Ucapan yang dilontarkan dengan penuh kharisma tersebut mengungkapkan kekuatan ajaib yang dimiliki oleh pemuda tersebut. Dalam keindahan yang memukau, cahaya putih yang bersinar terang muncul dari sekeliling tempat di mana Askara berada. “Ajian apa itu? Aku belum pernah melihat jenis Ajian seperti itu seumur hidupku” gumam Wengi, kemudian dia mempererat genggaman pada tongkat emasnya. Dengan gesitnya, pemuda itu seakan - akan melampaui ruang dan waktu, muncul di depan Wengi dalam sekejap mata. Dalam gerakan yang cepat dan tangkas, dia menyerang siluman Kera itu dengan kecepatan yang memukau. Dalam hanya dua serangannya, senjata pusaka berupa tongkat emas yang dipegang oleh Wengi retak tak terkendali, memaksa siluman itu menahan diri dengan susah payah, kebingungan melintas di matanya. Dalam kecepatan dan keahlian yang luar biasa, pemuda itu berhasil mencapai kemenangan yang menakjubkan. Melihat tongkat emas yang kini retak dan hampir hancur, Wengi terpaksa menelan ludahnya dengan k
Seperti seorang penari yang mengikuti irama musik yang tersembunyi, Askara dengan keahliannya yang luar biasa melancarkan serangan - serangan cepat dan efisien kepada para siluman yang mendekatinya. Gerakannya yang lincah seakan - akan mengikuti aliran angin, dengan setiap tebasan pedangnya yang tajam memotong bagian - bagian tubuh para siluman yang berusaha menyerangnya. Keindahan dan ketangkasannya dalam pertempuran ini seperti tarian maut yang memukau, menciptakan komposisi harmoni antara kekuatan dan kegrasian yang memukau. Tubuh - tubuh yang hancur dan terpotong-potong menjadikan lantai tempat itu dipenuhi dengan percikan darah yang mengerikan. Dalam keadaan yang penuh dengan ketegangan, matanya bersinar dengan kecerdasan yang tajam, mendeteksi serangan dari berbagai arah yang mengancamnya. Dengan kecekatan dan kecepatan yang luar biasa, Askara telah mengantisipasi serangan itu sebelum mereka bahkan bisa mencapai dirinya. Dalam satu gerakan yang begitu elegan dan mematikan,
“Ya, kalau begitu ayo kita bergegas cepat untuk keluar dari kerajaan ini” ucap Askara dengan lembut, sambil memegang erat tangan Ayu. Dalam kehangatan genggaman tangan mereka, terpancar keinginan yang kuat untuk tidak kehilangan satu sama lain. “Tangan Askara ternyata lebar dan kuat ya, sekaligus hangat” ucap Ayu dengan penuh kekaguman di dalam batinnya. Dengan langkah yang cepat, mereka berdua melaju maju, namun terhenti oleh pemandangan yang mengejutkan. Di depan gerbang keluar Kerajaan, terhampar ratusan prajurit yang menghalangi jalan mereka. Dalam cahaya yang redup, mata mereka memancarkan warna merah menyala, taring-taring mereka terlihat mengancam, dan napas mereka mengeluarkan hembusan yang mengguncangkan jiwa. “Jadi, dimana Maharaja Siluman Kera Wanara Madya Wengi dan kenapa kalian para manusia berhasil keluar dari Istana Kerajaan?” tanya salah seorang siluman kera dengan suara yang menggema di seantero kerumunan. Tampak jelas bahwa dia adalah salah satu pemimpin atau peti
“Perkenalkan namaku Wanara Apyu Sang Pendekar Tombak Api” ucap Apyu dengan lantang. “Namaku Wanara Apah Sang Pendekar Trisula Air” ucap Apah. “Namaku Wanara Bantala Sang Pendekar Gada Bumi” ucap Bantala. “Namaku Wanara Anila Sang Pendekar Busur Angin” ucap Anila. “Namaku Wanara Graksa Sang Pendekar Pedang Petir” lanjut Graksa. “Lalu, siapakah dirimu wahai Pendekar Manusia?” tanya Graksa dengan mata yang menajam. “Aku adalah Askara Diwapati Vajra” jawabnya dengan singkat, namun penuh kekokohan. Kemudian, dengan gerakan yang elegan, pedangnya meluncur ke arah mereka, membelah udara dengan keberanian yang membara. Dalam sekejap, gelombang angin dahsyat meluncur dengan kecepatan tinggi, menghantam mereka seperti ombak ganas. Tubuh-tubuh mereka terhempas beberapa meter ke belakang. "Apakah ini sebuah ajian?" tanya Apah dengan kebingungan yang memenuhi dirinya. Bagaimana mungkin, tanpa kata - kata atau mantra yang diucapkan, hanya dengan gerakan, dia mampu memunculkan kekuatan yang
Deg Dalam keheningan yang tegang, denyut jantung pemuda itu berdegup dengan kecepatan yang mengguncang. Ketika ia merasakan adanya ancaman yang mendekat dari arah depan dan langit, kekhawatiran yang dalam melanda hatinya. Dan benarlah firasatnya, ketika kepulan asap tiba - tiba mengaburkan pandangannya, menghancurkan kejernihan cakrawala. Di tengah kabut yang mencekam, terlihat jelas ujung tombak yang meluncur dengan kecepatan kilat, menuju Askara yang terhunjam dalam pertempuran. Dari langit, terlintas pemandangan yang menakutkan tebasan pedang yang mengancam untuk memenggal kepala Askara. Namun, dengan kecermatan dan ketajaman penglihatannya, pemuda itu mampu melihat dengan jelas serangan itu sebelum terjadi, seolah matanya telah menyulap waktu menjadi teman setia. Dalam keanggunan gerakan yang memukau, Askara dengan lincah menghindari serangan mematikan itu. Tubuhnya meliuk dengan keanggunan, melesat melalui bahaya yang memburu. Keberanian dan ketepatan gerakannya menunjukkan
“Uhuk, bedebah! Kanuragan dan inti pusara kekuatanku kian melemah sepanjang aku mengeluarkan beberapa ajian tingkat tinggi, kini aku tidak tahu lagi harus bagaimana” ucap Askara, kemudian dia mengelap darah yang mengalir dari kening pemuda itu, akibat terjatuh dari ketinggian. “Memang benar kekuatan mereka sangatlah hebat, jika aku dalam kondisi prima mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua” gumam Askara, matanya menatap tajam keatas. Dengan mata penuh keberanian, dia menatap tajam ke arah keempat panglima kerajaan siluman kera yang menatapnya dengan pandangan penuh keangkuhan yang merendahkan. ….. ….. ….. Raut wajah Ayu meringis kesakitan akibat patahnya tulang pergelangan tangan, sementara matanya tetap terfokus menatap tajam ke arah keempat panglima yang mengarahkan pandangan mereka ke retakan yang terbentang di bawah. “Tak dapat di pungkiri, mungkin kita akan mati di tempat seperti ini. Kekuatan dan kanuraganku sudah habis, aku tidak bisa membantu Askara sekarang ini” gumam
“Ada apa ini? Bukankah manusia itu sudah kita bunuh, itu adalah serangan terkuat kita. Harusnya dia mati, apa lagi aura kehidupan sudah tidak ada beberapa saat lalu dan sekarang aura kehidupan didalam timbunan itu muncul kembali, sebenarnya siapa dia?” tanya Apah, mengemukakan pertanyaan dengan kebingungan yang mendalam, meragukan nasib Askara, apakah pemuda itu telah meninggal atau masih bernyawa. Deg Mata mereka terbelalak ketika Askara tiba - tiba muncul dari dalam perut bumi, menampakkan tubuh yang dipahat indah dengan otot - otot six - pack yang memikat. Mereka terperanjat bukan kepalang, karena bagaimana mungkin manusia yang tubuhnya hancur berkeping - keping kini bangkit kembali tanpa cela, seolah - olah serangan dahsyat sebelumnya tidak pernah terjadi, dan kehancuran tubuh tadi hanyalah ilusi semata. “Mengerikan, bagaimana mungkin manusia bahkan makhluk lain sekalipun jika tubuhnya bercerai berai dan musnah tidak akan pernah bersatu kembali dan sudah di pastikan bahwa dia
Dengan matanya yang penuh kesaktian, Askara mendeteksi gerakan yang datang dari sisi kanannya, sebuah senyum mengembang di bibirnya. Dengan kecepatan yang memukau, ia berhasil menghindari serangan itu, lalu tanpa ragu ia menangkis serangan Apyuh dengan pedang yang tergenggam erat di tangannya. “Ajian : Mahawu Rahayu Saka Sida Jangka (Hempasan api yang mengemuka dari dunia bawah)” ucap Apyuh, bilah pedangnya mengeluarkan api yang membara dari ketiadaan. Pedang pusaka itu terhunus dengan ganas ke arah Askara, dan setiap kali senjata itu menyentuh sesuatu, baik itu makhluk hidup ataupun benda mati, maka bilah pedang itu akan mengeluarkan ledakan - ledakan beruntun menggelegar. Nyaris saja Askara menghadapi kematian kedua kalinya, jika bukan karena kemampuan luar biasa yang terkandung dalam matanya yang sakti. Dia menghindari ledakan dengan sangat cepat, kemudian dia merapal mantra hanya dengan hitungan detik. “Wrahaspati Sakti Prabawa (Kekuatan yang memancar seperti Wrahaspati)” ucap
Sorot mata Askara terpaku dengan sinisme dan ketajaman yang menusuk, memancarkan aura kepuasan yang sulit disembunyikan. Senyuman mencolok terukir dengan apik di bibir pemuda itu, memberikan kesan bahwa dia menikmati melihat musuhnya terbakar amarah karena tingkah lakunya. Dalam pandangan sinisnya yang tajam, mata Askara menembus ke dalam jiwa musuhnya, mencerminkan kepuasan tak terduga yang tersirat di dalamnya. Serentak, senyumnya yang menggoda memperkuat kesan bahwa ia benar - benar menikmati momen ketegangan dan kesal yang melanda musuhnya akibat ulahnya sendiri. Mata yang tajam dan sinis itu seperti memancarkan pesona tersendiri, mengejek dan menantang musuhnya dengan sikap yang begitu jelas. Setiap gerak wajahnya, dari sorot mata tajam hingga senyuman yang menantang, memberi kesan bahwa dia menikmati setiap detik dari situasi yang telah dia ciptakan. “Menghancurkan empat senjata pusaka yang berada di langit malam” ucap Askara, lalu ia mulai melafalkan mantra dengan cepat. Tib
Awan hitam melingkupi langit dengan kuasa yang mencekam, menciptakan suasana yang gelap dan misterius. Gemuruh guntur menggelegar di langit, saling bersahutan dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Di tengah keheningan menakutkan, tiga senjata pusaka yang dimiliki oleh perguruan Ratri bergetar dengan intensitas yang meningkat, seakan - akan merasakan beban berat yang mereka tanggung. Mereka bergetar karena menahan serangan penghancur yang tak terkira kuatnya dari keris Krastala, senjata yang telah menjadi legenda dan paling terkenal di antara semua senjata pusaka yang pernah ada. Ketika serangan penghancur itu mendekat, aura kekuatan yang menakutkan memancar dari keris Krastala. Gelombang energi yang menggetarkan ruang dan waktu terlepas dari bilahnya yang perkasa. Cahaya kebiruan yang melingkupi senjata itu memancarkan kekuatan yang tak tergoyahkan, seakan-akan menjadi penanda akan kehancuran yang akan datang. Namun, di hadapan serangan dahsyat ini, tiga senjata pusaka milik pergu
Dalam keheningan yang tegang, Jaya Danu melantunkan mantra dengan suara yang penuh kekuatan, menggugah energi magis yang tersembunyi di dalam dirinya. Dari pergelangan tangannya, sebuah cahaya berkilauan mulai memancar, tumbuh semakin besar hingga menyinari seluruh ruang lingkupnya. Cahaya itu kemudian meredup dengan perlahan, mengekspos sebuah senjata pusaka yang luar biasa sebuah tombak yang memancarkan cahaya kuning kemerahan yang begitu menggoda mata. Tombak itu menyimpan kekuatan yang tak tergoyahkan, bergetar dalam aura keperkasaannya yang menghebohkan. Kilauan cemerlang yang memancar dari senjata pusaka itu menembus kegelapan, mencerminkan keberanian dan kekuatan yang melebihi batas. Mata Jaya Danu menajam, melintasi sekelilingnya yang dipenuhi oleh puluhan pendekar berilmu tinggi, yang secara berhati - hati mengelilingi mereka. Dalam tatapan tajamnya, terpancar keberanian yang tersembunyi dan tekad yang tak tergoyahkan. Cahaya tombaknya melintas di sekitar tempatnya berpijak
Askara menghentikan mobil mewah buatan Eropa tepat di depan pintu rumah Lisa. Gadis jelita itu dengan anggun turun dari kendaraan, memancarkan pesona yang memukau. Mata lentiknya memandang wajah tampan Askara dengan tatapan hangat, seakan menyirami hati pemuda itu dengan kasih sayang yang tulus. Sorotan mata Lisa, yang mengalir dengan kelembutan dan keceriaan, mencerminkan kehangatan yang mengalir dalam setiap sudut hatinya. Tatapannya seperti sinar matahari yang menerangi ruangan, menghadirkan kilauan kebahagiaan di wajah Askara. Dalam pandangan mereka, terpancar keakraban dan kedekatan yang dalam, seolah mengikat dua jiwa yang telah saling memahami. Saat mereka bertatap muka, suasana terisi dengan sentuhan kehangatan. Lisa memancarkan aura yang mempesona, dengan setiap gerakan anggunnya yang menarik perhatian. Mata mereka terhubung dalam satu ikatan yang tak terucapkan, mengalirkan energi positif yang memancar dari hati mereka. “Jadi, apa kalian tidak mau mampir Askara dan Ayu, l
Dengan tatapan tajam yang menusuk kegelapan malam, laki - laki itu mengangkat tangan dan secara magis menggepakkan sepasang sayap anginnya. Seperti kilatan cahaya yang meluncur di antara bintang-bintang, ia melintasi langit malam yang terhampar dengan keindahan tak terkira. Setiap gerakan sayapnya menghasilkan suara angin yang berirama, seakan menyapa ribuan bintang yang bersinar dengan gemerlap di langit. Ia meluncur dengan kecepatan yang tak terbayangkan, menyusuri lapisan atmosfer yang melayang di antara cahaya bintang-bintang yang memancar. Tanah pun seolah berguncang dengan kekuatan energi yang dikeluarkan oleh sayap anginnya. Dalam sekejap, laki - laki itu mendarat dengan kelembutan yang sempurna di sebuah tempat yang menakjubkan. Di hadapannya, terdapat sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi di tengah malam yang sunyi. Bangunan tersebut menawarkan kombinasi sempurna antara kemegahan dan keaslian tradisional. Dinding-dindingnya yang kokoh menggambarkan kejayaan masa lalu
Pemuda itu menatap dengan tajam ke arah bilah keris pusakanya, lalu dengan sangat lembut ia mengelusnya sambil membaca mantra dengan cepat. Bilah keris itu berpendar dengan intensitas merah menyala, dan dari sana mengalir keluar asap tipis yang mengambang di sekelilingnya. "Askara, kau akan mati di tempat ini!" ucap Arya dengan tegas, lalu dengan penuh ketegasan ia mengarahkan Naga tersebut untuk menyerang Askara. Dengan kecepatan yang luar biasa, Naga angin meluncur menuju pemuda itu. Moncongnya terbuka lebar, memperlihatkan putaran angin yang berputar dengan cepat di dalamnya. Jika ada makhluk hidup yang terjebak di dalamnya, tubuhnya akan terbelah menjadi beberapa bagian dengan kejam. “Kangsanaga Waskita: Genggahan Pambelah Wadra (Senjata pusaka: Tebasan yang membelah udara)” ucap Askara dengan penuh kekuatan, saat ia mengayunkan dengan lincah keris Krastala ke arah Naga angin tersebut, menciptakan tebasan yang membelah udara. Dalam langit senja yang mempesona, dua ajian yang
Dengan lincah, Arya melantunkan mantra dengan kecepatan tinggi, memperhatikan Askara yang dengan santainya mendekat ke arahnya, memegang teguh keris kramat bernama Krasrala. “Ajian : Paritang Kshatriya Bayu Salamet (Sayatan pedang sang panglima angin)” ucapnya, dan seketika ratusan pedang muncul terbentuk dari hembusan angin yang kuat. Berkelebatan ratusan pedang meluncur dengan kecepatan memukau menghampiri Askara, sementara tangan laki - laki itu menunjuk tegas ke arah pemuda yang berjalan dengan sikap angkuh di hadapannya. Syuttt “Sepertinya laki - laki itu kuat juga, Tuanku Askara” ucap Naga emas di dalam batin pemuda itu. "Benar, dia memang memiliki kekuatan yang luar biasa," jawab Askara sambil dengan gesit menebas dan menghindari serangan - serangan pedang angin yang berhamburan dari segala penjuru mata angin. Dengan keahlian dan sikap angkuh yang menghiasi dirinya, Askara menyerang dengan lincah, menghindari setiap serangan dari ratusan pedang angin yang meluncur dengan
"Dia memiliki kekuatan untuk menghancurkan seluruh pasukan hewan kegelapanku!" seru Arya Widipangga, dia terkejut luar biasa. Betapa menakjubkannya, dengan hanya satu kali Askara melontarkan ajiannya, semua pasukan hewan itu lenyap dalam sekejap. "Benar - benar sebuah monster yang menakutkan, sangatlah mengerikan jika aku harus menghadapinya tanpa merencanakan dengan matang," lanjutnya, seraya ia mengetukkan tombaknya beberapa kali ke tanah. Suara yang dihasilkan oleh tombak itu menciptakan keheningan yang terpecah di tengah sore yang sunyi itu. "Jadi, dia memiliki kemampuan mata yang luar biasa, mampu meramalkan masa depan saat lawannya melancarkan serangan dengan gerakan yang sangat cepat. Selain itu, dia mampu menembus batas penghalang yang dibuat oleh manusia dan bahkan alam sendiri. Tidak hanya itu, dia juga memiliki pengetahuan ajian kuno. Saya curiga bahwa ajian kuno tersebut dia pelajari dari Kitab Danuraja, dan yang terakhir, dia juga memiliki senjata legendaris, Keris Kras
“Ajian : Awabaya Madhuseng Satru (Kabut hitam yang merupakan musuh)” ucapnya dengan penuh kesungguhan. Tanpa ragu, muncullah kabut hitam pekat yang menjalar dan menyelimuti seluruh tembok dengan anggunnya. "Jadi, berikanlah jawaban yang kuinginkan, Askara," gumam Arya dengan tekad bulat. Tanpa ampun, muncul puluhan lingkaran cahaya yang meluncur cepat memasuki labirin tersebut. ….. ….. …… Dengan penuh konsentrasi, pemuda itu menembus pandangannya melalui kabut hitam yang mengelilingi labirin tersebut. Seperti seorang perenang yang berani menyelam ke dalam samudra malam yang gelap, dia menghadapi tantangan yang ada di hadapannya dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Di dalam labirin yang dipenuhi dengan kesunyian yang menakutkan, langkah - langkahnya terdengar seperti desiran rahasia yang hanya diikuti oleh dinding - dinding tinggi yang penuh misteri. Kabut hitam itu menyelimuti segala sudut dan celah, seakan ingin menyelimuti keberanian dan tekadnya. Namun, pemuda itu tak membiarka