Keringat dingin mengucur deras membasahi sekujur tubuh Karina. Dia sudah mulai mual sejak masih di bandara tadi. Nayra tak henti terus saja memotivasi agar dia bisa lebih berani.
"Demi ketemu Mas Raka, loh, Mbak," bujuknya berkali-kali, tapi tak mampu meredam rasa takut dan nerveous yang tengah berkecamuk hebat dalam dada Karina. Perutnya serasa diaduk-aduk di dalam sana.
"Ya, Allah, Mbak Karin! wajahmu sampai sepucat ini!" pekik Nayra, "Mbak Karin nggak usah temenin aku deh, Mbak. Serius, nggak apa-apa. Daripada Mbak Karin kenapa-kenapa nantinya." Nayra menggenggam tangan Karina yang sedingin es, menghapus keringat dingin yang mengucur di wajah Karina. Laksana ada mata air di pori-pori kulitnya yang memancarkan begitu banyak air keluar dari wajahnya.
"Maaf, Nay, sudah merepotkanmu. Aku baik-baik saja kok, aku cuma ketakutan dan mabuk juga. Jangan biarkan aku berhenti sampai di sini! Bagaimana aku bisa tau
Karina berusaha terjaga ketika mendengar suara Nayra memanggil namanya berulang kali, memicingkan mata menyesuaikan dengan cahaya di sekitar. Nathan yang masih duduk di kursi kemudi juga ikut tersenyum lewat kaca spion dalam mobil."Nyenyak banget ya, tidurnya?" tanya Nathan, lebih ke arah menggoda Karina karena sudah dibangunin. Karina tersenyum malu."Mbak Karin ini mabuk darat, Mas," bela Nayra membuka pintu mobil, memegang tangan Karina dan mengajaknya berjalan beriringan di belakang Nathan.Mereka berjalan beriringan melewati koridor demi koridor rumah sakit, sampai mereka berhenti di depan sebuah kamar, "Ibu ...!" pekik Nayra begitu pintu kamar terbuka. Dia melepaskan genggaman tangannya dari Karina dan setengah berlari menuju brankar tempat ibunya terbaring lemah. Wanita paruh baya itu menyambut peluk hangat putrinya dengan satu tangan yang tak terpasang selang infus."Mana suamimu?" tanya ibu
Adnan termangu kaget, mata dan mulutnya terbuka lebar. Saat pesan dari Nayra mengabarkan kalau dia sudah di Surabaya. Jangankan meminta untuk diantarkan sampai bandara. Bahkan pamit pun tidak. Adnan merasa geram karena merasa tak dihargai sebagai seorang suami. Andai bukan karena alasan ibu Nayra sakit, entah apa yang akan Adnan lakukan pada teman hidupnya itu.Adnan melangkah gontai masuk ke rumah. Setelah susah payah menghindari kepulangan agar pikirannya tidak kacau hanya karena melihat Karina di setiap sudut rumah mereka. Meskipun kepergian Nayra yang tanpa pamit membuat Adnan merasa marah, tetap saja dia merasa bersalah. Beberapa Minggu ini dia bahkan tak pernah mengunjungi teman hidupnya itu, hanya karena penolakan Karina yang sudah sewajarnya dia lakukan demi melindungi kehormatan diri dan keluarganya.Setelah mengambil cuti dan mengalihkan semua pekerjaannya pada asisten pribadi yang tak lain adalah sepupu Nayra sendiri
Adnan membuka pintu pelan, dia seperti tersengat arus listrik ratusan volt saat mendapati Nayra salat di depan ibunya. Hal yang hampir tak pernah dia temui saat mereka masih di Makassar. 'Apakah sakit ibunya telah sedikit merubah Nayra?' batinnya. Adnan melepas jaket yang membalut tubuh kekar dan atletisnya. Meletakkan jaket yang terbuat dari bahan kulit itu di ujung sofa, lalu duduk menanti Nayra usai salat. Saat sosok yang dia pikir Nayra salam ke kiri, jantung Adnan berdegup keras. Bagaimana mungkin, bahkan bayang-bayang Karina mengikutinya hingga ke Surabaya? Dia mengusap rambut dan wajah frustrasi. "Tidak, ini tidak boleh terjadi! Atau aku bisa gila kalau terus-terusan mengingat dan melihat Karina di setiap arah aku memandang," geramnya. Karina melipat mukena dan sajadah berdiri hendak menyimpan kembali ke koper yang bahkan masih ada di sofa kamar rumah sakit. Langkahnya terhenti saat melihat seorang pria tela
Karina terhenyak saat memutar tubuh untuk kembali ke ruangan ibu Nayra. Karena Adnan sudah di sana, berdiri. Melipat kedua tangan di dada. Karina menunduk setelah menatap mata pria itu sepintas. Menanti apa yang akan dia katakan."Hei, ayo kita pulang!" seru Nayra mengagetkan mereka."Iya, ini aku baru akan memanggilnya, tapi dia baru selesai teleponan!" ucap Adnan dingin dan berbalik pada Nayra. Karina mengerti untuk apa Adnan berada di belakangnya. Satu hal yang pasti, Adnan sudah mendengar papanya memarahi dia di telepon tadi. ***Karina terperangah melihat rumah Nayra yang seperti istana. Rumah dua lantai, dengan luas yang entah berapa meter kali persegi itu. Di rumah super besar itu terlihat sanggup menyesatkan siapa pun yang baru pertama kali masuk ke dalamnya. Saat ini mereka sudah berada di ruang
Karina menengadah pada Sang Pemilik, berdoa agar suami, papa, anak, dan semua orang-orang yang dia cintai akan selalu dalam penjagaan Allah. Air mata perlahan merembes membelah pipi putih nan kenyal milik Karina. Setelah dia puas merapalkan begitu banyak doa dan harapan dengan bibir bergetar. Dia menyudahi salat dan doanya dengan mengucap, "Aamiin ..." Dengan lirih.Karina beranjak ke depan cermin dan merapikan jilbab berwarna oranye pucat yang ia kenakan. Sangat manis dengan perpaduan gamis putih bersihnya. Karina keluar menuju lantai bawah, menemui Nayra.Tepat saat akan berjalan menuruni anak tangga, dia dan Adnan berpapasan. Adnan mengangkat wajah menatapnya dari atas sampai bawah, menatap Karina dengan pandangan sendu.Karina menyingkir, memberinya jalan. Tangga itu begitu luas, tapi tanpa sebuah komando. Mereka melangkah di sisi yang sama. Karina berdiri mematung sebelum akhirnya kembali menurun
Meskipun dalam hati Nayra justru tertawa geli. Tentu di antara mereka berdua, Karina jauh lebih mengenal karakter Adnan daripada dirinya. Akan tetapi, demi untuk memperlancar konspirasi yang tengah dia rancang. Ackting itu perlu untuk mempermulus jalannya.Di lain sisi Karina justru semakin dicekam rasa bersalah. Karena telah menyembunyikan semua kebenaran itu dari Nayra. Karina takut kelhilangan Nayra jika dia harus jujur dengan masa lalunya bersama Adnan.'Seharusnya kau tak perlu repot memberitahu tentang sifat dan karakter dari suamimu padaku Nay. Karena aku jauh lebih dulu mengenal sosok itu. Aku jauh lebih lama mengenal Adnan, bahkan melebihi dirinya sendiri.' Karina bermonolog dengan dirinya sendiri.Dia melirik ke arah Adnan, tepat saat dia juga tengah menerjangnya dengan tatapan yang begitu dalam dan penuh arti. Seketika Karina menunduk, menghindar dari sorot tatapan Adnan."Mbak
"Apakah kau mencintai Nayra, Ad?" tanya Karina tiba-tiba, mengingat semua cerita Nayra tentang pernikahan mereka selama ini. Tubuh Karina terlempar ke depan saat bunyi rem berdecit secara mendadak. "Adnan!!" pekik Karina kaget, sekali lagi mobil yang mereka tumpangi nyaris saja menabrak. "Maaf!" lirih Adnan. Fokusnya terpecah dengan pertanyaan berani Karina barusan, "Apa itu penting?" tanyanya setelah lama mereka terjebak dalam keheningan. "Apanya?" tanya Karina ambigu. "Tentang perasaanku pada Nayra." "Emh, aku cuma mau tau saja, daripada sepanjang perjalanan ini kita hanya terdiam seperti patung," elak Karina. "Ya, aku mencintainya! Dia istriku, bukan?" ucap Adnan dengan bola mata menari-nari seolah tengah mencari sesuatu, "Kalau sekarang giliran aku yang mau bertanya, boleh?" tanya Adnan balik dengan bola mata berputar memindainya. &nbs
Raka merasa dunianya runtuh. Dia mematung tak bisa bergerak dan mengelak. Apa yang harus dia katakan pada Karina? Dia mengepalkan tangan melawan emosi, mulutnya setengah terbuka dengan air mata yang mengalir di sudut pipinya. Dia melangkah mundur hingga tubuhnya membentur daun pintu. Tiga kata yang diucapkan dengan suara bergetar oleh istrinya sebelum dia menghilang seakan mampu meremukkan tulang-tulangnya.Raka bahkan tak mampu menahan ataupun sekedar bersuara untuk mencegah agar istri yang sangat dia cintai itu tidak pergi darinya. Pengaruh obat yang telah dicampurkan iblis betina di depannya benar-benar berhasil melumpuhkan akal sehatnya."Sayang, dia sudah pergi. Ayo lanjutkan yang tadi. Aku sudah tak sabar," bisik Gadis menempelkan bibirnya di telinga Raka."Keluar kau perempuan sialan!!" teriak Raka penuh amarah dan mendorong Gadis hingga terhempas jatuh ke lantai. Kesadarannya perlahan terlepas dari pengaruh obat
Karina duduk di sisi taman menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ketika dia masih berjuang. Bergelut dengan kehidupan, mencari makna dan kemana arah langkah yang akan ditempuh.Tak jauh dari tempatnya duduk, Raka dan Ayub terus berlari memperebutkan bola ke sana ke mari seolah tak pernah lelah. Mereka tertawa lepas, seolah duka tak pernah singgah pada raut wajah itu.Wajah-wajah yang pernah disinggahi rindu yang sangat menyiksa. Mata yang pernah dibanjiri oleh air mata kekecewaan dan penyesalan. Itulah hidup, sejatinya tak ada yang mudah. Semua butuh pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran.Tak ada seorang pun manusia yang dilahirkan, bisa memilih jalan dan akhir dari hidupnya sendiri. Karena takdir selalu melenggang mengikuti kehendak SANG Pencipta. Sedang manusia hanya bisa berusaha semampu, sebisa mereka. Karena pinish-nya tetap urusan Allah.Karina pernah begitu mencintai Adnan. Pernah
Raka dan Ayub tengah tertidur dengan saling memeluk satu sama lain. Mereka begitu damai dalam lelap mereka. Seulas senyum merekah di sudut bibir Karina menatap kedua prianya.'Makasih Tuhan, telah membuka mataku untuk dapat melihat semua kebenarannya sebelum terlambat. Jika tidak, mungkin aku akan jadi manusia yang paling menyesal karena telah salah menilai Kak Raka.' bisik hati Karina. Dia menutup mata merafal syukur pada Sang Pemilik segala dalam hati.Ponsel-nyq berdering, tepat saat akan merebahkan tubuh di samping sang suami. Dia membatalkan niat untuk tidur dan segera beranjak menjauh dari kedua orang yang tengah terlelap itu. Takut suaranya akan mengganggu atau bahkan bisa membangunkan mereka.Dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali begitu sudah berada di luar. Melangkah menuju halaman belakang dan menjawab panggilan yang sudah berdering dari tadi.Karina menjawab panggila
Adnan yang saat itu kebetulan keluar rumah mematung takkala mendapati sosok Karina dari kejauhan. Wanita itu tengah berjalan santai bersama suami dan putranya yang tampan. Mereka perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah.Sudut bibir Adnan tersungging saat mengingat reaksi kedua Suami-Istri itu, saat tadi dia menggoda mereka tentang Furqon. Adnan begitu menikmati sekelebat kecemburuan yang berkilat di mata Raka setiap kali dia dengan sengaja menggoda Karina."Karin, aku mengikhlaskan kau bahagia dengannya. Bukan karena di hatiku tak ada lagi cintamu, tapi karena aku ingin kau bahagia. Cukup sudah derita kau pikul, cukup beban duka menghimpitmu. Kini saatnya kau tersenyum dan bahagia," bisiknya.Adnan menutup pintu, kembali ke dalam. Semua barang-barang yang akan dia bawa besok, sudah terkemas rapi dalam ransel besar berwarna hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Raka terlentang dengan tatapan kosong menerawang jau
Setelah salat Isya, Karina dan Raka kembali ke ayunan di taman belakang, tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka berdua menempati rumah itu. Mengulang kembali setiap detik indah yang sempat terenggut paksa oleh jarak dan situasi.Berkali-kali Raka mendekap erat Karina dengan penuh cinta, melepaskan semua kerinduan yang selama ini mengendap di dasar jiwanya. Sama seperti Karina yang tak bisa lepas lagi. Mereka kembali menikmati kebersamaan yang indah di atas ayunan yang menjadi sejarah indah awal mula cinta antara mereka tumbuh.Karina tak lagi segan membiarkan Raka tenggelam dalam kisah Karina tentang Surabaya dan semua yang dia alami di sana. Beberapa kali kilatan amarah terlihat di mata Raka ketika Karina sampai pada kisah tentang Nathan.Karina sangat lega. Lewat sudah duka yang selama ini memayungi rumah tangga mereka. Kini saatnya membuka lembaran baru, menata kembali semua yang sempat terserak di anta
Air mata menetes satu persatu luruh menindih ketegaran seorang Karina yang memang berhati selembut kapas, dia menatap Adnan yang juga mulai berkaca. Pria itu pasti sangat menyesal ... telah menyakiti Nayra selama ini meski mungkin tanpa menyadarinya."Aku akan ke Surabaya menyusul Nayra, dia pasti terpuruk sendiri di rumah sebesar itu. Ibu baru saja meninggal dan aku satu-satunya orang yang seharusnya menguatkan, justru menjadi manusia yang paling menyakiti," ucap Adnan penuh penyesalan."Kau tidak salah, Ad. Bukankah selama ini kau tidak tahu dengan perasaan Nayra yang sebenarnya?" ucap Karina berusaha menguatkan Adnan, tak ingin melihat pria itu rapuh di saat-saat seperti ini."Aku telah jadi teman berbagi kepahitan dengannya, tapi aku bahkan tak bisa peka untuk menyadari. Kepahitan yang justru aku sendirilah penyebab dari itu semua." Adnan mulai meracau menyalahkan diri sendiri."Ad, kapan kau aka
Sudah sebulan lebih sepasang suami istri itu dilanda perang dingin. Mereka hanya bicara satu sama lain ketika ada Ayub di tengah-tengah mereka atau saat ada orang luar yang datang bertamu.Seperti saat ini, mereka hanya diam dalam sekat ruang yang sama. Karina dengan novel tebal di tangan dan Raka dengan game di Hp-nya. Mereka laksana sepasang merpati terbang rendah yang tak saling menyapa.Suara ketukan dari arah pintu membuat Karina dan Raka yang tengah duduk berjauhan di ruang tamu seketika kompak menatap ke arah yang sama. Karina bangkit membuka pintu, untuk sejenak dia mencoba berdiskusi dengan akal sehatnya. Melihat Adnan berdiri mematung di ambang pintu membuat otak Karina bleng."Adnan, ka, kau ...?" tanya Karina dengan separuh nyawa yang tak lagi menetap.Wanita yang kini tengah mengenakan hijab hijau lemon itu panik bukan main, dia bisa mati berdiri kalau kedua pria ini bertemu. Raka
Usai makan malam bersama semua anggota keluarga mertuanya, Raka memboyong istri dan anaknya pulang. Ayub sudah keburu tidur di atas motor ketika mereka sampai. Raka mengambil alih putranya dari pangkuan Karina dan menggendong bocah itu hati-hati takut dia terbangun.Karina bergegas membuka pintu pagar dan pintu rumah, membiarkan Raka masuk lebih dulu. Tak ada percakapan ataupun gelak canda tawa romantis, seperti yang selalu tercipta di keluarga kecil mereka dulu. Hanya ada kebungkaman satu sama lain. Ada jarak tak kasat mata di antara mereka.Tepat saat tangan Karina sudah menyentuh stang motor, Raka muncul di ambang pintu, memintanya turun. Karina yang memang malas berdebat langsung patuh, dia memutar tubuh untuk menutup pintu gerbang.Tatapan mata mereka bertabrakan ketika Karina kembali masuk ke dalam ruang tamu. Raka sudah duduk di sana menatap tajam dengan tangan ditepuk-tepukkan pada paha. Karina membuang muka hend
Karina bergegas turun dari motor ketika Kayra sudah berdiri menatap di ambang pintu dengan tatapan seolah melihat setan. Karina melangkah ragu menghampirinya pun saat tiba-tiba adiknya itu menghambur memeluknya dengan terisak."Kak, aku pikir aku akan kehilangan Kakak untuk selama-lamanya. Aku pikir aku akan kehilangan Kanseku!" ucapnya dengan bahu terguncang dalam pelukan Karina, membuat air mata Karina ikut luruh."Karin, Kau!?" pekik papanya dari dalam membuat Karina mengangkat wajah menatap pria tua itu dengan tubuh gemetar ketakutan.Pria tua itu melangkah maju menyingkirkan Kayra dari pelukan Karina dan memeluk putri sulungnya dengan erat, seolah Karina akan pergi jauh dari kehidupan mereka selamanya. Karina kaget dengan perlakuan papa yang tadinya dia pikir dirinya akan diamuk dan dimarahi habis-habisan, tapi justru diperlakukan sehangat ini."Jangan pernah pergi lagi, Nak! Kau bisa memb
Karina melangkah ragu melintasi pagar, berdiri mematung di ambang pintu rumah sendiri. Menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Sebelum dia memutuskan untuk masuk rumah menyeret koper dengan malas.Tepat saat akan masuk rumah, Raka dengan hanya menggunakan celana bokser pendek warna merah dengan baju kaos longgar berwarna putih, mendongak padanya. Pria itu tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Melihat wanita yang begitu dia rindui itu membuat Raka berdiri mematung menatap Karina. Lama mereka terpaku satu sama lain.Raka menatap wanitanya penuh rindu, tapi tidak dengan Karina. Dia menatap Raka dengan amarah yang berkecamuk dalam dada. Wanita itu tidak bergerak karena pikirannya tengah sibuk mencerna untuk apa suaminya ada di sini, bukankah seharusnya saat ini dia di Surabaya mengangkangi wanitanya yang sangat cantik itu.Setelah Karina bisa menguasai situasi, dia berjalan masuk ke