"Ada apa, Mas?" Azalia menghampiri dan lekas duduk di sebelahku."Fina ngamuk. Dia mukulin perutnya sendiri sampai pendarahan, Li," jawabku sambil meletakkan ponsel di atas kasur."Inalillahi... Kasihan sekali Mbak Safina, Mas. Kalau dia tidak suka menyakiti fisik orang lain, aku mau lho Mas, merawat dia sampai sembuh. Tapi kalau saat ini aku takut. Soalnya Mbak Fina kan kalau lihat aku langsung histeris dan ngamuk. Apalagi jika sampai tahu kalau aku sudah nikah sama kamu, Mas.""Nggak apa-apa, sayang. Mas paham kok." "Terus, sekarang bagaimana keadaan Mbak Fina, Mas?""Dia sedang dalam penanganan dokter. Semoga saja anak kami tidak kenapa-kenapa.""Kamu yang sabar ya, Mas." "Iya, Sayang. Oh, iya. Mas mau minta izin pergi menengok dia di rumah sakit, apa kamu tidak keberatan, Li?" tanyaku seraya menatap manik coklatnya."Iya, Mas. Tapi jangan lama-lama. Aku takut..." Dia menggantung kalimat seraya menundukkan
*Pukul dua belas siang bus yang aku tumpangi menepi di terminal Tegal. Gegas diri ini memesan taksi online, memintanya untuk mengantar ke rumah sakit jiwa supaya bisa cepat-cepat melihat keadaan Safina dan bisa segera pulang ke Jakarta.Suasana rumah sakit begitu lengang ketika aku sampai di tempat itu. Hanya ada beberapa orang perawat yang terlihat sedang sibuk menjalankan tugas masing-masing, juga beberapa pasien dengan keadaan yang lumayan memprihatinkan sedang duduk di taman sambil menikmati dunia mereka sendiri.Aku segera menemui Dokter Merry dan menanyakan keadaan Safina."Keadaan pasien sudah lumayan cukup tenang, Pak. Sekarang Bu Safina sedang istirahat di kamarnya. Lebih baik Bapak temui dia, ajak dia bicara baik-baik dan jangan sampai membuat dia terlalu banyak pikiran. Sebab kesehatan mental Bu Safina sudah lumayan cukup parah. Sepertinya dia sudah mengidap penyakit tersebut sejak lama tapi dibiarkan saja. Tidak ada penanganan se
Dengan perasaan iba meninggalkan ruangan tempat dimana Safina sedang dirawat dan segera mengikuti suster ke ruangan dokter Merry. Setelah mengetuk pintu, kulangkahkan kaki memasuki ruangan bernuansa serba putih itu dan lekas mengenyakkan bokong di kursi setelah dokter Merry mempersilahkan untuk duduk."Begini, Pak." Dokter berparas ayu itu mulai terlihat serius menatap wajahku. "Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, sepertinya Ibu Safina harus dipindahkan ke rumah sakit yang lebih lengkap serta memadai. Sebab, keadaan Ibu sudah terlihat begitu parah. Puncaknya kemarin saat pamannya datang menjenguk. Entah apa yang dia lakukan terhadap Bu Safina, karena setelah beberapa menit laki-laki itu ada di kamar Ibu, Ibu langsung menjerit histeris. Dia terus saja memukul-mukul perutnya hingga mengalami perdarahan yang lumayan cukup parah. Untung saja Dokter Aldi bisa segera menangani perdarahan itu dan janin yang ada di rahim Ibu bisa diselamatkan."Jadi benar Paklik dat
"Bagaimana keadaan Safina sekarang, Nak?" "Alhamdulillah sudah tidak apa-apa, Ummi.""Alhamdulillah kalau begitu. Sekarang lebih baik Nak Salim istirahat dulu. Sudah makan belum?""Belum, Ummi. Sengaja ingin makan di sini, soalnya kangen sama masakan Ummi.""Ya sudah. Kebetulan Ummi sudah masak buat buka puasa. Ayo silahkan masuk.""Faza. Ayo ikut Abi!" Mengangkat tubuh gembul bocah berusia empat tahun itu dan mencium pipinya dengan gemas.setelah selesai menyantap masakan ibu mertua, gegas diriku masuk ke dalam kamar, merebahkan bobot yang terasa pegal semua sambil menunggu waktu Magrib tiba.Mataku terus saja menyisir seluruh ruangan bernuansa hijau dengan foto-foto istri yang tergantung di bilik dinding. Aku juga memberanikan diri membuka laci meja riasnya, ingin melihat apa saja yang disimpan istri di dalam sana. Aku mengulum senyum ketika menemukan beberapa lembar potret diriku yang terselip di tengah-ten
Sepanjang perjalanan, Azalia hanya diam membisu sambil melipat tangan di depan dada dan membuang pandang ke luar jendela. Aku menjadi serba salah dibuatnya. Ingin marah tidak tega, diam saja juga aku cemburu. Padahal dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, aku membayangkan sambutan Azalia yang mengharu biru, memelukku dengan erat sebagai pelepas rindu."Kamu kenapa manyun terus, Li. Nggak terima kalau aku membatalkan acara kamu dengan dokter ganjen itu?" sungutku sambil melirik wajah istri."Terserah kamu lah, Mas. Kamu itu terlalu berlebihan. Lagian, aku itu nggak jalan berdua saja dengan Dokter Fatih, kok. Di dalam mobil ada Suster sarah, Suster Anna, ada Dokter Fairus juga. Kami itu dapat tugas untuk membantu korban bencana kebakaran di ujung kota," terangnya panjang lebar."Kenapa tadi kamu nggak bilang, Sayang?""Bagaimana mau bilang. Orang Mas aja langsung marah-marah." Dia memonyongkan bibirnya.Aku menepikan mobil di bahu jalan, m
#AzaliaMengambil tas yang tergantung di handle pintu lemari, bersiap-siap berangkat tetapi kembali teringat dengan ucapan suami. Sepertinya dia tidak memberiku izin untuk berangkat bekerja hari ini. Bingung, bimbang, tidak tahu mana yang harus dipilih. Mengabdikan diri kepada suami, atau mengabdikan diri kepada rumah sakit, sesuai sumpah yang pernah aku ucap ketika pertama bekerja sebagai seorang perawat. Dua-duanya kewajiban, meskipun aku sadar betul bahwa kewajibanku yang paling utama saat ini adalah mendengarkan kata suami.Ponsel yang sejak tadi tergeletak diatas kasur kembali berdering. Ada panggilan masuk dari rumah sakit, karena pagi ini ada jadwal operasi transplantasi ginjal dan biasanya aku yang menjadi asisten Dokter Fatih."Li, kamu ada di mana? Sudah jalan belum? Semua sudah siap, nih. Sebentar lagi kita masuk ruang operasi," ucap suster Anna dari ujung sambungan telepon sana."Aku ada halangan sedikit, An. Bisa nggak minta yang lain
"Li, makan siang dulu, Yuk! Perut aku udah lapar banget, nih," ajak Suster Sarah sambil mengelus perutnya."Ayuk! Aku juga sudah lapar." Berjalan bersisian dengan wanita beranak dua itu menuju kantin sambil bersenda gurau."Azalia, tunggu!" cegat Dokter Fatih membuat langkahku seketika terhenti."Ada apa, Dokter?" "Sarah, tolong tinggalkan kami berdua. Saya ingin bicara empat mata dengan Azalia.""Tapi, dokter?""Kita akan membicarakan masalah pekerjaan, Azalia. Jadi tidak masalah jika mengobrol hanya berdua saja. Ayo ikut saya. Lagian, suami kamu juga nggak bakalan liat kamu jalan berduaan dengan saya. Kamu tidak usah terlalu cemas seperti itu. Jangan bersikap berlebihan seperti suami kamu!" rutuk Dokter Fatih panjang lebar.Aku bukannya cemas berlebihan. Aku tahu ini rumah sakit dan Dokter Fatih tidak akan mungkin berbuat macam-macam denganku. Hanya saja, sebagai seorang istri, aku juga harus menjaga marwah ketika sua
[Assalamu'alaikum, Mas. Bisa jemput aku sekarang] Segera kukirimkan pesan kepada suami, sebab jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka lima sore.Kuabaikan panggilan Dokter Fatih, sebab tidak mau lagi berurusan dengan dia. Sudah cukup apa yang dia lakukan hari ini. Aku tidak masalah jika semua rumah sakit di kota ini nantinya tidak mau menerima diriku bekerja karena mungkin kinerjaku dianggap jelek serta tidak profesional. Tapi yang menjadi masalahku saat ini, apakah Mas Salim mau membayar biaya finalti yang dipinta pihak rumah sakit karena aku melanggar perjanjian kerja, dimana di dalam surat perjanjian dituliskan jika aku berhenti bekerja sebelum masa kontrak berakhir, aku harus membayar biaya sebesar lima puluh juta.Entah siapa yang membuat kebijakan tersebut, akan tetapi dulu tidak pernah mempermasalahkan, karena pikirku akan bekerja mengabdikan hidup selamanya di tempat ini."Bengong mulu, Li. Lagi ada masalah?" tanya suster Anna menarikku dari lamun
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo