"Dengan cara apa kamu bisa membantuku?" Wajah Luna sedikit tegang.
"Nanti kita bicarakan di rumahku, ya," balas Fanno sambil menyuap nasi ke dalam mulut.
Suasana saat ini dibumbui dengan sedikit ketegangan. Entah apa yang akan dibicarakan Fanno padanya. Luna melirik sekilas wajah tampan itu. Baru pertama kenal, Fanno sudah menyuguhkan kebaikan terhadapnya.
Luna mengangguk pelan serta mengunyah makanan. Pria yang ada di depannya tak peduli terhadap penampilannya yang sudah acak-acakan. Di samping Fanno duduk, ada koper merah muda miliknya.
'Dia ternyata pria yang baik.'
***
Di depan rumah mewah nan besar, bernuansa putih krim yang menyuguhkan pemandangan elegan, Fanno menghentikan mobilnya tepat di halaman. Mata Luna menatap takjub ke sekitar sini. Celingak-celinguk melihat keindahan taman depan yang berhiaskan bermacam-macam bunga.
Ada juga beberapa penjaga bertubuh besar sedang berjaga di depan gerbang dan pintu masuk. Fanno lantas menyuruhnya untuk masuk ke dalam.
"Rumah kamu besar banget," ucap Luna mengagumi keindahan rumah Fanno.
"Makasih. Ayo, masuk." Fanno melebarkan sebelah tangannya seraya mengajak Luna masuk ke dalam.
Luna menyeret kopernya perlahan dan berjalan lebih dulu di depan Fanno. Pria itu mengekor di belakang. Lantas, sesaat Fanno masuk, semua pembantunya tampak menunduk sembari memberi hormat.
Pemandangan ini membuat Luna makin terpana. Ternyata Fanno amat disegani di rumah besar ini oleh pembantunya.
"Tolong kalian siapkan satu kamar untuknya, ya." Fanno menunjuk ke arah Luna.
"Baik, Tuan," balas mereka serempak.
Salah satu pembantu tampak meraih koper Luna dan membawanya menaiki anak tangga. Luna mengekor di belakang serta berlalu dari hadapan Fanno. Ia terus mengikuti ke mana arah tujuan ini.
Dengan langkah pelan menaiki anak tangga satu per satu, alhasil Luna sudah berhasil sampai di atas. Pembantu itu membuka kenop pintu dan mempersilakannya untuk masuk ke dalam.
"Silakan istirahat di dalam, Nona," ujar mereka.
Penyambutan dari mereka sangat membuat Luna terharu. Tak pernah ia bayangkan, kalau Fanno mengajaknya satu atap bersama, serta para pembantu di rumah ini yang bersikap hormat. Baru bertemu sudah memberi kebaikan yang tak terduga.
Luna pun lantas membandingkan antara keluarganya sendiri dengan orang yang baru dikenal. Kedua orang tuanya malah membuangnya, sedangkan Fanno memberinya perlindungan. Untuk membalas kebaikan pria berhati tulus itu, Luna akan melakukan hal apa pun.
Fanno tiba-tiba datang dan bersandar di daun pintu. "Semoga kamu betah ya tinggal di sini," ujarnya sambil mendekat ke arah Luna.
Alhasil, para pembantu segera mengundurkan diri dari hadapan mereka berdua. Kini, tinggallah di kamar ini hanya ada Fanno dan Luna. Pria itu mengambil sebuah kursi yang berada di depan meja rias. Kemudian, ia duduk dan mendekat dengan Luna.
"Mari kita bicara, Lun." Fanno tampak serius. Tatapannya begitu mengintimidasi Luna saat ini.
Masih dalam berpakaian baju pengantin serta make-up yang amburadul, Fanno tetap mau dekat dengannya. Pria itu mengajaknya untuk bicara empat mata.
Luna yang duduk di atas kasur berukuran king size itu tampak menyilangkan kedua tangan. "Ayo, bicara aja." Ia menunggu apa yang akan diucapkan oleh Fanno.
"Aku tahu perasaanmu sekarang, Lun. Apalagi saat ditinggalkan oleh orang yang kita cintai seperti apa. Aku akan membantumu untuk balas dendam terhadap pria cemen itu." Tatapan mata Fanno begitu tajam kepada Luna.
Mendengar hal itu, Luna meneguk salivanya dengan kasar. Ia tak menyangka bahwa orang yang baru saja dikenal malah lebih peduli terhadap dirinya, ketimbang kedua orang tuanya sendiri. Ia juga tak akan menyia-nyiakan kesempatan manis ini untuk membalas dendam pada orang yang sudah menyakitinya.
"Beri tahu aku namanya siapa? Tinggal di mana? Lalu, mana fotonya? Aku ingin melihat wajah mantanmu yang cemen itu." Fanno bertanya bertubi-tubi pada Luna.
Namun, Luna kehilangan ponselnya. Tak sadar lagi di mana ia taruh. Hal itu membuat Fanno mengembuskan napas kasar.
"Namanya Agam Herlambang. Dia ternyata punya hubungan gelap dengan sahabatku sendiri." Wajah Luna mendadak berubah menjadi sendu.
Fanno mengerti dengan keadaannya sekarang. Memang tak mudah ketika cinta dikhianati, bahkan oleh orang-orang terdekat kita sendiri. Perubahan mimik wajah Luna begitu kentara. Tak dapat disembunyikan kesedihan hatinya.
Bahkan, saat ini Luna menitikkan air mata ketika ingat nama mantannya itu. Mengingat pengkhianatan yang dilakukan oleh Agam dan juga sahabatnya sendiri, yaitu Sabrina. Kedua belah pihak keluarga pun, malu bukan kepalang. Peristiwa sakral yang berlangsung hari ini pun berubah jadi bencana.
Tiba-tiba, tangan Fanno terjulur untuk mengusap pelan air mata Luna itu. "Sudah, sudah, berhenti menangis. Jangan karena pria itu, kamu menangis begini. Air matamu berharga, Sayang," ucapnya sembari menyebut sebuah kata ajaib.
Debaran di jantung Luna kian meronta. Kedua bola matanya melebar ketika Fanno mengucapkan panggilan Sayang terhadapnya. Namun, sedetik kemudian, ia menghalau pemikirannya agar tak terlihat salah tingkah di depan pria itu.
"Oh, ya. Sebaiknya kamu mandi dulu, lalu istirahat. Aku akan menyuruh pembantu untuk menyiapkan makananmu." Fanno lantas berdiri dari atas kasur empuk itu.
"Makasih banyak karena kamu sudah menampungku di sini. Kamu masih orang baru bagiku, tapi sudah sebaik ini. Kenapa bisa?" tanya Luna secara tiba-tiba.
Fanno menepuk-nepuk pundak Luna, lalu berdiri, melangkah meninggalkan kamar elegan bernuansa cream ini. Pun tanpa menjawab sepatah kata darinya. Ia mengernyitkan kening, bingung dengan sosok pria itu. Namun, yang jelas Fanno lebih baik dari kedua orang tuanya sendiri, yang justru mengusirnya karena masalah gagal melangkah ke pernikahan.
"Dia memang baik dan tampan. Tapi, aku juga gak mau kalau terjatuh lebih dalam, lalu terbuai oleh bujuk rayunya. Agam adalah contoh bahwa pria itu hanya manis di awalnya aja." Luna membuka ritsleting koper dengan kasar.
Ia masih terguncang karena kejadian hari ini serta luka hati pun masih menganga lebar. Luna akan mengingat peristiwa nahas ini sepanjang hidupnya. Sungguh, rasa kecewa dan sakit hatinya semakin besar karena kedua orang tua, yang harusnya melindungi serta menjaga malah membuangnya begitu saja.
"Bahkan orang yang baru aku kenal saja, sudah sebaik ini sama aku. Bahkan Ayah dan juga Ibu tega mengusirku dari rumah. Ini semua gara-gara Agam!" Luna membuang napas dengan kasar melalui rongga hidungnya.
Lantas, Luna beranjak menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri sambil membawa selimut berwarna merah muda, senada dengan koper miliknya. Kini, seluruh tubuhnya penuh dengan peluh keringat. Ia angkat sedikit gaun pengantinnya yang sedari tadi masih melekat. Kemudian, berjalan menuju ke kamar mandi.
Setelah mandi, Luna segera mengenakan baju kaos lengan pendek berwarna putih, serta celana jeans. Tak banyak pakaian yang berada di dalam koler berukuran size 16 itu. Ia juga tak menemukan pakaian kesayangannya di dalam saja. Maklum saja karena Bu Tari yang asal-asalan menaruh baju-baju ini.Mengingat hal tersebut, Luna jadi bersedih lagi. Mimik wajahnya berubah drastis, tak seceria tadi. Di pojok ranjang, Luna kembali menitikkan bulir bening di sudut matanya.Ia mendongak, menatap ke langit-langit kamar berwarna cream muda ini. Bagaimana pun, kedua orang tuanya telah lancang mengusirnya dari rumah hanya karena gagal bersanding dengan Agam hari ini."Aku seperti trauma untuk membuka hati lagi setelah kejadian ini. Agam dan Sabrina benar-benar sudah kelewatan! Bisa-bisanya mereka berkhianat di belakang aku," ujarnya disertai dengan isak tangis.Walaupun begitu, nasi sudah menjadi bubur. Untuk mengeluh pun, tiada guna lagi. Luna mencoba untuk melupakan keja
"Mana pengantin prianya?" tanya sang penghulu yang sedari tadi menunggu kedatangan mempelai pria. Namun, sampai sekarang tak tampak batang hidungnya. "Saya sudah cukup lama menunggu di sini."Luna Baswari, wanita yang ingin dinikahi oleh Agam Herlambang, sudah menunggu sejak tadi. Begitu pun dengan kedua orang tua masing-masing yang terlihat cemas bukan main. Raut wajah Luna mendadak berubah menjadi cemas. Ia kemudian menelepon pria itu berkali-kali, tetapi tak kunjung jua Agam mengangkat panggilan tersebut."Sabar Pak Penghulu, mungkin sebentar lagi mempelai prianya akan datang," ujar ayah Luna, bernama Agus.Penghulu itu pun akhirnya mau menunggu lagi. Padahal sudah cukup lama berada di sini. Luna sedari tadi terus memikirkan Agam. Di mana pria itu kini berada. Panggilan teleponnya tak diangkat satu kali pun.Luna kini menghampiri kedua orang tuanya yang berada di jejeran belakang. Kemudian, ia genggam tangan sang Ibu untuk membuatnya sedikit tenang.
"Astaga!" pekik seorang pria yang sedang mengerem mobil. Ia terkejut karena mendapati seorang wanita tengah berpakaian baju pengantin dan terjatuh tepat di depan mobilnya.Fanno Bagaskara langsung ke luar dari mobil. Ia langsung melihat kondisi wanita tersebut. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya sembari celingak-celinguk menatap keadaannya.Namun, Luna sepertinya enggan bertatapan dengan pria itu. Pandangannya tertunduk ke bawah, hingga tak melihat dengan jelas. Ia pun lantas bangkit berdiri dan segera berlari kecil.Fanno merasa agak sedikit heran melihat wanita itu. Berpakaian baju pengantin, tetapi terlihat kumal, riasan wajahnya sudah mulai luntur, dan rambut yang jadi acak-acakan, tak karuan. Namun, itu semua membuatnya jadi penasaran. Ia sekilas melihat wajah wanita itu."Dia kenapa, ya? Sekilas terlihat cantik, sih." Fanno terus geleng-geleng kepala sambil memikirkannya.Fanno jadi memikirkan wanita itu yang sudah berjalan cukup jauh. Lantas, ia
"Lun, kok, kamu bawa koper segala, sih?" tanya Agam saat melihat Luna."Apa pedulimu, hah?!" Luna menatap tajam ke arah Agam. "Sana pergi! Urusi saja si Sabrina!"Agam meraih pergelangan tangan Luna, tapi sedetik kemudian langsung ditepisnya dengan kasar. Ia sudah tak peduli lagi dengan mantan kekasihnya itu. Luna memutuskan untuk terus berjalan.Namun, Agam rupanya masih mengikuti langkahnya. Pria itu lalu mencekal pergelangan tangannya lagi."Apa, sih?! Lepasin tangan aku gak?!" Luna naik pitam dan berusaha berontak, melepaskan cekalan Agam dari pergelangan tangannya.Agam menggelengkan kepalanya dan berucap, "aku gak akan lepasin kamu. Kamu ceritakan dulu apa yang terjadi."Luna mencebik sesaat. Rupanya pria itu tak sadar diri karena terus ingin tahu apa yang terjadi. Padahal Luna seperti ini karena Agam juga."Kamu gak perlu tahu lagi apa yang terjadi sama aku, Gam! Hubungan kita pun sudah berakhir, kan?" Luna berhasil melepaskan
Setelah mandi, Luna segera mengenakan baju kaos lengan pendek berwarna putih, serta celana jeans. Tak banyak pakaian yang berada di dalam koler berukuran size 16 itu. Ia juga tak menemukan pakaian kesayangannya di dalam saja. Maklum saja karena Bu Tari yang asal-asalan menaruh baju-baju ini.Mengingat hal tersebut, Luna jadi bersedih lagi. Mimik wajahnya berubah drastis, tak seceria tadi. Di pojok ranjang, Luna kembali menitikkan bulir bening di sudut matanya.Ia mendongak, menatap ke langit-langit kamar berwarna cream muda ini. Bagaimana pun, kedua orang tuanya telah lancang mengusirnya dari rumah hanya karena gagal bersanding dengan Agam hari ini."Aku seperti trauma untuk membuka hati lagi setelah kejadian ini. Agam dan Sabrina benar-benar sudah kelewatan! Bisa-bisanya mereka berkhianat di belakang aku," ujarnya disertai dengan isak tangis.Walaupun begitu, nasi sudah menjadi bubur. Untuk mengeluh pun, tiada guna lagi. Luna mencoba untuk melupakan keja
"Dengan cara apa kamu bisa membantuku?" Wajah Luna sedikit tegang."Nanti kita bicarakan di rumahku, ya," balas Fanno sambil menyuap nasi ke dalam mulut.Suasana saat ini dibumbui dengan sedikit ketegangan. Entah apa yang akan dibicarakan Fanno padanya. Luna melirik sekilas wajah tampan itu. Baru pertama kenal, Fanno sudah menyuguhkan kebaikan terhadapnya.Luna mengangguk pelan serta mengunyah makanan. Pria yang ada di depannya tak peduli terhadap penampilannya yang sudah acak-acakan. Di samping Fanno duduk, ada koper merah muda miliknya.'Dia ternyata pria yang baik.'***Di depan rumah mewah nan besar, bernuansa putih krim yang menyuguhkan pemandangan elegan, Fanno menghentikan mobilnya tepat di halaman. Mata Luna menatap takjub ke sekitar sini. Celingak-celinguk melihat keindahan taman depan yang berhiaskan bermacam-macam bunga.Ada juga beberapa penjaga bertubuh besar sedang berjaga di depan gerbang dan pintu masuk. Fanno lantas m
"Lun, kok, kamu bawa koper segala, sih?" tanya Agam saat melihat Luna."Apa pedulimu, hah?!" Luna menatap tajam ke arah Agam. "Sana pergi! Urusi saja si Sabrina!"Agam meraih pergelangan tangan Luna, tapi sedetik kemudian langsung ditepisnya dengan kasar. Ia sudah tak peduli lagi dengan mantan kekasihnya itu. Luna memutuskan untuk terus berjalan.Namun, Agam rupanya masih mengikuti langkahnya. Pria itu lalu mencekal pergelangan tangannya lagi."Apa, sih?! Lepasin tangan aku gak?!" Luna naik pitam dan berusaha berontak, melepaskan cekalan Agam dari pergelangan tangannya.Agam menggelengkan kepalanya dan berucap, "aku gak akan lepasin kamu. Kamu ceritakan dulu apa yang terjadi."Luna mencebik sesaat. Rupanya pria itu tak sadar diri karena terus ingin tahu apa yang terjadi. Padahal Luna seperti ini karena Agam juga."Kamu gak perlu tahu lagi apa yang terjadi sama aku, Gam! Hubungan kita pun sudah berakhir, kan?" Luna berhasil melepaskan
"Astaga!" pekik seorang pria yang sedang mengerem mobil. Ia terkejut karena mendapati seorang wanita tengah berpakaian baju pengantin dan terjatuh tepat di depan mobilnya.Fanno Bagaskara langsung ke luar dari mobil. Ia langsung melihat kondisi wanita tersebut. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya sembari celingak-celinguk menatap keadaannya.Namun, Luna sepertinya enggan bertatapan dengan pria itu. Pandangannya tertunduk ke bawah, hingga tak melihat dengan jelas. Ia pun lantas bangkit berdiri dan segera berlari kecil.Fanno merasa agak sedikit heran melihat wanita itu. Berpakaian baju pengantin, tetapi terlihat kumal, riasan wajahnya sudah mulai luntur, dan rambut yang jadi acak-acakan, tak karuan. Namun, itu semua membuatnya jadi penasaran. Ia sekilas melihat wajah wanita itu."Dia kenapa, ya? Sekilas terlihat cantik, sih." Fanno terus geleng-geleng kepala sambil memikirkannya.Fanno jadi memikirkan wanita itu yang sudah berjalan cukup jauh. Lantas, ia
"Mana pengantin prianya?" tanya sang penghulu yang sedari tadi menunggu kedatangan mempelai pria. Namun, sampai sekarang tak tampak batang hidungnya. "Saya sudah cukup lama menunggu di sini."Luna Baswari, wanita yang ingin dinikahi oleh Agam Herlambang, sudah menunggu sejak tadi. Begitu pun dengan kedua orang tua masing-masing yang terlihat cemas bukan main. Raut wajah Luna mendadak berubah menjadi cemas. Ia kemudian menelepon pria itu berkali-kali, tetapi tak kunjung jua Agam mengangkat panggilan tersebut."Sabar Pak Penghulu, mungkin sebentar lagi mempelai prianya akan datang," ujar ayah Luna, bernama Agus.Penghulu itu pun akhirnya mau menunggu lagi. Padahal sudah cukup lama berada di sini. Luna sedari tadi terus memikirkan Agam. Di mana pria itu kini berada. Panggilan teleponnya tak diangkat satu kali pun.Luna kini menghampiri kedua orang tuanya yang berada di jejeran belakang. Kemudian, ia genggam tangan sang Ibu untuk membuatnya sedikit tenang.