian tahu kebenarannya, apakah saya harus diam saja? KATAKAN!" Suasana makin tak terkendali. Teriakan Arini membuat orang yang tadinya tidak peduli akhir
ARINI LELAH Semua terdiam. Arini sedikit menggigil mendengar bagaimana atasannya yang terbiasa lembut itu menunjukkan kemarahan yang tak biasa. Memang bukan padanya, tetapi semua itu terjadi karena urusan ini menyangkut dirinya. "Maaf, saya terkesan ikut campur. Hanya saja jika kalian terus-menerus mengusik Arini dan membuat keributan di swalayan ini, saya sungguh keberatan. Dengan kata lain kalian tengah menunjukkan pada pengunjung yang lain bahwa tempat ini penuh masalah. Saya tidak akan berbicara seperti ini jika keributan seperti ini terjadi di luar sana. Mohon maaf, saya benar-benar terganggu dengan keberadaan kalian yang tak berhenti mengacau. Sebagai pemilik swalayan saya peringatkan kalian jika hal semacam ini terjadi lagi, tak segan-segan saya akan melaporkan tindakan kalian ke kantor polisi atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan. Ingat, saya tidak pernah main-main dengan ancaman saya." Diandra satu-satunya orang yang berani menatap Umi Hasyim dengan wajah sombongnya.
ANCAMAN ARINIUmi menutup matanya beberapa saat lamanya. Dia yang hanya sebagai penengah atas kasus ini saja sudah merasa amat lelah. Bagaimana dengan Arini?"Mas, katakan. Harus dengan cara seperti apa lagi kukatakan padamu? Aku tidak ingin terus-menerus menjadi bulan-bulanan istrimu. Katakan yang sejujurnya, jangan diam! Jangan jadi laki-laki pengecut yang diam saja saat orang yang tak bersalah harus menanggung akibat perbuatanmu! Kau sungguh memalukan jika terus diam seperti ini!" Arini menatap mantan suaminya dengan cukup kecewa. Jika saja Yuda tak terus-menerus mengganggunya, tak terus-menerus mencari celah agar berada di sekelilingnya, tentu saja Diandra akan lebih mudah dikendalikan. "Munafik. Kau mengucapkan semua itu hanya di depan kami saja bukan?!" Diandra tak percaya begitu saja dengan apa yang Arini katakan. "Dengar, Di. Seharusnya kamu malu berbuat seperti ini. Bukankah dulu kau turut andil atas perpisahanku dengan Arini?" Yuda tak mau kalah. Pertengkaran suami istri
DEWI TERPOJOK “Bagaimana, Arini? Ibu serahkan semua keputusan padamu. Perbuatan Dewi jelas sangat merugikan.” Umi Hasyim menoleh pada Arini setelah sekian lama Dewi tetap bungkam. Keputusannya bulat mengeluarkan Dewi saat tidak ada kata maaf dan kalimat penyesalan keluar dari mulut karyawannya itu.“Saya minta maaf atas kekacauan yang terjadi, Bu. Saya benar-benar menyesal keributan seperti ini terjadi lagi.” Arini menunduk. Dia benar-benar takut Umi akan mengeluarkannya karena kerugian akibat kerusakan barang tentu tidak sedikit. “Saya menerima apapun keputusan Umi. Kalau Umi ingin memberi sanksi dengan mengeluarkan saya, saya akan berusaha menerima dengan lapang hati.”Umi Hasyim menarik napas panjang mendengar suara Arini yang bergetar. Karyawannya itu bahkan tercekat di akhir kalimat. “Lalu, bagaimana dengan kamu, Dewi? Bukankah semua keributan ini berawal dari laporanmu pada Diandra?”“Saya hanya tidak suka saja melihat seorang suami menemui wanita lain, Umi. Posisikan Umi ada d
NIAT BAIK BU NINGRUM “Yang benar, Ratno? Kenapa?” Bu Ningrum menautkan alis mendengar cerita dari supirnya. Dua minggu ini ada keluarganya dari desa yang datang berkunjung hingga membuat Bu Ningrum menjadi sedikit kerepotan.“Kabarnya karena Mbak Arini kurang nyaman disana, Bu. Kurang nyaman karena apa, saya juga tidak tahu pasti. Yang jelas, sudah dua mingguan ini dia mencari kos-kosan baru sambil menunggu masa sewanya habis.” Ratno menginjak rem secara mendadak saat anak kecil penjual asongan mendadak menyebra. “Astaghfirullahaladziim.”“Hati-hati, No.” Bu Ningrum menggeleng-geleng sambil memperhatikan anak kecil tadi dari balik kaca mobil. “Sudah dapat dia tempat pindah?”“Infor terakhir yang saya terima belum, Bu.” Ratno memperhatikan wajah Bu Ningrum dari spion tengah. Majikannya itu terlihat sedang memikirkan sesuatu.“Putar arah, Pak. Kita ke Swalayan Basmalah. Ini sudah jam empat, sebentar lagi shift Arini selesai. Kita tunggu saja di parkiran sampai dia pulang. Saya mau bica
KEMARAHAN YOVAN “Dari mana, Ma?” Yovan yang baru sampai dari kantor menyipitkan mata melihat mamanya yang baru sampai juga. Dia langsung menghampiri Bu Ningrum saat melihat wanita itu kerepotan membawa barang-barangnya. “Ini apa?” Yovan menautkan alis saat melihat bawaan mamanya. jaring-jaring entah apa dan beberapa benang berukuran besar berbagai warna.“Itu alat sulam strimin. Sudah letakkan saja di sofa, besok mau Mama bawa lagi.” Bu Ningrum menunjuk sofa.“Besok dibawa lagi? Trus ngapain diturunkan dari mobil?” Yovan menatap mamanya bingung. Dia memandang barang bawaan di sofa dan mamanya bergantian.“Ya nggak apa-apa. Mana tahu nanti malam Mama mau nyulam lagi.” Bu Ningrum mengangkat bahu. “Sudah sana kamu mandi dulu, istirahat sebentar. Abis maghrib kita makan.”Bu Ningrum tersenyum puas melihat hasil sulamannya hari ini. Dia sedang membuat sulaman seorang gadis sedang menari Gending Srwijaya dari kota Palembang. Banyaknya perintilan di bagian kepala dan juga detail kecil pada
YOVAN RAGU“Anak kurang ajar! Ini hasil didikanmu, Ningrum? Berani-beraninya dia mengatakan aku sudah mati.”Yovan menarik napas panjang. Gema suara gebrakan Hermawan di meja tiga puluh tahun yang lalu seakan terdengar jelas di telinga Yovan. Matanya melihat meja di hadapannya. Ya, meja ini yang dulu menjadi saksi pertemuan pertamanya dengan sang Papa.“Apa kabar?”“Baik, Pak Hendrawan.” Yovan tersenyum lebar. Dia dapat menangkap pancaran kerinduan dari lelaki di hadapannya. Garis wajah dan postur tubuh mereka sama persis. Bahkan, suara mereka pun sama. Bedanya, suara Pak Hendrawan sudah lebih berat dan sedikit serak karena usia yang semakin tua.“Panggil Papa saja.”Yovan tersenyum tipis mendengar ucapan Hendrawan. Lelaki itu masih sama angkuhnya dengan dulu. Tiga puluh tahun berlalu, tak ada tanda-tanda kata maaf akan keluar dari mulutnya. “Tujuan saya kemari ingin membicarakan tanah yang akan Bapak jual.” Yovan mengabaikan ucapan Hendrawan barusan.“Tanah itu milikmu, tak perlu kau
“Mama, senyum! Lihat kemari!” ucap Rafa sambil melambaikan tangan ke arah ibunya. Sebuah buket raksasa berisi foto-foto ibunya dihadiahkan anak laki-laki itu pada Arini. Wanita itu pun memeluk buketnya meski sedikit kepayahan. Berbagai karangan bunga berisi ucapan selamat untuk para wisudawan menghiasi setiap sudut halaman auditorium yang digunakan untuk acara wisuda kali ini.Senyum Arini mengembang sempurna. Suaminya berhasil menegakkan kepala wanita yang sempat kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Yovan pun terlihat amat puas dengan hasil kerjanya membujuk wanita itu. Senyuman menawan laki-laki itu membuat Arini merasa begitu dicintai laki-laki pemilik hidung mancung itu.“Papa ambil posisi di sebelah Mama. Jangan lupa Mama dipeluk!”Arahan dari Rafa membuat Arini dan Yovan tertawa. Mereka takjub sekali dengan perubahan pada diri Rafa. Apalagi setelah dia diberitahu bahwa adiknya akan lahir dalam hitungan hari. Dia makin menunjukkan sikap protektifnya pada sang ibu.“Sekarang Pa
