“Ada apa ini? Bukankah manusia itu sudah kita bunuh, itu adalah serangan terkuat kita. Harusnya dia mati, apa lagi aura kehidupan sudah tidak ada beberapa saat lalu dan sekarang aura kehidupan didalam timbunan itu muncul kembali, sebenarnya siapa dia?” tanya Apah, mengemukakan pertanyaan dengan kebingungan yang mendalam, meragukan nasib Askara, apakah pemuda itu telah meninggal atau masih bernyawa. Deg Mata mereka terbelalak ketika Askara tiba - tiba muncul dari dalam perut bumi, menampakkan tubuh yang dipahat indah dengan otot - otot six - pack yang memikat. Mereka terperanjat bukan kepalang, karena bagaimana mungkin manusia yang tubuhnya hancur berkeping - keping kini bangkit kembali tanpa cela, seolah - olah serangan dahsyat sebelumnya tidak pernah terjadi, dan kehancuran tubuh tadi hanyalah ilusi semata. “Mengerikan, bagaimana mungkin manusia bahkan makhluk lain sekalipun jika tubuhnya bercerai berai dan musnah tidak akan pernah bersatu kembali dan sudah di pastikan bahwa dia
Dengan matanya yang penuh kesaktian, Askara mendeteksi gerakan yang datang dari sisi kanannya, sebuah senyum mengembang di bibirnya. Dengan kecepatan yang memukau, ia berhasil menghindari serangan itu, lalu tanpa ragu ia menangkis serangan Apyuh dengan pedang yang tergenggam erat di tangannya. “Ajian : Mahawu Rahayu Saka Sida Jangka (Hempasan api yang mengemuka dari dunia bawah)” ucap Apyuh, bilah pedangnya mengeluarkan api yang membara dari ketiadaan. Pedang pusaka itu terhunus dengan ganas ke arah Askara, dan setiap kali senjata itu menyentuh sesuatu, baik itu makhluk hidup ataupun benda mati, maka bilah pedang itu akan mengeluarkan ledakan - ledakan beruntun menggelegar. Nyaris saja Askara menghadapi kematian kedua kalinya, jika bukan karena kemampuan luar biasa yang terkandung dalam matanya yang sakti. Dia menghindari ledakan dengan sangat cepat, kemudian dia merapal mantra hanya dengan hitungan detik. “Wrahaspati Sakti Prabawa (Kekuatan yang memancar seperti Wrahaspati)” ucap
Senyum sinis terukir di bibir Askara saat kata-kata umpatan dari Bantala melambung menghampirinya. Namun, sebelum langkahnya terlalu jauh, Apah tiba-tiba muncul dan mencegahnya. Trisula sakti yang dipegangnya bergerak dengan kejam menuju Askara, namun dengan kecerdikan yang melampaui batas, pemuda itu menghindari setiap serangan mematikan yang dilancarkan oleh siluman kera tersebut. “Pergilah kau!” ucap Askara dengan nada yang meninggi, kemudian dia menendang siluman tersebut dengan kuat. Sehingga, mengakibatkan Apah terpental beberapa meter. “Kau akan aku bunuh!” teriak Bantala, dia menyerang Askara menggunakan sepasang kakinya, tetapi dengan lihainya dia mampu untuk menghindari dan menangkis serangan Bantala. Tubuh Bantala tergenggam erat oleh tangan Askara, lalu dengan cepat ia merapal mantra yang bergetar di udara. “Anugraha Kalama Dewa (Keberlimpahan yang memusnahkan roh)” begitu tubuh Bantala dipegang oleh Askara, seketika itu pula roh siluman itu lenyap seakan - akan terbaka
