Ulfa mengetuk-ngetukkan kuku panjangnya yang dicat warna pink ke meja kayu hitam di hadapannya. Matanya tidak lepas dari pintu lift yang terletak beberapa meter ke kanan di seberangnya, berharap benda itu akan menguak dan memperlihatkan wujud seseorang yang sudah lama ditunggunya.Ting!Suara dentingan lift menyadarkan Ulfa. Ia segera menegakkan badan dan berupaya mempertontonkan sikap profesional dengan senyum yang telah terlatih di bibirnya. Pintu pun terbuka dan seorang pria setengah baya sekaligus setengah botak memakai setelan bagus berwarna abu-abu menampakkan dirinya. Mau tidak mau Ulfa merasa kecewa luar biasa, tapi tetap mempertahankan wajahnya agar enak dilihat.“Selamat siang Pak Wira, ada yang bisa saya bantu?” Ulfa menyapa ramah begitu si pria sudah sampai di depan mejanya dan menoleh-noleh ke arah pintu hitam yang terletak persis dibelakangnya.“Saya ingin bertemu dengan Pak Orion. Ada yang mau saya bicarakan soal pengembangan hotel di kota sebelah. Beliau ada?” Wira ber
“Apa? Kamu bilang pada polisi kalau Gema adalah selingkuhanku? Apa maksudnya kamu mengatakan kebohongan itu? Kamu mau namaku jelek di mata para polisi itu?” Citra bertanya sengit pada Erian yang duduk di sampingnya dalam mobil yang melaju. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit sore itu.“Kebohongan? Aku tidak tahu kalau itu adalah kebohongan, setahuku kan kamu memang berselingkuh. Henny yang bilang padaku soal kamu selingkuh dengan Gema, benar atau tidaknya kan polisi tidak bisa memastikan karena Henny sudah meninggal dan Gema tidak tahu di mana sekarang,” jawab Erian santai.Darah Citra menggelegak. Berani sekali Erian membeberkan hal seburuk itu yang tidak ada hubungannya dengan penyidikan. Bagaimana kalau ia juga sekalian membongkar perselingkuhan Orion dan Ulfa? Supaya borok keluarga Indrayana terungkap sekaligus. Itu tentu akan sangat menyenangkan. Setidaknya namanya tidak akan cemar sendirian.“Jangan coba-coba untuk melakukan sesuatu yang bodoh, Citra,”
Ruang autopsi itu dingin, sedingin tubuh-tubuh yang dibedah di situ. Keadaan itu pun memengaruhi dokter forensik yang menghabiskan setengah dari 24 jam sehari yang dipunyai dengan menghuni tempat itu.Di mata rekan-rekannya, Dokter Levin adalah sosok manusia yang tidak berperasaan, nihil empati, dan nyaris tidak ada interaksi dengan orang lain, kecuali soal pekerjaan. Sungguh sesuai dengan profesinya yang berkaitan sangat erat dengan mayat.Dokter Levin tengah menyelesaikan tahap akhir autopsi yang dibebankan padanya: menjahit bagian tengah badan jenazah yang telah dibedahnya dengan kecepatan dan ketepatan yang mengagumkan. Jahitannya sudah hampir berakhir saat dinding kaca yang membatasi ruang autopsi dan ruang tunggu yang biasanya digunakan oleh polisi, jaksa, atau rekan dokter yang lain tiba-tiba diketuk.Tok, tok, tok!Ketukan dengan bunyi mendesak seperti itu hanya bermakna dua hal bagi Dokter Levin. Satu, ada mayat lain yang perlu diautopsi secepatnya. Dan dua, pihak yang membua
"Bik Yuli, tolong bicara jujur. Apa benar keterangan Bu Citra yang menyatakan bahwa Anda membawa Bu Henny ke kamarnya setelah beliau bertengkar dengan Bu Citra sekitar pukul 4 lewat di sore hari kejadian?"Menindaklanjuti informasi yang diterimanya dari Dokter Levin, Nadi langsung memanggil Bik Yuli ke kantor polisi untuk diinterogasi sebagai saksi keesokan paginya, walaupun Erian sempat bersikeras agar asisten rumah tangganya itu ditanyai di rumahnya saja saat aparat menjemput Bik Yuli."Emm, emm, itu benar, Pak. Tapi, saya tidak tahu jam berapa membawa Nyonya Henny ke kamar," jawab Bik Yuli gugup. Matanya tidak berhenti menjelajahi ruangan tempatnya diwawancarai, terutama dua polisi bertubuh tegap yang menemani Nadi.Nadi membuang napas. Sepertinya perkiraan kronologi yang dipaparkan oleh Dokter Levin tepat. Bisa saja saat bertengkar itu korban sudah sangat mengantuk akibat pengaruh obat tidur sehingga mudah saja terjatuh. Tapi, kenapa tidak ada bekas lebam di tubuhnya?"Bik Yuli, d
Orion menatap tak berkedip layar ponsel di tangannya. Pandangannya terpancang pada susunan huruf-huruf yang di bawahnya dipampang dengan jelas foto ibunya bersama ayahnya saat Hotel Ryha diresmikan hampir sepuluh tahun lalu. Mungkin media tidak berhasil mendapatkan foto Henny yang terbaru sehingga hanya bisa memajang foto itu. Padahal, ibunya telah banyak sekali berubah sejak waktu itu.Pintu ruangannya tiba-tiba menguak dan memperlihatkan Ulfa dengan setelan kemeja dan rok pendeknya yang berwarna hitam, mungkin maksudnya turut berduka cita walaupun Orion tahu tida ada kesedihan sama sekali dalam diri selingkuhannya itu.“Sayang, bisa tidak kamu mengetuk pintu dulu sebelum masuk? Aku kaget kalau kamu mendadak membuka pintu begitu,” tegur Orion dengan suara yang berupaya dibuat selembut mungkin.Ulfa merengut manja. “Kenapa aku harus melakukan itu, Sayang? Aku kan pasti tahu kalau ada orang lain di dalam ruanganmu. Atau, jangan-jangan kamu menyembunyikan sesuatu dariku, ya?” Mata Ulfa
“Aku tidak mengerti kenapa kita harus pergi ke kantor polisi sepagi ini. Lihat, belum juga jam 7. Bahkan polisi pun masih ada yang belum bangun jam segini,” gerutu Orion begitu keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membungkus bagian bawah tubuhnya dan air yang berceceran dari rambutnya membasahi lantai.Citra yang tengah memoleskan make up tipis-tipis ke wajahnya di depan meja rias berhenti sejenak demi memberi suaminya, yang berada di belakangnya, lirikan sinis lewat cermin. Ia tidak tertarik menanggapi omongan Orion.“Nah, lebih baik nanti kamu mengaku saja kalau kamu yang sudah membunuh Ibu. Lebih cepat lebih baik. Aku tidak suka jika harus ke kantor polisi sering-sering,” ujar Orion, menatap wajah istrinya juga melalui cermin.Gerakan tangan Citra yang menepuk-nepukkan bedak di pipinya seketika terhenti. Dengan wajah sangar ia berbalik ke arah suaminya. “Apa? Mengaku kalau aku yang membunuh Ibu? Bukannya itu perbuatanmu? Jangan coba-coba membuatku bertanggungjawab atas perbua
Mobil memasuki gerbang kantor polisi dan melewati portal yang dinaikkan oleh seorang petugas yang tampak jelas masih mengantuk. Namun, bukannya melaju lurus ke tempat parkir di sisi sebelah selatan bangunan, Pak Soni justru membawa kendaraannya berbelok ke kiri dan memasuki tempat parkir bawah tanah yang hanya digunakan oleh para petinggi Kepolisian Ryha.Tempat parkir bawah tanah itu lengang, hanya ada dua mobil mewah yang teronggok di salah satu sisi. Lampu yang tergantung di langit-langit menyiramkan cahayanya pada sesosok tubuh yang berdiri di samping salah satu mobil.“Rupanya Pak Nadi sudah menunggu kita. Semoga dia tidak menunggu terlalu lama, itu bisa menjadi kesan yang buruk bagi kita,” ujar Erian begitu matanya menangkap wujud polisi yang telah dikenalnya.Pak Soni menghentikan mobil persis di depan Nadi. Erian, Orion, dan Citra membuka pintu dan turun bersamaan. Erian langsung menghampiri Nadi dan menjabat tangannya erat. “Terima kasih sudah mengizinkan kami menggunakan tem
"Permisi, Anda Citra Narutama, kan? Yang aktris itu?"Citra yang tengah sibuk memperbaiki make up-nya di cermin wastafel toilet kantor polisi melirik ke samping kanan dan menemukan dua orang wanita menatapnya penasaran.Pasti mereka bukan polisi, pikir Citra yakin, tidak akan ada polisi dengan tubuh sependek dan segemuk mereka. Mungkin mereka hanya pengunjung atau juga akan ditanyai seperti dirinya."Iya, benar," jawab Citra sambil memamerkan senyum menawannya, seperti yang selalu dilakukannya ketika bertemu dengan orang lain sewaktu masih aktif jadi aktris.Dua wanita di depan Citra memekik riang kemudian menutup mulut, masih cekikikan sumringah. Lalu, salah seorang dari mereka memilih bertanya."Apa yang Anda lakukan di sini? Apa Anda di sini sehubungan dengan kasus pembunuhan ibu mertua Anda?"Senyum menawan Citra hilang. Sekarang ia yakin betul bahwa dirinya sedang bertatap muka dengan salah dua reporter. Diam-diam ia mengutuki diri karena nekat ke toilet cuma untuk memoles-moles
“Apa yang terjadi, Lavin? Kenapa ada polisi di sini?”Citra bertanya dengan wajah menghadap ke moncong pistol yang mengarah padanya, matanya tajam melirik Dokter Lavin yang tengah memberinya tatapan terluka. Walaupun malam itu udara lumayan dingin, keringat mulai bermunculan di dahinya. Wanita itu meneguk ludah yang terasa mengganjal. Ada yang tidak beres dengan mantan kekasihnya itu.Namun, bukannya menjawab, Dokter Lavin justru memutus kontak matanya dengan Citra, turun dari mobil, membuka pintu belakang, dan membawa Belinda ke dalam gendongannya. Ia memilih untuk tidak menengok ke arah Citra satu kali pun selagi melangkah kembali ke dalam toko yang pengunjungnya tampaknya tidak menyadari kejadian di depan bangunan yang mereka datangi, berbeda dengan Belinda yang tidak berhenti memelototi mobil yang baru saja mereka tinggalkan.“Lavin, Lavin, kamu mau ke mana? Jelaskan padaku ada apa ini. Lavin! Kamu tidak boleh pergi begitu saja dan meninggalkanku di sini!” Citra memanggil-manggil
Mata Citra terbelalak mendengar pengumuman mengejutkan yang disampaikan oleh Jian. Dengan mulut setengah membuka, ia menoleh ke arah Dokter Lavin yang juga tengah menatapnya. Berkat kehadiran polisi di luar sana di waktu yang sangat tidak tepat ini, rencananya bersama pria itu untuk mengasingkan Orion di ruangan tersendiri bisa dipastikan gagal.“Bagaimana mereka bisa tahu saya di sini? Setahu saya, kita tidak diikuti sejak di pusat perbelanjaan tadi. Saya juga yakin orang-orang di toko tidak ada yang mengenali saya,” ujar Citra dengan nada heran setelah berhasil berjumpa dengan suaranya. Kepalanya bergantian berpaling ke Dokter Lavin dan Jian, menuntut penjelasan. Tidak bisa dipungkiri ada sorot menuduh dalam pandangannya. Mungkin ibu dan anak itu tidak setulus yang Citra kira.Dokter Lavin melihat ke sekeliling rumah dengan resah sebelum membuka mulut. “Kalau dilihat dari polisi yang datang, bukan orang-orang suruhan Erian, kemungkinan besar mereka bisa mengetahui lokasi Citra denga
“Hati-hati menggalinya, jangan sampai guci itu pecah. Lebih baik kita menggalinya pakai tangan saja.”Nadi memberi instruksi pada rekan-rekannya sambil membasmi keringat yang berlelehan mengaliri dahinya menggunakan punggung tangan yang berlumur tanah. Mereka, para aparat kepolisian itu, tengah menggali tanah di halaman belakang kediaman Indrayana untuk mencari sesuatu yang disebutkan oleh Erian pada Nadi tiga puluh menit sebelumnya.“Kalau Anda tahu siapa yang membunuh korban, kenapa Anda tidak bilang dari awal dan membantu penyidikan? Kenapa malah menyembunyikannya dan bersikap tidak tahu apa-apa, bahkan sampai menjebak anak Anda sendiri? Apakah Anda diancam oleh Bu Citra atau Anda sendiri yang memilih untuk menutupi kasus ini, Pak Erian?”“Saya sendiri yang memang memutuskan untuk menutupi kasus ini. Saya pikir, jika Henny ditemukan meninggal sebagai korban pembunuhan, orang-orang akan bersimpati pada saya yang akhirnya akan menaikkan harga saham hotel. Tapi, Citra juga turut andil
Dokter Lavin duduk di sofa ruang tamu rumahnya, alih-alih di ruang keluarga tempatnya mengambil kotak obat, semata-mata agar tidak mendengar pertengkaran antara Citra dan Orion. Sambil menotol-notolkan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ke lukanya, ia meyakinkan diri bahwa sangat tidak sopan menguping perselisihan suami istri dan mereka tentu tidak ingin didengar oleh siapapun., walaupun Dokter Lavin penasaran setengah hidup.Sekarang, setelah Citra ada di sini, apa yang akan mereka lakukan? Hanya bersembunyi dari Erian tanpa usaha apapun untuk melepaskan wanita itu sepenuhnya dari jeratan pengusaha ternama itu? Citra memang sudah mengambil langkah pertama dengan memutuskan untuk menggugat cerai Orion, tapi kaitan antara mantan kekasihnya dan Erian bukan hanya itu.Namun, sampai kapan mereka sanggup menyembunyikan diri begini? Dokter Lavin harus bekerja, yang tentu saja tidak aman dilakukan sebab Erian sudah tahu jika dirinya ikut terlibat. Sekali Dokter Lavin tertangkap, Citra,
“Itu benar, Pak Nadi. Citralah yang telah membunuh istriku. Aku tidak bohong atau sedang berupaya kabur. Itulah yang sebenarnya terjadi.”Erian menegaskan kalimatnya usai melihat reaksi Dokter Hardi dan Nadi atas perkataannya sebelumnya adalah saling melempar tatapan tidak mengerti. Tapi, sedetik kemudian, wajah si polisi menjelma tidak percaya dan ekspresi si dokter tetap dalam kebingungannya.“Apa maksudmu, Erian?” Dokter Hardi menyuarakan ketidakpahamannya. Ia bergantian memandang polisi di depannya dan temannya yang terbaring di brankar, menunggu salah satu dari keduanya sudi menjelaskan. “Citra yang membunuh Henny? Tapi, kenapa? Tadi kamu bilang kalau dijebak dan akan berusaha mencari pelaku sebenarnya, sekarang kamu bilang kalau Citra pelakunya. Apa yang terjadi di sini, Erian?”“Lebih baik Anda ikut ke kantor dan menjelaskan semuanya di sana, Pak Erian. Bangunlah, saya akan memapah Anda ke mobil,” sebut Nadi lalu melangkah mendekati brankar dan mengulurkan tangannya pada Erian,
Bunyi pukulan itu mengalihkan perhatian Citra yang tengah asyik duduk di kursi kerja Jian dan memelototi salah satu kertas yang diraupnya dari atas meja. Tangannya otomatis menjatuhkan benda yang dipegangnya begitu menyaksikan bagaimana suaminya menonjok pipi Dokter Lavin yang sama sekali tidak menduga datangnya serangan itu. Ia tergesa-gesa menghampiri mantan kekasihnya yang setengah bersimpuh di lantai dan berjongkok di sampingnya.“Kamu tidak apa-apa, Lavin?” Citra bertanya risau sambil mengamati wajah lebam pria di sisinya. Saat Dokter Lavin hanya mengangguk sebagai reaksi tanpa mengatakan apapun, wanita itu menaikkan kepalanya untuk memberi Orion tatapan sengit. “Apa yang kamu lakukan, Rion? Kenapa kamu memukul Lavin? Dia kan tidak salah apa-apa sama kamu.”Mata Orion mendelik, dadanya masih naik turun mengejar napas. Tenaganya yang tidak seberapa, karena baru makan sekali dalam hari ini, dikerahkan semuanya untuk memberi Dokter Lavin pukulan sekuatnya yang pantas pria itu terima
“Ibu!”“Tante!”Dokter Lavin dan Citra memekik berjamaah kemudian saling bertatapan salah tingkah setelahnya yang segera dilanjutkan dengan membuang pandangan masing-masing ke arah berlawanan. Citra pura-pura tertarik dengan hiasan rambut Belinda yang duduk di pangkuannya, sedangkan Dokter Lavin berdeham tidak jelas sambil bersikap seakan-akan terpesona dengan pemandangan di luar jendela mobil.“Loh, apa yang salah?” Jian bertanya dengan wajah tanpa dosa, tidak menyadari bencana yang baru saja diciptakannya, matanya bergantian menatap tiga penumpang dewasa yang terduduk di kursi belakang mobilnya. “Kalau Citra dan pria ini bercerai, artinya dia bisa kembali pada Lavin dan anak kandungnya, Belinda. Nah, pria ini bisa bersama dengan si poni kekanak-kanakan itu. Akhir yang bahagia untuk semuanya.”Usai menemukan kendali dirinya kembali, Dokter Lavin memandang ibunya, sebisa mungkin menahan matanya agar tidak melirik ke arah Citra atau Orion yang duduk di sisi kiri dan kanannya. “Lebih ba
Nadi duduk tepekur di sofa kulit mahal yang ada di ruang rawat mewah itu. Operasi pengangkatan peluru di betis Erian yang dilakukan langsung oleh Dokter Hardi sudah selesai tiga jam yang lalu. Sekarang, ia hanya perlu menunggu pengusaha hotel itu siuman untuk ditanyai. Nadi memilih untuk bersiaga di ruangan yang sama dengan Erian untuk mencegah orang kaya itu berkonspirasi jahat dengan Dokter Hardi lagi.Sebenarnya, ia bisa saja meminta Kun atau rekannya yang lain untuk menggantikannya berjaga di rumah sakit. Tapi, Nadi memutuskan terlibat langsung karena saat ini bisa dikatakan jika Erian merupakan terduga potensial dalam kasus pembunuhan Henny serta kecelakaan Gema dan Ariani. Baginya, ini semacam tanggung jawab moril selaku ketua tim penyidikan. Bukankah sebagai pemimpin, ia yang harus bekerja lebih keras?Usai beberapa belas menit duduk sambil menjalin tangan dan bertatap muka dengan lantai, Nadi mengubah posisinya menjadi bersandar di sofa dengan kepala mendongak dan mata nyalang
“Orion?”Citra menggumamkan nama suaminya dengan nada terperanjat bervolume rendah. Ia tidak salah dengar, kan? Tapi, apa yang dilakukan Orion di sini? Bukannya dia tengah ditahan di kantor polisi?“Buka pintunya, Citra. Ini aku, Orion!” Orang yang berdiri di luar bilik toilet Citra itu berbicara lagi.Mendengar suara manusia itu sekali lagi, Citra akhirnya yakin. Sekarang ia berseru lantang. “Orion? Itu benar-benar kamu, kan?”“Iya, Citra. Aku Orion, suamimu.”Lebih tepatnya, pria yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku, pikir Citra. Walaupun yakin betul kalau makhluk yang mengobrol dengannya adalah Orion, ia tetap memilih melakukan tindakan pencegahan dengan cara mengintip lagi melalui celah di bawah pintu, siapa tahu ada orang lain di situ.Usai memastikan jika suaminya memang benar-benar datang sendirian, Citra menjatuhkan pecahan cermin di tangannya ke lantai dan membuka pintu bilik toilet. Di depannya, terpampang wujud Orion yang terlihat tidak terurus dengan wajah dan pa