"Mas, kita tak mungkin melawan mereka!" kata Diego yang mendempetkan punggung tepat di punggung Alen.Sial! Bisa-bisanya jumlah mereka melebihi kemampuanku! kata batin Alen dengan keringat yang membasahi dirinya.Alen mengernyit. Kedua matanya tak berhenti menatap ke arah salah satu orang bermasker yang berjalan menghampiri dirinya."Tanda tanganilah dokumen ini! Setelah itu, anda bisa pulang dengan selamat," kata orang tersebut seraya menyodorkan selembar kertas pada Alen.Alen mengernyip. Sudut matanya mengerut melihat sebuah dokumen yang terlihat samar olehnya.Sesaat, ia mendongak dan melempar kertas tersebut tepat di hadapan orang yang memakai baju serba hitam itu."Siapa yang menyuruhmu? Jika dia ingin tanda tangan dariku, suruh dia menemuiku secara langsung!" ucap Alen dengan berani."Tak seharusnya anda mempersulit kami! Hajar, mereka!" seru orang tersebut pada anak buahnya yang siap menghajar Alen dan Diego.Perkelahian pun tak terhindarkan. Sekuat tenaga dan kemampuan, Alen
Senyum Azka memudar seketika melihat istri sahabatnya adalah wanita yang ia dambakan."Naya!" kata Azka seakan tak percaya.Alen menyeringai dan terlihat senang melihat ekspresi sahabatnya yang syok dengan kenyataan yang ada."Senang bertemu denganmu lagi. Jujur! Aku tak menyangka jika kamu adalah sahabat dekat suamiku!" tutur Naya yang seketika membuat hati azka hancur berkeping-keping. Padahal, baru saja ia berharap kalo ia salah paham dengan apa yang ia lihat.Suamiku? Jadi, benar dia istrinya Alen? tanya batin Azka seraya menegak salivanya sendiri dengan paksa."Sayang, tolong bilang sama Diego untuk istirahat di rumah!" pinta Alen yang sengaja memperlihatkan kemesraannya di depan Azka."Iya!" kata Naya pergi meninggalkan mereka berdua.Azka melirik ke arah ponsel naya yang ada di pangkuan sahabatnya itu. Tatapan mata Alen seakan menyimpan luka yang mendalam terhadapnya.Jaga mata dan hati kamu jika berhadapan dengan istriku!" Perkataan Alen yang terlintas kembali dalam benak azka
"Laura, ngapain dia di sini? Dan kenapa dia terlihat begitu bahagia? Tumben banget ekspresi wajahnya seperti itu padaku. Apa jangan-jangan dia ingin uang dariku lagi?" tebak Arga dalam hati.Sejenak, kedua bola mata Arga terbelalak kaget saat Laura tiba-tiba memeluk dirinya layaknya seorang kekasih hati."Akhirnya aku menemukanmu, Kak!" kata Laura melepas pelukannya dan tersenyum senang menatap Arga yang masih syok akan tingkah lakunya."Why? Kenapa kakak menatapku seperti itu?" tanya Laura sembari memanyunkan bibir tipisnya itu. Jari jemari tangannya dengan aktif meraih tangan kekar yang dimiliki Arga.Arga menghela nafas panjang. Bibirnya merapat seraya melepas tangan Laura yang membuatnya begitu risi."Kenapa? Justru aku yang bertanya. Ada apa denganmu? Kenapa tingkah kamu seperti ini kepadaku?" tanya Arga menopangkan kedua tangan di dada. Wajahnya yang hitam manis mulai memancarkan emosi.Laura menghela nafas panjang, perlahan jemari tangannya dengan cepat melingkar di pinggang si
"Terserah kamu mengataiku lelaki brengsek, lelaki bejat atau apalah. Yang jelas, aku tak mau mempertanggungjawabkan anak yang kamu kandung. Iya kalo itu anakku tapi kalo bukan? Sudahlah! Aku tak mau memikirkannya lagi!" kata Arga berbalik dan terkejut saat mamanya berdiri tepat di hadapannya."Anak?" tanya mama Ana Towsar yang membuat Arga seakan tak mampu menegak salivanya sendiri."Ma-ma, sejak kapan mama berdiri di situ?" tanya Arga melangkah menghampiri sang mama tercinta."Lima menit yang lalu," jawab mama Ana dengan tatapan yang begitu serius."Lima menit yang lalu? Berarti, mama mendengarkan aku ...," kata Arga terhenti."Yach, tentu saja! Mama mendengarkan kalian bicara.Sekarang jelaskan, apa maksud pembicaraanmu dengan wanita itu?" tanya Mama yang membuat Arga terdiam dan tak mampu berkutik lagi.Di rumah sakit, Alen terus saja menatap Naya yang sedari tadi sibuk dengan buku dan pensil yang tak lepas dari tangannya. Hampir dua jam lamanya, Alen merasa tak di anggap ada.Sampa
Sial! Padahal, tujuanku curhat sama mama agar mama mau membantuku menyingkirkan Laura. Tapi, kenapa ini malah sebaliknya? Padahal, mama belum bertemu dengan Laura! kata batin Arga menggerutu.Di rumah, Laura terdiam seorang diri. Kedua bola matanya berputar menatap sekeliling kamar miliknya yang penuh dengan poster Alen Towsar."Bodoh, bodoh dan bodoh! Bagaimana bisa aku hamil dengan sepupu idolaku sendiri. Seharusnya, aku mengandung anak dari Alen Towsar, seorang pembalap terkenal," sesal Laura meraih minuman kaleng dan meneguknya secara perlahan. Glek glek glek ahhhhhh"Berani-beraninya dia bilang kalo anak ini bukan anaknya. Dia kira aku lupa apa tentang kejadian malam itu. Jelas-jelas dia bilang kalo dia sangat beruntung mendapatkan keperawananku. Dasar lelaki plin plan. Lihat saja! Aku akan datang ke rumahnya dan bilang apa yang sebenarnya terjadi. Jika dia masih mengelak, kita akan buktikan dengan tes DNA," gerutu Laura mendesah sebal. Sesaat, sudut matanya mengerut melihat pon
"Jadi, kamu berpikir aku akan membunuhmu?" tanya Arga tersenyum tipis dan mulai mendekati Laura."Ma-u apa ka-mu? Lepaskan aku! Lepaskan!" berontak Laura yang berusaha membuka pintu mobil.Deg degDegupan jantung Laura kian cepat. Tatapan mata tajam Arga seakan ingin berlari ke arahnya.Ya Tuhan, apa aku akan mati hari ini? kata batin Laura yang tak mampu melepas cengkeraman tangan Arga yang begitu kuat. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap, bibir merahnya merapat menahan rasa takut yang mulai mencekam."Aku tak sejahat yang kamu bayangkan, Bodoh! Turutilah kemauanku. Hari ini, mamaku ingin bertemu denganmu," kata Arga melepas tangan Laura dan kembali menjalankan mobil yang mereka kendarai.Laura menoleh. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa saat mengetahui kemana dirinya akan pergi.Jadi, dia ingin mempertemukanku dengan mamanya. Ya Tuhan, apa aku ini kenyataan? tanya batin Laura memegang kedua pipi tirusnya itu. Senyum manisnya mengembang saat semua ini memang kenyat
Memang, dulu aku pernah mengatakan semua itu. Tapi, setelah melihat kelakuan licik putri angkatku itu, aku sangat menyesal dengan apa yang aku katakan dulu! gumam batin opa menoleh ke arah Elena yang sangat memperdulikan Ana Towsar, orang yang terang-terangan ingin menyingkirkan Elena dari dunia ini."Ayah! Ayah kenapa? Ayah baik-baik saja?" tanya bunda Elena memegang bahu sang ayah. Opa menoleh. Senyum tuanya mulai merekah dan dengan lembut memegang tangan putri tercintanya itu."Ayah baik-baik saja!" jawab opa datar."Ayah, ayah tak perlu mengkhawatirkan aku dan Alen. Secara materi, kami sudah terbilang sangat cukup. Ayah lihat sendiri kan! Elena sudah bisa membangun hotel dengan hasil jerih payahku sendiri dan Alen juga, dia sudah mempunyai usaha sendiri di tim balapnya tanpa menggunakan uang dari ayah," gumam Bunda Elena menjelaskan.Opa terdiam. Sudut matanya mengerut mengimbangi tegakan salivanya yang mengalir dengan sendirinya."Elena capek, berserteru dengan Kak Ana hanya kar
