Kouza menatap Myan dengan tatapan tajam. Myan berusaha mengalihkan pandangannya dengan tenang. Berjalan ke satu sudut untuk menjauh, agar memberinya jarak dari Kouza.
"Aku hanya membersihkan diriku saja. Penampilanku terlalu berantakan," jelasnya.
Myan berusaha menahan perasaan kesalnya. Saat ia mengingat penampilannya yang sangat kacau dan berantakan tadi, ia menjadi sedikit rendah diri saat berhadapan dengan Putri Alaya yang begitu bersinar di matanya. Myan lebih kesal kepada dirinya sendiri karena merasa terintimidasi dengan wanita yang bahkan tak melakukan apa pun padanya.
Lalu mengapa dirinya begitu kesal hanya melihat Kouza berjalan beriringan dengan Putri Alaya? Ya, tentu saja karena kecemburuan sudah menghinggapinya.
Bagus Myan ... apa sekarang kau juga mulai berubah menjadi wanita gila yang posesif, karena kecemburuan dan keputusasaan yang lahir karena perasaan insecure yang tak berkesudahan?
Myan menggigit bibir bawahnya. Pikiran dan
Kouza memandangi wajah Myan yang tertidur pulas. Membelai lembut helai rambut halusnya. Kouza sekarang sedikit menyesal dan menyalahkan dirinya sendiri karena tak dapat menahan hasratnya tadi dan menyebabkan Myan begitu kelelahan hingga jatuh tertidur. Kouza yakin, Myan begitu lemas hingga energinya terkuras karena sihir yang ia gunakan sebelumnya. Ditambah lagi dengan permainannya tadi ... Kouza mendesah, mengingat kembali bagaimana ekspresi Myan yang begitu mendamba dan menggodanya tadi. Bagaimana cara gadis itu merayunya membuatnya sangat bergairah, sehingga dirinya tak kuasa menolak semua pesonanya. Kouza tersenyum dengan rona yang tersamar. Beruntungnya Myan sedang terlelap. Dia tak akan pernah tahu betapa wajahnya memanas saat mengingat semua keintiman yang mereka lakukan. Kouza mengecup kening Myan perlahan. Sedikit tersentak ketika setelahnya Myan bergerak dan membuka matanya. Ia tak menyangka kecupan halusnya dapat membuat Myan terbangun, kar
"Ah, perutku kenyang sekali ... " Myan menepuk-nepuk perutnya. Ia tampak puas dan berbinar setelah menghabiskan begitu banyak hidangan yang tersaji di depannya, dan hanya menyisakan piring dan tempat kosong. "Kau sudah lebih baik? Sudah bertenaga lagi?" tanya Moun yang menyunggingkan senyum puas, karena hidangan yang disajikannya dilahap habis oleh Myan. Myan mengangguk-angguk senang. Di depannya tampak Putri Alaya, Mera, dan Kouza juga memperhatikannya. Mera dan Alaya mengunjungi Myan setelah mendengar kabar dirinya telah terbangun. Myan terbangun lagi di pagi hari setelah seharian kemarin dirinya tertidur pulas. Ia bangun dengan perut kosong dan amat sangat merasa kelaparan. Jika dihitung lagi, terakhir kali ia makan adalah sudah sejak dua hari yang lalu. "Kau makan begitu banyak hidangan, apakah perutmu baik-baik saja?" Alaya memandang takjub dengan selera makan Myan.
Amala terengah-engah kehabisan napas. Terpuruk di atas lantai dingin yang mengelilinginya. Sudah beberapa kali ini dirinya 'mentransfer' Makhluk Malam ke dalam tubuh Yang Mulia Roun. Ritual prosesi pemindahan para makhluk itu sungguh menghabiskan energinya. Kumpulan Makhluk Malam yang terakhir kali begitu agresif seolah ingin berlomba untuk segera memenuhi 'wadah' manusia yang akan segera menjadi wujudnya. Roun dikelilingi oleh aura gelap seketika. Wajahnya menyeringai bengis. Bola matanya berubah menghitam seluruhnya. Roun mengangkat kedua tangannya, menengadah menatap langit-langit. Dengan energi baru yang didapatnya, ia merasakan tambahan kekuatan yang luar biasa. Energi yang bergejolak terasa begitu meluap-luap dari dalam tubuhnya. Roun menggeram layaknya hewan buas. Seringai dari wajahnya menampakkan dua taring kecil yang tampak berkilat tajam. Wajah Roun sepenuhnya berubah ganas akibat energi hitam Makhluk Malam yang mulai menguasai dan mengambi
Sudah sejak pagi-pagi buta para penduduk pemukiman Gil sudah mempersiapkan diri masing-masing. Segala persiapan untuk menghadapi pertempuran seperti yang di prediksi hari ini, telah selesai mereka kerjakan. Para pengawal telah bersiap dengan senjata masing-masing. Dan para penduduk dengan bekal serta keperluan untuk bersembunyi di dalam gua bersama dengan anggota keluarga mereka pun telah siap. Myan mendapati Ratu Savia bersama dengan bangsa perinya telah bergabung dan menawarkan bantuan untuk penduduk Gil. Mereka akan melindungi bagian gua dengan membentengi perisai dari sihir mereka, untuk mengamankan jalan masuk agar para penduduk aman. Myan masih takjub dengan penampakan Ratu Savia. Wajahnya tetap bersinar terang walau ditempa matahari. Tidak hanya dirinya, seluruh bangsa mininya pun sama bersinarnya dengannya. Myan teringat dengan penampakan peri seperti yang diceritakan di buku-buku dongeng yang dibacanya saat kecil. Peri? Nymph? Apa pun itu seb
Roun dengan sosok monsternya memerangkap Kouza di bawah kakinya. Kouza menahan serangan Roun dengan tangkisan pedangnya, yang kini menjadi satu-satunya penghalang antara dirinya dan cakar tajam Roun. Aura pekat asap hitam yang menyelubungi Roun semakin membesar. Sepasang sayap yang berbentuk bayang-bayang dari asap pekat itu muncul dari punggung Roun. Roun menggeram, menyeringai. Lapar akan kemenangan. Dengan secepat kilat tangan lainnya mencabik Kouza yang terpojok di bawahnya. Kouza yang tak tinggal diam segera berguling dengan sigap. Ia menghindari serangan Roun dengan cekatan. Dan setelah itu Kouza bangkit dengan memusatkan seluruh elemen magis api ke dalam pedangnya. Ia melesat cepat untuk menyerang Roun! Menebas seluruh tubuh Roun. Menghunjam! Mengirimkan serangan bertubi-tubi. Seolah cabikan Roun sebelumnya tak mempengaruhinya. "HEAAARRRGGGHH.....!!!" Roun tiba-tiba mengerang ... mengirimkan sinyal untuk para pasukan ser
Kouza yang telah terbebas dari mantra pembeku, bergegas menghampiri Myan.Merengkuh kekasihnya ke dalam pelukannya. Disampingnya tergeletak Roun yang tak berdaya. Roun pun tampak tak sadarkan diri. Berbeda dengan Kouza yang menerima kekuatan healing dari Mera selama Myan menarik semua roh, Kouza tampak lebih bertenaga dan dapat bergerak biasa. Kouza dan Roun kini sama-sama telah menjadi manusia biasa. Normal. Baik Roh Murni, maupun Makhluk Malam tak lagi mengambil alih tubuh mereka. Myan telah membebaskan keduanya. Membawanya dan memerangkapnya ke dalam tubuhnya sendiri. "Myan...." panggil Kouza perlahan. Myan terkulai lemas, tidak bergerak sedikit pun. Kouza mulai menatap cemas mata Myan yang terpejam. Tak ingin berprasangka buruk, Kouza mengelus pipi Myan perlahan. Membelai lembut wajahnya. Myan yang tak sadarkan diri masih tidak merespon panggilan Kouza. Matanya yang terpejam tidak menunjukkan reaksi apa pun.
Kedamaian yang menenangkan ... aroma samar familier yang merasuk perlahan, mulai membangkitkan sensitivitas indra penciuman yang semakin menguat ... Suara yang monoton, teratur dari berbagai macam alat modern yang begitu umum, terdengar silih berganti, sayup, saling mengisi dan mulai berirama ... Monitor ... Ventilator ... Air Conditioner ... Jam dinding ... Suara sepatu bertumit ... Dering telepon ... Sentakan pintu kamar yang terbuka, menjadi titik balik kesadaran yang tiba-tiba terbangkitkan. Seketika itu juga, detik itu juga, seluruh indra serempak saling bersinkronisasi, seperti berkumpul pada satu titik cahaya. Hingga akhirnya ... Sepasang mata terbuka. "Oh Ya Tuhan! ... Ma ... Marry ... Oh Marry!! ... cepatlah! Telepon Dokter Raymond sekarang juga...! Pasien Myana Frederica Jones telah membuka matanya ...! Hubungi keluarganya juga ... cepat!" Seorang perawat yang sedang bertugas memeriksa
Devon Green Carlisle Sekali lagi Myan membaca nama pasien yang tertera pada papan informasi. Menatap lekat-lekat lelaki yang terbaring di atas ranjang dengan alat bantu ventilator yang terpasang pada hidung dan mulutnya. Tangan kiri Myan yang bebas bergetar saat mencoba menyentuh lengan lelaki itu. Myan memejamkan matanya sesaat. Menahan bibirnya yang ikut bergetar. Dikuatkannya dirinya, melawan serangan jantung yang seolah sedang memburunya. Myan menelan ludahnya beberapa kali. Tenggorokan yang kering dan terasa tercekat, menjadi tanda bahwa ia berusaha mati-matian untuk menekan perasaannya. Belum sampai ia menyentuhnya, kakinya tiba-tiba melemas, tubuhnya serasa ringan dan tak berdaya. Myan ambruk di atas lantai yang dingin. Stevie yang terkejut segera menghampirinya. "Myan ... tenanglah ... apa yang terjadi?" Stevie menopang lembut tubuh Myan yang tampak lemas. Stevie menatap sahabatnya itu dengan cemas. Pasalnya setengah jam ya
Lima bulan kemudian ... "Bagus ... lihatlah sekarang aku tampak begitu aneh saat difoto!" Valerie tampak kesal mengamati foto-foto yang baru saja diambilnya dari ponselnya. "Menurutku tak ada yang aneh, kau tampak menawan, Sayang," Jordan mengusap lembut pucuk kepala istrinya tersebut. Valerie kembali cemberut, ia mengusap perutnya yang sudah tampak membesar. "Aku tampak seperti sedang mengantungi bola" keluhnya lagi. "Bukan bola, tapi anak kita ... anak cantik kita yang akan mempesona sepertimu." jawab Jordan menenangkan. "Tak ada yang buruk dengan itu, setiap wanita yang sedang mengandung pasti akan mengalami perubahan bentuk tubuh," Milia ikut menengahi. "Aku iri denganmu, mengapa hanya perutmu saja yang berubah, tapi tidak dengan badanmu?" Valerie merujuk pada Myan yang sedang duduk berhadapan dengannya di samping Devon. Myan tersenyum menanggapi ucapan Valerie, "Mungkin karena kandunganku masih belum begitu besar dan masih
Devon membopong Myan memasuki kediamannya yang telah rapi dan bersih. Sejak pemulihan kecelakaannya kemarin, ia belum pernah menginjakkan kaki lagi ke tempatnya sendiri. "Pelan-pelan Sayang, kau seperti banteng yang siap menerjang tanpa ampun. Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri!" Myan tersenyum geli sambil memukul ringan bahu suaminya. "Jangan menyuruhku untuk bergerak perlahan, kakimu terlalu kecil untuk mengikuti langkahku ... lagipula aku tak ingin membuat kaki mungilmu itu kelelahan sebelum aku melakukan apa-apa." Myan tergelak, ia mendekap leher Devon dengan lebih erat. "Kalau begitu, cepatlah ..." bisiknya menggoda suaminya. Mengirimkan sinyal untuk segera melepaskan hasrat mereka. Seperti dikomando, Devon membuat langkahnya dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia menerobos pintu masuk setelah membuka kuncinya. Menendang daun pintu begitu saja dengan kakinya dan segera menghujani Myan dengan ciuman lembut begitu mereka masuk ke dalam tempatny
"Hentikan Devon, masih ada yang harus aku lakukan," Myan berusaha melepaskan diri dari cumbuan suaminya yang berbadan kekar itu. "Apakah ada yang lebih penting selain menghabiskan waktu dengan suamimu ini, Nyonya Devon?" Devon bergumam sembari mengecup bibir dan leher Myan secara bergantian. Myan sedikit menggeliat kegelian, "Kita akan punya banyak waktu nanti, beri aku waktu beberapa menit saja, oke?" balas Myan lagi. "Ck...! Aku sudah menunggu selama hampir 4 minggu untuk dapat memilikimu dan sekarang kau memintaku untuk menunggu lagi?" erang Devon tersiksa. "Tenang , Sayang ... kau dapat memilikiku semaumu setelah ini, berikan gelangmu." Myan melepaskan gelang dari pergelangan tangan Devon dan melakukan hal yang sama dengan miliknya sendiri. "Apa yang akan kau lakukan, Sayang? Berhentilah menyibukkan dirimu sendiri." Devon memeluk Myan dengan manja. "Aku akan menemui Lilian. Hanya sebentar saja, beri aku waktu sepuluh menit ya,"
Suasana riuh menghiasi tempat acara pernikahan yang akan berlangsung siang ini. Milia dan Myan tengah sibuk bersiap untuk acara yang akan digelar dengan sederhana dan tertutup. Staf pernikahan yang bertugas mempersiapkan mereka berias dan berganti gaun, telah selesai membantu pengantin dan ibunya. Myan dan Milia tampak menakjubkan dengan gaunnya masing-masing. "Oh ya Tuhan ... kau menakjubkan!" July dan Stevie memasuki ruangan tempat pengantin wanita bersiap. Mereka begitu takjub dengan gaun dan riasan yang Myan pakai. Myan tampak sangat bersinar dalam baju pernikahannya. Sudah semenjak 4 minggu yang lalu Myan mengumumkan acara pernikahannya kepada kedua sahabatnya, dan dengan histeris mereka menerima kabar gembira itu. Mereka turut berbahagia saat mengetahui Myan akan menikah dengan pria yang dicintainya. "Jadi ... akhirnya ia ternyata memang benar-benar suamimu ya," ledek Stevie pada Myan. Myan tertawa, "Sudah kubilang sebelumnya bukan, Devo
Jordan menyesap kembali minumannya dengan tenang sambil memperhatikan ponselnya yang tergeletak di sebelah hidangan manis yang sudah ia pesan beberapa menit sebelumnya. Malam ini ia akan berkencan. Ia mengenakan jeans kasual dipadukan dengan sweater rajut putih tulang miliknya yang sepasang dengan milik Valerie. Dan ia sedang menanti Valerie di sebuah kafe. Selang beberapa menit kemudian, seorang wanita ramping muncul dengan sweater rajut yang sama dengan miliknya. Ia berhenti sejenak di ambang pintu masuk untuk mencari teman kencannya. Valerie tersenyum cerah saat dilihatnya Jordan telah menunggunya di salah satu meja kafe. Ia melambaikan tangan sejenak dengan ceria, kemudian mulai berjalan menghampiri meja milik Jordan. Rambut keemasan halus Valerie bergerak-gerak ringan seiring dengan langkah kakinya yang mantap menyongsong Jordan. Ia sedikit tersipu saat terpaku menatap Jordan, pria yang sedang menantinya itu. Valerie tersenyum manis disetiap langkahnya saat ia m
"Apa yang harus aku katakan?" Myan berjalan mondar-mandir dalam kamar Devon dengan raut cemas. "Katakan saja yang sebenarnya ..." Devon menjawab Myan dengan sabar. "Ma ... aku sudah menikah dan sudah menjadi istri Devon sekarang. Hanya dalam waktu satu hari? Hah ... bisakah kau bayangkan betapa terkejutnya mamaku nanti?" "Oh, ini semua salahmu Devon! Tidak hanya di dunia mimpi mau pun kenyataan, kau selalu bertindak semaumu ..." keluh Myan cemas. Devon menarik lengan Myan, mendudukkannya dipangkuannya sendiri. "Bisakah kau berhenti? Kau membuatku pusing ... hentikan kecemasanmu sekarang juga, tak ada yang perlu kau khawatirkan, Sayang." "Aku akan mengantarmu pulang nanti. Aku akan menghadap mamamu, meminta izin agar diperbolehkan memiliki putri satu-satunya. Walau secara teknis aku sudah memilikinya," Devon tersenyum jahil. "Hm ... sekarang, apa kau sudah bisa tenang?" tanya Devon sambil tersenyum dengan ceria. "Bagaimana dengan ayahmu
Myan melangkahkan kaki keluar dari gedung sendirian setelah semua pembicaraan panjang mengenai acara resepsi, gaun, makanan dan segala macam pernak-pernik tentang pernikahan selesai Devon bicarakan dengan Laura. Myan tak mengerti mengapa Devon melakukan ini. Bahkan ia menyebutnya istri dan menjelaskan bahwa mereka telah menikah. Jelas Myan akan menuntut penjelasan atas semua aksi Devon ini. "Apa kau kesal padaku ...?" Devon yang ia kira masih berada di dalam ternyata telah menghampirinya. Myan kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman yang bernaungkan pohon rindang. Myan tak menjawab pertanyaan Devon. Ia sedikit memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan menyelidik dari pria itu. "Terima kasih kau tidak menamparku atau meninggalkanku di sana sendirian sementara aku mungkin dapat menanggung malu," ucap Devon sambil duduk di samping Myan yang masih berwajah masam. Myan menghembuskan napasnya perlahan seolah ingin membua
Milia menatap kedua anaknya dengan tatapan menyelidik. Baik Jordan mau pun Myan hanya menatap ponselnya masing-masing tanpa menyentuh sedikit pun hidangan yang telah tersaji di hadapan mereka. "Apa perut kalian akan terisi sendiri hanya dengan menatap ponsel?" tanyanya. Jordan dan Myan segera meletakkan ponsel mereka. Mereka tahu betul nada suara Milia saat merasa kesal. "Aku hanya mengecek pekerjaanku saja," jawab Myan kemudian melahap sepotong pancake manis di hadapannya. "Aku juga." Jordan melakukan hal yang sama. Hanya beberapa suap saja sampai Jordan dan Myan kembali sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Mereka tampak terlalu larut untuk mengetik dan kembali fokus untuk membalas beberapa pesan yang masuk. Milia menghela napas panjang. Kedua anaknya sekarang dimatanya tampak begitu mencurigakan. Jika mereka tadi begitu tegang dengan ponsel masing-masing, kini mereka berdua terlihat cerah saat membalas beberapa pesan-pesan yang
Valerie mengikat jubah mandinya erat-erat sebelum ia keluar dari kamar mandi. Saat itu dilihatnya Jordan sedang bercermin dan telah mengenakan kemeja yang Valerie pesan dari Rebecca sebelumnya. "Cocok untukmu, ukurannya sangat pas bukan?" komentar Valerie saat mengamati Jordan dengan baju barunya. "Benar ... kau memilih ukuran yang tepat dan ..." ucapan Jordan seketika menggantung di udara saat ia menatap Valerie dengan jubah mandinya dan wajah polosnya tanpa make up. Jordan membeku di tempat. Ia menelan ludahnya. Tak menyangka Valerie bisa tampak begitu berbeda ketika tak mengenakan riasan apa pun. Ia tampak segar, muda, polos, cantik dan juga tampak sangat menggoda dalam balutan jubah mandinya ... "Aku bisa memperkirakan ukuran baju seseorang hanya dengan melihatnya. Itu pekerjaanku sehari-hari, dan juga salah satu keahlianku ..." ucapnya. Valerie dengan tenang menghampiri kotak baju miliknya sendiri untuk memeriksa isinya. Ia sesekali menge