“Ayah rasa lebih baik kamu ikut juga, Citra. Anda pun boleh ikut kalau mau, Pak Nadi,” ujar Erian di pintu ruang makan. Kepalanya ditolehkan pada dua orang yang diajaknya bicara. Di sampingnya, Orion melirik tidak berdaya.
Nadi mengiyakan dengan cepat. Ia memang merasa lebih bagus jika terlibat langsung. “Tapi, saya harus ketemu rekan polisi yang tadi saya minta membawa Bik Yuli, Pak Erian. Tunggu sebentar,” kata Nadi sambil buru-buru melewati Erian dan Orion menuju ruang keluarga tempat rekannya menunggu.“Bagaimana, Citra? Kamu ikut, kan? Ayo, kita tunggu Pak Nadi di mobil saja,” ajak Erian dan langsung berbalik tanpa menanti respons menantunya. Citra yang mengerti kalau ucapan barusan adalah perintah, bukan permintaan, menyusul kedua pria itu.Langkah kaki dari belakangnya membuat Citra berpaling. Ia menemukan Nadi telah mengekori mereka. Di depannya, Erian dan Orion telah berdiri di undakan teras, menunggu sopir keluarga memarkirkan mobil.Segera saja mobil mewah berwarna hitam meluncur mulus dan berhenti di depan Erian. Pria itu setengah memaksa Orion duduk di kursi belakang lalu ikut memarkirkan pantat di sampingnya. Pintu mobil masih dibiarkan terbuka sebab Citra baru menuruni undakan dengan Nadi di belakangnya.Bruk!“Citra!”“Citra!”“Bu Citra!”Tiga pria itu berteriak bersamaan saat menyaksikan Citra yang tiba-tiba tidak sadarkan diri dan tergeletak di samping mobil, tepat sebelum tangannya menjangkau pegangan pintu.Nadi yang tadinya akan membuka pintu mobil di sisi depan langsung berlari menghampiri Citra. Ia mengangkat kepala Citra dan menyangganya, membuatnya lebih tinggi daripada bagian tubuh yang lain.“Bu Citra! Bu Citra!”Erian dan Orion segera bergabung. Mereka mengerumuni Citra dan berusaha menyadarkannya dengan menepuk-nepuk pipi atau mengguncang-guncang lengan dan bahu.“Sepertinya kita harus membawanya ke rumah sakit, Yah. Mungkin dia masih belum pulih total setelah shock tadi,” kata Orion. Dalam hati ia merasa sangat berterima kasih pada istrinya itu karena telah memilih waktu pingsan yang sangat tepat.Atau, ia justru sengaja melakukannya?Mempertimbangkan kemungkinan ini, Orion mengamati dengan saksama wajah istrinya, siapa tahu ia bisa mendapati kelopak mata yang bergerak-gerak atau bibir yang berkedut sedikit-sedikit. Tapi, tidak apapun. Entah Citra benar-benar kehilangan kesadaran atau hanya aktris yang sungguh hebat. Bagaimana pun, aksi Citra ini telah menyita semua perhatian Erian sehingga lupa sama sekali dengan tujuannya semula.“Baiklah, kita akan membawa Citra ke rumah sakit dulu. Bantu Ayah mengangkatnya ke dalam mobil,” ajak Erian panik. Ia langsung mengangkat tubuh Citra dengan dibantu Orion kemudian mendudukkanya di kursi belakang. Erian lalu mengambil posisi duduk tepat di sebelah menantunya dan meletakkan kepala Citra yang terkulai di bahunya.Sementara itu, Orion harus berputar dulu melewati bagian belakang mobil sebelum mendudukkan dirinya di samping istrinya. Penampakan kepala Citra yang tersandar di pundak Erian terasa agak janggal di matanya. Namun, ia memutuskan untuk berpikir bahwa semua itu tidak ada artinya. Ayahnya hanya berusaha membuat posisi Citra nyaman dalam perjalanan ke rumah sakit.“Ke rumah sakit terdekat, Pak. Cepat!” Erian bertitah tegas, yang dilaksanakan dengan patuh oleh sopir. Orion sampai harus mencengkeram pegangan di pintu mobil karena pergerakan yang mendadak.Rupanya, pemandangan aneh itu juga disadari oleh Nadi. Polisi itu berkali-kali melirik kaca spion di tengah demi memastikan bahwa penglihatannya tidak mengkhianatinya. Tapi, seberapa sering pun Nadi mengecek, keadaan di kursi belakang tetap tidak berubah: Citra berada dalam rangkulan ayah mertuanya, bukan suaminya.Ciiittt!Mobil yang mereka tumpangi parkir dengan tergesa-gesa di ruang IGD Rumah Sakit Ryha. Sopir segera keluar dari mobil dan memasuki bangsal. Beberapa detik kemudian, ia telah kembali bersama dua orang perawat berseragam coklat yang tergopoh-gopoh mendorong brankar.Kali ini, Orion berniat mengambil alih tubuh Citra dari tangan Erian. Dengan cekatan ia menggendong istrinya walaupun Erian menunjukkan tanda-tanda ingin melakukan hal yang sama. Ia letakkan Citra di atas brankar dengan hati-hati dan ikut berlari bersama dua perawat ke ruang IGD.“Tunggu di sini dulu, Pak. Kami akan memeriksa istri Anda,” pinta seorang perawat begitu brankar yang membawa Citra berhenti di salah satu sisi ruangan dekat jendela.Orion mengangguk saja dan cuma menonton ketika seorang wanita berjas dokter memeriksa denyut nadi, tekanan darah, respons pupil, dan pernapasan istrinya. Ia kini merasa yakin bahwa Citra betul-betul tidak sadarkan diri dan mulai sedikit resah.“Bagaimana keadaan Citra, Orion? Dia baik-baik saja, kan? Apa kata dokter?” Erian langsung bertanya ketika tiba di samping Orion sendirian karena tampaknya Nadi cukup tahu diri untuk menunggu di luar saja.Baru membuka mulut akan menjawab, Orion terpaksa membatalkannya saat melihat pria berambut hampir putih, berkacamata persegi, dan berjas dokter seperti setengah berlari mendekati mereka. Buktinya, pria itu kelihatan kehabisan napas ketika telah berdiri di samping Erian dan menjabat tangannya dengan keramahan yang berlebihan.“Erian dan Orion, kejutan yang menyenangkan! Tumben sekali kali ini kamu tidak menelpon lebih dulu sebelum ke sini, Erian. Kalau tahu kamu datang malam ini, aku tentu akan menjemput dan melayanimu sendiri. Siapa yang sakit? Henny? Atau menantumu yang aktris itu?”Erian hanya tersenyum canggung menanggapi sapaan kelewat antusias yang diberikan oleh Dokter Hardi, teman satu kampusnya yang juga merupakan Direktur Rumah Sakit Ryha.“Menantuku tiba-tiba pingsan jadi kami harus cepat-cepat ke sini tanpa mengabari sebelumnya. Lagipula, aku juga tidak ingin selalu merepotkanmu tiap kali datang, Hardi,” jawab Erian.Dokter Hardi hanya tertawa cukup keras, sampai mengagetkan pasien lain di ruangan itu, sembari menggelengkan kepalanya. “Mana mungkin aku merasa direpotkan oleh teman baik. Tidak, tidak, Erian. Kalau begitu, izinkan aku memeriksa langsung menantumu dan mungkin selanjutnya kita bisa memindahkannya ke kamar VIP. Kurang aman kalau di tempat ramai begini, bisa-bisa besok berita tentang menantumu yang sakit terpampang di halaman depan koran lokal.”Erian dan Orion spontan meringis mendengar ucapan Dokter Hardi. Mereka sama-sama sadar bahwa tanpa kehadiran reporter di IGD saat itu pun, kabar tentang salah satu anggota keluarga Indrayana tetap akan menjadi konsumsi publik.