“Ajian : Kalacakraka Rantaka Jagad (Cakram yang berputar, menggerakkan jagad semesta)” serunya, menggelorakan kekuatan yang tersembunyi. Dan tepat pada saat itu, langit menyahut panggilan pemuda itu dengan menggulirkan cakram yang berputar dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Cakram itu menciptakan angin yang berputar-putar dengan ganas, melingkupi segala penjuru, mengungkapkan kekuatan yang menggerakkan jagad semesta secara spektakuler. Cahaya cemerlang memancar dari cakram yang memutari angkasa, menciptakan perpaduan sempurna antara putih dan biru. Dengan penuh ketenangan, Askara menunjukkan arahnya ke langit dengan jari telunjuknya yang anggun. Dalam keheningan, kata-katanya terucap dengan gemulai, "Hancurkan mereka berdua." Dan seketika, jari telunjuknya menuntun cakram itu menuju sasaran dengan kecepatan yang melampaui batas kewajaran, menyerang dengan ganas dan tak terhindarkan. Zung “Apa itu Apyuh?” tanya Apah, ketika dia melihat cakram berputar sangat cepatnya yang men
"Pak Guru Andi, di mana kalian berada? Kami telah mencari keberadaan kalian ke sana kemari." tanya dengan kegelisahan, kata Pak Guru yang menjadi pengajar di sekolah, Askara. Pak Guru Andi meneliti dengan seksama luka yang diderita Ayu, pandangannya tajam memerhatikan setiap detailnya. Tanpa ragu, dia segera mengambil perlengkapan medis yang tersimpan dalam tas kecilnya untuk memberikan pertolongan pertama. "Mengapa kamu mengalami luka seperti ini? Apakah kalian terjatuh dari jurang?" tanya Pak Guru Andi dengan kebingungan yang terpancar dari wajahnya. "Benar, Pak. Kami tersesat dan tak disengaja terjatuh ke dalam jurang yang dalam. Namun, beruntung kami berhasil memanjat walaupun mengalami beberapa kali kejatuhan dari jurang," jawab Askara dengan nada yang meyakinkan, memancarkan keberanian mereka dalam menghadapi situasi sulit. "Ya, betul sekali seperti yang disampaikan oleh Askara, Pak," balas Ayu dengan suara teredam, sambil merintih karena luka yang diobatinya dengan mengguna
"Apakah benar bahwa pendekar legendaris telah tiada dan Keris Krastala kini telah diwariskan kepada cucunya?" tanya sepuh tersebut kepada seseorang yang berdiri di belakangnya, dengan suara yang penuh kekhawatiran. "Benar, Kakek Guru Segara. Tidak hanya memegang Keris Krastala, tapi dia juga memiliki Kitab Danuraja. Dan yang lebih menakjubkan, pemuda itu memiliki kesaktian yang sungguh luar biasa," jawab laki - laki tersebut dengan suara yang lantang dan penuh keyakinan. "Kita harus mengambilnya dengan segala cara, Arya. Buatlah strategi untuk mengurung pemuda itu, gunakan senjata pusaka perguruan untuk mengalahkannya. Ciptakan strategi yang brilian sehingga dia tidak dapat melarikan diri lagi!" perintah Kakek Guru Segara kepada muridnya dengan suara tegas dan penuh akan kelantangan. "Baik, Kakek Guru Segara. Saya akan merancang strategi yang cerdas dan hebat untuk dapat mengalahkannya sesuai dengan keinginan Kakek Guru Segara," balas laki - laki itu dengan suara yang penuh hormat,
Setelah berlalunya beberapa jam, tepat saat bel pulang menggema, Askara melangkah meninggalkan ruang kelas tersebut. Ditemani oleh Lisa dan Ayu, mereka bergerak menuju pintu keluar dengan langkah yang cepat. "Jadi, Ayu, apakah engkau menginginkan agar aku mengantarmu pulang?" tanya Askara dengan nada mengundang, menunggu jawaban dari Ayu. "Bolehkah, jika engkau tidak keberatan?" balas Ayu dengan penuh kehangatan, sambil matanya melempar pandangan ke arah Lisa yang tampaknya mulai merasa tidak nyaman dengan kedekatan mereka berdua. "Askara, seharusnya engkau berencana untuk mengunjungi kediamanku dan bertemu dengan Ibu dan Ayahku, bukan? Mereka berdua sering kali menanyakan kabarmu, lho," tanya Lisa dengan pandangan sayunya yang mengisyaratkan keinginan agar Askara memenuhi permintaannya. "Iya, Lisa, aku pasti akan mengunjungi rumahmu. Namun, mungkin kunjungan itu tidak dilakukan segera setelah pulang sekolah, melainkan pada malam hari," jawab pemuda itu sambil mengelus lembut ramb
Mereka merasakan perubahan dalam suasana mobil. Tidak ada lagi teriakan - teriakan yang menggema di telinga mereka. Ayu dan Lisa mengucapkan nafas lega dan tersenyum pada Askara, mengucapkan rasa terima kasih dalam keheningan yang tercipta. Askara menatap mereka dengan penuh perhatian, menyadari betapa pentingnya keamanan dan kenyamanan mereka. Dalam kepekaannya, dia mengayuh setir dengan lembut, memastikan kelancaran perjalanan tanpa mengesampingkan kebahagiaan dan ketenangan mereka. "Askara, tolong di lain waktu jangan mengemudi terlalu cepat seperti itu. Aku merasa takut, bahkan Ayu pun merasa ketakutan!" ucap Lisa dengan suara yang meninggi, sedikit terdengar percikan amarah di dalamnya. "Iya, Lisa. Mohon maaf, saya tidak akan mengulanginya lagi," jawab Askara dengan penuh kelembutan, mengakibatkan gelombang kemarahan yang menyelimuti Lisa segera mereda. "Baiklah, aku akan masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Jangan lupa, malam ini kamu diundang untuk berkunjung ke rumahku,"
Sorot mata Askara terpaku dengan sinisme dan ketajaman yang menusuk, memancarkan aura kepuasan yang sulit disembunyikan. Senyuman mencolok terukir dengan apik di bibir pemuda itu, memberikan kesan bahwa dia menikmati melihat musuhnya terbakar amarah karena tingkah lakunya. Dalam pandangan sinisnya yang tajam, mata Askara menembus ke dalam jiwa musuhnya, mencerminkan kepuasan tak terduga yang tersirat di dalamnya. Serentak, senyumnya yang menggoda memperkuat kesan bahwa ia benar - benar menikmati momen ketegangan dan kesal yang melanda musuhnya akibat ulahnya sendiri. Mata yang tajam dan sinis itu seperti memancarkan pesona tersendiri, mengejek dan menantang musuhnya dengan sikap yang begitu jelas. Setiap gerak wajahnya, dari sorot mata tajam hingga senyuman yang menantang, memberi kesan bahwa dia menikmati setiap detik dari situasi yang telah dia ciptakan. “Menghancurkan empat senjata pusaka yang berada di langit malam” ucap Askara, lalu ia mulai melafalkan mantra dengan cepat. Tib
Awan hitam melingkupi langit dengan kuasa yang mencekam, menciptakan suasana yang gelap dan misterius. Gemuruh guntur menggelegar di langit, saling bersahutan dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Di tengah keheningan menakutkan, tiga senjata pusaka yang dimiliki oleh perguruan Ratri bergetar dengan intensitas yang meningkat, seakan - akan merasakan beban berat yang mereka tanggung. Mereka bergetar karena menahan serangan penghancur yang tak terkira kuatnya dari keris Krastala, senjata yang telah menjadi legenda dan paling terkenal di antara semua senjata pusaka yang pernah ada. Ketika serangan penghancur itu mendekat, aura kekuatan yang menakutkan memancar dari keris Krastala. Gelombang energi yang menggetarkan ruang dan waktu terlepas dari bilahnya yang perkasa. Cahaya kebiruan yang melingkupi senjata itu memancarkan kekuatan yang tak tergoyahkan, seakan-akan menjadi penanda akan kehancuran yang akan datang. Namun, di hadapan serangan dahsyat ini, tiga senjata pusaka milik pergu