Tentang Bahagia Arini memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya berwarna hijau sage dengan kain batik yang membelit tubuh bagian bawahnya tak membuat dirinya berpuas diri. Matanya berkaca-kaca saat berkali-kali memutar dirinya di depan cermin. Kehamilannya di usia sembilan bulan ini membuat berat tubuhnya melonjak drastis. Pipinya membulat sempurna, belum lagi dagu yang seolah berjumlah dua hingga membuat dia kesusahan mengenakan kerudung untuk menutupi mahkotanya.Arini menjatuhkan dirinya di atas tepian kasur. Acara wisuda yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi tiba-tiba membuat dirinya meragu. Penampilannya yang dia nilai akan menjadi bahan tertawaan banyak orang membuat Arini hampir menyerah untuk mempersiapkan diri. Sebuah ketukan ringan dari arah pintu membuat kepalanya menoleh.“Loh, belum siap juga? Kita harus datang di gedung satu jam lagi. Kenapa toga pun belum kamu pakai?” Suara suaminya membuat Arini makin tak bisa menahan laju air matanya. Make up natural
“Diminum, Bu.” Arini meletakkan es jeruk dan setoples kue kering. Wanita itu langsung duduk di sofa yang kosong. Dia tersenyum tipis saat melihat sejak tadi tangan Ratna terus-terusan memegang tanga Rafa.“Terima kasih.” Ratna mengambil gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Rasa asam, manis dan segar memenuhi mulut Ratna. Minuman itu cocok sekali dinikmati saat hari cerah seperti siang ini. “Sudah berapa bulan?” Ratna memperhatikan perut Arini yang mulai menyembul.“Masuk lima.” Arini refleks mengelus perut. “Apa yang mau dibicarakan, Bu? Tidak biasanya Ibu pergi sendirian. Jarak rumah kesini lumayan jauh.” Arini memperhatikan wajah Ratna yang sejak tadi tampak mendung. Mata wanita tua itu dipenuhi kabut seakan menyimpan kesedihan yang tak berujung.“Ibu mau minta maaf ….” Ucapan Ratna terpotong karena tangis. Mantan mertua Arini mendadak terisak kencang. Dia tidak bisa mengendalikan air mata saat mengingat perlakuan buruknya pada Arini dulu. “Ibu mau minta maaf atas semua kesalahan
“Jadi, nanti perut Mama akan membesar ya, Ma? Terus Adik bayinya keluar dari mana?”Arini menarik napas panjang. Rafa memang banyak bertanya setelah mengetahui kalau di perutnya ada bayi. Anak lelaki itu sangat senang sekaligus juga penasaran. Berbagai pertanyaan dia lontarkan. Pertanyaan yang kadang membuat Arini harus memutar otak dengan keras agar bisa menjawab sesuai dengan umur dan pemahaman anaknya.“Manusia akan melalui tiga alam selama hidup. Pertama, alam dunia, tempat kita saat ini. Kedua, alam barzah, tempat kita menanti hari kiamat tiba. Ketiga, alam akhirat, tempat kita mempertanggungjawabkan semua perbuatan.” Arini menjawab setelah cukup lama terdiam. “Sudah dapat pelajaran di sekolah ‘kan tentang alam-alam ini?” Arini mengelus kepala Rafa pelan.Rafa mengangguk pelan. Anak itu ingat kata guru agamanya, kalau anak nakal, nanti dia akan mendapat balasan di akhirat. Kalau mencuri tangannya akan dipotong berkali-kali. Sebaliknya, kalau dia menjadi anak rajin dan senang memb
IRI “Mas, sudah kubilang percuma kita kemari. Memang Tuhan itu belum ngasih karena dia lihat Mas Yuda belum mampu menafkahi anak kita nantinya, jadi dia lebih milih buat nunda. Kok kamu jadi maksa-maksa gini? Buang-buang waktu tahu nggak?”Diandra mendekap kedua tangannya. Baru saja dia dan Yuda sampai di sebuah klinik kandungan yang direkomendasikan salah seorang temannya. Klinik yang saat Diandra melihat list harga konsultasi dan tindakan yang dilakukan cukup membuat matanya melotot tak percaya. Rasanya sayang sekali uang sebesar itu digunakan untuk hal tidak penting seperti ini.“Mas. Mending uangnya buat liburan atau memanjakan diri di spa seharian. Paling tidak untuk senang-senang dari pada ngendon di rumah seharian. Bukan nggak mungkin gara-gara stress di rumah yang membuatku susah hamil begini!”Yuda hampir membentak istrinya jika tak menyadari posisi mereka saat ini. Rasanya telinganya gatal mendengar istrinya berbicara kasar seolah ibunyalah penyebab dia belum juga diberi ke
KECEMASAN ARINI Arini meremas tangan suaminya. Laki-laki itu tersenyum. Setelah perdebatan panjang akhirnya Arini bersedia ke klinik yang sudah direkomendasikan dokter Wisnu saat Yovan menanyakan dokter kandungan yang bagus untuk istrinya. Sebenarnya bisa saja dia membawa Arini ke klinik yang dulu selalu dia datangi bersama Raline saat istri pertamanya itu hamil.Tetapi dia mengurungkan hal tersebut demi menjaga perasaan istrinya. Pasti Arini akan merasa tak nyaman karena menganggap Yovan sengaja membawa dirinya ke tempat dimana kenangannya bersama Raline sebagian besar terekam di sana. “Mas?”“Ya?” Senyum di bibir Yovan belum juga pudar. Bayangan tentang detik-detik pertama istrinya memberikan benda yang dia angsurkan sebelumnya membuat laki-laki itu tak bisa kehilangan kebahagiannya. Arini menunjukkan trip dua pada benda yang dibeli suaminya melalui layanan aplikasi belanja online itu. Yovan yang sebelumnya berdiri menyederkan tubuhnya di tembok depan itu hampir melompat kegiranga
TEST PACKMata Yovan kembali menyipit. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan istrinya saat ini. Yang dia lakukan langsung beranjak ke kamar mereka di lantai dua. Dia kehilangan daya saat melihat istrinya bermuram hingga tak berani sama sekali dia mendebatnya. Laki-laki itu pun merasa mati langkah saat hari liburnya justru bertepatan dengan jadwal Rafa di rumah Yuda.Laki-laki itu bahkan ingin sekali melarang anaknya pergi ke rumah ayah kandungnya jika tak ingat hal itu akan membuat suasana sejuk yang tercipta dengan laki-laki itu akan kembali memanas dan tentu akan berdampak pada hubungan mereka. Apalagi Yuda sudah menjanjikan anaknya melakukan kegiatan yang sama lagi seperti saat itu. Memancing di danau dan membakar ikan di tepian yang membuat bibir mungil Rafa tak henti-hentinya bercerita aktivitas yang menyenangkan itu.Baru saja hendak memakai kaos berwarna merah miliknya, Arini yang tiba-tiba masuk mencegah laki-laki itu.“Jangan yang itu, Mas. Warna itu merusak pandangan mataku.
SIKAP ANEH ARINIArini duduk di atas sofa ruang belakang. Tatapannya tertuju ke arah luar jendela dimana pohon palem yang berderet rapi di halaman terlihat meliuk-liuk diterpa angin. Hujan yang turun membuat pepohonan di luar sana tampak segar. Aroma petrikor yang berasal dari tanah kering yang tersiram air hujan terasa sekali di indra penciuman Arini.Tetapi kali ini reaksi yang dirasakan Arini terasa lain. Tidak seperti biasanya saat hatinya bersorak menikmati aroma khas yang keluar saat awal-awal hujan turun. Arini bahkan beranjak dari posisi duduknya saat ini demi menutup jendela berharap bau khas itu segera menghilang secepatnya.“Kucari-cari kenapa justru di sini?”Suara suaminya membuat Arini tersentak. Beberapa saat kemudian dia membetulkan anak rambut yang berkeliaran bebas di dahinya. Keheningan rumah itu membuat mood Arini mudah sekali memburuk. Suaminya itu langsung mengambil posisi berhimpitan dengannya. Aneh, seketika Arini menggeser tubuhnya hingga menambah jarak di ant
“Mama!” Rafa berteriak senang saat mobil Yovan memasuki halaman. Bocah laki-laki itu langsung berlari saat Arini keluar dari mobil. “Kangen.” Rafa tertawa-tawa saat Arini memeluknya erat-erat. Dia semakin terkekeh geli saat Arini menciumi wajahnya bertubi-tubi.“Papa.” Rafa langsung menyalami Yovan setelah berhasil lepas dari pelukan Arini. Dia mengangguk senang saat Yovan dengan mudah mengangkat tubuhnya.Disini, Yuda mengeluh pelan melihat keharmonisan keluarga di hadapannya. Rafa tampak sangat senang digendong Yovan. Sementara Arini menggandeng tangan Yovan dengan sebelah tangan menenteng paper bag biru. Keluarga kecil yang terlihat sangat harmonis. Siapapun pasti akan mengira kalau Rafa adalah anak Arini dan Yovan.“Assalamualaikum, Mas.”“Waalaikumussalam.” Lamunan Yuda terhenti mendengar salam Arini. Dia langsung berdiri dan membalas jabat tangan Arini dan Yovan. “Masuk dulu. Mama dan Diandra sedang keluar. Mama mertua mau mengadakan hajatan jadi mereka bantu-bantu.”“Kami dilua