Ekor mataku melirik ke arah Dewi yang sedang duduk di atas kursi roda. Benar-benar sifatnya sudah berubah 180. Bukannya simpatik sama sang kakak, dia justru malah menertawakan keadaanku. Padahal, dia sendiri sedang tidak berdaya.
“Aku juga nggak yakin kalau anak dalam perut Kak Fita itu anak suaminya. Jangan-jangan dia anak si Salim. Secara diakan diam-diam suka sama ibu tirinya!” Aku mengepalkan tangan menahan emosi. Andai saja Dewi sedang tidak sakit, sudah aku tabok mulut nyinyir bocah itu.“Jaga mulut kamu, Dewi. Kakak itu tidak semurahan kamu, yang bisa ditiduri oleh siapa saja. Bahkan sampai hamil diluar nikah!!” bengisku.Dewi beranjak dari kursi rodanya kemudian mengangkat tangannya ke udara, hendak menamparku. Beruntung Salim langsung menangkis tangan Dewi dan mencengkeram erat tangan adikku.“Jangan sentuh Kak Fita, atau tangan kamu saya patahkan!” hardik Salim dengan wajah memerah padam.“Ada pahlawan kesiangan. Iya“Ini, dimakan mumpung masih panas. Kalau sudah dingin ndak enak lagi. Kejunya aku pesenin yang super spesial buat kamu!” Dia duduk di kursi teras, membuka kotak berisi singkong keju itu dan menyodorkannya kepadaku.Aku menelan saliva mencium aroma keju yang menguar di udara. Ingin menolak makanan itu, tapi aku benar-benar menginginkannya. Kalau tidak menolak, takut Mas Akmal salah sangka dan dikira aku masih berharap dia kembali.Ragu-ragu aku mengambil sepotong singkong yang bertabur keju. Memasukkannya ke dalam mulut dan maa syaa Allah, rasanya nikmat sekali hingga tanpa sadar aku hampir menghabiskan satu porsi.Binar bahagia terpancar jelas di wajah Mas Akmal. Dia terus saja mengulas senyum menatapku yang sedang menikmati makanan pemberiannya.“Aku sudah lama merindukan momentum seperti ini, Fit. Dimana kamu sedang hamil, ngidam ini itu dan aku pergi mencarikannya!” ucap Mas Akmal sambil terus menatap wajahku.Aku menjilati jemariku dan langsung menghent
Salim masih saja berdiri mematung sambil memegangi pipinya. Wajahnya memerah padam dan mata pria itu terlihat berkabut. Aku melenggang masuk kemudian menutup rapat pintu kamarku. Menumpahkan air mata, menikmati luka yang terasa mengiris-iris sanubari.‘Ah, Mas. Tolong cepat buka mata kamu. Tolong bawa aku pergi menjauh dari orang-orang yang membenciku. Aku tidak sanggup kalau hidup terus-terusan seperti ini, Mas!’ Ratapku dalam hati.Lamat-lamat terdengar suara azan magrib berkumandang. Gegas aku mengambil wudu, menggelar sajadah, bertafakur diri memohon ampun atas segala salah serta khilaf yang selama ini aku lakukan. Juga meminta supaya Allah lekas mengangkat penyakit yang sedang diderita oleh suamiku.Selesai melaksanakan ibadah wajib tersebut, aku langsung mengajak Saquina pulang ke rumah Ibu dan pamit kepada wanita berusia enam puluh tiga tahun itu untuk menemani Mas Kenzo di rumah sakit. Ibu sempat melarang, tapi aku tetap memaksa u
Tidak lama kemudian Salim kembali membawa sebungkus nasi goreng. Dia lalu duduk bersila di depanku, membuka bungkusan nasi tersebut dan mengangsurkannya kepadaku.“Ayo dimakan, Bunda. Biar dedeknya cepet besar, cepet lahir. Duh, pasti dia lucu dan tampan seperti saya. Saya sudah tidak sabar menimang-nimang dedek, mengazaninya dan kita hidup bahagia.” Oceh Salim seperti orang sedang ngelindur.Aku lekas menyendok makanan itu dan menyuapnya ke dalam mulut.“Jangan liatin saya terus, Salim. Saya makan jadi nggak nafsu kalau dilihatin seperti itu!” Protesku, karena putra Mas Kenzo terus saja memperhatikanku.“Oh, iya. Sorry. Silakan dimakan. Saya nggak bakalan liatin lagi!” Jawabnya sambil membuang muka. Namun, ekor matanya terus melirik ke arahku.“Kamu mau?” Aku menyodorkan sesendok nasi ke mulutnya.Salim menoleh dan membuka mulut.“Enak, Bun!”“Ya sudah, kita makan berdua. Lagian kamu bukannya be
Tanpa terasa buliran-buliran kristal mulai meluncur dari ujung netraku.‘Ya Allah, Mas. Aku siang dan malam menamani kamu, bahkan rela menahan rasa lemas serta mual hanya karena ingin selalu bersama kamu, tapi, kenapa justru almarhumah istri pertamamu yang kamu cari. Apa kamu tidak tahu betapa hancurnya perasaanku ketika kamu menyebut nama dia, Mas?’“Mana Naumi, Dek. Mas kangen!” ujarnya lagi.Aku melepas genggamanku dan beranjak keluar dari kamar Mas Kenzo. Rasanya jantung ini seperti sedang diremas-remas. Sakit tak terkira, perih menusuk sukma.“Astaghfirullahaladzim! Astaghfirullahaladzim!” Aku mencengkeram ujung hijabku sambil menahan nyeri di dada.“Bun!” Salim memegang bahuku.Aku menoleh sembari menghapus air mata.“Sabar. Tolong jangan menangis. Hati aku ikut tercabik kalau melihat Bunda menangis!” ucapnya lagi sambil menatap sendu netraku.“Kenapa kamu tinggalkan Ayah sendirian, Lim?”