Dalam keheningan yang tegang, Jaya Danu melantunkan mantra dengan suara yang penuh kekuatan, menggugah energi magis yang tersembunyi di dalam dirinya. Dari pergelangan tangannya, sebuah cahaya berkilauan mulai memancar, tumbuh semakin besar hingga menyinari seluruh ruang lingkupnya. Cahaya itu kemudian meredup dengan perlahan, mengekspos sebuah senjata pusaka yang luar biasa sebuah tombak yang memancarkan cahaya kuning kemerahan yang begitu menggoda mata. Tombak itu menyimpan kekuatan yang tak tergoyahkan, bergetar dalam aura keperkasaannya yang menghebohkan. Kilauan cemerlang yang memancar dari senjata pusaka itu menembus kegelapan, mencerminkan keberanian dan kekuatan yang melebihi batas. Mata Jaya Danu menajam, melintasi sekelilingnya yang dipenuhi oleh puluhan pendekar berilmu tinggi, yang secara berhati - hati mengelilingi mereka. Dalam tatapan tajamnya, terpancar keberanian yang tersembunyi dan tekad yang tak tergoyahkan. Cahaya tombaknya melintas di sekitar tempatnya berpijak
Askara menghentikan mobil mewah buatan Eropa tepat di depan pintu rumah Lisa. Gadis jelita itu dengan anggun turun dari kendaraan, memancarkan pesona yang memukau. Mata lentiknya memandang wajah tampan Askara dengan tatapan hangat, seakan menyirami hati pemuda itu dengan kasih sayang yang tulus. Sorotan mata Lisa, yang mengalir dengan kelembutan dan keceriaan, mencerminkan kehangatan yang mengalir dalam setiap sudut hatinya. Tatapannya seperti sinar matahari yang menerangi ruangan, menghadirkan kilauan kebahagiaan di wajah Askara. Dalam pandangan mereka, terpancar keakraban dan kedekatan yang dalam, seolah mengikat dua jiwa yang telah saling memahami. Saat mereka bertatap muka, suasana terisi dengan sentuhan kehangatan. Lisa memancarkan aura yang mempesona, dengan setiap gerakan anggunnya yang menarik perhatian. Mata mereka terhubung dalam satu ikatan yang tak terucapkan, mengalirkan energi positif yang memancar dari hati mereka. “Jadi, apa kalian tidak mau mampir Askara dan Ayu, l
Dengan tatapan tajam yang menusuk kegelapan malam, laki - laki itu mengangkat tangan dan secara magis menggepakkan sepasang sayap anginnya. Seperti kilatan cahaya yang meluncur di antara bintang-bintang, ia melintasi langit malam yang terhampar dengan keindahan tak terkira. Setiap gerakan sayapnya menghasilkan suara angin yang berirama, seakan menyapa ribuan bintang yang bersinar dengan gemerlap di langit. Ia meluncur dengan kecepatan yang tak terbayangkan, menyusuri lapisan atmosfer yang melayang di antara cahaya bintang-bintang yang memancar. Tanah pun seolah berguncang dengan kekuatan energi yang dikeluarkan oleh sayap anginnya. Dalam sekejap, laki - laki itu mendarat dengan kelembutan yang sempurna di sebuah tempat yang menakjubkan. Di hadapannya, terdapat sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi di tengah malam yang sunyi. Bangunan tersebut menawarkan kombinasi sempurna antara kemegahan dan keaslian tradisional. Dinding-dindingnya yang kokoh menggambarkan kejayaan masa lalu
Pemuda itu menatap dengan tajam ke arah bilah keris pusakanya, lalu dengan sangat lembut ia mengelusnya sambil membaca mantra dengan cepat. Bilah keris itu berpendar dengan intensitas merah menyala, dan dari sana mengalir keluar asap tipis yang mengambang di sekelilingnya. "Askara, kau akan mati di tempat ini!" ucap Arya dengan tegas, lalu dengan penuh ketegasan ia mengarahkan Naga tersebut untuk menyerang Askara. Dengan kecepatan yang luar biasa, Naga angin meluncur menuju pemuda itu. Moncongnya terbuka lebar, memperlihatkan putaran angin yang berputar dengan cepat di dalamnya. Jika ada makhluk hidup yang terjebak di dalamnya, tubuhnya akan terbelah menjadi beberapa bagian dengan kejam. “Kangsanaga Waskita: Genggahan Pambelah Wadra (Senjata pusaka: Tebasan yang membelah udara)” ucap Askara dengan penuh kekuatan, saat ia mengayunkan dengan lincah keris Krastala ke arah Naga angin tersebut, menciptakan tebasan yang membelah udara. Dalam langit senja yang mempesona, dua ajian yang
Dengan lincah, Arya melantunkan mantra dengan kecepatan tinggi, memperhatikan Askara yang dengan santainya mendekat ke arahnya, memegang teguh keris kramat bernama Krasrala. “Ajian : Paritang Kshatriya Bayu Salamet (Sayatan pedang sang panglima angin)” ucapnya, dan seketika ratusan pedang muncul terbentuk dari hembusan angin yang kuat. Berkelebatan ratusan pedang meluncur dengan kecepatan memukau menghampiri Askara, sementara tangan laki - laki itu menunjuk tegas ke arah pemuda yang berjalan dengan sikap angkuh di hadapannya. Syuttt “Sepertinya laki - laki itu kuat juga, Tuanku Askara” ucap Naga emas di dalam batin pemuda itu. "Benar, dia memang memiliki kekuatan yang luar biasa," jawab Askara sambil dengan gesit menebas dan menghindari serangan - serangan pedang angin yang berhamburan dari segala penjuru mata angin. Dengan keahlian dan sikap angkuh yang menghiasi dirinya, Askara menyerang dengan lincah, menghindari setiap serangan dari ratusan pedang angin yang meluncur dengan
"Dia memiliki kekuatan untuk menghancurkan seluruh pasukan hewan kegelapanku!" seru Arya Widipangga, dia terkejut luar biasa. Betapa menakjubkannya, dengan hanya satu kali Askara melontarkan ajiannya, semua pasukan hewan itu lenyap dalam sekejap. "Benar - benar sebuah monster yang menakutkan, sangatlah mengerikan jika aku harus menghadapinya tanpa merencanakan dengan matang," lanjutnya, seraya ia mengetukkan tombaknya beberapa kali ke tanah. Suara yang dihasilkan oleh tombak itu menciptakan keheningan yang terpecah di tengah sore yang sunyi itu. "Jadi, dia memiliki kemampuan mata yang luar biasa, mampu meramalkan masa depan saat lawannya melancarkan serangan dengan gerakan yang sangat cepat. Selain itu, dia mampu menembus batas penghalang yang dibuat oleh manusia dan bahkan alam sendiri. Tidak hanya itu, dia juga memiliki pengetahuan ajian kuno. Saya curiga bahwa ajian kuno tersebut dia pelajari dari Kitab Danuraja, dan yang terakhir, dia juga memiliki senjata legendaris, Keris Kras
“Ajian : Awabaya Madhuseng Satru (Kabut hitam yang merupakan musuh)” ucapnya dengan penuh kesungguhan. Tanpa ragu, muncullah kabut hitam pekat yang menjalar dan menyelimuti seluruh tembok dengan anggunnya. "Jadi, berikanlah jawaban yang kuinginkan, Askara," gumam Arya dengan tekad bulat. Tanpa ampun, muncul puluhan lingkaran cahaya yang meluncur cepat memasuki labirin tersebut. ….. ….. …… Dengan penuh konsentrasi, pemuda itu menembus pandangannya melalui kabut hitam yang mengelilingi labirin tersebut. Seperti seorang perenang yang berani menyelam ke dalam samudra malam yang gelap, dia menghadapi tantangan yang ada di hadapannya dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Di dalam labirin yang dipenuhi dengan kesunyian yang menakutkan, langkah - langkahnya terdengar seperti desiran rahasia yang hanya diikuti oleh dinding - dinding tinggi yang penuh misteri. Kabut hitam itu menyelimuti segala sudut dan celah, seakan ingin menyelimuti keberanian dan tekadnya. Namun, pemuda itu tak membiarka