Malam itu, setelah percakapan mereka, Revan kembali mengunci diri di ruangannya.
Nayla duduk di ranjang, menatap kosong ke arah jendela. Kata-kata Revan terus terngiang di kepalanya. "Dia tunanganku yang meninggal." Hatinya terasa sesak. Jadi selama ini, dia hanya bayangan dari seseorang di masa lalu? Pernikahan ini hanya formalitas, dan tak ada tempat untuknya di hati pria itu? Kenapa hatinya sakit mendengar itu? Dia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini bukan atas dasar cinta. Tapi tetap saja, entah bagaimana, ia berharap ada sedikit ruang untuknya di hati Revan. Tapi harapan itu ternyata sia-sia. Nayla menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Dia tidak boleh larut dalam perasaan ini. Tapi sebelum ia bisa tidur, suara ponsel Revan berdering dari meja. Nayla menoleh. Nama di layar membuatnya membeku. Nayla tidak tahu harus bagaimana. Ponsel Revan terus bergetar, tapi pria itu masih di ruangannya. Tangan Nayla terulur ragu. Ia tidak seharusnya peduli. Tapi… Tanpa berpikir panjang, ia mengambil ponsel itu dan mengangkatnya. “Halo?” Di ujung sana, ada jeda sebelum suara seorang wanita terdengar. "Nayla?" Nayla menggigit bibir. Tara mengenali suaranya. "Kenapa kau mengangkat ponsel Revan?" suara Tara terdengar tajam. "Revan sedang tidak bisa dihubungi," jawab Nayla datar. Tara tertawa kecil, tapi penuh ejekan. "Tentu saja. Dia pasti muak dengan semua ini." Nayla mengepalkan tangannya. "Kalau kau hanya ingin menghinaku, lebih baik aku tutup teleponnya." "Tunggu." Suara Tara tiba-tiba lebih serius. "Aku hanya ingin memastikan satu hal, Nayla." Nayla tidak menjawab, menunggu wanita itu melanjutkan. "Apa kau benar-benar berpikir bahwa Revan akan jatuh cinta padamu?" Nayla terdiam. Tara melanjutkan dengan nada dingin. "Kau tidak lebih dari bayangan. Dia masih mencintai Alyssa, dan tidak ada yang bisa menggantikan dia. Termasuk kau." Sesuatu dalam hati Nayla terasa retak. Tapi sebelum ia sempat menjawab, suara Revan terdengar dari belakang. "Nayla, kau sedang apa?" Nayla terlonjak, lalu segera menutup telepon. Revan menatapnya curiga. "Kau mengangkat teleponku?" Nayla menelan ludah, lalu mengangguk. "Itu Tara." Wajah Revan berubah dingin dalam sekejap. "Apa yang dia katakan?" tanyanya, nada suaranya tajam. Nayla ingin berbohong. Tapi entah kenapa, ia memilih berkata jujur. "Dia bilang… kau masih mencintai Alyssa, dan aku hanya bayangan." Revan tidak segera menjawab. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. Lalu, setelah beberapa saat, ia berkata pelan, "Tidurlah, Nayla. Jangan dengarkan omongan Tara." Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, ia pergi. Tapi jawaban itu… Itu bukan bantahan. Sejak malam itu, Nayla dan Revan semakin jauh. Pria itu semakin sering pulang larut malam, bahkan beberapa kali tidak pulang sama sekali. Nayla mulai merasa benar-benar sendirian di rumah itu. Hingga suatu hari, ia memutuskan untuk pergi. Tidak pergi meninggalkan rumah ini sepenuhnya, tapi ia butuh waktu sendiri. Ia mengemasi beberapa pakaian dan memasukkan ke dalam koper kecil. Saat hendak pergi, Bu Sari menghampirinya. "Nyonya, mau pergi ke mana?" Nayla tersenyum tipis. "Aku hanya butuh waktu untuk berpikir." Bu Sari terlihat khawatir. "Tuan Revan tahu?" Nayla menggeleng. "Dia tidak akan peduli." Wanita tua itu terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, Nyonya. Tapi hati-hati." Nayla tersenyum. "Terima kasih, Bu Sari." Kemudian, tanpa melihat ke belakang, ia pergi. Ia butuh waktu untuk menemukan dirinya sendiri. Karena saat ini, ia merasa benar-benar hancur. Nayla melangkah keluar dari rumah megah itu dengan perasaan campur aduk. Udara malam terasa dingin, menggigit kulitnya, namun tak sebanding dengan rasa dingin yang menjalar di hatinya. Dia harus pergi. Bukan karena menyerah, tapi karena ia tidak bisa terus berada dalam rumah yang hanya dipenuhi bayangan masa lalu. Mobil yang dikemudikannya melaju di jalanan kota. Lampu-lampu jalan menyinari jalanan yang sepi, seakan menyoroti betapa kosongnya perasaannya saat ini. Ia tidak tahu akan pergi ke mana. Yang ia tahu, ia ingin menjauh dari Revan. Dari pernikahan yang terasa hampa. Setelah beberapa waktu, ia akhirnya berhenti di sebuah hotel kecil di pinggiran kota. Tidak mewah, tapi cukup nyaman. Saat duduk di kamar hotel, ponselnya bergetar. Revan. Nayla menatap layar itu lama, sebelum akhirnya mengabaikannya. Detik berikutnya, ada pesan masuk. "Di mana kau?" Ia tidak membalas. Lalu panggilan lain masuk, kali ini dari Bu Sari. Dengan enggan, Nayla mengangkatnya. "Nyonya Nayla… Tuan Revan baru saja pulang dan dia terlihat sangat marah saat tahu Anda pergi." Nayla menggigit bibirnya. "Tolong, kembali ke rumah, Nyonya," suara Bu Sari terdengar penuh kekhawatiran. "Saya takut Tuan Revan akan melakukan sesuatu yang nekat." Nayla memejamkan mata. Ia ingin bersikap tegas. Tapi… tetap saja, ada bagian dari dirinya yang tidak bisa mengabaikan Revan begitu saja. Pagi harinya, Nayla akhirnya memutuskan untuk pulang. Saat ia melangkah masuk ke rumah, suara langkah kaki cepat terdengar. Tiba-tiba, tangannya ditarik dengan kasar. Revan berdiri di hadapannya, matanya berkilat marah. "Ke mana saja kau?" Nayla mencoba melepaskan genggamannya. "Aku hanya butuh waktu sendiri." Revan mendengus. "Dan kau pergi begitu saja tanpa bilang apa-apa?!" "Apa bedanya?" Nayla menatapnya tajam. "Kau juga sering pergi tanpa memberitahuku." Revan terdiam sesaat, lalu mencengkeram lengannya lebih erat. "Aku suamimu." Nayla menatapnya tanpa gentar. "Dan aku istrimu." Hening. Mata mereka bertemu, penuh emosi yang tak terungkapkan. Lalu, tiba-tiba, Revan menariknya lebih dekat. Sebelum Nayla bisa bereaksi, bibirnya sudah ditangkap dalam ciuman yang panas dan penuh kemarahan. Ciuman itu bukan kelembutan, tapi kemarahan, frustasi, dan perasaan yang tertahan. Nayla terkejut, tapi tubuhnya seakan tak bisa bergerak. Saat Revan akhirnya melepaskannya, napas mereka berdua tersengal. "Kau tidak bisa lari dariku, Nayla," suara Revan terdengar parau. Nayla menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak berusaha lari darimu, Revan. Aku hanya ingin tahu… apakah aku benar-benar ada di hatimu?" Revan tidak menjawab. Dan keheningan itu sudah cukup menjadi jawaban. Nayla menghela napas berat. Tatapan Revan yang tak memberikan jawaban justru lebih menyakitkan dibanding kata-kata tajam yang biasa ia ucapkan. Jika Revan dengan tegas mengatakan bahwa dia tidak mencintainya, mungkin Nayla bisa lebih mudah menyerah. Tapi diamnya justru lebih menyiksa. "Aku lelah, Revan," ucap Nayla pelan, suaranya hampir seperti bisikan. "Aku lelah bertanya-tanya, apakah aku ini hanya pengisi kekosongan atau… lebih dari itu." Revan menatapnya, tapi tidak mengatakan apa-apa. Nayla menunduk, menahan air matanya agar tidak jatuh. "Kalau aku benar-benar tidak berarti apa-apa bagimu…" lanjut Nayla, suaranya bergetar, "aku bisa pergi." Revan mengepalkan tangannya. Ada amarah di matanya, tapi bukan amarah karena kebencian—lebih seperti frustasi. Dia melangkah lebih dekat, meraih dagu Nayla agar menatapnya. "Tidak ada yang pergi," katanya dingin. Nayla menahan napas. "Apakah itu berarti aku berarti untukmu?" tanyanya, berharap setidaknya ada sedikit pengakuan. Revan tetap diam, lalu melepas pegangannya. Tanpa menjawab, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Nayla berdiri sendirian di tengah ruangan. Dan saat itulah Nayla menyadari… Jarak di antara mereka mungkin tidak terlihat, tapi terasa begitu nyata.Malam itu, setelah keheningan panjang yang menyakitkan, Nayla memutuskan untuk tetap berada di rumah. Bukan karena takut pada Revan, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk menyerah begitu saja. Tapi tetap saja, ada batas yang tak terlihat di antara mereka. Sejak percakapan terakhir mereka, Revan memilih menjaga jarak. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerja, menghindari interaksi yang tak perlu. Nayla sendiri sudah lelah menunggu jawaban yang mungkin tak akan pernah datang. Hingga akhirnya, badai sesungguhnya mulai datang ke dalam kehidupan mereka. Suatu pagi, ketika Nayla sedang menikmati sarapannya di meja makan, Revan tiba-tiba muncul dengan ekspresi serius. “Aku akan mengadakan jamuan makan malam akhir pekan ini,” katanya tanpa basa-basi. Nayla mengangkat alis. “Jamuan makan malam?” Revan mengangguk. “Para investor akan datang. Aku ingin kau hadir.” Nayla mengerutkan kening. Selama ini, Revan tidak pernah melibatkannya dalam urusan
Hari-hari setelah pertemuan dengan Ryan terasa aneh bagi Nayla. Revan semakin sering pulang larut, dan ketika di rumah pun, ia lebih banyak diam. Sikapnya berubah. Dulu, pria itu memang dingin, tapi setidaknya masih mau berbicara seperlunya. Sekarang? Seakan ada tembok tebal di antara mereka. Dan yang lebih mengganggu Nayla adalah fakta bahwa… dia mulai memikirkannya. Setiap kali mendengar pintu rumah terbuka, ia berharap itu Revan. Setiap kali makan malam sendirian, ia bertanya-tanya apakah pria itu sudah makan. Dan setiap kali melihat ponselnya, ia ingin mengirim pesan… tapi menahannya. "Kenapa aku jadi begini?" batinnya frustasi. Ia tidak seharusnya mengkhawatirkan Revan. Tidak seharusnya berharap lebih. Karena pada akhirnya, pernikahan ini tetap hanya kontrak. Di sisi lain, Revan juga merasa ada yang berubah dalam dirinya. Biasanya, setelah bekerja, ia akan langsung pulang tanpa banyak berpikir. Tapi kini, ia lebih memilih untuk menyibukkan diri di
Langkah Revan cepat dan penuh ketegangan saat ia menarik tangan Nayla, memaksanya keluar dari kafe. Nayla mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Revan begitu kuat. "Revan, lepaskan!" protesnya. Pria itu tidak menjawab, justru semakin mempercepat langkahnya menuju mobil yang diparkir di depan. Ryan tidak mengejar. Hanya menatap mereka dengan ekspresi tenang, seolah ingin melihat sejauh mana Revan akan bertindak. Begitu sampai di mobil, Revan membuka pintu dan mendorong Nayla masuk dengan lembut. Tanpa kata, ia berjalan ke sisi lain dan masuk, menyalakan mesin, lalu menginjak gas dengan cukup kencang. Suasana di dalam mobil penuh dengan ketegangan. Nayla mendekap kedua tangannya di dada, mencoba mengendalikan emosinya yang mulai memanas. "Apa yang kau lakukan?!" bentaknya akhirnya. Revan tetap fokus pada jalan, wajahnya tegang dan rahangnya mengeras. "Aku membawamu pulang." "Aku bisa pulang sendiri! Kau tidak perlu menyeretku seperti ini!" Revan tertawa sinis,
Malam semakin larut, tetapi Nayla masih terjaga di kamarnya. Pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Revan sebelumnya."Aku hanya tidak ingin kehilanganmu."Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.Apa maksudnya? Bukankah selama ini Revan menganggap pernikahan mereka hanyalah kontrak bisnis? Mengapa ia mulai berbicara seperti ini?Nayla berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, tetapi hatinya tetap gelisah.Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya ia terduduk, menghela napas panjang.Tak lama, suara ketukan di pintu terdengar.Tok. Tok.Jantung Nayla berdegup lebih cepat.Ia ragu untuk membuka pintu, tetapi akhirnya ia berjalan ke sana dan membukanya.Revan berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Tatapan matanya tajam, tetapi juga terlihat… lelah."Ada apa?" tanya Nayla, berusaha terdengar tenang.Revan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin bicara."Nayla menggigit bibirnya. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tetapi ia mengangg
Hari itu hujan turun deras di luar jendela, menciptakan suara menenangkan yang biasanya membuat Nayla nyaman. Tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati suasana. Setelah pertemuannya dengan Nyonya Adrian, perasaan Nayla semakin tak menentu. Kata-kata wanita itu masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku ingin kau meninggalkan Revan sebelum semuanya terlambat." Sejak awal, Nayla tahu pernikahan ini hanyalah kontrak. Tapi mengapa hatinya mulai merasa terusik? Ia memandangi ponselnya. Tak ada pesan dari Revan. Pria itu belum pulang sejak kemarin dan tidak memberi kabar apa pun. Nayla menggigit bibirnya. Haruskah ia menghubungi Revan lebih dulu? Atau ia harus menunggu? Sebelum ia bisa mengambil keputusan, dering telepon tiba-tiba membuyarkan pikirannya. Ia langsung meraih ponselnya, berharap itu dari Revan. Namun, saat melihat nama di layar, hatinya sedikit mencelos. "Dion" Dion adalah sahabatnya sejak kuliah. Pria yang selalu ada di sisinya sebelum pernikahan ini