Dengan cepat, mama Dina melangkah ke belakang dan sedikit menjauh dengan ancaman laura."Laura, apa menantu mama lebih kaya atau super duper kaya daripada suaminya Kanaya?" tanya mama Dina penasaran. Bulu mata indahnya tak berhenti mengerjap menatap Laura yang hanya diam menatapnya sekejap dan malah memilih merias wajahnya kembali."Mama setuju saja kamu menikah dengan siapa saja. Entah itu om-om ataupun kakek-kakek, mama tak peduli. Yang jelas dia bisa mencukupi kebutuhan hidup kita," kata mama Dina mengembangkan senyumnya.Laura mulai beranjak dan berjalan menghampiri mama Dina yang sangat menanti jawabannya. Jari jemari tangannya mulai meraih kedua tangan mamanya."Ma, mama tau kan? Tipe laura seperti apa? Dan tak mungkin banget jika Laura menikah dengan om-om ataupun kakek-kakek seperti yang mama katakan!" ujar Laura menjelaskan."Lalu, siapa dia? Jika bukan seperti itu siapa yang mau sama kamu? Perasaan selama ini kamu tak pernah jalan sama lelaki yang seumuran denganmu. Hanya po
Aroma parfum Diego juga tercium jelas olehnya. Ia mendongak dan terkejut saat dirinya juga tak sadar akan tingkahnya yang dengan mudahnya bersandar di bahu bodyguard sang kakak.Oh my God! Apa yang aku lakukan? Bisa-bisanya aku bersandar di bahu Diego? batin Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Lentik bulu matanya tak berhenti mengerjap. Dengan perlahan, ia mengangkat kepala dan mencoba menjauh dari pelukan Diego."Hush hush, Sayang. Kamu ingin cepat pulang, ya? Yuk! Kita ke mobil duluan. Tunggu papa dan mama di sana saja, ya!" ucap Rania mencoba menenangkan bayi yang ia gendong. Sebuah trik untuk menjauh dari Diego tanpa mengeluarkan kata-kata. Diego mengernyit. Jemari tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya menatap wanita yang telah membuat perasaannya tak karuan."Rania, tunggu!" gegas Diego mengikuti langkah Rania.Alen melepas pelukannya. Ia menyeringai seraya membelai rambut indah istrinya yang terikat."Siapa yang mengikat rambutmu?" tanya Alen menyapu
"Aku sangat merindukan kakak. Aku akan memeluk tubuh kakak yang hangat itu sebagai pengobat rinduku selama dua tahun ini!" Naya terperangah dan tak percaya mengingat kembali sebuah pesan yang membuat dirinya cemburu buta dan mengharuskan pergi dari rumah.Ya Tuhan, apa iya dia Rania yang mengirim pesan pada suamiku itu? batin Naya bertanya. Bibirnya merapat, ia seakan tak mampu menegak salivanya sendiri saat pikiran itu terus menaungi dirinya."Kamu mengenal suami saya?" tanya Naya penasaran.Rania tersenyum senang. Mungkin waktu ini sangat tepat untuk meminta maaf pada Naya dengan apa yang ia perbuat. Sebuah pesan yang seharusnya tak ia lakukan di saat Alen sudah mempunyai istri.***Ana Towsar seakan tak percaya dengan keputusan putranya itu. Meninggalkan rumah mewah yang sudah ia tempati beberapa puluh tahun lamanya."Sebenarnya apa sih yang ada di otak kamu, Ga? Bagaimana mungkin kita tinggal di rumah seperti ini? Kamu kan tau, penyakit mama akan kambuh jika hidup kekurangan seper
Alen menoleh. Alisnya bertaut saat mendengar nama Rania terlontar dari percakapan pengendara lain.Rania, apa yang mereka maksud adalah Rania adikku? batin Alen bertanya.Tanpa pikir panjang. Alen mengambil ponsel miliknya yang berada di dalam saku celana. Dua bola matanya mengerling saat membuka pesan dari Rania."Kak, sampai mana? Kak Naya membutuhkan donor darah secepatnya." Pesan singkat yang membuat Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.Ya Tuhan, apa naya dalam bahaya? Alen buru-buru memasukkan ponselnya dan segera meluncurkan motor balapnya dengan cepat saat lampu merah berganti hijau.Di tengah perjalanan, Alen menghentikan laju kendaraannya lagi. Ia mendesah sebal saat beberapa orang membuat keributan di jalan menuju arah vila.Alen membuka helm. Sudut matanya mengerut melihat para petani yang terlihat begitu melas dan lelah.Apa yang mereka lakukan pada para petani itu? batin Alen mulai melangkah. Tanpa merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, ia melangkah men
Apa iya Naya yang di maksud Rania? Mana mungkin dia akan melahirkan. Usia kandungannya kan baru tujuh bulan dan .... kata batin Alen terhenti saat melihat naya terbaring kesakitan seraya memegang perut besarnya.Naya! kata Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri."Kak, cepetan ke sini!" kata Rania membuyarkan lamunan Alen."Aku akan segera ke sana!" gegas Alen mematikan ponselnya seketika.Naya menoleh saat mendengar suara yang tak asing baginya. Suara khas yang selalu membekas dalam benaknya."Hah, syukurlah! Akhirnya Kak A ...," kata Rania terhenti."Maaf, apa boleh saya pinjam ponselnya?" Naya beralih posisi untuk berbaring ke kanan. Ia mencoba untuk tersenyum meski dirinya merasakan sakit akan kontraksi yang terus melanda."Oh, tentu saja. Silahkan!" Rania melangkah menghampiri dan menyodorkan ponsel miliknya. "Terimakasih!" jawab Naya dengan cepat mengetik nomor milik Alen. Namun, jemari tangannya terhenti saat ia lupa akan nomor milik suaminya.Senyum manisnya mengemban
Saking penasarannya, ia menyentuh air tersebut. Naya terperangah dan terkejut saat meyakini air itu adalah air ketuban."Ya Tuhan, apa aku akan melahirkan sekarang?" Naya duduk seraya memegang perutnya. Ia menoleh ke arah jalan yang sama sekali sepi dari kendaraan. Dahinya mengernyit, bibirnya merapat menahan rasa sakit yang semakin menjadi.Mas Alen, bagaimana ini? Aku tak mau terjadi sesuatu pada anak kita!" ucap batin naya mengatur nafasnya secara perlahan.Naya menoleh saat mendengar suara hentakan kaki mengarah padanya. Senyumnya mengembang dan dengan sekuat tenaga mencoba bangkit untuk meminta pertolongan. Sosok wanita berambut pendek berlari ke arahnya."Kakak, Kakak baik-baik saja?" tanya Rania memegang tangan Naya yang penuh dengan keringat."Tolong saya! Tolong bawa saya ke rumah sakit sekarang!" pinta Naya menahan sakit sembari memegang perutnya.Alis Rania bertaut melihat kaki Rania mengalir sebuah air ketuban.Apa kakak ipar mau melahirkan? Bukankah Kak Alen bilang kalo
Mau kemana dia? Kenapa dia pergi begitu saja?" tanya Naya memanyunkan bibirnya.Tubuhnya lemas dan kecewa akan sikap Alen yang mengacuhkan dirinya. Kedua matanya menatap makanan yang sudah ia tata dengan rapi. "Setidaknya ia memakannya sedikit saja sebelum pergi. Tak tau apa, betapa kerasnya aku menyiapkan semua ini! Pasti dia pergi untuk menemui Rania itu," gerutu Naya mendesah sebal.Beberapa menit kemudianCeklekNaya menoleh menatap ke arah pintu tersebut. Senyum manisnya tertoreh dan berharap Alen kembali untuk makan dengannya.Dia kembali! gegas Naya beranjak dari duduknya. Namun, harapannya sirna. Naya terkejut. Ia tersenyum tipis saat melihat orang yang menjadi tempat curhat saat ia ada masalah datang menghampiri dirinya."Naya, maaf! Ibu lancang masuk ke sini. Habisnya pintunya tak teekunci," kata Bu Angel berjalan menghampiri."Tak apa, Bu. Memang pintu itu terbuka lebar untuk menyambut kedatangan Bu Angel," tutur Naya tersenyum.Bu Angel menoleh menatap beraneka mgakanan
Ya Tuhan, siapa orang itu? Kenapa dia masuk dalam villa ini? Apa yang harus aku lakukan? Mas Alen, aku takut!"Mbak Naya, jika mbak tidak mau pulang. Jangan lupa kunci semua pintu ya, Mbak. Dan jangan keluar di waktu malam hari!" Perkataan Diego yang kembali melintas dalam benaknya. Bibir Naya merapat. Jemari tangannya menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhnya. Keringat dingin mulai keluar mengimbangi rasa takut yang menguasai dirinya.Perlahan, tangannya turun memegang perut yang terasa menggetarkan tubuhnya.Sayang, maafkan mama, ya? Tak seharusnya mama membiarkanmu ikut cemas seperti ini! gumam batin Naya menghela nafas panjang.Apa orang ini adalah orang yang akan mencelakaiku? batin Naya bertanya. Jantungnya kian berdegup kencang saat hentakan kaki terdengar mengarah padanya. Mas Alen, bagaimana ini? Apa aku benar-benar berpisah sebelum aku bertemu denganmu? Mas Alen, aku ....DegSudut mata Naya mengernyit. Ada sedikit cahaya yang menembus di antara kegelapan yang berad
"Sekarang kamu tau kan, siapa orang yang membuat istri kakak ngambek?" tanya Alen."Jadi, ini semua karena aku?" tanya Rania seakan tak percaya jika dirinya adalah penyebab kaburnya kanaya."Ya Tuhan, Kak Alen! Aku minta maaf, ya?" "Sudahlah! Kamu tak perlu merasa bersalah. Kakak akan mengatasi kesalah pahaman yang terjadi ini," tutur Alen mematikan rokoknya."Tapi, Kak. Aku merasa bersalah banget membuat kakak ipar salah paham gegara pesanku itu." Bibir Rania memanyun. Raut wajahnya yang biasanya selalu ceria mendadak suram akan masalah yang terjadi.Alen menghela nafas panjang. Tangannya dengan lembut mengusap rambut pirang yang dimiliki Rania. "Percayalah! Kakak akan menyelesaikan ini semua dengan cepat. Kakak juga tak sabar memperkenalkan kamu dengan dia. Memperkenalkan adikku yang belum dia ketahui," ujar Alen mencoba menenangkan hati Rania.Drt ... Drt. ...Diego calling ...Tanpa banyak buang waktu, Alen mengangkat telepon dari bodyguard tersebut. Berharap apa yang ia rencanak
Alen mengeryit dan terbelalak kaget saat melihat chat dari Diego."Mas, Mbak Naya keluar dari rumah!"Pesan dari Diego yang membuat Alen terkejut setengah mati. Spontan, Alen menghubungi Diego. Jari jemari tangannya meraih jas yang ia letakkan di bahu kursi putarnya."Diego, kamu di mana?" tanya Alen begitu panik. Suaranya yang lantang membuat Rania terbangun dari tidurnya. Mata yang masih sayu menoleh menatap Alen yang terlihat begitu panik. "Apa yang terjadi, Kak?" tanya Rania menghampiri Alen."Rania, Kakak harus pulang sekarang. Istri kakak keluar dari rumah," gegas Alen pergi meninggalkan Rania seorang diri."Keluar dari rumah?" tanya Rania mengernyitkan keningnya. Jari jemari tangannya mulai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Apa emang begitu ya, kalo hidup berumah tangga?"Di mobil, Naya terdiam seribu bahasa. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah jendela mobil yang memperlihatkan pemandangan indah di sepanjang perjalanan.Bisa-bisanya mas Alen bermain di bel