KEMARAHAN YOVAN “Dari mana, Ma?” Yovan yang baru sampai dari kantor menyipitkan mata melihat mamanya yang baru sampai juga. Dia langsung menghampiri Bu Ningrum saat melihat wanita itu kerepotan membawa barang-barangnya. “Ini apa?” Yovan menautkan alis saat melihat bawaan mamanya. jaring-jaring entah apa dan beberapa benang berukuran besar berbagai warna.“Itu alat sulam strimin. Sudah letakkan saja di sofa, besok mau Mama bawa lagi.” Bu Ningrum menunjuk sofa.“Besok dibawa lagi? Trus ngapain diturunkan dari mobil?” Yovan menatap mamanya bingung. Dia memandang barang bawaan di sofa dan mamanya bergantian.“Ya nggak apa-apa. Mana tahu nanti malam Mama mau nyulam lagi.” Bu Ningrum mengangkat bahu. “Sudah sana kamu mandi dulu, istirahat sebentar. Abis maghrib kita makan.”Bu Ningrum tersenyum puas melihat hasil sulamannya hari ini. Dia sedang membuat sulaman seorang gadis sedang menari Gending Srwijaya dari kota Palembang. Banyaknya perintilan di bagian kepala dan juga detail kecil pada
YOVAN RAGU“Anak kurang ajar! Ini hasil didikanmu, Ningrum? Berani-beraninya dia mengatakan aku sudah mati.”Yovan menarik napas panjang. Gema suara gebrakan Hermawan di meja tiga puluh tahun yang lalu seakan terdengar jelas di telinga Yovan. Matanya melihat meja di hadapannya. Ya, meja ini yang dulu menjadi saksi pertemuan pertamanya dengan sang Papa.“Apa kabar?”“Baik, Pak Hendrawan.” Yovan tersenyum lebar. Dia dapat menangkap pancaran kerinduan dari lelaki di hadapannya. Garis wajah dan postur tubuh mereka sama persis. Bahkan, suara mereka pun sama. Bedanya, suara Pak Hendrawan sudah lebih berat dan sedikit serak karena usia yang semakin tua.“Panggil Papa saja.”Yovan tersenyum tipis mendengar ucapan Hendrawan. Lelaki itu masih sama angkuhnya dengan dulu. Tiga puluh tahun berlalu, tak ada tanda-tanda kata maaf akan keluar dari mulutnya. “Tujuan saya kemari ingin membicarakan tanah yang akan Bapak jual.” Yovan mengabaikan ucapan Hendrawan barusan.“Tanah itu milikmu, tak perlu kau
KEDATANGAN YOVAN Mobil sedan warna hitam metalik berhenti tepat di depan rumah yang ditinggali Arini kurang lebih seminggu terakhir. Arini yang hari ini off tersenyum lebar. Dia sudah mengira pemilik mobil tersebut, Bu Ningrum, mendatanginya sepagi ini. Percakapan terakhirnya dengan wanita itu mereka sepakat hari ini akan memasak menu soto lamongan yang sempat Arini hidangkan saat wanita itu terakhir kali berkunjung. Rafa yang tengah membantu ibunya menata tanaman pun berjingkat riang. Benaknya sudah membayangkan wanita yang meminta anak itu memanggilnya nenek datang kembali mengunjunginya, meski ibunya sendiri hari ini libur kerja. Namun senyum di bibir kedua orang itu sirna perlahan. Bukan Bu Ningrum yang keluar, melainkan sosok laki-laki dengan wajah kaku dan berpostur tubuh tinggi yang langsung menatapnya mereka dengan sedikit angkuh. Arini langsung mematikan keran yang tengah digunakan untuk menyiram rimbunan melati jepang. “Maaf, ada yang bisa kami saya bantu?” Arini menata
PERMOHONAN BU NINGRUM “YOVAN!” Arini yang bersiap membalas kata-kata pedas Yovan mendadak urung berucap. Suara keras Bu Ningrum membuatnya tersentak kaget. Bahkan Yovan yang semula duduk dengan kedua tangan di saku itu mendadak berdiri. Tak dia sangka ibunya datang ke rumah tersebut. Seharusnya hari ini dia datang ke arisan keluarga besar mereka yang diadakan di salah satu restoran mewah yang letaknya di pusat kota. Rencana tersebut yang akhirnya membuat Yovan meminta Pak Ratno membawa mobil mewah miliknya yang baru dibeli bulan lalu. Hal tersebut dia lakukan agar sang Ibu tak menjadi cemoohan anggota arisan yang selalu membahas mobil wanita itu tak ganti selama beberapa tahun lamanya. “Ma-ma?” Yovan tergagap melihat kemurkaan Bu Ningrum yang melihat putranya bersikap tak seperti yang dia harapkan. Sikapnya yang amat ketus dengan kata-kata pedas cukup membuat wanita itu kecewa. Tak seharusnya dia bersikap seperti itu pada orang yang pantas untuk dilindungi. “Begini sikapmu pad
BANTUAN MODAL Yovan mengembuskan napas berkali-kali. Mau tidak mau dia harus berdamai dengan Arini. Ibunya terlanjur menaruh simpati. Lagi pula, dia sudah menyelidiki latar belakang Arini. Dia bukan wanita yang macam-macam. Hidupnya lurus-lurus saja. Pagi berangkat kerja, sore pulang, mengurus rumah dan anaknya.Dia janda karena ditinggalkan suaminya. Setelah itu berjuang sendirian membesarkan kedua anaknya. Hingga belum setahunan ini, anak bungsunya yang sakit-sakitan meninggal. Dia diusir dari kos-kosan karena tidak mampu membayar sewa.Arini berkenalan dengan mamanya karena tidak sengaja tertabrak. Sejak saat itu, mereka menjadi dekat. Bukan Arini yang mendekati, tapi mamanya yang terus-terusan memantau kehidupan Arini karena bersimpati.Ya, sedetail itu Yovan menyelidiki Arini. Dia akan menanamkan modal pada usaha yang dia juga tidak tahu usaha apa. Dia harus mendiskusikannya dulu dengan Arini agarr mengetahui minat dan kemampuan wanita ituDering ponsel membuat Yovan menepikan m
SALAH PAHAM "Kalau untuk awal-awal, saya belum berani keluar dari pekerjaan, Pak Yovan. Bukan saya pesimis, tapi saya juga butuh uang untuk melanjutkan hidup." Arini sedikit bernapas lega melihat Yovan mengangguk walau samar. "Tapi saya benar bersungguh-sungguh untuk membuka usaha. Kalau maju, tentu kehidupan saya dan anak akan lebih baik."Suasana di teras itu hening sementara. Angin sepoi-sepoi menggoyangkan dedaunan bunga di halaman. Wangi khas melati dan mawar yang sedang mekar tercium samar terbawa hembusan angin.“Rencana mau membuka usaha apa, Mbak Arini?” Yovan mengambil sepotong kukis dari dalam toples. Renyah dan manis membuat perpaduan tersendiri yang menyenangkan di mulut Yovan.“Rencananya saya mau membuat pembesaran ikan mujair dengan bak fiber, Pak Yovan. Tanah kosong belakang rumah bisa dimanfaatkan. Selain itu, saya juga mau membuat pembesaran ikan lele sistem bioflok dengan menggunakan metode aquaponik. Lele ini tidak membutuhkan banyak tempat, hanya satu bak fiber
RENCANA RESIGN "APA? SERIUS?" Wulandari hampir menyemburkan gulai patin yang tengah dimakannya bersama Arini di teras mushola swalayan Basmalah. Wanita itu melotot tak percaya dengan apa yang dikatakan Arini. Buru-buru dia menenggak air putih di botol minumnya hingga sisa separuh. "Jangan main-main, Rin. Kamu yakin?" tanya Wulandari sambil menghentikan aktivitasnya. Arini baru saja menceritakan niatnya untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Tentu saja hal tersebut membuatnya tak percaya. Rasanya amat mustahil Arini mengambil langkah seberani ini. "Sepertinya aku yakin, Lan. Rasanya nggak bisa selamanya seperti ini. Lagi pula aku benar-benar kepikiran Rafa yang harus tinggal sendirian selama aku bekerja." Arini menatap kotak nasi miliknya. Semenjak tinggal di rumah Bu Ningrum, Arini sudah bisa menikmati makanan yang lebih layak. Uang yang biasanya digunakan untuk menyewa kos bisa dia gunakan untuk makan sehari-hari dengan layak. Tak ada lagi aroma gurih mie instan yang sangat
HANTAM DEWI "Umi senang, tentu saja Umi dukung kamu, Rin. Sudah saatnya kamu berkembang. Kamu punya potensi, itu yang Umi yakini semenjak pertama melihat kamu bekerja di sini." Arini menangis haru. Wanita itu nyatanya menunjukkan kebesaran hati untuk melepaskan dirinya pergi. Dia khawatir sekali dianggap tak tahu balas budi, pergi begitu saja saat swalayan tengah membutuhkan tenaganya karena bulan ini ada dua orang yang juga mengajukan resign. Satu karena menikah, yang lain alasan klasik. Dia tak diperbolehkan suaminya untuk bekerja. "Rencananya mau kapan mulai usahamu itu?" tanya Umi sambil menepuk punggung Arini. Gerakannya menunjukkan bahwa dia mendukung seratus persen langkah Arini. "Mulai Minggu depan, Umi. Kami sedang survai bahan baku dan juga mencari market yang tepat. Beberapa kali keluar masuk pasar untuk membandingkan harga yang sudah beredar di lapangan. Mudah-mudahan tak lama setelah itu usaha kami tersebut segera terwujud." Jawaban Arini membuat Umi menautkan alisny
“Mama, senyum! Lihat kemari!” ucap Rafa sambil melambaikan tangan ke arah ibunya. Sebuah buket raksasa berisi foto-foto ibunya dihadiahkan anak laki-laki itu pada Arini. Wanita itu pun memeluk buketnya meski sedikit kepayahan. Berbagai karangan bunga berisi ucapan selamat untuk para wisudawan menghiasi setiap sudut halaman auditorium yang digunakan untuk acara wisuda kali ini.Senyum Arini mengembang sempurna. Suaminya berhasil menegakkan kepala wanita yang sempat kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Yovan pun terlihat amat puas dengan hasil kerjanya membujuk wanita itu. Senyuman menawan laki-laki itu membuat Arini merasa begitu dicintai laki-laki pemilik hidung mancung itu.“Papa ambil posisi di sebelah Mama. Jangan lupa Mama dipeluk!”Arahan dari Rafa membuat Arini dan Yovan tertawa. Mereka takjub sekali dengan perubahan pada diri Rafa. Apalagi setelah dia diberitahu bahwa adiknya akan lahir dalam hitungan hari. Dia makin menunjukkan sikap protektifnya pada sang ibu.“Sekarang Pa
Tentang Bahagia Arini memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya berwarna hijau sage dengan kain batik yang membelit tubuh bagian bawahnya tak membuat dirinya berpuas diri. Matanya berkaca-kaca saat berkali-kali memutar dirinya di depan cermin. Kehamilannya di usia sembilan bulan ini membuat berat tubuhnya melonjak drastis. Pipinya membulat sempurna, belum lagi dagu yang seolah berjumlah dua hingga membuat dia kesusahan mengenakan kerudung untuk menutupi mahkotanya.Arini menjatuhkan dirinya di atas tepian kasur. Acara wisuda yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi tiba-tiba membuat dirinya meragu. Penampilannya yang dia nilai akan menjadi bahan tertawaan banyak orang membuat Arini hampir menyerah untuk mempersiapkan diri. Sebuah ketukan ringan dari arah pintu membuat kepalanya menoleh.“Loh, belum siap juga? Kita harus datang di gedung satu jam lagi. Kenapa toga pun belum kamu pakai?” Suara suaminya membuat Arini makin tak bisa menahan laju air matanya. Make up natural
“Diminum, Bu.” Arini meletakkan es jeruk dan setoples kue kering. Wanita itu langsung duduk di sofa yang kosong. Dia tersenyum tipis saat melihat sejak tadi tangan Ratna terus-terusan memegang tanga Rafa.“Terima kasih.” Ratna mengambil gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Rasa asam, manis dan segar memenuhi mulut Ratna. Minuman itu cocok sekali dinikmati saat hari cerah seperti siang ini. “Sudah berapa bulan?” Ratna memperhatikan perut Arini yang mulai menyembul.“Masuk lima.” Arini refleks mengelus perut. “Apa yang mau dibicarakan, Bu? Tidak biasanya Ibu pergi sendirian. Jarak rumah kesini lumayan jauh.” Arini memperhatikan wajah Ratna yang sejak tadi tampak mendung. Mata wanita tua itu dipenuhi kabut seakan menyimpan kesedihan yang tak berujung.“Ibu mau minta maaf ….” Ucapan Ratna terpotong karena tangis. Mantan mertua Arini mendadak terisak kencang. Dia tidak bisa mengendalikan air mata saat mengingat perlakuan buruknya pada Arini dulu. “Ibu mau minta maaf atas semua kesalahan
“Jadi, nanti perut Mama akan membesar ya, Ma? Terus Adik bayinya keluar dari mana?”Arini menarik napas panjang. Rafa memang banyak bertanya setelah mengetahui kalau di perutnya ada bayi. Anak lelaki itu sangat senang sekaligus juga penasaran. Berbagai pertanyaan dia lontarkan. Pertanyaan yang kadang membuat Arini harus memutar otak dengan keras agar bisa menjawab sesuai dengan umur dan pemahaman anaknya.“Manusia akan melalui tiga alam selama hidup. Pertama, alam dunia, tempat kita saat ini. Kedua, alam barzah, tempat kita menanti hari kiamat tiba. Ketiga, alam akhirat, tempat kita mempertanggungjawabkan semua perbuatan.” Arini menjawab setelah cukup lama terdiam. “Sudah dapat pelajaran di sekolah ‘kan tentang alam-alam ini?” Arini mengelus kepala Rafa pelan.Rafa mengangguk pelan. Anak itu ingat kata guru agamanya, kalau anak nakal, nanti dia akan mendapat balasan di akhirat. Kalau mencuri tangannya akan dipotong berkali-kali. Sebaliknya, kalau dia menjadi anak rajin dan senang memb
IRI “Mas, sudah kubilang percuma kita kemari. Memang Tuhan itu belum ngasih karena dia lihat Mas Yuda belum mampu menafkahi anak kita nantinya, jadi dia lebih milih buat nunda. Kok kamu jadi maksa-maksa gini? Buang-buang waktu tahu nggak?”Diandra mendekap kedua tangannya. Baru saja dia dan Yuda sampai di sebuah klinik kandungan yang direkomendasikan salah seorang temannya. Klinik yang saat Diandra melihat list harga konsultasi dan tindakan yang dilakukan cukup membuat matanya melotot tak percaya. Rasanya sayang sekali uang sebesar itu digunakan untuk hal tidak penting seperti ini.“Mas. Mending uangnya buat liburan atau memanjakan diri di spa seharian. Paling tidak untuk senang-senang dari pada ngendon di rumah seharian. Bukan nggak mungkin gara-gara stress di rumah yang membuatku susah hamil begini!”Yuda hampir membentak istrinya jika tak menyadari posisi mereka saat ini. Rasanya telinganya gatal mendengar istrinya berbicara kasar seolah ibunyalah penyebab dia belum juga diberi ke
KECEMASAN ARINI Arini meremas tangan suaminya. Laki-laki itu tersenyum. Setelah perdebatan panjang akhirnya Arini bersedia ke klinik yang sudah direkomendasikan dokter Wisnu saat Yovan menanyakan dokter kandungan yang bagus untuk istrinya. Sebenarnya bisa saja dia membawa Arini ke klinik yang dulu selalu dia datangi bersama Raline saat istri pertamanya itu hamil.Tetapi dia mengurungkan hal tersebut demi menjaga perasaan istrinya. Pasti Arini akan merasa tak nyaman karena menganggap Yovan sengaja membawa dirinya ke tempat dimana kenangannya bersama Raline sebagian besar terekam di sana. “Mas?”“Ya?” Senyum di bibir Yovan belum juga pudar. Bayangan tentang detik-detik pertama istrinya memberikan benda yang dia angsurkan sebelumnya membuat laki-laki itu tak bisa kehilangan kebahagiannya. Arini menunjukkan trip dua pada benda yang dibeli suaminya melalui layanan aplikasi belanja online itu. Yovan yang sebelumnya berdiri menyederkan tubuhnya di tembok depan itu hampir melompat kegiranga
TEST PACKMata Yovan kembali menyipit. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan istrinya saat ini. Yang dia lakukan langsung beranjak ke kamar mereka di lantai dua. Dia kehilangan daya saat melihat istrinya bermuram hingga tak berani sama sekali dia mendebatnya. Laki-laki itu pun merasa mati langkah saat hari liburnya justru bertepatan dengan jadwal Rafa di rumah Yuda.Laki-laki itu bahkan ingin sekali melarang anaknya pergi ke rumah ayah kandungnya jika tak ingat hal itu akan membuat suasana sejuk yang tercipta dengan laki-laki itu akan kembali memanas dan tentu akan berdampak pada hubungan mereka. Apalagi Yuda sudah menjanjikan anaknya melakukan kegiatan yang sama lagi seperti saat itu. Memancing di danau dan membakar ikan di tepian yang membuat bibir mungil Rafa tak henti-hentinya bercerita aktivitas yang menyenangkan itu.Baru saja hendak memakai kaos berwarna merah miliknya, Arini yang tiba-tiba masuk mencegah laki-laki itu.“Jangan yang itu, Mas. Warna itu merusak pandangan mataku.
SIKAP ANEH ARINIArini duduk di atas sofa ruang belakang. Tatapannya tertuju ke arah luar jendela dimana pohon palem yang berderet rapi di halaman terlihat meliuk-liuk diterpa angin. Hujan yang turun membuat pepohonan di luar sana tampak segar. Aroma petrikor yang berasal dari tanah kering yang tersiram air hujan terasa sekali di indra penciuman Arini.Tetapi kali ini reaksi yang dirasakan Arini terasa lain. Tidak seperti biasanya saat hatinya bersorak menikmati aroma khas yang keluar saat awal-awal hujan turun. Arini bahkan beranjak dari posisi duduknya saat ini demi menutup jendela berharap bau khas itu segera menghilang secepatnya.“Kucari-cari kenapa justru di sini?”Suara suaminya membuat Arini tersentak. Beberapa saat kemudian dia membetulkan anak rambut yang berkeliaran bebas di dahinya. Keheningan rumah itu membuat mood Arini mudah sekali memburuk. Suaminya itu langsung mengambil posisi berhimpitan dengannya. Aneh, seketika Arini menggeser tubuhnya hingga menambah jarak di ant
“Mama!” Rafa berteriak senang saat mobil Yovan memasuki halaman. Bocah laki-laki itu langsung berlari saat Arini keluar dari mobil. “Kangen.” Rafa tertawa-tawa saat Arini memeluknya erat-erat. Dia semakin terkekeh geli saat Arini menciumi wajahnya bertubi-tubi.“Papa.” Rafa langsung menyalami Yovan setelah berhasil lepas dari pelukan Arini. Dia mengangguk senang saat Yovan dengan mudah mengangkat tubuhnya.Disini, Yuda mengeluh pelan melihat keharmonisan keluarga di hadapannya. Rafa tampak sangat senang digendong Yovan. Sementara Arini menggandeng tangan Yovan dengan sebelah tangan menenteng paper bag biru. Keluarga kecil yang terlihat sangat harmonis. Siapapun pasti akan mengira kalau Rafa adalah anak Arini dan Yovan.“Assalamualaikum, Mas.”“Waalaikumussalam.” Lamunan Yuda terhenti mendengar salam Arini. Dia langsung berdiri dan membalas jabat tangan Arini dan Yovan. “Masuk dulu. Mama dan Diandra sedang keluar. Mama mertua mau mengadakan hajatan jadi mereka bantu-bantu.”“Kami dilua