Malam itu, Nayla berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka. Suara detak jam di dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi kejadian sore tadi—tatapan Revan yang tajam, genggaman tangannya yang kuat, dan kata-kata yang menggantung di udara. "Jangan buat keadaan menjadi rumit." Nayla menarik napas panjang, lalu berbalik ke samping, menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu tidur. Apa maksud Revan? Bukankah sejak awal pernikahan ini memang sudah rumit? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani semuanya tanpa melibatkan perasaan? Pintu kamar mandi terbuka, membuat Nayla refleks menoleh. Revan keluar dengan rambut yang masih basah, hanya mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Mereka saling bertatapan sekilas sebelum Revan berjalan menuju lemari, mengambil ponselnya, lalu duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Nayla mengalihkan pandangannya. Biasanya, ia tidak begitu memperhatikan kebiasaan Revan, tapi entah mengapa malam ini ia m
Langkah Nayla terasa ringan, namun hatinya penuh dengan beban berat. Ia mengikuti Revan menuju ruang tamu, di mana seorang wanita berambut panjang dengan gaun elegan berwarna merah sudah menunggu. Clara. Wanita itu tampak anggun, dengan wajah yang menunjukkan ketenangan sekaligus kepercayaan diri. Ia tersenyum tipis saat melihat Revan mendekat, tetapi senyumnya sedikit memudar saat menyadari Nayla juga ada di sana. "Revan," suara Clara lembut, tetapi memiliki ketegasan di dalamnya. "Kita perlu bicara." Revan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ekspresinya dingin. "Bicara tentang apa?" Clara menatap Nayla sesaat, lalu kembali menatap Revan. "Ini penting." Nayla menahan napas. Bagaimana jika Clara adalah bagian dari masa lalu Revan yang belum selesai? Bagaimana jika... wanita ini adalah seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya? Namun, sebelum Nayla bisa terus membiarkan pikirannya berlarian, suara Revan membuyarkan lamunannya. "Apapun yang ing
Nayla menatap Revan dengan perasaan tak menentu. Ia bisa melihat ketegangan di wajah suaminya—sesuatu yang jarang sekali terjadi. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya hati-hati. Revan menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia juga tahu bahwa Nayla berhak untuk mengetahui semuanya. “Aku bertemu dengan seseorang hari ini,” ujarnya pelan. Nayla mengernyit. “Seseorang?” “Clara.” Dada Nayla terasa seperti dihantam palu. Nama itu—nama yang hanya ia dengar sekilas dalam percakapan singkat Revan dengan beberapa orang di masa lalu—kini muncul kembali di hadapan mereka. Matanya membulat, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Mantan kekasihmu?” Revan mengangguk. “Ya.” Nayla mengatupkan bibirnya. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya, tetapi ia masih menunggu kelanjutan dari Revan. “Aku baru tahu sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku,” lanjut Revan dengan suara berat. “Aku... aku punya seora
Malam mulai larut, tapi Nayla masih duduk di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkedip-kedip dari kejauhan. Dalam diam, pikirannya sibuk memutar ulang kenangan yang membuat hatinya terasa sesak. Ia memeluk lututnya sendiri, berharap kehangatan dari pelukannya bisa menggantikan dingin yang merambat ke dalam hatinya. Sudah beberapa minggu ini hubungan mereka tidak lagi sama. Revan masih bersikap baik, masih pulang ke rumah, masih menatapnya dengan mata yang sama—tapi Nayla bisa merasakan jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Ada hal-hal yang dulu terasa hangat, kini mulai terasa asing. Ketukan pelan di pintu kamar membuatnya menoleh. Revan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Untukmu,” katanya singkat, meletakkan cangkir di meja dekat jendela. Nayla tersenyum tipis. “Terima kasih.” Revan tidak langsung pergi. Ia duduk di sisi tempat tidur, lalu menatap punggung Nayla dalam diam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu.
Nayla menatap Revan dengan perasaan tak menentu. Ia bisa melihat ketegangan di wajah suaminya—sesuatu yang jarang sekali terjadi. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya hati-hati. Revan menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia juga tahu bahwa Nayla berhak untuk mengetahui semuanya. “Aku bertemu dengan seseorang hari ini,” ujarnya pelan. Nayla mengernyit. “Seseorang?” “Clara.” Dada Nayla terasa seperti dihantam palu. Nama itu—nama yang hanya ia dengar sekilas dalam percakapan singkat Revan dengan beberapa orang di masa lalu—kini muncul kembali di hadapan mereka. Matanya membulat, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Mantan kekasihmu?” Revan mengangguk. “Ya.” Nayla mengatupkan bibirnya. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya, tetapi ia masih menunggu kelanjutan dari Revan. “Aku baru tahu sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku,” lanjut Revan dengan suara berat. “Aku... aku punya seora
Langkah Nayla terasa ringan, namun hatinya penuh dengan beban berat. Ia mengikuti Revan menuju ruang tamu, di mana seorang wanita berambut panjang dengan gaun elegan berwarna merah sudah menunggu. Clara. Wanita itu tampak anggun, dengan wajah yang menunjukkan ketenangan sekaligus kepercayaan diri. Ia tersenyum tipis saat melihat Revan mendekat, tetapi senyumnya sedikit memudar saat menyadari Nayla juga ada di sana. "Revan," suara Clara lembut, tetapi memiliki ketegasan di dalamnya. "Kita perlu bicara." Revan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ekspresinya dingin. "Bicara tentang apa?" Clara menatap Nayla sesaat, lalu kembali menatap Revan. "Ini penting." Nayla menahan napas. Bagaimana jika Clara adalah bagian dari masa lalu Revan yang belum selesai? Bagaimana jika... wanita ini adalah seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya? Namun, sebelum Nayla bisa terus membiarkan pikirannya berlarian, suara Revan membuyarkan lamunannya. "Apapun yang ing
Malam itu, Nayla berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka. Suara detak jam di dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi kejadian sore tadi—tatapan Revan yang tajam, genggaman tangannya yang kuat, dan kata-kata yang menggantung di udara. "Jangan buat keadaan menjadi rumit." Nayla menarik napas panjang, lalu berbalik ke samping, menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu tidur. Apa maksud Revan? Bukankah sejak awal pernikahan ini memang sudah rumit? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani semuanya tanpa melibatkan perasaan? Pintu kamar mandi terbuka, membuat Nayla refleks menoleh. Revan keluar dengan rambut yang masih basah, hanya mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Mereka saling bertatapan sekilas sebelum Revan berjalan menuju lemari, mengambil ponselnya, lalu duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Nayla mengalihkan pandangannya. Biasanya, ia tidak begitu memperhatikan kebiasaan Revan, tapi entah mengapa malam ini ia m
Hari itu hujan turun deras di luar jendela, menciptakan suara menenangkan yang biasanya membuat Nayla nyaman. Tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati suasana. Setelah pertemuannya dengan Nyonya Adrian, perasaan Nayla semakin tak menentu. Kata-kata wanita itu masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku ingin kau meninggalkan Revan sebelum semuanya terlambat." Sejak awal, Nayla tahu pernikahan ini hanyalah kontrak. Tapi mengapa hatinya mulai merasa terusik? Ia memandangi ponselnya. Tak ada pesan dari Revan. Pria itu belum pulang sejak kemarin dan tidak memberi kabar apa pun. Nayla menggigit bibirnya. Haruskah ia menghubungi Revan lebih dulu? Atau ia harus menunggu? Sebelum ia bisa mengambil keputusan, dering telepon tiba-tiba membuyarkan pikirannya. Ia langsung meraih ponselnya, berharap itu dari Revan. Namun, saat melihat nama di layar, hatinya sedikit mencelos. "Dion" Dion adalah sahabatnya sejak kuliah. Pria yang selalu ada di sisinya sebelum pernikahan ini
Malam semakin larut, tetapi Nayla masih terjaga di kamarnya. Pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Revan sebelumnya."Aku hanya tidak ingin kehilanganmu."Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.Apa maksudnya? Bukankah selama ini Revan menganggap pernikahan mereka hanyalah kontrak bisnis? Mengapa ia mulai berbicara seperti ini?Nayla berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, tetapi hatinya tetap gelisah.Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya ia terduduk, menghela napas panjang.Tak lama, suara ketukan di pintu terdengar.Tok. Tok.Jantung Nayla berdegup lebih cepat.Ia ragu untuk membuka pintu, tetapi akhirnya ia berjalan ke sana dan membukanya.Revan berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Tatapan matanya tajam, tetapi juga terlihat… lelah."Ada apa?" tanya Nayla, berusaha terdengar tenang.Revan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin bicara."Nayla menggigit bibirnya. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tetapi ia mengangg
Langkah Revan cepat dan penuh ketegangan saat ia menarik tangan Nayla, memaksanya keluar dari kafe. Nayla mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Revan begitu kuat. "Revan, lepaskan!" protesnya. Pria itu tidak menjawab, justru semakin mempercepat langkahnya menuju mobil yang diparkir di depan. Ryan tidak mengejar. Hanya menatap mereka dengan ekspresi tenang, seolah ingin melihat sejauh mana Revan akan bertindak. Begitu sampai di mobil, Revan membuka pintu dan mendorong Nayla masuk dengan lembut. Tanpa kata, ia berjalan ke sisi lain dan masuk, menyalakan mesin, lalu menginjak gas dengan cukup kencang. Suasana di dalam mobil penuh dengan ketegangan. Nayla mendekap kedua tangannya di dada, mencoba mengendalikan emosinya yang mulai memanas. "Apa yang kau lakukan?!" bentaknya akhirnya. Revan tetap fokus pada jalan, wajahnya tegang dan rahangnya mengeras. "Aku membawamu pulang." "Aku bisa pulang sendiri! Kau tidak perlu menyeretku seperti ini!" Revan tertawa sinis,
Hari-hari setelah pertemuan dengan Ryan terasa aneh bagi Nayla. Revan semakin sering pulang larut, dan ketika di rumah pun, ia lebih banyak diam. Sikapnya berubah. Dulu, pria itu memang dingin, tapi setidaknya masih mau berbicara seperlunya. Sekarang? Seakan ada tembok tebal di antara mereka. Dan yang lebih mengganggu Nayla adalah fakta bahwa… dia mulai memikirkannya. Setiap kali mendengar pintu rumah terbuka, ia berharap itu Revan. Setiap kali makan malam sendirian, ia bertanya-tanya apakah pria itu sudah makan. Dan setiap kali melihat ponselnya, ia ingin mengirim pesan… tapi menahannya. "Kenapa aku jadi begini?" batinnya frustasi. Ia tidak seharusnya mengkhawatirkan Revan. Tidak seharusnya berharap lebih. Karena pada akhirnya, pernikahan ini tetap hanya kontrak. Di sisi lain, Revan juga merasa ada yang berubah dalam dirinya. Biasanya, setelah bekerja, ia akan langsung pulang tanpa banyak berpikir. Tapi kini, ia lebih memilih untuk menyibukkan diri di
Malam itu, setelah keheningan panjang yang menyakitkan, Nayla memutuskan untuk tetap berada di rumah. Bukan karena takut pada Revan, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk menyerah begitu saja. Tapi tetap saja, ada batas yang tak terlihat di antara mereka. Sejak percakapan terakhir mereka, Revan memilih menjaga jarak. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerja, menghindari interaksi yang tak perlu. Nayla sendiri sudah lelah menunggu jawaban yang mungkin tak akan pernah datang. Hingga akhirnya, badai sesungguhnya mulai datang ke dalam kehidupan mereka. Suatu pagi, ketika Nayla sedang menikmati sarapannya di meja makan, Revan tiba-tiba muncul dengan ekspresi serius. “Aku akan mengadakan jamuan makan malam akhir pekan ini,” katanya tanpa basa-basi. Nayla mengangkat alis. “Jamuan makan malam?” Revan mengangguk. “Para investor akan datang. Aku ingin kau hadir.” Nayla mengerutkan kening. Selama ini, Revan tidak pernah melibatkannya dalam urusan