Dhuarrr Ledakan demi ledakan terjadi di tempat pertarungan Askara dengan dua pendekar dari perguruan Akasa. Kekuatan matanya dia aktifkan selama pertarungan berlangsung, mengakibatkan dia dapat memprediksi arah serangan lawannya sehingga dia sama sekali tidak mendapat luka atau terkena serangan lawan barang seujung jaripun. Membuat lawannya menggeram kesal dan marah. “Hebat sekali dia. Pemuda itu dapat menghindari serangan Ayu Pitaloka dengan begitu mudahnya” gumam Jaya, laki - laki itu menatap Askara yang sedang bertarung dengan Ayu dengan intens. “Jika, terus begini maka Ayu akan kelelahan, karena sedari tadi dia menggunakan ajiannya secara masif, sedangkan pemuda itu dia hanya fokus menghindari dan menyerang begitu ada celah dan sepertinya dia menyerang dengan tidak menggunakan kekuatan penuhnya dengan kata lain dia tidak serius untuk melawan Ayu Pitaloka” gumamnya. Dengan gerakan ringan, Jaya Danu mengetuk tongkat kecil yang tersemat di pinggangnya, membangkitkannya menjadi ta
“Tuanku Askara! Apakah Anda tidak apa - apa?” tanya Anggada Bora di dalam diri Askara. “Tidak apa - apa Anggada Bora, kamu tenanglah. Aku hanya mendapatkan luka memar saja” jawabnya, seraya melihat tangannya yang membiru akibat menahan serangan dari Jaya Danu. “Laki - laki itu tidak bisa kita anggap remeh Tuanku Askara. Dia memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang cukup kuat” ucap Anggada Bora. “Memang kapan aku menganggap remeh semua lawanku, Anggada Bora” balasnya, lalu dia menghindari serangan yang dilancarkan oleh Jaya Danu menggunakan tombak pusakanya. Trak Keris Baha Lething yang digunakan Askara untuk menahan serangan tombak pusaka Jaya Danu retak. Mata pemuda itu terbelalak kaget, kemudian dengan cepat ia melompat ke belakang saat menyadari serangan tiba - tiba dari samping kanannya oleh Ayu Pitaloka. “Serangan dua arah yang sangat hebat dari kalian berdua” ucap Askara, kemudian dia melihat bilah kerisnya yang mengalami keretakan yang cukup lebar. “Terimakasih, dirimu juga
“Jadi, dia sebegitu hebatnya ternyata?” tanya laki - laki sepuh itu. “Ya, Kakek Guru. Dia memang sehebat dan sekuat itu, aku yakin ilmu kanuragan yang dia miliki mungkin sebanding dengan penatua yang berada di perguruan pendekar Akasa ini” jawab Ayu dengan nada yang meyakinkan. "Jika demikian, kita tak boleh ceroboh dalam menghadapinya. Meskipun sang pendekar legendaris telah tiada, tak menutup kemungkinan bahwa seluruh warisan kanuragan yang ia miliki telah dilimpahkan pada sang Cucu. Bukankah ia yang mengeluarkan ajian kuno tersebut?" tanya Kakek Guru dengan mata tajam yang melirik ke arah sang gadis. Suaranya penuh dengan kebijaksanaan. “Ya, Kakek Guru. Ajian kuno yang begitu dahsyat itu, dia yang mengeluarkannya” jawab Ayu dengan nada yang hormat dan sopan. "Jika begitu, kemampuannya tak lagi sebatas seorang penatua, melainkan setara dengan pemimpin dari lima perguruan pendekar terkemuka di negeri ini. Sungguh menakutkan, pada usia yang begitu muda dia telah menguasai ilmu kanu
“Kamu sudah merapikan baju, Askara?” tanya Larasati kepada pemuda yang duduk disampingnya. “Sudah Kak, kalau kakak UASnya bagaimana?” balas pemuda itu. “Lancar kok, nanti kamu berhati - hati ya saat disana. Jangan sembarangan berucap dan selalu ikutin rombongan, lalu jangan pernah mencar - mencar sendiri” ucap Larasati memberi nasihat kepada adik angkatnya itu. “Iya, kak” balasnya, kemudian dia membaringkan tubuhnya di paha Larasati, membuat perempuan itu bersemu merah dan sedikit agak kaget. “Lelah banget hari ini Kak” ucap Askara, seraya menatap wajah perempuan itu dengan lekat. Membuat perempuan itu memalingkan wajahnya secara perlahan, karena kaget dan malu jika dia melihat wajahnya yang memerah. “Memang lelah kenapa?” tanya Larasati, kemudian dia mengelus kepala dan kening Askara dengan perlahan serta lemah lembut. “Tidak tahu, tetapi Askara lelah saja sekarang” jawabnya, kemudian dia meraih tangan Larasati, lalu mencium telapak tangannya. “Kamu kenapa kok cium - cium tel
Trang Askara memegang erat pedang yang baru saja ia ambil dari sekitar tempat itu, kemudian dia menangkis serangan yang tak terduga yang dilancarkan oleh salah satu siluman tersebut. Matanya menatap tajam ke arah makhluk yang baru saja menyerangnya. “Siapa kau?” tanya Askara dengan nada yang dingin, kemudian dia dengan cepat menendang makhluk tersebut dengan kekuatannya, sehingga makhluk itu terlempar beberapa meter. Dhuaakk “Dia siluman!” ucap Ayu dengan nada yang meninggi. Dengan lincahnya, gadis itu menghadapi serangan yang datang tiba - tiba dari belakangnya, mengayunkan tombak yang terselip di sekitarnya. Ternyata, senjata - senjata yang berhamburan di sekelilingnya adalah berasal dari manusia yang sekarang menjadi tumpukan mayat. Manusia itu dulunya melawan para siluman menggunakan senjata yang mereka miliki, tetapi mereka semua kalah dan tewas di tempat ini. “Kurang ajar kau!” umpatnya, kemudian dia menyerang siluman itu dengan brutal, sehingga tubuh siluman itu terbagi me
“Kurang ajar sekali dirimu ini manusia!” ucap siluman Kera dengan nada merendahkan. Pada saat yang sama, tekanan udara meningkat dengan tiba - tiba, menyebabkan mereka berdua tercekik dan sesak napas oleh aura membunuh yang begitu kuat terpancar dari siluman Kera tersebut. “Bedebah, dan aura pembunuhan yang terpancar darinya begitu kuat," gumam Ayu dalam hati, sambil berjuang untuk mengatur pernapasannya yang terganggu akibat pancaran aura membunuh dari siluman Kera itu. “Kuat juga dia” balas Askara, kemudian tanpa ragu, ia melepaskan pancaran aura pembunuhnya yang memancar dengan gemilang. Saat dua pancaran itu bertabrakan, gelombang kekuatan saling beradu, menghempaskan kedua pemilik aura itu hingga beberapa meter menjauh. "Tunggu sebentar, mohon beri tahukan kami, mengapa kami dibawa ke tempat ini? Apakah benar bahwa kalian semua berniat untuk menyerahkan kami sebagai tumbal bagi makhluk yang kalian tunggu kebangkitannya, seperti yang diungkapkan oleh Askara sebelumnya?" tanya
Pemuda itu, dengan kuat, menyatukan keningnya dengan kening siluman Kera itu, menciptakan suatu kontak yang menggetarkan. Serangannya tersebut membuat siluman itu terdorong mundur beberapa langkah, memberikan kesempatan kepada Askara untuk melancarkan serangan berikutnya. Dalam momen yang penuh keberanian, Askara mengarahkan tendangan ke arah perut siluman Kera itu. Meski siluman tersebut berhasil menahan serangan pemuda itu, namun dampaknya membuatnya terpaksa terhuyung mundur beberapa langkah. Dalam kekuatan yang menggugah hati, pertemuan antara Askara dan siluman Kera itu menciptakan suatu momen yang menegangkan. Serangan yang dilancarkan oleh pemuda itu, sekalipun dihadang, tidak dapat dipandang remeh. "Sudah terlalu lama kita beradu, dan aku tak bisa menolak untuk mengakui kehebatanmu, sebagaimana dirimu mengakui kehebatanku dalam pertempuran ini. Untuk menghormatimu, ijinkanlah aku memperkenalkan diriku dengan penuh rasa hormat. Namaku Wanara Madya Wengi, yang dikenal sebagai
Ucapan yang dilontarkan dengan penuh kharisma tersebut mengungkapkan kekuatan ajaib yang dimiliki oleh pemuda tersebut. Dalam keindahan yang memukau, cahaya putih yang bersinar terang muncul dari sekeliling tempat di mana Askara berada. “Ajian apa itu? Aku belum pernah melihat jenis Ajian seperti itu seumur hidupku” gumam Wengi, kemudian dia mempererat genggaman pada tongkat emasnya. Dengan gesitnya, pemuda itu seakan - akan melampaui ruang dan waktu, muncul di depan Wengi dalam sekejap mata. Dalam gerakan yang cepat dan tangkas, dia menyerang siluman Kera itu dengan kecepatan yang memukau. Dalam hanya dua serangannya, senjata pusaka berupa tongkat emas yang dipegang oleh Wengi retak tak terkendali, memaksa siluman itu menahan diri dengan susah payah, kebingungan melintas di matanya. Dalam kecepatan dan keahlian yang luar biasa, pemuda itu berhasil mencapai kemenangan yang menakjubkan. Melihat tongkat emas yang kini retak dan hampir hancur, Wengi terpaksa menelan ludahnya dengan k
Sorot mata Askara terpaku dengan sinisme dan ketajaman yang menusuk, memancarkan aura kepuasan yang sulit disembunyikan. Senyuman mencolok terukir dengan apik di bibir pemuda itu, memberikan kesan bahwa dia menikmati melihat musuhnya terbakar amarah karena tingkah lakunya. Dalam pandangan sinisnya yang tajam, mata Askara menembus ke dalam jiwa musuhnya, mencerminkan kepuasan tak terduga yang tersirat di dalamnya. Serentak, senyumnya yang menggoda memperkuat kesan bahwa ia benar - benar menikmati momen ketegangan dan kesal yang melanda musuhnya akibat ulahnya sendiri. Mata yang tajam dan sinis itu seperti memancarkan pesona tersendiri, mengejek dan menantang musuhnya dengan sikap yang begitu jelas. Setiap gerak wajahnya, dari sorot mata tajam hingga senyuman yang menantang, memberi kesan bahwa dia menikmati setiap detik dari situasi yang telah dia ciptakan. “Menghancurkan empat senjata pusaka yang berada di langit malam” ucap Askara, lalu ia mulai melafalkan mantra dengan cepat. Tib
Awan hitam melingkupi langit dengan kuasa yang mencekam, menciptakan suasana yang gelap dan misterius. Gemuruh guntur menggelegar di langit, saling bersahutan dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Di tengah keheningan menakutkan, tiga senjata pusaka yang dimiliki oleh perguruan Ratri bergetar dengan intensitas yang meningkat, seakan - akan merasakan beban berat yang mereka tanggung. Mereka bergetar karena menahan serangan penghancur yang tak terkira kuatnya dari keris Krastala, senjata yang telah menjadi legenda dan paling terkenal di antara semua senjata pusaka yang pernah ada. Ketika serangan penghancur itu mendekat, aura kekuatan yang menakutkan memancar dari keris Krastala. Gelombang energi yang menggetarkan ruang dan waktu terlepas dari bilahnya yang perkasa. Cahaya kebiruan yang melingkupi senjata itu memancarkan kekuatan yang tak tergoyahkan, seakan-akan menjadi penanda akan kehancuran yang akan datang. Namun, di hadapan serangan dahsyat ini, tiga senjata pusaka milik pergu
Dalam keheningan yang tegang, Jaya Danu melantunkan mantra dengan suara yang penuh kekuatan, menggugah energi magis yang tersembunyi di dalam dirinya. Dari pergelangan tangannya, sebuah cahaya berkilauan mulai memancar, tumbuh semakin besar hingga menyinari seluruh ruang lingkupnya. Cahaya itu kemudian meredup dengan perlahan, mengekspos sebuah senjata pusaka yang luar biasa sebuah tombak yang memancarkan cahaya kuning kemerahan yang begitu menggoda mata. Tombak itu menyimpan kekuatan yang tak tergoyahkan, bergetar dalam aura keperkasaannya yang menghebohkan. Kilauan cemerlang yang memancar dari senjata pusaka itu menembus kegelapan, mencerminkan keberanian dan kekuatan yang melebihi batas. Mata Jaya Danu menajam, melintasi sekelilingnya yang dipenuhi oleh puluhan pendekar berilmu tinggi, yang secara berhati - hati mengelilingi mereka. Dalam tatapan tajamnya, terpancar keberanian yang tersembunyi dan tekad yang tak tergoyahkan. Cahaya tombaknya melintas di sekitar tempatnya berpijak
Askara menghentikan mobil mewah buatan Eropa tepat di depan pintu rumah Lisa. Gadis jelita itu dengan anggun turun dari kendaraan, memancarkan pesona yang memukau. Mata lentiknya memandang wajah tampan Askara dengan tatapan hangat, seakan menyirami hati pemuda itu dengan kasih sayang yang tulus. Sorotan mata Lisa, yang mengalir dengan kelembutan dan keceriaan, mencerminkan kehangatan yang mengalir dalam setiap sudut hatinya. Tatapannya seperti sinar matahari yang menerangi ruangan, menghadirkan kilauan kebahagiaan di wajah Askara. Dalam pandangan mereka, terpancar keakraban dan kedekatan yang dalam, seolah mengikat dua jiwa yang telah saling memahami. Saat mereka bertatap muka, suasana terisi dengan sentuhan kehangatan. Lisa memancarkan aura yang mempesona, dengan setiap gerakan anggunnya yang menarik perhatian. Mata mereka terhubung dalam satu ikatan yang tak terucapkan, mengalirkan energi positif yang memancar dari hati mereka. “Jadi, apa kalian tidak mau mampir Askara dan Ayu, l
Dengan tatapan tajam yang menusuk kegelapan malam, laki - laki itu mengangkat tangan dan secara magis menggepakkan sepasang sayap anginnya. Seperti kilatan cahaya yang meluncur di antara bintang-bintang, ia melintasi langit malam yang terhampar dengan keindahan tak terkira. Setiap gerakan sayapnya menghasilkan suara angin yang berirama, seakan menyapa ribuan bintang yang bersinar dengan gemerlap di langit. Ia meluncur dengan kecepatan yang tak terbayangkan, menyusuri lapisan atmosfer yang melayang di antara cahaya bintang-bintang yang memancar. Tanah pun seolah berguncang dengan kekuatan energi yang dikeluarkan oleh sayap anginnya. Dalam sekejap, laki - laki itu mendarat dengan kelembutan yang sempurna di sebuah tempat yang menakjubkan. Di hadapannya, terdapat sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi di tengah malam yang sunyi. Bangunan tersebut menawarkan kombinasi sempurna antara kemegahan dan keaslian tradisional. Dinding-dindingnya yang kokoh menggambarkan kejayaan masa lalu
Pemuda itu menatap dengan tajam ke arah bilah keris pusakanya, lalu dengan sangat lembut ia mengelusnya sambil membaca mantra dengan cepat. Bilah keris itu berpendar dengan intensitas merah menyala, dan dari sana mengalir keluar asap tipis yang mengambang di sekelilingnya. "Askara, kau akan mati di tempat ini!" ucap Arya dengan tegas, lalu dengan penuh ketegasan ia mengarahkan Naga tersebut untuk menyerang Askara. Dengan kecepatan yang luar biasa, Naga angin meluncur menuju pemuda itu. Moncongnya terbuka lebar, memperlihatkan putaran angin yang berputar dengan cepat di dalamnya. Jika ada makhluk hidup yang terjebak di dalamnya, tubuhnya akan terbelah menjadi beberapa bagian dengan kejam. “Kangsanaga Waskita: Genggahan Pambelah Wadra (Senjata pusaka: Tebasan yang membelah udara)” ucap Askara dengan penuh kekuatan, saat ia mengayunkan dengan lincah keris Krastala ke arah Naga angin tersebut, menciptakan tebasan yang membelah udara. Dalam langit senja yang mempesona, dua ajian yang
Dengan lincah, Arya melantunkan mantra dengan kecepatan tinggi, memperhatikan Askara yang dengan santainya mendekat ke arahnya, memegang teguh keris kramat bernama Krasrala. “Ajian : Paritang Kshatriya Bayu Salamet (Sayatan pedang sang panglima angin)” ucapnya, dan seketika ratusan pedang muncul terbentuk dari hembusan angin yang kuat. Berkelebatan ratusan pedang meluncur dengan kecepatan memukau menghampiri Askara, sementara tangan laki - laki itu menunjuk tegas ke arah pemuda yang berjalan dengan sikap angkuh di hadapannya. Syuttt “Sepertinya laki - laki itu kuat juga, Tuanku Askara” ucap Naga emas di dalam batin pemuda itu. "Benar, dia memang memiliki kekuatan yang luar biasa," jawab Askara sambil dengan gesit menebas dan menghindari serangan - serangan pedang angin yang berhamburan dari segala penjuru mata angin. Dengan keahlian dan sikap angkuh yang menghiasi dirinya, Askara menyerang dengan lincah, menghindari setiap serangan dari ratusan pedang angin yang meluncur dengan
"Dia memiliki kekuatan untuk menghancurkan seluruh pasukan hewan kegelapanku!" seru Arya Widipangga, dia terkejut luar biasa. Betapa menakjubkannya, dengan hanya satu kali Askara melontarkan ajiannya, semua pasukan hewan itu lenyap dalam sekejap. "Benar - benar sebuah monster yang menakutkan, sangatlah mengerikan jika aku harus menghadapinya tanpa merencanakan dengan matang," lanjutnya, seraya ia mengetukkan tombaknya beberapa kali ke tanah. Suara yang dihasilkan oleh tombak itu menciptakan keheningan yang terpecah di tengah sore yang sunyi itu. "Jadi, dia memiliki kemampuan mata yang luar biasa, mampu meramalkan masa depan saat lawannya melancarkan serangan dengan gerakan yang sangat cepat. Selain itu, dia mampu menembus batas penghalang yang dibuat oleh manusia dan bahkan alam sendiri. Tidak hanya itu, dia juga memiliki pengetahuan ajian kuno. Saya curiga bahwa ajian kuno tersebut dia pelajari dari Kitab Danuraja, dan yang terakhir, dia juga memiliki senjata legendaris, Keris Kras
“Ajian : Awabaya Madhuseng Satru (Kabut hitam yang merupakan musuh)” ucapnya dengan penuh kesungguhan. Tanpa ragu, muncullah kabut hitam pekat yang menjalar dan menyelimuti seluruh tembok dengan anggunnya. "Jadi, berikanlah jawaban yang kuinginkan, Askara," gumam Arya dengan tekad bulat. Tanpa ampun, muncul puluhan lingkaran cahaya yang meluncur cepat memasuki labirin tersebut. ….. ….. …… Dengan penuh konsentrasi, pemuda itu menembus pandangannya melalui kabut hitam yang mengelilingi labirin tersebut. Seperti seorang perenang yang berani menyelam ke dalam samudra malam yang gelap, dia menghadapi tantangan yang ada di hadapannya dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Di dalam labirin yang dipenuhi dengan kesunyian yang menakutkan, langkah - langkahnya terdengar seperti desiran rahasia yang hanya diikuti oleh dinding - dinding tinggi yang penuh misteri. Kabut hitam itu menyelimuti segala sudut dan celah, seakan ingin menyelimuti keberanian dan tekadnya. Namun, pemuda itu tak membiarka