Share

7

“Ayah rasa lebih baik kamu ikut juga, Citra. Anda pun boleh ikut kalau mau, Pak Nadi,” ujar Erian di pintu ruang makan. Kepalanya ditolehkan pada dua orang yang diajaknya bicara. Di sampingnya, Orion melirik tidak berdaya.

Nadi mengiyakan dengan cepat. Ia memang merasa lebih bagus jika terlibat langsung. “Tapi, saya harus ketemu rekan polisi yang tadi saya minta membawa Bik Yuli, Pak Erian. Tunggu sebentar,” kata Nadi sambil buru-buru melewati Erian dan Orion menuju ruang keluarga tempat rekannya menunggu.

“Bagaimana, Citra? Kamu ikut, kan? Ayo, kita tunggu Pak Nadi di mobil saja,” ajak Erian dan langsung berbalik tanpa menanti respons menantunya. Citra yang mengerti kalau ucapan barusan adalah perintah, bukan permintaan, menyusul kedua pria itu.

Langkah kaki dari belakangnya membuat Citra berpaling. Ia menemukan Nadi telah mengekori mereka. Di depannya, Erian dan Orion telah berdiri di undakan teras, menunggu sopir keluarga memarkirkan mobil.

Segera saja mobil mewah berwarna hitam meluncur mulus dan berhenti di depan Erian. Pria itu setengah memaksa Orion duduk di kursi belakang lalu ikut memarkirkan pantat di sampingnya. Pintu mobil masih dibiarkan terbuka sebab Citra baru menuruni undakan dengan Nadi di belakangnya.

Bruk!

“Citra!”

“Citra!”

“Bu Citra!”

Tiga pria itu berteriak bersamaan saat menyaksikan Citra yang tiba-tiba tidak sadarkan diri dan tergeletak di samping mobil, tepat sebelum tangannya menjangkau pegangan pintu.

Nadi yang tadinya akan membuka pintu mobil di sisi depan langsung berlari menghampiri Citra. Ia mengangkat kepala Citra dan menyangganya, membuatnya lebih tinggi daripada bagian tubuh yang lain.

“Bu Citra! Bu Citra!”

Erian dan Orion segera bergabung. Mereka mengerumuni Citra dan berusaha menyadarkannya dengan menepuk-nepuk pipi atau mengguncang-guncang lengan dan bahu.

“Sepertinya kita harus membawanya ke rumah sakit, Yah. Mungkin dia masih belum pulih total setelah shock tadi,” kata Orion. Dalam hati ia merasa sangat berterima kasih pada istrinya itu karena telah memilih waktu pingsan yang sangat tepat.

Atau, ia justru sengaja melakukannya?

Mempertimbangkan kemungkinan ini, Orion mengamati dengan saksama wajah istrinya, siapa tahu ia bisa mendapati kelopak mata yang bergerak-gerak atau bibir yang berkedut sedikit-sedikit. Tapi, tidak apapun. Entah Citra benar-benar kehilangan kesadaran atau hanya aktris yang sungguh hebat. Bagaimana pun, aksi Citra ini telah menyita semua perhatian Erian sehingga lupa sama sekali dengan tujuannya semula.

“Baiklah, kita akan membawa Citra ke rumah sakit dulu. Bantu Ayah mengangkatnya ke dalam mobil,” ajak Erian panik. Ia langsung mengangkat tubuh Citra dengan dibantu Orion kemudian mendudukkanya di kursi belakang. Erian lalu mengambil posisi duduk tepat di sebelah menantunya dan meletakkan kepala Citra yang terkulai di bahunya.

Sementara itu, Orion harus berputar dulu melewati bagian belakang mobil sebelum mendudukkan dirinya di samping istrinya. Penampakan kepala Citra yang tersandar di pundak Erian terasa agak janggal di matanya. Namun, ia memutuskan untuk berpikir bahwa semua itu tidak ada artinya. Ayahnya hanya berusaha membuat posisi Citra nyaman dalam perjalanan ke rumah sakit.

“Ke rumah sakit terdekat, Pak. Cepat!” Erian bertitah tegas, yang dilaksanakan dengan patuh oleh sopir. Orion sampai harus mencengkeram pegangan di pintu mobil karena pergerakan yang mendadak.

Rupanya, pemandangan aneh itu juga disadari oleh Nadi. Polisi itu berkali-kali melirik kaca spion di tengah demi memastikan bahwa penglihatannya tidak mengkhianatinya. Tapi, seberapa sering pun Nadi mengecek, keadaan di kursi belakang tetap tidak berubah: Citra berada dalam rangkulan ayah mertuanya, bukan suaminya.

Ciiittt!

Mobil yang mereka tumpangi parkir dengan tergesa-gesa di ruang IGD Rumah Sakit Ryha. Sopir segera keluar dari mobil dan memasuki bangsal. Beberapa detik kemudian, ia telah kembali bersama dua orang perawat berseragam coklat yang tergopoh-gopoh mendorong brankar.

Kali ini, Orion berniat mengambil alih tubuh Citra dari tangan Erian. Dengan cekatan ia menggendong istrinya walaupun Erian menunjukkan tanda-tanda ingin melakukan hal yang sama. Ia letakkan Citra di atas brankar dengan hati-hati dan ikut berlari bersama dua perawat ke ruang IGD.

“Tunggu di sini dulu, Pak. Kami akan memeriksa istri Anda,” pinta seorang perawat begitu brankar yang membawa Citra berhenti di salah satu sisi ruangan dekat jendela.

Orion mengangguk saja dan cuma menonton ketika seorang wanita berjas dokter memeriksa denyut nadi, tekanan darah, respons pupil, dan pernapasan istrinya. Ia kini merasa yakin bahwa Citra betul-betul tidak sadarkan diri dan mulai sedikit resah.

“Bagaimana keadaan Citra, Orion? Dia baik-baik saja, kan? Apa kata dokter?” Erian langsung bertanya ketika tiba di samping Orion sendirian karena tampaknya Nadi cukup tahu diri untuk menunggu di luar saja.

Baru membuka mulut akan menjawab, Orion terpaksa membatalkannya saat melihat pria berambut hampir putih, berkacamata persegi, dan berjas dokter seperti setengah berlari mendekati mereka. Buktinya, pria itu kelihatan kehabisan napas ketika telah berdiri di samping Erian dan menjabat tangannya dengan keramahan yang berlebihan.

“Erian dan Orion, kejutan yang menyenangkan! Tumben sekali kali ini kamu tidak menelpon lebih dulu sebelum ke sini, Erian. Kalau tahu kamu datang malam ini, aku tentu akan menjemput dan melayanimu sendiri. Siapa yang sakit? Henny? Atau menantumu yang aktris itu?”

Erian hanya tersenyum canggung menanggapi sapaan kelewat antusias yang diberikan oleh Dokter Hardi, teman satu kampusnya yang juga merupakan Direktur Rumah Sakit Ryha.

“Menantuku tiba-tiba pingsan jadi kami harus cepat-cepat ke sini tanpa mengabari sebelumnya. Lagipula, aku juga tidak ingin selalu merepotkanmu tiap kali datang, Hardi,” jawab Erian.

Dokter Hardi hanya tertawa cukup keras, sampai mengagetkan pasien lain di ruangan itu, sembari menggelengkan kepalanya. “Mana mungkin aku merasa direpotkan oleh teman baik. Tidak, tidak, Erian. Kalau begitu, izinkan aku memeriksa langsung menantumu dan mungkin selanjutnya kita bisa memindahkannya ke kamar VIP. Kurang aman kalau di tempat ramai begini, bisa-bisa besok berita tentang menantumu yang sakit terpampang di halaman depan koran lokal.”

Erian dan Orion spontan meringis mendengar ucapan Dokter Hardi. Mereka sama-sama sadar bahwa tanpa kehadiran reporter di IGD saat itu pun, kabar tentang salah satu anggota keluarga Indrayana tetap akan menjadi konsumsi publik.

“Baiklah,” cetus Dokter Hardi dari samping brankar Citra. Dokter itu kemudian menghampiri ayah dan anak itu dengan ekspresi sumringah. “Pemeriksaan sudah selesai, Erian. Tenang saja, menantumu tidak apa-apa. Dia hanya kelelahan. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat inap sekarang. Wah, sepertinya aku betul-betul akan menemukan berita tentang kalian di koran besok.”

Dua pria lawan bicara Dokter Hardi saling membuang tatapan bingung. Apa maksudnya itu? Apa Dokter Hardi sudah tahu soal kematian Henny? Tapi, kenapa justru tidak ada raut duka cita di mukanya?

Dokter Hardi malah menikmati tampang keheranan Erian dan Orion. Ia tertawa kecil dan membiarkan kedua tangannya merangkul bahu ayah dan anak itu di kanan dan kirinya. “Ayo, ayo. Kita bicara di ruanganku saja. Kujamin, kalian pasti akan ikut gembira mendengar apa yang akan kusampaikan.”

Mereka lalu keluar dari IGD, belok ke kanan, dan memasuki lift. Dokter Hardi kemudian menekan angka 5 sambil bersenandung ceria, berbanding terbalik dengan suasana hati dua orang yang bersamanya.

“Mari, mari, masuk ke sini,” ajak Dokter Hardi begitu membuka pintu ruangannya yang bercat putih. “ Aku punya jus jeruk di kulkas. Tunggu, akan kuambilkan. Kalian silakan menyamankan diri di sofa.”

Namun, Erian yang sudah tidak tahan dengan kebahagiaan yang dipancarkan oleh temannya memilih menarik lengan Dokter Hardi yang baru saja akan beranjak ke kulkas. “Ada apa sebenarnya, Hardi? Mungkin lebih baik kamu bilang dulu apa yang terjadi sebelum mengambil minuman.”

Senyum Dokter Hardi semakin lebar tercetak di wajahnya. “Baiklah, aku tidak akan menahan info menyenangkan ini lebih lama. Selamat, Erian, sebentar lagi kamu akan menjadi seorang kakek!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status