Hari itu Rosemary terpaksa mengajukan cuti dengan alasan harus segera kembali ke kampung halamannya karena sang ayah meninggal dunia. Atasannya langsung mengizinkan.
Untunglah penerbangan dari Surabaya menuju Balikpapan hari itu masih ada. Dengan segera gadis itu memilih jam yang tercepat dan menunggu di ruang keberangkatan bandara. Saat itulah dia baru sadar belum menghubungi kekasihnya.
Diraihnya ponselnya dan diteleponnya pemuda berambut cepak ala tentara itu. Tangisnya tumpah-ruah seketika begitu menceritakan musibah yang dialami keluarganya. Owen merasa sangat prihatin mendengarnya.
“Sabar ya, Sayang. Percayalah Tuhan akan selalu melindungimu sekeluarga. Oya, kenapa kamu tidak mengajakku untuk menemanimu ke Balikpapan?”
Sang kekasih tercengang mendengarnya. Iya, ya, pikirnya heran. Kenapa aku tidak mengajak Owen?
“Aku, aku lupa. Sori. Mungkin karena terlalu sedih kehilangan Papa. Tapi, murid-murid les privatmu nanti bagaimana? Mereka kan mau ujian.”
“Aku kan bisa pergi sehari semalam saja, Yang. Hari ini pergi bersamamu, besok balik ke Surabaya.”
“Oh, iya ya. Sori. Aku benar-benar kalut, Wen. Sampai nggak kepikiran begitu.”
“Nggak apa-apa, Yang. Kalau begitu, besok saja aku pergi ke Balikpapan, ya. Nggak usah dijemput. Aku kan sudah pernah pergi ke rumahmu dua kali dulu. Masih ingat, kok.”
“Thanks, Wen. Untung ada kamu. Kalau nggak, aku pasti lebih sedih lagi.”
Terdengar suara terkekeh di seberang sana. “Aku akan selalu menyediakan bahuku untukmu, Rosemary Laurens. Bukankah itu yang selalu kulakukan setiap kali kamu cengeng karena inilah, itulah….”
“Hehehe…, aku kan cuma cengeng di depanmu saja, Wen.”
“Yup! Karena kamu seorang gadis yang kuat. Aku yakin kamu dan keluargamu bisa melalui cobaan ini dengan tegar. Percayalah, badai pasti akan berlalu.”
Rosemary mulai dapat tersenyum. Betapa kalimat-kalimat sang kekasih bagaikan air dingin yang menyegarkan perasaannya.
“I love you, Owen Tanoe,” ucap gadis itu sepenuh hati. Perasaannya tenang sekarang.
“I know, Rosemary Laurens,” jawab kekasihnya singkat.
Tiba-tiba terdengar suara di mikrofon bandara menyatakan bahwa penumpang penerbangan menuju ke Balikpapan agar segera bersiap-siap untuk berangkat.
“Wen,” kata Rosemary kemudian. “Aku harus antri ambil boarding pass sekarang. Kalau sudah sampai Balikpapan, kamu kukabari lagi, ya.”
“Ok, Sayang. Hati-hati. Selamat jalan,” jawab Owen penuh perhatian.
Dua puluh menit kemudian Rosemary telah berada di dalam pesawat yang siap membawanya ke kampung halaman tercinta. Biasanya dia pulang ke Balikpapan setahun dua kali, yaitu saat liburan Idul Fitri dan Natal.
Kepulangannya selalu disambut dengan tawa bahagia keluarganya. Namun kali ini akan berbeda. Suasana dukacita yang akan menyambut kedatangannya. Tiba-tiba gadis itu merasa takut. Takut sekali….
***
“Papamu kena serangan jantung karena tokonya disita oleh bank, Nak,” tutur Martha, ibu Rosemary, menceritakan hal-ihkwal berpulangnya sang suami. Air matanya jatuh bercucuran. Matanya mulai tampak bengkak akibat seharian menangis. Hari sudah malam dan mereka sudah pulang ke rumah.
Jenazah Lukman masih berada di rumah sakit. Besok pagi baru akan dipindahkan ke tempat persemayaman jenazah. Saat inilah Martha akhirnya mencurahkan segenap perasaannya pada putri sulungnya. Mereka berdua sedang bercakap-cakap di dalam kamar tidur Martha.
Rosemary yang melihat ibunya begitu terpukul tak sanggup berkata-kata. Dia sebenarnya kaget sekali mengetahui toko warisan kakeknya itu disita oleh bank. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah toko selalu ramai dan omzetnya besar? Bagaimana mungkin Papa mempunyai hutang yang sangat besar sampai-sampai tak mampu melunasinya?
“Papamu ternyata punya perempuan simpanan. Seorang janda muda beranak dua! Perempuan binal itulah yang menghabiskan uang papamu dengan kebiasaannya berjudi. Bahkan papamu sendiri akhirnya terjerumus dalam perjudian juga!”
Rosemary ternganga. Papa…Papa berselingkuh dan berjudi? Benarkah itu? Aku tak percaya sedikitpun!
Martha yang menyaksikan ekspresi wajah putrinya yang seakan-akan tak mempercayai ceritanya menjadi geram.
“Kenapa kamu memandang Mama seperti itu, Rose? Apa kamu nggak percaya sama cerita Mama barusan? Papamu memang berselingkuh, berjudi, dan entah melakukan perbuatan tercela apa lagi di luaran. Harta kita habis, Nak. Habis! Toko sudah hilang. Sebentar lagi rumah ini juga akan disita oleh bank. Kita cuma punya mobil truk dan Xenia. Dua buah mobil lainnya sudah dijual papamu untuk menghidupi perempuan jahanam itu!” seru wanita itu histeris.
Rosemary bagaikan sedang bermimpi. Benarkah semua yang kudengar ini? Papaku yang baik hati dan selalu melindungiku setiap kali dimarahi Mama…. Benarkah seorang Lukman Tanoe sanggup melakukan perbuatan-perbuatan sehina itu?
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Muncullah sesosok gadis cantik yang tak lain adalah Olivia, putri kedua Martha. Dengan sikap lembut dia mendekati ibunya. Dipeluknya tubuh wanita yang berguncang-guncang itu saking terpukulnya.
“Mama jangan sedih terus,” ucapnya menghibur. “Sudah capek kan seharian mengurusi ini-itu. Waktunya beristirahat, Ma. Besok kita masih harus mengatur kepindahan jenazah Papa dari rumah sakit ke ruang persemayaman. Mama butuh tenaga yang kuat besok. Sekarang tidur, yuk. Mau ditemani Oliv-kah?” tanya gadis itu semanis madu.
Olivia memang serupa sekali dengan ibu kandungnya. Penampilannya begitu feminin dan mampu menunjukkan sikap empati yang besar kepada orang lain. Hobi mereka pun sama, yaitu memasak, berdandan, dan berbelanja. Oleh karena itulah hubungan Martha lebih dekat dengan putri keduanya ini dibandingkan dengan putri-putrinya yang lain.
Dia tak membenci Rosemary. Namun tema pembicaraannya dengan putri pertamanya itu seringkali tidak nyambung. Rosemary suka membaca buku. Hobi yang diwarisinya dari sang ayah. Hal yang bukan merupakan kegemaran Martha karena membaca terlalu lama seringkali membuat bahunya terasa penat. Sedangkan Nelly, si putri bungsu yang masih berusia lima belas tahun, dianggap Martha masih terlalu kecil untuk mengetahui permasalahan orang dewasa.
Kepada Olivia-lah wanita itu selalu mencurahkan perasaannya, baik suka maupun duka. Dan gadis itu menjalankan perannya sebagai pendengar dan penghibur yang baik bagi wanita yang melahirkannya itu. Oleh karena itulah dia tahu persis semua persoalan yang terjadi di antara kedua orang tuanya selama ini.
“Kakakmu tidak percaya dengan cerita Mama, Oliv,” kata sang ibu mengadu. “Dikiranya Mama mengada-ada. Kamu tahu sendiri kan, dia selalu lebih dekat dengan Papa dibandingkan Mama.”
Rosemary mendengus masygul. Lagi-lagi aku yang disalahkan, keluhnya dalam hati. Ya sudahlah, tak ada ruginya kali ini aku meminta maaf lagi seperti yang sudah-sudah.
“Rose minta maaf, Ma,” pinta gadis itu dengan raut wajah prihatin. “Rose bukannya tidak percaya dengan cerita Mama. Cuma Rose tak menyangka Papa sanggup melakukan hal sekeji itu.”
“Itu karena kamu selama ini selalu menganggap dirinya begitu suci bagaikan seorang dewa!” sergah ibunya kembali histeris. “Selalu Mama yang kamu anggap buruk dan membuat ulah. Padahal…padahal Mama sangat tertekan menjadi istri papamu selama bertahun-tahun ini!”
Tangisan Martha kembali membahana. Tiba-tiba kepala Rosemary terasa pening. Betapa ingin dirinya bertemu ayah tercinta saat ini. Meminta penjelasan dari mulut pria itu sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
“Maaf, Kak. Bagaimana kalau Kakak keluar dulu?” pinta adiknya dengan sorot mata memohon. “Mama sedang emosional saat ini. Biar kuhibur dan kutemani sampai Mama tertidur. Nanti aku akan menemui Kakak di kamar. Bagaimana?”Rosemary mengangguk menyetujui saran Olivia. Adiknya itu lebih memahami diri Mama. Dia pasti takkan kesulitan menenangkan ibu mereka itu.Dengan lunglai Rosemary bangkit berdiri dan beranjak meninggalkan kamar tidur yang luas itu. Saat melangkah menuju pintu keluar, dia melewati foto berukuran besar dan berpigura warna keemasan.Foto pernikahan Papa dan Mama, batinnya pedih. Ia menggigit bibirnya. Siapa sangka perkawinan yang kelihatannya harmonis dari luar itu menyimpan rahasia yang tak terduga! Papaku yang baik hati, bagaimana mungkin dirimu sanggup menyakiti keluarga ini begitu rupa? Kauhancurkan kenangan baik dalam benakku tentang dirimu. Kukira kau pria yang sempurna. Takkan
Olivia segera memberi kode pada Nelly, si bungsu. Gadis remaja berusia lima belas tahun itu langsung mengerti. Dia bergegas keluar ruangan untuk memanggil perawat sementara Olivia berusaha menenangkan Rosemary yang shock mendengar penuturan ibu mereka tadi.Ketika Nelly muncul kembali bersama dokter dan dua orang perawat, para ahli medis itu dengan sigap menaklukkan si pasien yang masih histeris. Para perawat memegangi kepala dan tubuh Rosemary yang berguncang-guncang, sementara dokter menyuntikkan obat penenang ke dalam infus gadis itu.Beberapa saat kemudian kepala pasien yang sudah tak berdaya itu terkulai lemas. Matanya tertutup rapat. Terdengar napasnya yang tenang dan teratur. Dia telah tertidur pulas.Martha terisak-isak menyaksikan keadaan putrinya. Ya, Tuhan, batinnya merana. Kenapa cobaan dariMu tak ada habis-habisnya? Suamiku serong terus meninggal dunia. Harta kami ludes, lalu anakku mengalami kecelakaan dan
“Sudahlah, Ma,” hibur Olivia seperti biasanya. “Kak Rose kan baru pulang. Seharusnya kita bergembira, bukannya bersedih. Iya kan, Nel?”Nelly langsung menimpali, “Betul, Ma. Ayo sekarang kita antar Kak Rose ke kamar. Kak Rose sekamar sama Nelly nggak apa-apa ya, Kak?” ucap gadis itu seraya berpaling pada kakak pertamanya. “Kak Oliv tidur sama Mama soalnya.”Rosemary mengangguk pelan. Dia tak masalah sekamar sama siapa. Yang dipikirkannya saat ini adalah bagaimana menempuh langkah selanjutnya. Dirinya adalah anak sulung. Tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga sekarang berpindah padanya. Dia tak sampai hati ibu dan adik-adiknya tinggal terus-terusan di dalam rumah sekecil ini.Pikirannya terus berkecamuk sepanjang hari itu. Sudah tiga bulan dia dirawat di rumah sakit. Atasannya pernah datang menjenguknya sekali dan menyatakan turut berdukacita atas musibah bertubi-tu
Martha menggeleng. “Nggak usah, Rose. Mobil itu hadiah dari Papa buatmu. Jadi uang hasil penjualannya ya milikmu sepenuhnya,” katanya sambil menatap sang putri penuh haru.“Nggak, Ma. Uang itu untuk mengembalikan perhiasan-perhiasan Mama yang terpaksa dijual buat biaya pengobatan Rose di rumah sakit. Tenang saja, Rose masih punya tabungan dari gaji sebagai sekretaris dulu. Nanti Rose beli sepeda motor saja buat dipakai sehari-hari,” papar gadis itu panjang-lebar.“Sepeda motor?” tanya ibunya tak percaya. “Kamu bisa mengendarai sepeda motor?”Putrinya mengangguk. “Bisa, Ma. Diajari Owen dulu. Dia bilang mumpung masih muda, Rose sedapat mungkin mencoba segala hal yang bisa dilakukan. Karena kita tidak pernah tahu suatu saat mungkin membutuhkan keahlian mengendarai sepeda motor,” jelasnya sendu.Gadis itu jadi teringat pada sang kekasih yang te
“Maafkan pertanyaan saya ini, Pak,” potong si agen asuransi. “Apakah Bapak sudah memutuskan harga untuk membeli mobil bekas gadis itu? Sepintas lalu saya lihat mobilnya masih bagus dan terawat.”Lawan bicaranya menghela napas panjang. “Expander itu memang masih bagus dan terawat sekali, Ward. Tapi penjualan mobil bekas sedang sepi sekarang. Terus terang agak berat juga kalau aku membelinya dengan harga tinggi….”“Begini, Pak,” lanjut laki-laki necis itu. “Setelah saya perhatikan baik-baik tadi, saya akhirnya mengenali gadis itu. Dia sebenarnya adalah….”Selanjutnya si pemilik showroom mendengarkan penuturan panjang lebar agen asuransinya tersebut.***Rosemary keluar dari showroom dengan perasaan luar biasa lega. Mobil Expander-nya telah laku terjual dengan harga sesuai permintaannya. Lumayan, tujuh juta le
“Sori, Om cuma bergurau,” ujar laki-laki keren itu seraya menyalakan alarm mobil New Camry silver-nya. “Ayo masuk ke mobil. Kita berangkat sekarang. Om lapar sekali.”Sang gadis mengangguk. Beberapa saat kemudian mereka telah duduk bersebelahan. Edward menyalakan AC dan memutar lagu lawas pop romantis berbahasa Inggris. “Aku ini termasuk old fashioned dalam selera lagu, Rose. Sukanya lagu-lagu klasik ala Bryan Adams, Celine Dion, Mariah Carey, dan sejenisnya. Mereka berjaya sekali di masa muda Om. Hahaha…ketahuan ya, Om sekarang kira-kira berapa usianya? Memang udah generasi jadul, sih,” aku pria itu tanpa tedeng aling-aling. Senyumnya lebar sekali memperlihatkan sederetan gigi yang putih bersih mengkilat.Perasaan dulu dia nggak seceria ini, deh, komentar Rosemary dalam hati. Memang Om Edward selalu ramah. Maklum, dia kan marketing dan bertujuan memprospek kliennya supaya mengambil asuransi dengan
Gadis itu tersenyum kecut. “Perusahaan tempat saya bekerja dulu itu tidak menerima mobil bekas, Om,” jawabnya singkat.Mukanya tampak muram mengingat perusahaan yang memberhentikannya sepihak akibat berbulan-bulan dirawat di rumah sakit. Begitulah kalau bekerja ikut orang, sesalnya dalam hati. Bisa di-PHK kapanpun kalau dianggap tak berguna lagi.Edward yang menyadari perubahan ekspresi gadis itu berusaha memancing, “Berapa lama kamu bekerja di tempat itu, Rose?”“Dua tahun, Om.”“Lumayan juga. Kenapa berhenti?”“Saya diberhentikan, Om,” jawab gadis itu sambil menatap Edward. Sorot matanya tampak terluka. “Karena terlalu lama dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan setelah Papa meninggal itu.”“Oh, kejam sekali, ya,” komentar lawan bicaranya menunjukkan keprihatinannya. &ldqu
“Gimana kalau setelah ini kamu kuajak melihat-lihat kantor tempatku bekerja? Supaya wawasanmu semakin terbuka mengenai bisnis asuransi,” usul Edward sembari tersenyum manis sekali, Rosemary jadi semakin sungkan. Sudah dibantu menjualkan mobil dengan harga tinggi dan ditraktir makan enak, masa mau menolak permintaan sesederhana itu? cetus gadis itu dalam hati.Mau tak mau dia mengangguk. Edward senang sekali. “Good, Rose. Mumpung masih muda, kamu harus mempertimbangkan segala peluang di depan mata. Ingat, kesempatan emas jarang datang dua kali. Begitu kamu melewatkannya, orang lain yang akan menggantikan dirimu meraih kesuksesan!”Gadis itu meringis. Dia tak mengerti maksud perkataan pria ini. Bagaimana dia bisa begitu yakin aku mampu mengikuti jejak kesuksesannya di bidang yang sama sekali asing bagiku? ucap hati kecilnya penuh tanda tanya.“Maafkan saya sebelumnya, Om,” katanya hati-h
Esok harinya Minggu pagi. Rosemary dikagetkan dengan kemunculan Martha di dalam kamar tidurnya. Dia kebetulan baru bangun tidur dan belum mandi.“Mama sudah pulang?” tanyanya keheranan. “Pagi sekali.”Diregangkannya kedua tangannya ke atas untuk melemaskan otot-otot tubuhnya. Martha mendekati putrinya. Raut wajahnya tampak sendu.“Maafkan Mama, Rosemary,” cetusnya seraya memeluk erat sang putri. “Selama ini Mama sudah bersikap tidak adil kepadamu. Menghakimimu dengan kejam seolah-olah Mama adalah orang yang suci dan tak pernah berbuat kesalahan. Kamu mau memaafkan Mama, Nak?”Putri sulungnya itu terkejut. Mama…Mama sudah mau berbaikan denganku, batinnya senang. Terima kasih, Tuhan Yesus. Ini merupakan hadiah kedua terindah untuk ulang tahunku!Martha lalu menceritakan pertemuannya dengan Tiara kemarin di makam Lukman. Juga percakapan mereka di rumah makan bubur ayam kesukaannya.
“Terima kasih, terima kasih,” kata wanita itu pada orang-orang itu.Yang mengejutkan ketika Joseph dibimbing oleh Anita, gurunya, tiba-tiba berkata dengan terbata-bata, “Se…la…mat u…lang ta…hun, Bu.”Rosemary terperangah. Perasaannya terharu sekali mendengarkan anak penyandang cerebral palsy itu sanggup berbicara sepanjang itu. Biasanya dia jarang sekali berkata-kata. Kalaupun iya, paling cuma satu-dua patah kata. Ini sampai empat kata meskipun belum lancar.“Kami setiap hari beberapa kali bergantian mengajarinya, Bu,” kata Anita, sang guru, memberitahu. “Ini merupakan permintaan khusus dari Pak Chris. Katanya mau kasih kejutan buat Ibu.”Rosemary kaget mendengarnya. Dia langsung mengalihkan pandangannya pada sang mentor. Pria itu tersenyum sambil mengangguk. “Kamu kan pernah bilang ingin sekali mendengar Joseph bicara lebih panjang. Jadi kupikir akan menja
Sementara itu pada saat yang sama di Surabaya, Rosemary mengemudi mobil untuk menjemput Damian di rumahnya. Nelly ikut bersamanya. Mereka berniat pergi ke panti asuhan bertiga. Damian berkata sudah kangen dengan suasana tempat itu setelah satu bulan lebih tidak mengunjunginya. “Wah, keren banget kamu hari ini,” goda Rosemary begitu melihat sahabatnya keluar dari rumah dengan mengenakan celana pendek selutut berwarna putih, kaos polo pas badan motif garis-garis horizonthal kombinasi biru tua dan putih, serta sepatu casual tertutup berwarna biru tua. Pakaian yang dikenakan laki-laki itu membuat dadanya yang bidang dan perutnya yang rata tampak menonjol.“Ccck, ccck, ccck…. Perutmu kok tambah rata, Dam? Kalah deh, cewek. Rajin nge-gym, sih. Keren banget kan Mas-mu ini, Nel?” cetus Rosemary seraya menoleh ke jok belakang tempat adiknya duduk. Dia sendiri sudah pindah duduk di jok samping pengemudi. Karena seperti
“Kalau boleh tahu, mantan suamimu itu pergi ke mana?” pancing Martha ingin tahu. “Masa dia sama sekali nggak pernah datang mengunjungi anak-anaknya?”Tiara menggeleng pelan. “Dia menghilang begitu saja tanpa jejak, Mbak. Ada rumor dia dipenjara akibat tertangkap memakai narkoba. Juga ada yang bilang dia berhasil melarikan diri ke luar negeri. Entahlah, Mbak. Saya tidak tahu dan memang tidak mau tahu lagi. Begitu palu diketok hakim menandakan resminya perceraian kami secara hukum, saya mengambil keputusan untuk tidak berhubungan lagi dengannya. Tapi ternyata…ah, sayalah yang harus menanggung semua hutangnya pada Mas Rahmat.”“Kenapa kamu tidak melaporkan orang itu pada polisi?” tanya Martha curiga. Ia masih menyangsikan kebenaran cerita perempuan itu.Tiara tersenyum getir. “Saya terlalu takut pada ancamannya, Mbak. Saya tahu dia mempunyai kekuasaan yang besar. Lebih baik saya yang menderita daripada an
Perempuan cantik berusia pertengahan empat puluhan itu tampak gugup melihat kehadiran Martha. “Ma…maafkan saya, Mbak. Saya tidak tahu kalau Mbak berada di Balikpapan. Saya dengar Mbak sekeluarga sudah pindah ke Surabaya dan nggak pernah datang kemari lagi. Ja…jadi saya memberanikan diri mengunjungi makam Mas Lukman setahun belakangan ini…,” jelasnya dengan suara terbata-bata.Sorot matanya tampak ketakutan sekali. Keringat dingin mengalir deras dari pelipisnya. Dia sampai menyeka wajahnya dengan tisu.Sikap Martha menjadi semakin garang. Dipandanginya wanita itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. “Penampilanmu masih mewah seperti dulu. Cuma pakaianmu sudah jauh lebih tertutup sekarang. Kelihatannya kamu sudah mendapatkan mangsa baru. Begitu suamiku meninggal dunia, kamu menghilang bagaikan ditelan bumi! Siapa sangka sekarang kamu bisa muncul di sini. Rupanya masih punya hati nurani juga.”Tiba-tiba perempua
Pada suatu malam Nelly berkata pada Martha, “Ma, tiga hari lagi Kak Rosemary kan berulang tahun yang ke-35. Itu pas hari Sabtu. Aku, Mas Damian, sama Mas Chris berencana mengadakan perayaan kejutan di panti. Mama ikut, ya?”Ibunya itu mendelik. “Kamu meminta sesuatu yang sulit sekali Mama kabulkan, Nel,” cetusnya gusar. Tampak jelas dia sangat tidak menyukai ajakan anak bungsunya itu.Nelly berusaha menyabarkan dirinya. “Lalu sampai kapan Mama akan memusuhi Kak Rose? Kasihan dia, Ma. Gangguan psikosomatisnya nggak sembuh-sembuh kalau begini terus,” ucap gadis itu prihatin.“Memangnya Mama ini Tuhan, bisa menyembuhkan penyakit kakakmu? Itu semua terjadi akibat ulahnya sendiri, Nel. Salah siapa dia banyak berbuat dosa dulu? Sekarang juga berani-beraninya menentang Mama! Dasar anak durhaka!” maki Martha tak henti-hentinya. Aura kebencian tampak jelas membayang dari raut wajahnya.Nelly sampai
Satu bulan kemudian Rosemary diberi kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan pada segenap rekan-rekan kerjanya ketika sedang berlangsung pertemuan besar.Secara singkat dia bercerita bahwa memperoleh panggilan hati sebagai pekerja sosial di sebuah panti asuhan anak-anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu dengan berat hati terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai agen asuransi.“Demikian saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan sekalian atas dukungannya selama ini. Semoga Anda semua semakin sukses dan diberkati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.”Tak sedikit orang yang menyayangkan keputusan wanita itu meninggalkan karirnya yang cemerlang secepat ini. Beberapa orang mengangkat tangannya untuk mengajukan pertanyaan.Damian dengan sigap meraih mikrofon yang dipegang Rosemary dan berkata pada hadirin, “Mohon maaf sebelumnya. Ini adalah salam perpisahan dari rekan sejawat kita Rosemary Laurens. Jadi bukan
“Tumben kamu ngajak aku ngobrol di luar panti,” cetus Christopher pada Rosemary keesokan harinya. Siang itu Rosemary mengajaknya bertemu di sebuah kedai kopi yang tak jauh dari panti.“Nggak enak kalau kedengaran Bu Farida ataupun orang-orang di sana,” jawab lawan bicaranya terus terang. “Ada hal penting yang mau kutanyakan padamu, Chris.”“Apa itu?” tanya si dokter ingin tahu. Ditatapnya wanita yang duduk di hadapannya dengan mimic serius.Rosemary berdeham sejenak lalu berkata, “Kemarin malam kerongkonganku terserang rasa panas bagaikan terbakar lagi. Padahal akhir-akhir ini aku sudah bisa menerima kondisiku apa adanya. Perut mual, lidah pahit, dan kerongkongan panas sudah kuanggap merupakan bagian dari diriku dan kuterima dengan lapang dada. Tapi kejadian kemarin malam membuatku tersadar. Sampai kapan gangguan psikosomatis ini menggerogotiku? So, aku mau bertanya padamu bagaimana caranya kamu d
“Mama dengar kamu tadi mengajak adikmu pergi ke panti asuhan,” cetus Martha blak-blakan begitu tiba di kamar Rosemary.Anaknya itu mengangguk mengiyakan. “Betul, Ma. Nelly yang memintanya sendiri tempo hari. Dan aku juga sekalian mengajak Damian karena dia juga pernah bilang mau melihat-lihat panti….”Martha berdeham keras. Dia menatap tajam putri sulungnya itu. “Begini, Rose. Kalau kamu memang memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai agen asuransi demi melakukan pelayanan di tempat yang nggak penting itu, silakan. Tapi jangan pengaruhi adikmu untuk mengambil langkah yang sama denganmu. Bisa jadi gelandangan keluarga ini nanti kalau semua anggotanya bekerja cuma-cuma tanpa mendapatkan upah!” serunya berang. Kedua matanya melotot luar biasa saking marahnya.Rosemary menatap ibunya prihatin. Kok bisa-bisanya Mama berpikiran sejauh itu, batinnya pedih. Begitu pentingkah materi baginya? Padahal dia sudah pernah meras