Aku menelan saliva yang terasa getir, sekaligus malu karena ternyata Bunda Efita malah menolakku.
“Maaf ya, Salim. Aku tidak bisa menjadi istri kamu. Kamu itu masih muda, masih bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku, dan aku yakin banyak perempuan di luaran sana yang mau menjadi pendamping hidup kamu.”“Tapi aku maunya sama Bunda. Bunda tahu kan, Sejak dulu aku memang sudah menyimpan rasa kepada Bunda, bahkan jauh sebelum Bunda menikah dengan Ayah.”“Aku sudah tidak mau mencari pendamping hidup lagi, Salim. Karena aku sangat mencintai Ayah kamu. Aku sudah pernah gagal menjalani biduk rumah tangga dengan Mas Akmal. Dan ketika aku sedang terpuruk, Ayah kamu datang menjadi penawar luka di hatiku. Dia mau menerimaku walaupun saat itu aku belum bisa move on dari mantan suamiku. Dia begitu sabar menghadapi sikapku, dia sabar menunggu hingga akhirnya aku benar-benar bisa jatuh cinta kepadanya.Ayahmu itu laki-laki paling baik. Dia tiMenggenggam hendel pintu, memutarnya perlahan sambil mengucap salam pelan. Abi dan Ummi sedang duduk di ruang tengah sambil bercengkerama. Hatiku mencelos melihat kebahagiaan mereka berdua saat ini. Jika aku nekat menikahi Bunda Fita, aku yakin senyum yang terkembang di bibir manis Ummi akan berubah menjadi air mata.Ya, aku tidak boleh egois. Aku tidak boleh memikirkan kebahagiaanku sendiri dengan menukar kebahagiaan orang lain. Sudah lebih dari dua puluh tahun Ummi menahan luka, kini ketika dia sudah merasa bahagia, aku tidak mungkin dengan tega mematahkan kebahagiaannya.“Ada apa, Salim?” tanya Ummi seraya tersenyum menatapku.“Aku mau bicara penting sama Abi dan Ummi,” sahutku sembari duduk di samping dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu.“Kamu mau bicara apa, Lim? Apa kamu akan menikah?” Ledek Abi.Aku tersenyum samar menanggapinya.“Iya, Abi. Aku berniat melamar Safina temanku di Semarang. Jika Abi dan Ummi
“Kenapa kamu berkata seperti itu, Salman?” Mengusap pipinya yang mulai ditumbuhi jambang tipis seraya tersenyum.“Karena Bunda masih muda, cantik, pasti masih banyak laki-laki yang ingin mempersunting Bunda setelah ini!” ungkapnya lagi.“Bunda janji tidak akan meninggalkan kalian, apalagi menikah lagi. Kalian semua amanah Bunda, harta paling berharga yang akan Bunda jaga selamanya.”“Terima kasih, Bun!” Salman menghambur ke dalam pelukanku, sambil menangis tersedu dalam rengkuhan.“Pak dokter masa nangis?” ledekku sambil mengusap lembut punggungnya.Saquina yang baru saja pulang dari mengaji, ikut bergabung dan memelukku. Bahagia rasanya memiliki anak-anak sebaik mereka.Andai saja dulu aku menolak menikah dengan Mas Kenzo, mungkin saat ini aku sedang merana juga kesepian. Dengan adanya putra-putri mendiang suamiku, aku merasa seperti memiliki kekuatan untuk menghadapi hidup.“Adek mana, Man?” tanyaku sambi
“Salim, dulu, sebelum Bunda menikah dengan ayah kamu, Bunda pernah memiliki cita-cita membuka usaha catering di rumah. Cuma setelah menikah dengan almarhum Ayah kamu, dia tidak mengizinkan karena katanya beliau masih mampu memenuhi semua kebutuhan Bunda. Sekarang, Ayah sudah tidak ada. Rencananya Bunda mau melanjutkan cita-cita Bunda yang tertunda, Lim, ucapku kepada Salim, saat kami sudah berada di dalam mobil.“Sepertinya tidak perlu, Bun. Insya Allah aku dan Salman masih bisa memenuhi kebutuhan Bunda serta adik-adik!” jawab Salim tidak setuju.Aku menghela nafas panjang mendengarnya. Bukannya tidak percaya kalau kedua anak tiriku bisa menghidupi kami. Tapi, mereka sudah dewasa dan sebentar lagi memiliki kehidupan baru bersama pasangan mereka masing-masing. Aku tidak mau terus merepotkan. Tidak mau mengganggu kehidupan rumah tangga mereka berdua kelak.“Bunda tahu. Lim. Tapi, Bunda harus mandiri. Sebentar lagi kamu akan menikah. Kamu akan memiliki
“Bun, temen di rumah sakit butuh catering buat acara sunatan anaknya. Karena kata Bunda ingin melanjutkan cita-cita Bunda buat buka usaha catering, Salman rekomendasikan Bunda ke teman Salman. Dan Alhamdulillah teman Salman setuju. Besok, dia minta tester masakan Bunda, sekaligus Salman mau promosi ke temen-temen yang lain, Bun,” ucap putraku saat kami selesai santap malam.“Oh ya, Buat tanggal berapa, Kak? Alhamdulillah ....” Rasanya bahagia sekali mendengar kabar tersebut. Akhirnya, jalan usahaku mulai terbuka. Walaupun Salim tidak menyetujuinya, akan tetapi Salman begitu mendukung dan bahkan membantuku membeli perabot serta alat-alat di pasar.“Aku mau Bunda ada kegiatan, supaya tidak terus-menerus melamunkan Ayah. Badan Bunda sudah terlihat sangat kurus karena terus saja memikirkan Ayah. Jika Bunda ada kegiatan di rumah, mungkin Bunda bisa sedikit melupakan duka yang melanda!” kata Salman ketika aku meminta izin membuka usaha catering.
“Assalamualaikum!” Mas Akmal mengucap salam seraya menangkup tangan di depan dada.Kami semua menjawab salam Mas Akmal serempak, tidak terkecuali Dewi yang sudah terlihat moveon dari cintanya kepada mantan suamiku itu.“Kamu sekarang bercadar, Fit?” tanya Mas Akmal seraya menatap wajahku sekilas lalu kembali menundukkan pandangan.“Iya, Mas.” Aku mengangguk.Salim dan Salman duduk di sebelah kami, menemani kami berdua ngobrol untuk menghindari fitnah.“Fit, Sebelumnya Mas minta maaf sama kamu. Kedatangan Mas kali ini ke sini, Mas berniat ingin kembali menjalin hubungan dengan kamu, Efita. Mas ingin jadi ayah dari putra-putri kamu!” Mataku membeliak kaget mendengarnya. Apa Mas Akmal tidak salah bicara? Bagaimana dengan Hafizah jika dia menikah denganku. Apa dia sama sekali tidak memikirkan perasaan istrinya.Andai saja hanya ada satu laki-laki di dunia ini. Aku tetap akan menolak jika harus bersanding kemba
“Jangan kecewakan Safina ya, Lim. Dia itu wanita. Sama seperti Bunda. Hati wanita itu rapuh. Doa seorang wanita yang tersakiti juga mudah didengar dan dikabulkan oleh Allah. Jika dia meminta kamu untuk segera menikahinya. Menikahlah. Witing tresno jalaran soko kulino!” nasihatku panjang lebar.Salim mengangguk pelan, mencoba mengulas senyum meski wajahnya terlihat muram. Pria berperawakan persis seperti suamiku itu bangkit dari duduknya, berjalan menuju kasir membayar semua makanan yang sudah kami santap.“Habis berapa, Lim?” tanyaku seraya mengekor di belakang lelaki itu.“Dua ratus ribu, Bun,” sahutnya tanpa menoleh.“Ini uangnya. Hari ini kan Bunda yang traktir. Jadi Bunda yang bayar. Bukan kamu!” Menyodorkan dua lembar pecahan seratus ribu.Salim mengambil uang tersebut tanpa ekspresi, membuat diri ini semakin tidak enak hati.Sepanjang perjalanan menuju pulang, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut pemuda itu. Dia lebih banyak murung, bahkan mobil yang kami tumpangi h
Aku menarik napas dalam-dalam. Menundukkan pandangan, menghindari tatapan Paklik Tejo yang seolah-olah mengintimidasi, memaksa diri ini harus mengatakan iya kepadanya.“Bagaimana, Nak Salim?” Lagi. Dia mengusap punggung tanganku.“Saya harus membawa keluarga besar saya ke sini, jika kalian ingin menikahkan saya dengan Safina.” Teguh dalam pendirian.“Kalau nunggu keluarga Nak Salim, takutnya Allah segera mengambil Mas Wahyu. Sebab ini permintaan terakhir Mas Wahyu. Dia ingin melihat anak semata wayangnya menikah sebelum mengembuskan napas terakhir,” desaknya, membuat diri ini semakin bingung.Kali ini aku tidak bisa menjawab. Seketika ruangan pun menjadi hening. Hanya suara monitor detak jantung yang terdengar.“Izinkan saya berpikir sejenak. Saya tidak bisa memutuskan. Saya harus menghubungi keluarga saya dulu. Saya permisi keluar!” Aku berujar pelan, beranjak dari kursi hendak keluar ruangan, akan tetapi Paklik mencekal lengan
Dengan langkah ragu berjalan menghampiri mereka. Duduk pasrah di kursi sebelah Abah Safina berbaring, tidak tega melihat pemandangan tersebut.“Saya mau menikah dengan Safina,” jawabku pelan. Kontan, membuat semua orang yang ada langsung menatap ke arahku.“Ya sudah. Kita siap-siap. Teman Paklik yang seorang ustadz juga sedang menuju ke rumah sakit,” jawab Paklik Tejo bersemangat.Lalaki bertubuh tambun itu mengambil buku, mencatat semua perlengkapan yang dibutuhkan, juga menanyakan nama panjangku, dan juga kedua orang tuaku.“Muhammad Salim Hafidz.” Menyebutkan nama lengkap.“Bin Bapak Dandi Prawira, ya?” Tanya Paklik lagi.“Bin Kenza.” “Loh, kok bin Kenza. Bukannya Dandi Prawira?” Dia menatap wajahku dengan mimik kaget. “Abah dan Fina sudah tahu masa lalu saya. Mereka tahu asal-usul saya, dan mereka berdua tidak mempermasalahkan!” “Kalau begitu. Saya tidak jadi menikahkan keponaka
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo