Nisa
Ada yang berbeda, sejak kejadian kematian Amanda. Rumah terasa lengang. Barry lebih banyak berdiam diri di kamar, sementara aku lebih senang menghabiskan waktu dengan tanaman.
Kami saling mendiamkan, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya sapa basa basi seadanya, itu pun enggan diucapkan.
"Makan, Nisa."
"Ya."
Aku berlalu dan meneruskan pekerjaan. Setelah beberapa lama energi terkuras, baru kusadari rumah tak terurus. Tanaman liar mulai tumbuh tinggi, menghilangkan keindahan tanaman bunga kesukaanku yang berjejer rapi di pekarangan depan.
Anak-anak bermain di ruang tengah bersama Bi Marni, riuh suara merek
"Kami membawa surat perintah penangkapan atas Tuan Barry.""Maksudnya, suami saya … suami saya tersangka? Bukankah sudah ditangkap pelakunya, Pak?" Nisa tidak dapat menutupi kepanikannya. Ia gugup. Baru saja ingin menenangkan diri, harus menghadapi masalah baru lagi. Nisa mengenali polisi yang berada di depannya, sebagai Inspektur Satu Herlambang. Seseorang di sebelahnya, Dicky, Brigadir Dicky Darmawan. Mereka petugas sama yang datang beberapa kali sebelumnya.Sejak garis polisi membentang di rumahnya beberapa waktu lalu, Nisa selalu gugup bila melihat atau mendengar segala sesuatu yang berhubungan dengan polisi. Apalagi ketika setelah penemuan mayat itu, baik rumahnya maupun ponselnya tak pernah sepi.Tetangga berdatangan, mengambil gambar d
Keterlaluan kau, Mas. Rupanya diam-diam kau membeli rumah. Pasti untuk perempuan itu! Bila bukan untuk perempuan itu, tak mungkin disembunyikan dari dieinya. Rasa sedih Nisa melihat penangkapan Barry berubah menjadi amarah.Nisa mengambil telepon menghubungi nomor yang dicatat Bi Marni saat pihak bank menghubunginya. Nisa mencoba menggali informasi dari pihak bank, terkait rumah yang disebutkan."Iya, mba, saya istrinya. Pak Barry sangat sibuk beberapa bulan ini, hingga lupa bayar tagihan. Sebenarnya sudah dititipkan ke saya tapi saya juga lupa. Lagi sibuk banget. Maaf ya, Mba. Ohya ini rumah yang alamat mana ya, karena saya ada ambil dua rumah di daerah Cibubur."Petugas bank menyebutkan alamat rumah itu. Setelah mendapatkan data-data r
Malam itu, kesekian kalinya Amanda membahas kehamilannya. Hal yang sangat meresahkan Barry. Hubungannya dengan Nisa semakin dingin. Sepertinya sang istri mulai mencurigai dirinya berhubungan dengan wanita lain, namun Nisa masih diam. Hal itu dimanfaatkan Barry untuk terus menjalin hubungan dengan Amanda. Selama Nisa tidak mendesaknya atau menangkap basah dirinya, maka Barry memutuskan untuk diam.Desakan Amanda agar dirinya menceraikan Nisa dan menikahinya, membuat Barry resah. Entah mengapa, Amanda semakin terobsesi dengannya. Bila dulunya wanita itu sangat menyenangkan, tidak terlihat dirinya terbeban dengan hubungan segitiga yang dijalaninya, belakangan Amanda semakin posesif. Tidak pernah terlintas untuk meninggalkan Nisa dan anak-anak, Barry hanya ingin bersenang-senang.
Polisi bekerja keras mengkaji kasus mutilasi terhadap Amanda, wanita cantik kekasih Barry dan Tedja. Dua lelaki yang sama-sama telah beristri. Semakin digali, semakin banyak fakta baru mengejutkan bermunculan.Diketahui, ternyata Amir pernah bekerja sebagai porter di Bandara Soetta, dan di sanalah ia berkenalan dengan Sidik—yang bertugas sebagai pengawas kamera keamanan—lelaki berkulit sawo matang, pria beranak satu. Mereka masih berkomunikasi sekalipun Amir sudah tidak bekerja di tempat yang sama.Saat menerima orderan pembunuhan dan mendapatkan detail kedatangan Barry, mereka menyusun skenario bersama. Sidik-lah yang bertugas mematikan kamera pengawas, yang untungnya ada rekaman asli dari sisi lain yang belum dibuang Sidik, hanya di simpan di rumahnya.Banyak orang berpikir dirinya pintar,&
Pelaku pembunuhan Amanda sudah ditangkap. Santoso dan Amir menghadapi ancaman hukuman mati, begitu pula Barry. Teka teki kematian Amanda, sudah terpecahkan."Kau tenang di sana ya, Dek. Para penjahat itu akan menghadapi hukuman yang setimpal. Walau tidak sanggup mengembalikan nyawamu, paling tidak kakak bisa melanjutkan hidup. Banyak hal yang harus ditata kembali."Sandy membuka lembar demi lembar bukti kepemilikan beberapa aset atas nama Amanda. Tidak satupun yang akan dimilikinya. Sesuai amanat Amanda, semua aset akan digunakan untuk amal. Mendirikan panti asuhan, menjual beberapa aset untuk digunakan uangnya membantu keluarga miskin."Hatimu sungguh mulia, Dek. Kakak bangga pernah memilikimu." Sandy mengusap hidungnya yang basah
*Di penghujung sore, Adam dan Nisa bertemu di sebuah kedai kopi tidak jauh dari kantor Adam. Tempat itu nyaman, tapi tidak ramai pengunjung. Duduk menikmati kopi atau camilan, menjadi sangat menyenangkan.Sejak resign, baru kali ini Nisa benar-benar meninggalkan rumah untuk bersantai. Dia rindu masa-masa dirinya menjadi wanita pekerja, kejar-kejaran dengan deadline, lalu ngopi bareng teman kerja seusai jam kantor.Hidup terasa komplit. Rumah tangga bahagia, anak-anak sehat, keuangan cukup, karier terus meningkat. Tidak banyak wanita yang bisa memiliki kehiduoan yang seimbang. Nisa merasa saat itu hidupnya sempurna."Melamun lagi."A
Beberapa bulan lalu, pada saat pemakaman Amanda."Kau siapa?"Pemakaman Amanda yang dilakukan di tempat pemakaman umum, oleh pihak kepolisian, hanya dihadiri oleh beberapa orang, termasuk Nisa. Panas menyengat, Nisa memutuskan untuk berteduh di bawah pohon rindang, sembari menunggu acara pemakaman usai. Sebagai saksi, dirinya diperbolehkan hadir di tempat tersebut. Walaupun dirinya sangat membenci Amanda, tapi hati kecilnya meminta dia agar hadir. Apalagi setelah ditelusuri, Amanda ternyata tidak punya keluarga. Toh tidak rugi apa-apa, pikir Nisa kala itu.Hal yang mengherankan, sejak awal kedatangan jenazah, seorang lelaki berpakaian serba hitam, berkaca mata hitam dan mengenakan topi, terlihat memantau aktivitas petugas pemakaman, dari
Ijin menggunakan toilet, Nisa beranjak ke sisi rumah bagian dalam. Tak terlihat siapapun di lorong rumah besar dan mewah itu. Lalu, sepasang tangan kokoh menarik tangannya dan berhenti di balik tembok yang menghalangi pandangan pekerja atau bahkan Caroline, yang mungkin lewat."Apa apaan ini?" Nisa tersentak. Sejenak ketakutan menderanya."Ssstttt ...."Lelaki itu meletakkan telunjuk pada bibirnya pertanda meminta Nisa agar diam."Kau siapa, Nisa. Ya namamu Nisa, bukan? Saya tidak akan pernah lupa.""Harusnya saya yang bertanya, kau siapa? Kenapa bisa ada di pemakaman g