Salim menghela nafas berat.“Apa salah, seorang anak mengagumi ibunya?” Ia menoleh menatapku.“Hanya mengagumi saya sebagai seorang ibu?” tanyaku memastikan.“Memang maunya lebih dari itu?” Salim balik bertanya.“Saya memang mengagumi Bunda sejak pertama kali melihat Bunda. Karena Bunda itu seorang wanita yang sangat luar biasa. Bunda mau menerima Ayah, walaupun Bunda tahu kalau Ayah itu memiliki penyakit kronis. Bunda juga mau menerima anak-anak Ayah dan menyayangi kami bertiga, walaupun kalau dipikir-pikir, kasih sayang Bunda itu lebih condong ke Salman dan Saquina. Kalau sama saya enggak. Saya berasa jadi anak tiri yang tersisih!” imbuhnya lagi.“Nggak juga, Salim. Saya juga sayang sama kamu kok!” Salim tersenyum dan kembali melajukan mobilnya, karena sudah dihujani suara klakson dari kendaraan yang ada di belakang kami.“Assalamualaikum!” sapaku seraya memutar gagang pintu kamar rawat inap suamik
“Dek ... maaf. Mas benar-benar minta maaf. Mas tidak bermaksud menyakiti perasaan kamu. Tolong jangan menangis, Dek. Sini duduk di samping, Mas. Biar Mas hapus air mata kamu!” Mas kenzo mengulurkan tangannya.“Nggak usah!” “Astaghfirullahaladzim!” Dia mengusap wajah kasar.Aku melipat tangan di depan dada. Menatap lurus ke arah tembok sambil menahan rasa yang berkecamuk di dalam dada. Sejujurnya aku sangat takut Mas Kenzo kenapa-kenapa karena memikirkan ucapanku. Tapi, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku, tanpa mampu aku kontrol. Aku hanya ingin dia tahu, besarnya cinta di hatiku, tingginya harapanku tuk merajut asa bersamanya.Aku menoleh menatap Mas kenzo, dan ternyata laki-laki berwajah tampan itu sedang memindai wajahku, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling bertaut, Menyisakan debar aneh karena rasa rindu yang belum terobati.“Dek, sini naik ke tempat tidur. Mas pengen peluk Adek. Mas kangen bang
"Maaf, Mas. Saya tidak mau menjadi fitnah, kalau saya ikut dengan Mas Akmal!" tolakku secara halus."Loh, kan cuma beli asinan doang, Fit?" Mas Akmal mengernyitkan dahi."Tetap saja, Mas. Biar nanti Salim saja yang antar saya beli!""Hmmm ... Ya sudah, kalau begitu, aku antar kamu pulang.""Tidak usah, Mas. Saya masih mau menunggu Mas Kenzo di rumah sakit!"Aku lekas beranjak meninggalkan Mas Akmal, karena takut ada yang melihat kami sedang berduaan dan mengadu kepada suamiku.Tergopoh aku berjalan, hingga tanpa sengaja menabrak dada bidang seorang pria. Salim. Sejak kapan dia berdiri di sini. Apa dia melihat aku sedang mengobrol dengan Mas Akmal? "Mojok terus!" dengkus pria itu kesal."Saya nggak duduk di pojokkan kok. Tapi duduk di halte!" jawabku, membuat wajah Salim tambah terlihat marah. Salim menghampiri mobil Mas Akmal yang masih terparkir di tepi jalan, mengetuk kaca jendelan
Mentari pagi mulai menampakkan pendar jingganya, menerobos masuk melalui sela-sela tirai yang terbuka. Entah mengapa pagi ini badanku kembali lemas seperti tidak bertenaga. Perutku mual, kepalaku juga terasa berputar-putar seperti gasing.Mas Kenzo duduk di bersandar di atas dipan, sambil memegang tasbih dan berzikir."Hari ini kita pulang kan, Dek?" tanya Mas Kenzo sambil menoleh ke arahku."Iya, Mas!" Jawabku sembari memasukkan barang-barang kami ke dalam tas."Mas sudah kangen sama Quina!" Aku tersenyum.***Akmal duduk di dalam mobil sambil terus mengintai rumah Efita. Pria berhidung bangir itu selalu mengawasi mantan istrinya, karena dia masih sangat mencintai sang mantan. Dia tidak rela sang kekasih hati bahagia dengan pria lain. Dia ingin Efita kembali, bahkan jika harus melakukan hal yang dilarang agama sekalipun.Tidak lama kemudian, Efita berjalan menuju rumah ibu mertuany
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo