Hai, yang sudah mampir, aku ucapkan terima kasih banyak ya. Tapi, jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan bagi gem kamu. Biar Hana lebih semangat lagi.
Part : 13 POV Bu Rahma Kakiku benar-benar rasanya masih lemas. Tungkai lutut ini serasa tak mampu menopang tubuh, begitu mendengar Nia--mantan menantu yang selalu kuhina. Tak tanggung-tanggung, bahkan bapak dan ibunya pun tak luput dari hinaan yang ke luar dari bibir ini. Kenyataannya dia bos dari pabrik yang selama ini menjadi tempat kami memasok batik. "Ibu ngapain sih pakai pingsan segala? Bikin malu tahu nggak," omel Ima. "Namanya juga ibu shock dan terkejut mendengar si Nia itu ternyata pewaris tunggal dan bos dari Surya Pradana Grup. Seperti mimpi rasanya." Aku tersandar sambil menatap kosong ke arah plafon. "Makanya, Bu, jangan pernah memandang orang lain dari status kaya atau nggak. Malu sendiri 'kan?" tukas Bang Wahyu. Mendengar itu, aku sontak langsung duduk tegak di kursinya. "Eh, kamu tuh diam saja ya, Bang. Suara kamu nggak dibutuhkan. Kerja saja kamu nggak becus. Lihat, toko dan kebun teh bukannya semakin maju, malah semakin merugi," rutukku kesal. "Bikin kesal s
Kulihat Bapak bersiap-siap memasukkan pakaiannya ke dalam ransel. "Bapak mau ke mana?" "Bapak mau ke Jambi. 'Kan mau mengurus pembayaran kebun sawit kita yang sudah terjual." "Bukannya Bapak bilang mau ditransfer saja. "Pembeli kebun sawit kita ternyata mau sekalian mengurus balik nama. Jadi bapak harus ke ana. Setelah itu, kita akan segera mencari tahu soal kebun teh ibunya Arman. Kemarin bapak dengar kabar dari salah satu karyawan mereka, pihak bank sudah menagih karena utang mereka sudah jatuh tempo. Kebun teh mereka sudah berada di ujung tanduk." Aku tersenyum. "Reputasi mereka pun sudah buruk di mata publik, Pak. Berita tadi malam cepat banget tersebar di sosial media." Kuarahkan ponselku ke hadapan Bapak. "Kamu menyimpan dendam sama mereka, Nduk?" Aku terdiam. Pertanyaan yang membuatku agak berpikir. "Kamu boleh membenci mereka. Tapi, Bapak harap kamu jangan sampai menyimpan dendam pada mereka ya, Nduk. Itu nggak baik. Bapak nggak pernah mengajarkan kamu seperti itu. Kita
Part : 14 POV BU RAHMA Di depan pintu ruangan direktur, langkahku terhenti. Suara tawa cekikikan wanita terdengar dari dalam. Kurang a-jar! Darahku mendidih seketika mendengar suara wanita dari ruangan suamiku. Kudorong pintu dengan penuh emosi. Awas saja kalau si Wahyu berani bermain gila dengan wanita lain. "Bang!" Bang Wahyu duduk di belakang mejanya dengan menatap laptop di depannya. Tangan kanannya menggenggam mouse. Netraku beralih pada sekretarisnya yang bernama Rossa itu. Tebakanku usianya mungkin sekitar dua puluh tiga tahunan. Perasaanku menangkap hal yang mencurigakan dari mereka berdua. Gerak gerik mereka seperti menutupi sesuatu. "Kamu ngapain di sini, Rossa?" "I-ini, Bu. Ada berkas yang mesti ditandatangani," alasannya terbata. "Lalu, kenapa pintunya harus ditutup? Terus tadi ada suara cekikkan. Suara siapa? Kamu, Rossa?" serangku dengan pertanyaan penuh selidik. "Tadi, tadi, anu--" "Jangan berprasangka dulu, Dek. Tadi Rossa memang yang tertawa. Karena tadi a
Sebenarnya aku tak yakin. Tapi, memang mau tak mau, kebun teh itu harus dijual untuk membayar utang-utang dengan Surya Pradana. Belum lagi utang dengan bank. Duh, kepala ini semakin berdenyut. "Baik, Bu. Kami beri kelonggaran untuk Ibu membayar utang-utang Ibu dengan kami, sampai satu bulan ke depan. Tapi, Ibu harus menandatangani surat perjanjian ini." Pak Rio kembali mengangsurkan sebuah map. "Apa ini?" "Surat perjanjian, Bu. Kami setuju beri kelonggaran untuk toko Ibu, asal Ibu bersedia menandatangani surat ini. Silakan Ibu baca lebih dulu." Kembali satu persatu aku membaca kata per kata yang tertulis di kertas bermeterai itu. Astaga! Aku terkejut membaca bagian akhir tulisan di surat perjanjian tersebut. Apabila aku tidak menepati janji untuk membayar utang sesuai yang dijanjikan, pihak Surya Pradana akan membawa masalah utang piutang ini ke perdata. Tubuhku terasa panas dingin. Bagaimana ini? "Ada apa, Dek?" tanya Bang Wahyu. Tak menjawab, aku hanya menyodorkan surat perj
PART : 16 "A-apa? Kamu nggak salah, Irwan?" "Nggak, Bu. Mereka 'lah yang saya ceritakan akan membeli kebun kita." "Nggak, nggak mungkin." Bu Rahma terduduk lemas. Bibir wanita itu meracau, sambil tangannya memegangi dahi. Dengan tersenyum miring, aku berjalan mendekati wanita yang tampak sangat terpukul itu. Siapa tahu dengan mendekatinya, ibunya Bang Arman itu semakin terpukul. Dalam hati aku tertawa jahat. "Memangnya sudah saling kenal ya?" tanya Irwan. "Tentu saja, Pak Irwan. Beliau ini adalah mantan mertuaku." "Mantan mertua? Bukannya besan Bu Rahma yang dulu itu cuma ...." Pak Irwan menggantung ucapannya. "Cuma petani miskin dan orang kampung?" Pak Irwan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Hai, Bu. Kita ketemu lagi tapi dalam situasi dan keadaan yang berbeda." Wanita berambut sebahu itu melirik sedetik dengan sudut matanya, lalu membuang pandangannya kembali. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin malu, kesal atau ... Ah, entah lah! Tapi, aku benar-benar pu
Selesai makan, pembicaraan mulai mengarah ke topik negosiasi. Notaris dari pihak Bapak membuka suara dan menjelaskan isi dari surat. Ternyata Bapak sekalian mengurus balik nama kebun teh itu menjadi namaku. "Silakan Ibu menandatangani surat ini," ucap notaris pria itu. Ibu tampak ragu-ragu untuk meraih pulpen yang diberikan. Sejenak ia masih memainkan pulpen. Jelas sekali raut keberatan tergambar jelas di wajahnya. "Tolong segera ditanda tangani ya, Bu. Kami nggak punya banyak waktu untuk menunggu terlalu lama," cetusku mulai kesal. Ia melemparkan tatapan tajam ke arahku. "Jangan mentang-mentang kamu itu kaya dan bisa membeli kebun teh kami, terus kamu jadi sombong, Nia!" bentaknya dengan suara tinggi. "Tapi kenyataannya memang seperti itu 'kan, Bu? Wanita sombong seperti anda, yang dulu selalu menghina aku dan keluargaku, sekarang justru sudah berada di ujung kebangkrutan 'kan? Kami yang dulu selalu anda hina, justru kami yang membeli kebun teh anda. Terus, anda juga justru memi
POV AUTHOR Pak Wahyu menghela napas. "Ya iya 'lah, Dek. Masa kamu lupa." "Jadi tadi itu bukan mimpi?" "Bukan, Dek." Bu Rahma menjerit histeris lalu kembali tak sadarkan diri. Arman yang baru saja tiba di Lembang, berlari masuk karena mendengar suara teriakan histeris ibunya. "Bu, Ibu kenapa?" tanyanya panik melihat ibunya menangis sambil meremas rambut. "Arman, huhuhu ...." Bu Rahma menangis menghambur ke pelukan putra semata wayangnya. "Kamu kapan datang, Man?" "Baru saja, Bu." "Huhuhu ... Untung kamu datang, Nak. Ibu stres, Arman." "Stres kenapa, Bu?" "Kebun teh kita sudah terjual, Man. Dan kamu tahu siapa yang beli kebun kita?" "Siapa, Bu?" "Nia, Man. Huhuhu ...." Bu Rahma kembali menangis dan membenamkan wajahnya dalam pelukan Arman. "Nia? Nia mantan istriku, Bu?" Bu Rahma mengangguk. Pikiran Arman menerawang. Yang membeli kebun ibu itu adalah Nia. Ternyata Nia memang sangat kaya, sampai mampu membeli kebun teh seluas itu. Kenapa nggak dari dulu saja aku tahu kalau
"Jangan takut, Sayang. Ada ayah abim di sini." Pria berkulit putih itu memeluk Indah erat. "Indah, jangan takut. Ini ayah kamu, Nak," bujuk Arman berjalan mendekati Indah. Namun, cepat langkahnya dicegat oleh Kania. "Jangan dekati anakku, Bang. Dia ketakutan melihat kamu." "Tapi Indah itu anakku, Nia. Aku nggak terima anakku lebih dekat dengan orang lain. Dia bukan siapa-siapanya Indah." Arman bersikeras untuk mendekati anaknya. "Aku bilang jangan, Bang!" Kania menarik lengan Arman. Pandangannya tajam penuh kemarahan. Arman terkejut melihat ekspresi mantan istri yang dulu ia kenal polos, bo-doh dan penurut. Kini dalam netra bermanik hitam itu memancarkan sorot kebencian. "Aku bilang jangan dekati Indah. Kalau kamu nggak mau anak kamu dekat dengan orang lain, ke mana saja kamu? Bukannya kamu selama ini nggak pernah peduli sama dia." "Tapi aku--" "Pergi! Pergi dari sini sekarang juga!" "Nia--" "KE LUAR!" Arman terperangah karena dibentak oleh Kania. Ia benar-benar tidak mengen
“Terima kasih atas semuanya, Nia,” ucap Arman setelah pemakaman selesai. Dia harus kembali ke tahanan, kembali menghabiskan hari-harinya di sana untuk sisa enam bulan ke depan.“Ya,” jawab Kania singkat tanpa sedikitpun menoleh.Arman hanya bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Sebenci itu Kania padanya. Bahkan melirik saja pun tidak.“Sampai jumpa lagi nanti, Nia. Semoga saja sang pemilik semesta masih memberiku kesempatan untuk hidup dan kita bertemu lagi.”Kania berdecak sinis. “Aku malah berdoa, agar Allah mencampakkanmu sejauh-jauhnya dari hidupku dan Indah. Sumpah, aku gak sudi melihatmu, apalagi bertemu.” Puas sekali Kania meluapkan perasaannya di depan laki-laki yang sudah menyakitinya selama lima tahun lebih pernikahan mereka.Arman hanya mend*sah pilu. Memang sudah merupakan kesalahannya, sehingga benar-benar benih kebencian tersemai di hati Kania.“Sudah, Arman. Kita harus balik ke rutan,” ujar salah seorang pria berseragam lengkap.Arman menurut dan melangkahkan kakinya
Entah berapa lama mereka di sana. Kania tak tahu. Dia memilih untuk tidak peduli dan tak mau tahu. Kalau bukan karena suaminya yang seakan sok berhati malaikat, dia pun tak sudi mengurusi jenazah Bu Rahma. Wanita itu sendiri yang sudah menyemai benih kebencian dan meninggalkan bekas luka yang mendalam. Tak hanya pada dirinya, tetapi juga pada Indah, cucunya sendiri.“Sudah selesai, Sayang.” Abimanyu menghampiri Kania yang memilih menunggu di luar bersama Indah dan Keisha, sambil memandangi kolam ikan kecil yang berada di samping dapur tempat para tahanan wanita.“Baguslah, Mas. Aku sudah bosan berada di sini.” Kania tidak bisa menyembunyikan rasa ketidaksukaannya.“Kania.” Abimanyu menarik tangan Kania pelan.Kania menghentikan langkahnya. Tapi, ia tetap tidak menoleh.“Mas tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Mas juga tahu, memaafkan sesuatu yang pernah sangat menyakiti kita juga gak mudah. Mas gak akan memaksa kamu, kok.” Abimanyu sangat lembut dan hati-hati sekali dalam berbicara.
Demikian pula dengan Kania. Pesona sang suami semakin terpancar. Tak henti-hentinya batinnya mengucap syukur, telah diberikan suami seperti lelaki yang tengah memegang lingkar kemudi di sebelahnya. Sang pemilik semesta benar-benar memberikan ganti yang tepat, untuk menjadi imam dunia akhirat bagi Kania dan Indah. "Ya sudah kalau begitu. Bapak titip anak bapak dan calon cucu bapak ke kamu, ya, Nak Abi.""Njih, Pak. Insya Allah, Kania dan Indah akan aku jaga dengan sangat baik." "Bapak percaya kamu, njih. Bapak tutup dulu teleponnya, ya. Bapak mau nyusul ibumu ke sawah. Assalamu'alaikum, salam untuk Kania, ya.""Wa'alaikumussalam. Njih, Pak."Setelah obrolan melalui sambungan whatsapp berakhir, Abimanyu meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula. Dilayangkannya pandangan ke wanita berdagu terbelah yang menatapnya lekat. "Kenapa ngeliatin mas seperti itu?" tanya Abimanyu, lantas sesekali kembali memfokuskan pandangan ke jalan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku semakin merasa beruntung puny
Season 2 Part 30 Kania mengangkat bahu. "Entahlah, aku juga tidak tahu pasti, Mas. Karena Mas Arman belum menjelaskan tentang itu. Mas Arman cuma meminta bantuan kita. Kakak dan adiknya sudah tidak bisa dihubungi sama sekali lagi. Jadi, Mas Arman butuh bantuan kita untuk mengurus jenazah ibunya."Arman terdiam. Lelaki itu tampak tengah berpikir. "Bagaimana, Mas? Apakah kamu mau membantu Arman?" tanya Kania lagi dengan sangat berhati-hati. Ia takut, suaminya tersinggung. "Ya, sudah. Kita bantu dia. Mengurus jenazah itu termasuk fardu kifayah. Apalagi, tidak ada yang mau menguruskan jenazah itu. Termasuk tanggung jawab kita sebagai sesama muslim. Apalagi almarhum itu neneknya Indah."Kania mengembuskan napas lega, sekaligus ia kagum pada sosok pria yang sudah menjadi suaminya tersebut. Terbuat dari apa hati laki-laki di hadapannya ini. Rasanya sangat jarang sekali, ada laki-laki yang mau membantu menguruskan jenazah dari mantan mertua istrinya. Kania masih menatap terkagum-kagum ke
Season 2 Part 48"Minggir, minggir!" ucap salah satu sipir wanita yang berusaha membubarkan kerumunan, agar mayat yang digotong bisa lewat. "ASTAGAAA ... MBAAAAK!"Bruuukkk. Ningsih pingsan, begitu melihat mayat yang digotong melewatinya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Sebelum pingsan, Ningsih masih sempat melihat keadaan mayat yang katanya mati bunuh diri itu. Lidahnya terjulur, matanya melotot ngeri. "Bawa dia ke ruang kesehatan," titah salah satu sipir wanita. Segera tiga orang napi wanita mengangkat tubuh ramping Ningsih dan membawanya ke ruang kesehatan yang terletak di pojok. "Nyusahin aja nih perempuan!" Salah satu napi wanita mengumpat kesal. Sebatang kecil rokok filter terselip di antara bibir berwarna kehitaman tersebut. "Emang! Nih perempuan sama aja dengan yang mati bunuh diri itu. Suka nyusahin!" celetuk yang lainnya. "Lapas ini makin serem, dong. Udah berapa banyak napi yang mati bunuh diri di sini. Hiii ...." Napi lain yang sebagian tubuhnya dipenuhi dengan ukir
"Mama gak mau nolong aku. Semua jahat sama aku," lanjutnya lagi. "Kei ...," panggil Kania pelan. "Siapa yang jahat, Sayang?"Keisha sedikit terkejut, sambil menoleh. "Mama, Tante. Om juga. Mama dan Om yang jahat sama aku. ""Kalau tante boleh tahu, jahat gimana, sih, mereka?" Kania mencoba kembali mengajak Keisha mengobrol. "Aku sering dipukul, Tante. Tiap hari malah. Terus, Om juga sering nyuruh aku buka celana dan baju kalau mama gak ada.""Astaghfirullah. Biar apa dia nyuruh Keisha buka baju, Nak?"Keisha mengangkat bahu. "Aku gak tau. Kata om, aku sakit dan harus diperiksa dada dan sininya aku." Gadis berambut panjang lewat bahu itu menunjuk ke arah kem*luannya.Refleks, Kania menutup mulutnya. Dia menepis bayangan kemungkinan yang melintas. Cepat-cepat ditepisnya bayangan itu dengan menggeleng kuat. "Om suka memasukkan jarinya ke sini. Sakit, Tante. Aku pengen teriak, tapi langsung dibentak. Katanya, kalau aku berani teriak apalagi ngadu ke mama, aku dan mama akan dibunuh paka
Season 2 PART : 47Kania yang menyadari kegelisahan sang suami, menggenggam erat tangan yang sudah basah dan terasa dingin seperti es. Wanita itu paham, bagaimana perasaan Abimanyu saat ini. "Hasil visum atas nama korban Keisha Anastasia ada di tangan saya," ujar polisi yang bertugas sebagai penyidik. Terasa bergetar hebat tangan kokoh itu di genggaman Kania. Ayah mana, yang tak merasakan hal yang sama, jika menghadapi situasi seperti ini. Putri kesayangan, satu-satunya pula, diduga mendapatkan kekerasan secara s3k5u4l oleh ayah tirinya. Polisi bertubuh gemuk itu, merobek ujung amplop. Kania dan Abimanyu semakin tegang. Dalam hati, Abimanyu tak henti berkomat-kamit berdoa. Berharap ada keajaiban yang Tuhan berikan atas putri kecilnya tersebut. "Di sini .... " Polisi paruh baya itu menggantung ucapannya. Perasaan Kania dan Abimanyu semakin tak karuan. "Gi-gimana, Pak?" Abimanyu sedikit mendesak. Wajahnya tak menunjukkan reaksi apapun, padahal, yakin, dia sudah membaca hingga akh
Kania menggeleng sambil tersenyum. "Aku menangis terharu, Mas. Aku baik-baik saja, kok.""Terharu kenapa?""Aku terharu memiliki suami seperti kamu, Mas. Hal yang paling patut aku syukuri. Dari sekian tahun aku merasakan pahitnya pernikahan, sampai akhirnya aku bertemu dengan kamu," ujar Kania seraya mengusap matanya yang mengembun. "Jangan berubah, ya, Mas. Selamanya seperti ini."Abimanyu membawa Kania ke dalam pelukannya. Bukan hanya Kania, dirinya pun merasakan pahitnya pernikahan dengan Liana yang berselingkuh dan ia sendiri memergoki dengan kedua belah matanya. Belum lagi putrinya yang selalu mendapatkan kekerasan dari ibu kandungnya sendiri. Belum lagi Keisha yang dic4bul1 ayah tirinya. Itu yang paling membuat dunia Abimanyu sangat hancur. Anak sekecil itu harus mendapatkan hal yang tidak sepantasnya ia dapatkan. "Insya Allah, kita sama-sama membangun rumah tangga kita, ya, Sayang. Senyum kamu dan janin di kandungan kamu ini merupakan obat mujarab buatku."Tok tok tok. Obrola
Season 2 Part 45"Gak, Bang. Jangan tinggalkan aku. Aku sudah gak punya siapa-siapa. Arman di penjara. Ima dan Ella juga aku gak tahu di mana keberadaan mereka. Aku sendirian, Bang."Wahyu hanya mengangkat bahu. "Entahlah, Rahma. Itu bukan urusanku. Nikmati saja hasil yang sudah kamu tabur selama ini. Itu pula yang akhirnya kamu tuai.""Mas .... " Rahma mencekal pergelangan Wahyu. Matanya menatap nanar, ketika lelaki itu menoleh. Besar harapannya lelaki itu trenyuh dan mengurungkan niatnya untuk bercerai. Bukankah Wahyu selalu seperti itu sejak dulu? Ia paling tidak bisa membantah perintah Rahma. Tak jarang Wahyu langsung menuruti pinta Rahma, jika wanita paruh baya itu merajuk. Wahyu melepaskan tangannya dengan menghempaskan tangan sang istri. Cukup kasar perlakuan Wahyu. Sungguh di luar dugaan Rahma. "Mas ... Apa maksudnya?""Pakai nanya lagi kamu. Perasaan ini sudah habis. Sudah gak ada lagi untukmu, Rahma. Jadi, jangan mimpi aku akan membatalkan perceraian kita. Aku sudah capek,