Terima kasih sudah mampir, Cyiin. Jangan lupa tinggalkan komentar, vote bintang lima dan bagi gemnya duunnkk.
PART : 16 "A-apa? Kamu nggak salah, Irwan?" "Nggak, Bu. Mereka 'lah yang saya ceritakan akan membeli kebun kita." "Nggak, nggak mungkin." Bu Rahma terduduk lemas. Bibir wanita itu meracau, sambil tangannya memegangi dahi. Dengan tersenyum miring, aku berjalan mendekati wanita yang tampak sangat terpukul itu. Siapa tahu dengan mendekatinya, ibunya Bang Arman itu semakin terpukul. Dalam hati aku tertawa jahat. "Memangnya sudah saling kenal ya?" tanya Irwan. "Tentu saja, Pak Irwan. Beliau ini adalah mantan mertuaku." "Mantan mertua? Bukannya besan Bu Rahma yang dulu itu cuma ...." Pak Irwan menggantung ucapannya. "Cuma petani miskin dan orang kampung?" Pak Irwan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Hai, Bu. Kita ketemu lagi tapi dalam situasi dan keadaan yang berbeda." Wanita berambut sebahu itu melirik sedetik dengan sudut matanya, lalu membuang pandangannya kembali. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin malu, kesal atau ... Ah, entah lah! Tapi, aku benar-benar pu
Selesai makan, pembicaraan mulai mengarah ke topik negosiasi. Notaris dari pihak Bapak membuka suara dan menjelaskan isi dari surat. Ternyata Bapak sekalian mengurus balik nama kebun teh itu menjadi namaku. "Silakan Ibu menandatangani surat ini," ucap notaris pria itu. Ibu tampak ragu-ragu untuk meraih pulpen yang diberikan. Sejenak ia masih memainkan pulpen. Jelas sekali raut keberatan tergambar jelas di wajahnya. "Tolong segera ditanda tangani ya, Bu. Kami nggak punya banyak waktu untuk menunggu terlalu lama," cetusku mulai kesal. Ia melemparkan tatapan tajam ke arahku. "Jangan mentang-mentang kamu itu kaya dan bisa membeli kebun teh kami, terus kamu jadi sombong, Nia!" bentaknya dengan suara tinggi. "Tapi kenyataannya memang seperti itu 'kan, Bu? Wanita sombong seperti anda, yang dulu selalu menghina aku dan keluargaku, sekarang justru sudah berada di ujung kebangkrutan 'kan? Kami yang dulu selalu anda hina, justru kami yang membeli kebun teh anda. Terus, anda juga justru memi
POV AUTHOR Pak Wahyu menghela napas. "Ya iya 'lah, Dek. Masa kamu lupa." "Jadi tadi itu bukan mimpi?" "Bukan, Dek." Bu Rahma menjerit histeris lalu kembali tak sadarkan diri. Arman yang baru saja tiba di Lembang, berlari masuk karena mendengar suara teriakan histeris ibunya. "Bu, Ibu kenapa?" tanyanya panik melihat ibunya menangis sambil meremas rambut. "Arman, huhuhu ...." Bu Rahma menangis menghambur ke pelukan putra semata wayangnya. "Kamu kapan datang, Man?" "Baru saja, Bu." "Huhuhu ... Untung kamu datang, Nak. Ibu stres, Arman." "Stres kenapa, Bu?" "Kebun teh kita sudah terjual, Man. Dan kamu tahu siapa yang beli kebun kita?" "Siapa, Bu?" "Nia, Man. Huhuhu ...." Bu Rahma kembali menangis dan membenamkan wajahnya dalam pelukan Arman. "Nia? Nia mantan istriku, Bu?" Bu Rahma mengangguk. Pikiran Arman menerawang. Yang membeli kebun ibu itu adalah Nia. Ternyata Nia memang sangat kaya, sampai mampu membeli kebun teh seluas itu. Kenapa nggak dari dulu saja aku tahu kalau
"Jangan takut, Sayang. Ada ayah abim di sini." Pria berkulit putih itu memeluk Indah erat. "Indah, jangan takut. Ini ayah kamu, Nak," bujuk Arman berjalan mendekati Indah. Namun, cepat langkahnya dicegat oleh Kania. "Jangan dekati anakku, Bang. Dia ketakutan melihat kamu." "Tapi Indah itu anakku, Nia. Aku nggak terima anakku lebih dekat dengan orang lain. Dia bukan siapa-siapanya Indah." Arman bersikeras untuk mendekati anaknya. "Aku bilang jangan, Bang!" Kania menarik lengan Arman. Pandangannya tajam penuh kemarahan. Arman terkejut melihat ekspresi mantan istri yang dulu ia kenal polos, bo-doh dan penurut. Kini dalam netra bermanik hitam itu memancarkan sorot kebencian. "Aku bilang jangan dekati Indah. Kalau kamu nggak mau anak kamu dekat dengan orang lain, ke mana saja kamu? Bukannya kamu selama ini nggak pernah peduli sama dia." "Tapi aku--" "Pergi! Pergi dari sini sekarang juga!" "Nia--" "KE LUAR!" Arman terperangah karena dibentak oleh Kania. Ia benar-benar tidak mengen
Mobil yang membawaku, Indah dan Mas Abi ke bandara, terus menyusuri jalan kecil bebatuan yang di kiri kanan disuguhkan pemandangan sawah dan pegunungan. Meski jalanannya kecil, namun masih bisa dilalui kendaraan roda empat. "Mas, Mas, stop sebentar," pintaku pada sopir yang mengemudikan mobil rental kami, tepat di kebun teh milik Bapak. "Ada apa, Kania?" tanya Mas Abi bingung. "Nggak ada apa-apa, Mas. Aku cuma ingin melihat kebun teh sebentar." Kutarik handle pembuka pintu. Udara sejuk dan aroma daun teh menyapa kulit dan penciuman. Dulu di sini tempat pertama aku bertemu dengan Bang Arman. Waktu itu, aku tengah memetik daun teh, ketika seorang pria… POV RAHMA Hujan turun dengan cukup deras dan cahaya kilat terlihat dari jendela kecil pesawat. Suara pemberitahuan dari pramugari bahwa pesawat akan segera mendarat sudah terdengar. "Arman, Arman," panggilku pada Arman yang terlelap dengan menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut. Putra keduaku itu menggeliat dan menoleh dengan mat
Cahaya matahari yang masuk dari celah korden memaksaku untuk membuka mata. Karena cahayanya cukup menyilaukan. Ternyata sudah jam sepuluh. Aku menggeliat di balik selimut. Kulihat Arman masih terlelap di ranjang berbeda. Segera kusambar handuk di gantungan. Kamar yang hanya menggunakan kipas angin ini sudah membuat tubuhku basah oleh keringat. Kubasuh tubuh di bawah kucuran air. Lebih baik setelah ini membangunkan Arman lalu mengajaknya sarapan. Setelah itu segera mencari keberadaan suami miskin tak tahu diri itu. Beruntung Arman tidak susah untuk dibangunkan. Mungkin karena dari pada telinganya panas mendengarkan omelanku. Dengan menggunakan taksi, aku menuju hotel sesuai yang diinformasikan. "Bu, pelan-pelan saja. Jangan terburu-buru begitu," tukas Arman. Tak kuacuhkan ucapan Arman. Tak sabar rasanya untuk memergoki Bang Wahyu dan gundiknya itu. Kalau memang mereka ketahuan selingkuh, maka bersiap-siap saja aku ten-dang mereka. Kebetulan pintu lift sedang terbuka, cepat aku m
(Masih) POV RAHMA"Diam kau, Pela-cur! Pelakor tak tahu malu!" Kutarik rambut itu sekuat mungkin dan mendorongnya hingga terjatuh.Seperti mendapat kekuatan yang entah dari mana, Rossa menendang perutku."Aduh, aawww!" Rasa sakit yang luar biasa membuatku langsung memegang perut dan jatuh berlutut. Tendangan Rossa cukup kuat sehingga mampu membuat aku seketika tak berdaya."Bu, Ibu!" teriak Arman berlari untuk menangkap tubuhku."Dek." Bang Wahyu hendak menghampiriku."Mas, sakiiit," erang Rossa manja, sehingga membuat Bang Wahyu berputar haluan menjadi menghampiri gadis itu."Kamu nggak apa-apa?" tanya lelaki yang sudah menikahiku selama lebih dari empat puluh tahun itu. Tapi pertanyaan itu bukan padaku, tapi pada gundiknya.Sia-lan! Dia malah memperhatikan wanita itu, bukan aku. Padahal aku adalah istri yang sudah menaikkan derajatnya dari seorang gembel menjadi seperti sekarang ini."Sia-lan kamu, Bang. Tega-teganya kamu lebih memperhatikan dia daripada aku!" pekikku lemah karena r
"Sudah merasa hebat kamu, Bang? Memangnya kamu bisa hidup tanpaku?""Jangan terlalu sombong, Rahma. Kamu pun bukan apa-apa jika tanpa ayahmu. Ingat, roda itu berputar, Rahma. Sekarang rodamu 'lah yang berada di bawah.""Lebih baik kita pergi sekarang, Arman. Ibu muak berada di sini."Tak kusangka, ternyata di luar sudah banyak orang yang berkerumun dan masing-masing memegang ponsel di tangan. Sepertinya mereka merekam kejadian di dalam tadi. Mam-pus aku!Sambil menunduk menutupi wajah, aku berlari menerobos kerumunan ramai orang-orang yang menonton keributan tadi. Semoga saja kejadian ini tidak sampai viral di sosial media. Seorang Rahma telah diselingkuhi suaminya. Hancur sudah reputasiku.Mataku menerawang ke luar jendela. Lagi-lagi hujan mengguyur kota Singapura. Para pejalan kaki menggunakan payung untuk melindungi diri.Aku memang terlalu bodoh. Mau saja tertipu dengan kepolosan Bang Wahyu. Sampai-sampai tidak meletakkan sedikit pun kecurigaan padanya.Ah ya, bukan 'kah mobile ba
“Terima kasih atas semuanya, Nia,” ucap Arman setelah pemakaman selesai. Dia harus kembali ke tahanan, kembali menghabiskan hari-harinya di sana untuk sisa enam bulan ke depan.“Ya,” jawab Kania singkat tanpa sedikitpun menoleh.Arman hanya bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Sebenci itu Kania padanya. Bahkan melirik saja pun tidak.“Sampai jumpa lagi nanti, Nia. Semoga saja sang pemilik semesta masih memberiku kesempatan untuk hidup dan kita bertemu lagi.”Kania berdecak sinis. “Aku malah berdoa, agar Allah mencampakkanmu sejauh-jauhnya dari hidupku dan Indah. Sumpah, aku gak sudi melihatmu, apalagi bertemu.” Puas sekali Kania meluapkan perasaannya di depan laki-laki yang sudah menyakitinya selama lima tahun lebih pernikahan mereka.Arman hanya mend*sah pilu. Memang sudah merupakan kesalahannya, sehingga benar-benar benih kebencian tersemai di hati Kania.“Sudah, Arman. Kita harus balik ke rutan,” ujar salah seorang pria berseragam lengkap.Arman menurut dan melangkahkan kakinya
Entah berapa lama mereka di sana. Kania tak tahu. Dia memilih untuk tidak peduli dan tak mau tahu. Kalau bukan karena suaminya yang seakan sok berhati malaikat, dia pun tak sudi mengurusi jenazah Bu Rahma. Wanita itu sendiri yang sudah menyemai benih kebencian dan meninggalkan bekas luka yang mendalam. Tak hanya pada dirinya, tetapi juga pada Indah, cucunya sendiri.“Sudah selesai, Sayang.” Abimanyu menghampiri Kania yang memilih menunggu di luar bersama Indah dan Keisha, sambil memandangi kolam ikan kecil yang berada di samping dapur tempat para tahanan wanita.“Baguslah, Mas. Aku sudah bosan berada di sini.” Kania tidak bisa menyembunyikan rasa ketidaksukaannya.“Kania.” Abimanyu menarik tangan Kania pelan.Kania menghentikan langkahnya. Tapi, ia tetap tidak menoleh.“Mas tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Mas juga tahu, memaafkan sesuatu yang pernah sangat menyakiti kita juga gak mudah. Mas gak akan memaksa kamu, kok.” Abimanyu sangat lembut dan hati-hati sekali dalam berbicara.
Demikian pula dengan Kania. Pesona sang suami semakin terpancar. Tak henti-hentinya batinnya mengucap syukur, telah diberikan suami seperti lelaki yang tengah memegang lingkar kemudi di sebelahnya. Sang pemilik semesta benar-benar memberikan ganti yang tepat, untuk menjadi imam dunia akhirat bagi Kania dan Indah. "Ya sudah kalau begitu. Bapak titip anak bapak dan calon cucu bapak ke kamu, ya, Nak Abi.""Njih, Pak. Insya Allah, Kania dan Indah akan aku jaga dengan sangat baik." "Bapak percaya kamu, njih. Bapak tutup dulu teleponnya, ya. Bapak mau nyusul ibumu ke sawah. Assalamu'alaikum, salam untuk Kania, ya.""Wa'alaikumussalam. Njih, Pak."Setelah obrolan melalui sambungan whatsapp berakhir, Abimanyu meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula. Dilayangkannya pandangan ke wanita berdagu terbelah yang menatapnya lekat. "Kenapa ngeliatin mas seperti itu?" tanya Abimanyu, lantas sesekali kembali memfokuskan pandangan ke jalan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku semakin merasa beruntung puny
Season 2 Part 30 Kania mengangkat bahu. "Entahlah, aku juga tidak tahu pasti, Mas. Karena Mas Arman belum menjelaskan tentang itu. Mas Arman cuma meminta bantuan kita. Kakak dan adiknya sudah tidak bisa dihubungi sama sekali lagi. Jadi, Mas Arman butuh bantuan kita untuk mengurus jenazah ibunya."Arman terdiam. Lelaki itu tampak tengah berpikir. "Bagaimana, Mas? Apakah kamu mau membantu Arman?" tanya Kania lagi dengan sangat berhati-hati. Ia takut, suaminya tersinggung. "Ya, sudah. Kita bantu dia. Mengurus jenazah itu termasuk fardu kifayah. Apalagi, tidak ada yang mau menguruskan jenazah itu. Termasuk tanggung jawab kita sebagai sesama muslim. Apalagi almarhum itu neneknya Indah."Kania mengembuskan napas lega, sekaligus ia kagum pada sosok pria yang sudah menjadi suaminya tersebut. Terbuat dari apa hati laki-laki di hadapannya ini. Rasanya sangat jarang sekali, ada laki-laki yang mau membantu menguruskan jenazah dari mantan mertua istrinya. Kania masih menatap terkagum-kagum ke
Season 2 Part 48"Minggir, minggir!" ucap salah satu sipir wanita yang berusaha membubarkan kerumunan, agar mayat yang digotong bisa lewat. "ASTAGAAA ... MBAAAAK!"Bruuukkk. Ningsih pingsan, begitu melihat mayat yang digotong melewatinya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Sebelum pingsan, Ningsih masih sempat melihat keadaan mayat yang katanya mati bunuh diri itu. Lidahnya terjulur, matanya melotot ngeri. "Bawa dia ke ruang kesehatan," titah salah satu sipir wanita. Segera tiga orang napi wanita mengangkat tubuh ramping Ningsih dan membawanya ke ruang kesehatan yang terletak di pojok. "Nyusahin aja nih perempuan!" Salah satu napi wanita mengumpat kesal. Sebatang kecil rokok filter terselip di antara bibir berwarna kehitaman tersebut. "Emang! Nih perempuan sama aja dengan yang mati bunuh diri itu. Suka nyusahin!" celetuk yang lainnya. "Lapas ini makin serem, dong. Udah berapa banyak napi yang mati bunuh diri di sini. Hiii ...." Napi lain yang sebagian tubuhnya dipenuhi dengan ukir
"Mama gak mau nolong aku. Semua jahat sama aku," lanjutnya lagi. "Kei ...," panggil Kania pelan. "Siapa yang jahat, Sayang?"Keisha sedikit terkejut, sambil menoleh. "Mama, Tante. Om juga. Mama dan Om yang jahat sama aku. ""Kalau tante boleh tahu, jahat gimana, sih, mereka?" Kania mencoba kembali mengajak Keisha mengobrol. "Aku sering dipukul, Tante. Tiap hari malah. Terus, Om juga sering nyuruh aku buka celana dan baju kalau mama gak ada.""Astaghfirullah. Biar apa dia nyuruh Keisha buka baju, Nak?"Keisha mengangkat bahu. "Aku gak tau. Kata om, aku sakit dan harus diperiksa dada dan sininya aku." Gadis berambut panjang lewat bahu itu menunjuk ke arah kem*luannya.Refleks, Kania menutup mulutnya. Dia menepis bayangan kemungkinan yang melintas. Cepat-cepat ditepisnya bayangan itu dengan menggeleng kuat. "Om suka memasukkan jarinya ke sini. Sakit, Tante. Aku pengen teriak, tapi langsung dibentak. Katanya, kalau aku berani teriak apalagi ngadu ke mama, aku dan mama akan dibunuh paka
Season 2 PART : 47Kania yang menyadari kegelisahan sang suami, menggenggam erat tangan yang sudah basah dan terasa dingin seperti es. Wanita itu paham, bagaimana perasaan Abimanyu saat ini. "Hasil visum atas nama korban Keisha Anastasia ada di tangan saya," ujar polisi yang bertugas sebagai penyidik. Terasa bergetar hebat tangan kokoh itu di genggaman Kania. Ayah mana, yang tak merasakan hal yang sama, jika menghadapi situasi seperti ini. Putri kesayangan, satu-satunya pula, diduga mendapatkan kekerasan secara s3k5u4l oleh ayah tirinya. Polisi bertubuh gemuk itu, merobek ujung amplop. Kania dan Abimanyu semakin tegang. Dalam hati, Abimanyu tak henti berkomat-kamit berdoa. Berharap ada keajaiban yang Tuhan berikan atas putri kecilnya tersebut. "Di sini .... " Polisi paruh baya itu menggantung ucapannya. Perasaan Kania dan Abimanyu semakin tak karuan. "Gi-gimana, Pak?" Abimanyu sedikit mendesak. Wajahnya tak menunjukkan reaksi apapun, padahal, yakin, dia sudah membaca hingga akh
Kania menggeleng sambil tersenyum. "Aku menangis terharu, Mas. Aku baik-baik saja, kok.""Terharu kenapa?""Aku terharu memiliki suami seperti kamu, Mas. Hal yang paling patut aku syukuri. Dari sekian tahun aku merasakan pahitnya pernikahan, sampai akhirnya aku bertemu dengan kamu," ujar Kania seraya mengusap matanya yang mengembun. "Jangan berubah, ya, Mas. Selamanya seperti ini."Abimanyu membawa Kania ke dalam pelukannya. Bukan hanya Kania, dirinya pun merasakan pahitnya pernikahan dengan Liana yang berselingkuh dan ia sendiri memergoki dengan kedua belah matanya. Belum lagi putrinya yang selalu mendapatkan kekerasan dari ibu kandungnya sendiri. Belum lagi Keisha yang dic4bul1 ayah tirinya. Itu yang paling membuat dunia Abimanyu sangat hancur. Anak sekecil itu harus mendapatkan hal yang tidak sepantasnya ia dapatkan. "Insya Allah, kita sama-sama membangun rumah tangga kita, ya, Sayang. Senyum kamu dan janin di kandungan kamu ini merupakan obat mujarab buatku."Tok tok tok. Obrola
Season 2 Part 45"Gak, Bang. Jangan tinggalkan aku. Aku sudah gak punya siapa-siapa. Arman di penjara. Ima dan Ella juga aku gak tahu di mana keberadaan mereka. Aku sendirian, Bang."Wahyu hanya mengangkat bahu. "Entahlah, Rahma. Itu bukan urusanku. Nikmati saja hasil yang sudah kamu tabur selama ini. Itu pula yang akhirnya kamu tuai.""Mas .... " Rahma mencekal pergelangan Wahyu. Matanya menatap nanar, ketika lelaki itu menoleh. Besar harapannya lelaki itu trenyuh dan mengurungkan niatnya untuk bercerai. Bukankah Wahyu selalu seperti itu sejak dulu? Ia paling tidak bisa membantah perintah Rahma. Tak jarang Wahyu langsung menuruti pinta Rahma, jika wanita paruh baya itu merajuk. Wahyu melepaskan tangannya dengan menghempaskan tangan sang istri. Cukup kasar perlakuan Wahyu. Sungguh di luar dugaan Rahma. "Mas ... Apa maksudnya?""Pakai nanya lagi kamu. Perasaan ini sudah habis. Sudah gak ada lagi untukmu, Rahma. Jadi, jangan mimpi aku akan membatalkan perceraian kita. Aku sudah capek,