"Hah? Serius, Ma? Dari siapa?"Wajah Kelvin berubah pucat, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Nomor terakhir yang tadi Kelvin hubungi sebelum ponselnya berpindah ke tangan Dewi adalah Namira! Dan satu-satunya orang yang mungkin menghubungi Kelvin dengan segera setelah panggilan Kelvin tidak terjawab tadi. "Mana mama tahu, baru mau mama tengok udah mati tuh ponselmu. Low bat."Fiuh!! Rasanya lega luar biasa mendengar jawaban Dewi. Entah benar Namira atau bukan yang tadi menelepon Kelvin, yang penting untuk saat ini dia aman! Tidak bisa dia bayangkan kalau ponsel Kelvin tidak mati dan benar Namira yang menghubungi Kelvin tadi! Dewi pasti ngamuk dan Kelvin terancam gagal lanjut spesialis! "Ada PB nggak, Ma? Charge-in dong hape Kelvin." Mohon Kelvin dengan wajah memelas. "Nggak bawa, Vin. Lagian kamu ini, bisa-bisanya!" Omel Dewi dengan lirikan gemas. "Hehehe ... namanya juga lupa, Ma!" Kelvin nyengir lebar, sangat bersyukur dengan insiden matinya ponsel. Mereka terus melangk
"Om ... Seriusan ini mau dianterin pulang?"Sudah hampir dekat dengan rumah, Agatha menoleh mendapati Kelvin masih begitu serius dengan kemudi. Mendengar pertanyaan Agatha, Kelvin spontan menoleh, membalas tatapan memohon iba itu dari sorot mata Agatha. "Saya mana ada main-main sih? Nggak dengar tadi mama kamu kasih perintah apa ke saya?"Agatha mencebik, ia melempar ujung kemeja yang tadi dia pilin dengan gemas. Kelvin hanya melirik sekilas, meskipun cuek, namun wajah itu nampak menahan tawa. "Anterin ke mall aja deh, Om. Bosen di rumah. Ntar om langsung balik aja. Kalo ditan--.""No!" Potong Kelvin cepat. "Saya anter ke rumah, setelah sampai di rumah terserah kamu mau ngapain. Yang penting ini saya anterin dulu!"Agatha tidak menjawab, ia hanya memasang wajah kesal sambil meremas-remas tangannya sendiri. Susah sekali ternyata membujuk om-om jutek satu ini! Ia lebih ingin jalan-jalan di mall dan menonton bioskop! "Jangan bikin saya susah kenapa sih? Ntar kamu di sana kenapa-kenapa
"Sialan! Kenapa pake lupa kalo hape ada di tas bocil sih?" Kelvin menggerutu, ia membawa mobil menuju tempat yang sudah di infokan oleh Agatha. "Moga nggak dianeh-anehin itu hape. Kekunci sih, cuma khawatir gue dia bisa otak-atik itu hape. Kelar idup gue, serius!" Kelvin terus mengomel, merutuki kesalahannya sendiri. Kelvin tidak buang-buang waktu lagi, ia mengabaikan segala lelah demi mendapatkan benda itu sesegera mungkin. "Ayolah, Vin ... Jangan sampai kebodohan lu ini bawa masalah baru, Vin! Idup lu udah cukup ruwet, ruwet banget malah!"***"Mana sih ini om-om jutek? Lama amat!" Agatha berkali-kali melirik jam tangan, ia paling benci disuruh menunggu seperti ini. Jadwal film-nya sebentar lagi, dan ia masih belum membeli tiket! Entah masih ada seat atau tidak, Agatha tidak tahu. Pokoknya kalau sampai dia gagal nonton hari ini, semua gara-gara Kelvin! Agatha menendang-nendang lantai sebagai bentuk kekesalannya, hingga kemudian dari pintu studio, terlihat sosok itu berjalan mas
"Nih!"Kelvin yang baru saja masuk koridor studio kontan menoleh, menerima popcorn yang disodorkan Agatha kepadanya. Gadis itu segera melewati Kelvin dan melangkah lebih dulu. Kelvin hanya menghela napas panakng, mengikuti langkah Agatha yang kemudian berhenti di depan bangku deretan depan. "Nomor berapa, Om?" Tanya Agatha santai. "Om lagi?" Kelvin membelalak, gemas sekali rasanya."Lha terus mau dipanggil apa? Babe?" Balas Agatha semakin menyebalkan. Kelvin tidak membalas, ia tahu akan sia-sia bicara dengan gadis itu disaat seperti ini. Ia melangkah menuju nomor kursi yang ada di tiket. Duduk di salah satu kursi tanpa menghiraukan Agatha yang mengekor di belakangnya. "Wah cocok nih duduk di sini. Nggak depan banget, nggak belakang banget." Cerocosnya lalu duduk di sebelah Kelvin. Kelvin hanya melirik sekilas, tangannya sibuk membuka kemasan popcorn yang ada di tangan, sementara Agatha sibuk menikmati Java Ice Tea di kursi yang dia duduki. "Om ... balik kapan?" Tanya suara itu t
"Eh, udah pulang? Gimana tadi nontonnya?"Agatha turun dari mobil, langsung disambut dengan senyum lebar Handira. Wajah itu nampak begitu sumringah berbanding terbalik dengan Agatha yang wajahnya keruh dengan ekspresi kesal."Nggak asik!" Jawab Agatha singkat lalu ngeloyor pergi, berbagai masuk ke dalam rumah. "Loh ... Loh! Kok langsung masuk gimana sih, Tha? Ini masih ada Kelvin!" Teriak Handira heboh, sementara Kelvin yang sudah berdiri di depan mobil hanya nyengir lebar. "Nggak apa-apa kok, Tan. Kelvin mau pa--.""Kok langsung mau pulang, Vin? Makan malam di sini dulu, ya?" Potong Handira cepat. "Maaf kalo Agatha tadi tantrum, kamu yang sabar ya, Vin. Nanti lama kelamaan nggak kok." Ujar Handira merasa tidak enak. "Santai aja, Tan. Ya mungkin tadi ada hal-hal yang bikin dia nggak nyaman."Handira tersenyum, ia baru saja hendak kembali bersuara, namun Kelvin mendahuluinya. "Kelvin pamit ya, Tan? Mau istirahat. Capek banget rasanya, besok juga sudah harus balik."Jika tadi Handir
"Kalau ternyata kami nggak pernah bahagia, gimana, Ma? Kalau ternyata perjodohan ini cuma buat kami saling merasa tersakiti? Apa pendapat mama?"Agatha menatap serius Handira, ia tak gentar membalas tatapan penuh harap dari mamanya. Senyum Handira sontak lenyap, namun tangan itu masih mengusap puncak kepala Agatha dengan lembut. "Kenapa kamu bisa menyimpulkan begitu?""Karena kami sama sekali nggak kepengen idup sama-sama, Ma! Apalagi dalam satu ikatan pernikahan." Balas Agatha langsung to the point. "Kita beda pandangan, beda generasi, beda segala-galanya dan mama bersikukuh menyatukan kami dengan harapan kami bisa bahagia. Bahagia dari mana?"Agatha sekuat tenaga mengatur nada suaranya. Menahan pula air mata yang bersiap jatuh membasahi pipi. Ia sudah berkali-kali mencoba menjelaskan hal ini, ia tahu kalimatnya barusan tidak akan mempunyai pengaruh yang kuat untuk membuat Handira berubah pikiran, tapi tidak ada salahnya Agatha utarakan kembali kenyataan itu pada Handira! "Kamu tah
"Kamu beneran nggak mau ikut, Ra?" Namira hanya menggeleng sambil menyunggingkan seulas senyum. Ada hal penting yang hendak ia tunggu dan lihat daripada film terbaru yang akan ditonton teman-temannya itu."Serius? Nggak suntuk dari kemaren jaga mulu?" Anin nampak tidak percaya, ia menatap Namira dengan saksama."Serius lah! Ntar kalo aku suntuk juga bakalan neror kalian kusuruh nemenin nonton!" balas Namira sambil tertawa kecil.Nampak teman-temannya saling pandang, mereka lalu menghela napas bersamaan."Okelah, kita mo cabut sekarang nih. Kamu hati-hati balik kostnya!"Kembali Namira hanya tersenyum, ia melambaikan tangan ketika teman-temannya menyeberang menuju halte yang ada di depan rumah sakit. Namira segera merogoh ponsel, ia harus memesan ojek online agar bisa segera sampai di kost.Piikiran Namira berkecamuk. Jujur ia sudah tidak sabar menunggu Kelvin muncul di depan muka Namira. Apa yang hendak lelaki itu katakan? Alasan kenapa dia tidak memberi Namira kabar sampai setengah
"Aahhh!"Kelvin benar-benar sudah terbakar. Ia merasakan benda itu mengeras! Ditatapnya Namira yang nampak payah karena serangannya barusan. Matanya berubah sayu dengan rona wajah memerah. "Bilang kalo kamu sayang aku, Ra!" Kelvin berbisik, sengaja tepat di telinga Namira. Ia ingin membakar gadis itu habis-habisan! Bukannya menjawab, tubuh Namira nampak bergetar, kulitnya meremang membuat Kelvin tersenyum dan kembali meraup bibir itu dengan buas. Tangannya tidak hanya menjelajah dada, kini tangan Kelvin sudah jauh melesat ke bawah, menyentuh bagian yang seharusnya tidak Kelvin sentuh untuk saat ini. Kelvin dengan tiba-tiba melepaskan pagutan. Sorot mata Kelvin nampak berkabut, dengan kasar Kelvin melepas benda yang membungkus tubuh gadisnya, membuatnya jatuh ke lantai dan memperlihatkan Kelvin pemandangan indah itu di depan mata. Namira seperti tersadar. Ia buru-buru menutupi dadanya dengan kedua tangan. Namun bukan Kelvin namanya kalau dia menyerah atau berhenti. Kembali Kelvin m
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A