“Baiklah,” cetus Dokter Hardi dari samping brankar Citra. Dokter itu kemudian menghampiri ayah dan anak itu dengan ekspresi sumringah. “Pemeriksaan sudah selesai, Erian. Tenang saja, menantumu tidak apa-apa. Dia hanya kelelahan. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat inap sekarang. Wah, sepertinya aku betul-betul akan menemukan berita tentang kalian di koran besok.”Dua pria lawan bicara Dokter Hardi saling membuang tatapan bingung. Apa maksudnya itu? Apa Dokter Hardi sudah tahu soal kematian Henny? Tapi, kenapa justru tidak ada raut duka cita di mukanya?Dokter Hardi malah menikmati tampang keheranan Erian dan Orion. Ia tertawa kecil dan membiarkan kedua tangannya merangkul bahu ayah dan anak itu di kanan dan kirinya. “Ayo, ayo. Kita bicara di ruanganku saja. Kujamin, kalian pasti akan ikut gembira mendengar apa yang akan kusampaikan.”Mereka lalu keluar dari IGD, belok ke kanan, dan memasuki lift. Dokter Hardi kemudian menekan angka 5 sambil bersenandung ceria, berbanding terbalik dengan suasana hati dua orang yang bersamanya.“Mari, mari, masuk ke sini,” ajak Dokter Hardi begitu membuka pintu ruangannya yang bercat putih. “ Aku punya jus jeruk di kulkas. Tunggu, akan kuambilkan. Kalian silakan menyamankan diri di sofa.”Namun, Erian yang sudah tidak tahan dengan kebahagiaan yang dipancarkan oleh temannya memilih menarik lengan Dokter Hardi yang baru saja akan beranjak ke kulkas. “Ada apa sebenarnya, Hardi? Mungkin lebih baik kamu bilang dulu apa yang terjadi sebelum mengambil minuman.”Senyum Dokter Hardi semakin lebar tercetak di wajahnya. “Baiklah, aku tidak akan menahan info menyenangkan ini lebih lama. Selamat, Erian, sebentar lagi kamu akan menjadi seorang kakek!”Tercengang. Erian butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan Dokter Hardi. Ekspresinya kosong, matanya melebar, dan mulutnya terbuka. Tapi, Dokter Hardi justru terbahak-bahak menonton raut wajah temannya.“Apa kubilang? Info ini akan sangat mengejutkan, bukan? Aku paham apa yang kau rasakan, Erian. Reaksiku juga kurang lebih sama saat tahun lalu aku diberitahu oleh putri dan menantuku bahwa aku bakal punya cucu, sempat bingung dan tidak bisa berkata-kata. Ha ha ha, lucu sekali,” ujar Dokter Hardi geli sendiri.“Cucu? Cucu? Cucu?” Erian mengulang linglung. “Aku akan memiliki cucu? Penerus keluarga Indrayana? Benarkah itu, Hardi?”“Benar sekali, temanku. Wah, kita berdua sudah menjadi kakek-kakek. Kita telah memasuki satu lagi fase penting dalam hidup. Sekali lagi kuucapkan selamat, Erian. Dan tentu saja untuk kamu juga, Orion,” kata Dokter Hardi kelewat riang, seolah dirinyalah yang akan menimang cucu.Tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi, Erian melompat maju menubruk tubuh temannya dan
“Apa?” Citra tersentak bangun hingga nyaris membuat infus di lengannya terlepas. “Apa maksudmu dengan anak dalam rahimku? Jangan bilang kalau aku- aku hamil? Hah, jangan bercanda, Rion!”Walaupun suaminya memilih untuk melakukan aksi diam, tapi dari wajahnya Citra tahu jika Orion sungguh-sungguh dengan omongannya. Namun, bagaimana bisa ia hamil? Itu tidak mungkin! Itu tidak boleh terjadi! Tidak boleh!Setelah membiarkan Citra mencerna informasi yang dibawanya selama beberapa saat, Orion akhirnya membuka mulutnya. “Dokter Hardi yang bilang kalau kamu hamil. Tapi, cukup dengan itu. Sekarang, bilang padaku siapa ayah anak dalam perutmu? Kamu kan tahu sudah berbulan-bulan kita tidak melakukan hubungan suami istri!”Citra semakin terperanjat. Ia menutup muka dengan kedua tangannya kemudian menjambak rambutnya sendiri sambil memekik nyaring. “Aaahhh! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin hamil!”Orion terkejut melihat reaksi Citra yang di luar dugaan. Ia tadinya berpikir kalau Citra akan menyamb
Nadi memindai berkeliling. Ruang rawat itu terlalu mewah untuk difungsikan sebagai tempat orang sakit menjalani pemulihan. Lebih tepat jika disebut sebagai vila mini. Lihat saja sofa mewah, brankar kualitas terbaik, televisi layar lebar yang menutupi satu sisi sinding, lemari pendingin empat pintu, pendingin ruangan kelas atas, karpet tebal lembut, belum lagi lantai bergranit menyilaukan dan langit-langit dengan kandelir memukau. Fasilitas untuk orang kaya memang mencengangkan.“Silakan duduk, Pak Nadi. Jangan sungkan-sungkan. Maaf sekali kami tidak bisa menerima Anda di tempat yang lebih layak,” ujar Erian ramah, menunjuk satu set sofa mahal yang tidak akan didapati oleh Nadi di rumah dan kantornya.Polisi itu nyaris menganga mendengar sambutan Erian yang dirasanya tidak masuk akal. Tempat semewah ini dianggap kurang layak? Wah, selera orang kaya memang levelnya sulit dijangkau.Nadi pun duduk di salah satu sofa dan sebisa mungkin menyamankan dirinya. “Saya minta maaf sebelumnya kare
“Nih, pesananmu. Dasar pemalas! Bisa-bisanya kamu menyuruh seorang wanita membelikanmu makanan? Tidak tahu malu! Seandainya bukan karena rahasia yang kita bagi sama-sama, aku pasti sudah akan kabur sejak lama,” gerutu seorang wanita dengan rambut hitam panjang yang dicepol pada sesosok tubuh yang teronggok di sofa.Pria yang tengah sibuk dengan game onlinenya itu mendongak dan menyeringai sinis. Wajahnya lumayan tampan, dengan hidung mancung dan mata teduh. Tapi, kepribadiannya berbanding terbalik dengan wujudnya. Pria itu licik, oportunis, dan tidak malu menghalalkan segala cara demi tujuannya yang pasti tidak jauh-jauh dari uang.“Jangan mengeluh, Ar. Seharusnya kamu berterimakasih pada Tuhan karena dipertemukan denganku. Kalau tidak, kamu pasti sudah terlunta-lunta di luar sana, tidur di trotoar dan makan dari hasil mencari di tempat sampah,” ujar Gema, nama pria itu.Ariani mencibir. “Jangan bilang kamu lupa kalau aku yang mengajakmu kerja di rumah orang kaya itu? Kalau tidak, man
Ulfa mengetuk-ngetukkan kuku panjangnya yang dicat warna pink ke meja kayu hitam di hadapannya. Matanya tidak lepas dari pintu lift yang terletak beberapa meter ke kanan di seberangnya, berharap benda itu akan menguak dan memperlihatkan wujud seseorang yang sudah lama ditunggunya.Ting!Suara dentingan lift menyadarkan Ulfa. Ia segera menegakkan badan dan berupaya mempertontonkan sikap profesional dengan senyum yang telah terlatih di bibirnya. Pintu pun terbuka dan seorang pria setengah baya sekaligus setengah botak memakai setelan bagus berwarna abu-abu menampakkan dirinya. Mau tidak mau Ulfa merasa kecewa luar biasa, tapi tetap mempertahankan wajahnya agar enak dilihat.“Selamat siang Pak Wira, ada yang bisa saya bantu?” Ulfa menyapa ramah begitu si pria sudah sampai di depan mejanya dan menoleh-noleh ke arah pintu hitam yang terletak persis dibelakangnya.“Saya ingin bertemu dengan Pak Orion. Ada yang mau saya bicarakan soal pengembangan hotel di kota sebelah. Beliau ada?” Wira ber
“Apa? Kamu bilang pada polisi kalau Gema adalah selingkuhanku? Apa maksudnya kamu mengatakan kebohongan itu? Kamu mau namaku jelek di mata para polisi itu?” Citra bertanya sengit pada Erian yang duduk di sampingnya dalam mobil yang melaju. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit sore itu.“Kebohongan? Aku tidak tahu kalau itu adalah kebohongan, setahuku kan kamu memang berselingkuh. Henny yang bilang padaku soal kamu selingkuh dengan Gema, benar atau tidaknya kan polisi tidak bisa memastikan karena Henny sudah meninggal dan Gema tidak tahu di mana sekarang,” jawab Erian santai.Darah Citra menggelegak. Berani sekali Erian membeberkan hal seburuk itu yang tidak ada hubungannya dengan penyidikan. Bagaimana kalau ia juga sekalian membongkar perselingkuhan Orion dan Ulfa? Supaya borok keluarga Indrayana terungkap sekaligus. Itu tentu akan sangat menyenangkan. Setidaknya namanya tidak akan cemar sendirian.“Jangan coba-coba untuk melakukan sesuatu yang bodoh, Citra,”
Ruang autopsi itu dingin, sedingin tubuh-tubuh yang dibedah di situ. Keadaan itu pun memengaruhi dokter forensik yang menghabiskan setengah dari 24 jam sehari yang dipunyai dengan menghuni tempat itu.Di mata rekan-rekannya, Dokter Levin adalah sosok manusia yang tidak berperasaan, nihil empati, dan nyaris tidak ada interaksi dengan orang lain, kecuali soal pekerjaan. Sungguh sesuai dengan profesinya yang berkaitan sangat erat dengan mayat.Dokter Levin tengah menyelesaikan tahap akhir autopsi yang dibebankan padanya: menjahit bagian tengah badan jenazah yang telah dibedahnya dengan kecepatan dan ketepatan yang mengagumkan. Jahitannya sudah hampir berakhir saat dinding kaca yang membatasi ruang autopsi dan ruang tunggu yang biasanya digunakan oleh polisi, jaksa, atau rekan dokter yang lain tiba-tiba diketuk.Tok, tok, tok!Ketukan dengan bunyi mendesak seperti itu hanya bermakna dua hal bagi Dokter Levin. Satu, ada mayat lain yang perlu diautopsi secepatnya. Dan dua, pihak yang membua
"Bik Yuli, tolong bicara jujur. Apa benar keterangan Bu Citra yang menyatakan bahwa Anda membawa Bu Henny ke kamarnya setelah beliau bertengkar dengan Bu Citra sekitar pukul 4 lewat di sore hari kejadian?"Menindaklanjuti informasi yang diterimanya dari Dokter Levin, Nadi langsung memanggil Bik Yuli ke kantor polisi untuk diinterogasi sebagai saksi keesokan paginya, walaupun Erian sempat bersikeras agar asisten rumah tangganya itu ditanyai di rumahnya saja saat aparat menjemput Bik Yuli."Emm, emm, itu benar, Pak. Tapi, saya tidak tahu jam berapa membawa Nyonya Henny ke kamar," jawab Bik Yuli gugup. Matanya tidak berhenti menjelajahi ruangan tempatnya diwawancarai, terutama dua polisi bertubuh tegap yang menemani Nadi.Nadi membuang napas. Sepertinya perkiraan kronologi yang dipaparkan oleh Dokter Levin tepat. Bisa saja saat bertengkar itu korban sudah sangat mengantuk akibat pengaruh obat tidur sehingga mudah saja terjatuh. Tapi, kenapa tidak ada bekas lebam di tubuhnya?"Bik Yuli, d