"Li, makan siang dulu, Yuk! Perut aku udah lapar banget, nih," ajak Suster Sarah sambil mengelus perutnya.
"Ayuk! Aku juga sudah lapar." Berjalan bersisian dengan wanita beranak dua itu menuju kantin sambil bersenda gurau."Azalia, tunggu!" cegat Dokter Fatih membuat langkahku seketika terhenti."Ada apa, Dokter?""Sarah, tolong tinggalkan kami berdua. Saya ingin bicara empat mata dengan Azalia.""Tapi, dokter?""Kita akan membicarakan masalah pekerjaan, Azalia. Jadi tidak masalah jika mengobrol hanya berdua saja. Ayo ikut saya. Lagian, suami kamu juga nggak bakalan liat kamu jalan berduaan dengan saya. Kamu tidak usah terlalu cemas seperti itu. Jangan bersikap berlebihan seperti suami kamu!" rutuk Dokter Fatih panjang lebar.Aku bukannya cemas berlebihan. Aku tahu ini rumah sakit dan Dokter Fatih tidak akan mungkin berbuat macam-macam denganku. Hanya saja, sebagai seorang istri, aku juga harus menjaga marwah ketika sua[Assalamu'alaikum, Mas. Bisa jemput aku sekarang] Segera kukirimkan pesan kepada suami, sebab jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka lima sore.Kuabaikan panggilan Dokter Fatih, sebab tidak mau lagi berurusan dengan dia. Sudah cukup apa yang dia lakukan hari ini. Aku tidak masalah jika semua rumah sakit di kota ini nantinya tidak mau menerima diriku bekerja karena mungkin kinerjaku dianggap jelek serta tidak profesional. Tapi yang menjadi masalahku saat ini, apakah Mas Salim mau membayar biaya finalti yang dipinta pihak rumah sakit karena aku melanggar perjanjian kerja, dimana di dalam surat perjanjian dituliskan jika aku berhenti bekerja sebelum masa kontrak berakhir, aku harus membayar biaya sebesar lima puluh juta.Entah siapa yang membuat kebijakan tersebut, akan tetapi dulu tidak pernah mempermasalahkan, karena pikirku akan bekerja mengabdikan hidup selamanya di tempat ini."Bengong mulu, Li. Lagi ada masalah?" tanya suster Anna menarikku dari lamun
"Oh, kenapa kamu tiba-tiba ingin keluar? Apa kamu terpaksa karena desakkan Mas?"Aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepala. Ingin rasanya bercerita tentang kejadian di taman, takut membuat hati suami panas dan terus saja memikirkan."Enggak, Mas. Tapi karena ini." Menyodorkan ponsel milikku, menunjukkan chat yang dikirim oleh Dokter Fatih tadi sore."Keputusan kamu sudah paling tepat, Li. Mas mendukung kamu. Tidak masalah jika Mas harus mengeluarkan uang segitu, dari pada nanti kehilangan kamu. Mas sangat mencintai kamu dan tidak mau ada seorang pun yang mengusik kebahagiaan kita. Nanti kamu segera urus surat pengunduran diri kamu, dan kamu berikan uang itu kepada Fatih. Bila perlu nanti Mas temani kamu bicara dengan dia, supaya dia tahu, kalau kamu itu memiliki suami yang begitu perduli dan akan selalu menjadi benteng pelindung untuk kamu." Sungguh terharu aku mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut suami. Tidak menyangka, pik
Pukul tiga sore, selesai membantu Bunda mengerjakan pesenan nasi kotaknya. Aku pun segera mengambil rantang, mengisinya dengan nasi, dua potong ayam juga sambal petai yang Bunda buat spesial buat suamiku, juga oseng sawi bakso kesukaan Mas Salim. Aku berniat menyusul suami seperti yang aku janjikan tadi pagi."Dedek, ikut Ummi yuk! Kita susul Abi di toko!" ajakku seraya berjalan menghampiri jagoan kecil itu."Ndak, Ummi. Dedek mau main sama Kak Syabil dan Kak juna di lumah," tolaknya sambil menggeleng pelan."Tapi, sayang. Ibu lagi sakit, Bunda juga lagi sibuk. Dedek ikut Ummi aja yuk!" "Sudah biarkan saja, Li. Anak kamu itu penurut banget, kok. Biarkan saja dia main sama kakak-kakaknya." Bunda ikut menimpali."Ya sudah, Bun. Lia nitip Faza sebentar ya. Assalamualaikum!" Mencium punggung tangan mertua dan segera memesan taksi online untuk mengantarku ke tempat kerja suami.Toko sedang lumayan ramai ketika aku sampai. Ada beberap
"Dokter? Apa yang Dokter mau dari saya? Kenapa Dokter membawa saya ke tempat seperti ini?!" Aku beringsut menjauh ketika Dokter Fatih duduk di bibir ranjang tempat di mana aku dia hempaskan."Tenang saja, Azalia. Saya tidak akan berbuat macam-macam sama kamu. Saya hanya mau menghabiskan hari ini berdua dengan kamu!" jawab lelaki berkacamata tebal itu seraya menatapaku."Saya mau pulang, Dokter.""Tidak. Kamu tidak boleh pulang. Kamu harus temani saya ngobrol sampai sore.""Saya mohon, Dok.""Tidak!" Dia meninggikan nada bicara beberapa oktaf. Matanya merah berselimut amarah. Rahang tegasnya mengeras. Mata elangnya tidak lepas dari wajahku, menatap seolah ingin menerkam serta menelan diriku.Tangan ini bergerak merogoh dalam-dalam saku tas selempang yang menggantung di pundak, ingin mengambil gawai dan menghubungi siapa saja yang bisa menolong. Akan tetapi pria beralmamater putih serta stetoskop menggantung di lehernya itu terus saja memperhatikan. Sepertinya tidak aman jika mengeluark
#Salim.Geram sekali ketika mendapat pesan dari istri kalau dia sedang disekap di salah satu kamar oleh seorang dokter yang diam-diam menaruh hati kepada istri. Aku begitu khawatir laki-laki itu akan nekat dan menyentuh Azalia, sebab jika seseorang sudah dibutakan oleh cinta, maka dia akan berani berbuat apa saja tanpa perduli dengan resikonya.Raut ketakutan terpancar jelas di wajah Azalia. Bahkan, setelah kejadian itu, dia menjadi takut berjalan sendiri meskipun hanya di halaman rumah. Dia pasti selalu minta untuk ditemani.Apalagi, menurut bunda Efita ada tanda-tanda kehamilan yang ditunjukan oleh istri. Aku hendak mengajak dia memeriksakan diri ke dokter kandungan akan tetapi bunda melarang. Belum waktunya, tunggu sampai usia pernikahan kami lewat dari sebulan, baru boleh memeriksakan kandungan Azalia. Kata Bunda.Padahal, aku sudah tidak sabar ingin melihat calon anakku. "Mas." Azalia menghampiri seraya bergelayut manja di
Suara alarm di pagi hari membangunkan diriku dari tidur malam ini. Pelan-pelan membuka mata, menyibak selimut dan tidak lupa juga mendaratkan kecupan singkat di kening istri sebelum turun dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi.Setelah berada di dalam toilet, gegas membasuh area-area tertentu, mengambil wudhu kemudian segera mengguyur tubuh mulai dari bagian kanan sambil membaca doa mandi wajib.Azalia masih terlelap di balik selimut ketika aku selesai mandi dan keluar dari toilet. Sambil mengenakan pakaian kuhampiri istri tercinta, mengusap pipinya mesra kemudian membangunkan dia karena sebentar lagi azan subuh dikumandangkan."Assalamualaikum! Selamat pagi, Bidadari?" sapaku saat melihat istri membuka mata sambil menggeliat manja."Mas, sudah bangun?" "Iya, Sayang. Buruan mandi gih! Sebentar lagi subuh.""Iya, Mas." Seulas senyum terbit di bibir merah jambunya. Senyum yang selalu membuat diri ini jatuh cinta kepadany
*Mobil aku tepikan di area parkir rumah sakit, kemudian segera masuk dan menanyakan tempat di mana Safina sedang menjalani pengobatan. Sebab selama dia dipindahkan ke Jakarta, aku belum pernah sekali pun menjenguk wanita itu.Seorang perawat berhijab putih mengantarku hingga ke depan pintu kamar serta membukakan pintu untuk kami. Hatiku kembali dibuat mencelos dengan keadaan Safina yang kian memprihatinkan. Badannya begitu kurus tinggal tulang serta kulit, dengan penampilan acak-acakan dan tidak lagi mau mengenakan penutup kepala."Assalamualaikum, Fina!" Perempuan berambut sebahu itu terkesiap ketika aku berjalan masuk sambil mengucap salam. Dia beringsut menjauh, segera naik ke atas tempat tidur dan menutup tubuhnya dengan selimut."Jangan lakukan lagi! Jangan sentuh aku lagi!" jeritnya histeris.Aku mencoba terus mendekat kemudian duduk di tepi ranjang berukuran 120x200 itu, berusaha menenangkan Safina yang kian terlihat ket
"Maaf, Pak. Lebih baik Bapak dan Ibu keluar dari ruangan ini, sebab sepertinya pasien sudah mulai merasa kurang nyaman. Bapak dan Ibu bisa menjenguknya lain waktu," kata seorang perawat menyuruh kami keluar dari ruang rawat Safina."Iya, Mbak. Titip Safina ya, Mbak. Kalau ada apa-apa, segera hubungi nomer saya." "Baik, Pak.""Terima kasih!""Sama-sama."Azalia berjalan mendahuluiku. Dia juga tetap diam membisu ketika kami berdua sudah berada di dalam mobil dan diamnya itu berlangsung cukup lama. Azalia tidak seperti biasanya yang cerah ceria, bahkan tidak ada senyum yang terkembang sama sekali di bibirnya. Apa dia cemburu karena aku masih memperhatikan Safina?"Li," panggilku karena mulut istri tetap saja terkatup rapat."Iya!" Dia menjawab singkat."Kamu kok diem terus?" "Memangnya harus teriak-teriak?""Ya nggak juga. Biasanya kamu itu 'kan selalu ceria. Ada apa?""Nggak ada apa-apa, Mas!""Hmmm...Ya sudah kalau begitu."Aku kembali fokus mengemudi. Sesekali ekor mataku melirik ke
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo