Dominica serta Alena sama-sama menoleh ke arah pintu yang terbuka. Keduanya terbelalak terkejut saat sosok Juan muncul disana dengan senyum.
Nafas Alena tertahan melihat sosok pria yang sudah lama tak dilihatnya itu. Sejenak ia melupakan amarah Dominica dan terlena dengan penampilan maskulin sempurna Juan.
"Apakah dia sungguh Juan?" gumam Alena dalam hati. "Betapa sempurnanya Tuhan menciptakan pria satu ini," pujinya terpesona.
"Seandainya dulu aku bisa memilikinya..," batin Alena lagi.
"Alena…," bisik Juan dengan bola mata membulat sempurna menatap gadis cantik yang sedang balas menatapnya dengan bola mata sebiru langit musim panas.
"Kau… Alena?" tanya Juan ragu.
Al
Juan menatap Alena dengan raut wajah penuh pertanyaan. Ia mendesak dengan matanya agar gadis itu segera memulai ceritanya."Tunggu apalagi Alena? Mengapa kau belum mulai?" desak Dominica."Apa kau menunggu sampai ayahmu, Igor datang kemari?" sindir Dominica.Alena menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Betapa susahnya untuk mulai bercerita. Ia takut jika Juan berbalik membencinya, sama seperti ayahnya, Dominica yang begitu membencinya hingga sekarang."Tentu saja, Alena. Istrinya tewas akibat dirimu," hati kecil Alena berkata.Gadis itu menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ia siap bercerita, ia siap dengan semua resikonya. Ini adalah hukuman akibat keegoisannya dimasa lalu.
Alena terlonjak dari tempatnya saat mendengar teriakan marah Juan. Tubuhnya seketika gemetar saat melihat mata Juan yang berkilat penuh rasa sakit menatap tajam kearahnya.Sementara Dominica menahan nafas menyaksikan kemarahan putranya. Dalam hati ia lega, sang putra akhirnya mengetahui kebenaran di balik kematian ibunya. Namun jauh di lubuk hati, ia tak menginginkan Juan mengetahuinya dengan cara seperti ini.Tapi tidak ada jalan lain. Sudah berkali-kali Juan bertanya padanya mengenai kebenaran peristiwa kematian sang ibu hingga hubungan keduanya sempat meregang dan Dominica merasa tidak berguna sebagai seorang ayah.Hari ini tanpa direncanakan tiba-tiba datang Alena, berikutnya Juan. Padahal mereka sudah sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui Juan. Tapi sepertinya takdir berkata lain.
Franco duduk di belakang meja kerjanya dengan raut wajah kusut. Sebelah tangannya memijat-mijat keningnya sementara tangan satunya mengetuk-ngetuk meja dengan intens. Hal yang biasa ia lakukan jika sedang memikirkan hal yang serius.Franco tengah memikirkan surat misterius yang diterimanya beberapa hari yang lalu. Ia merasa aneh dengan isi surat itu. Lebih aneh lagi saat melihat sikap Orazio yang gelisah.Sudah 3 hari semenjak ia menyuruh pria itu menyelidiki siapa pengirim surat itu, sejak itulah dia sama sekali belum melihat Orazio lagi."Kemana dia?" gumam Franco heran.CKLEK!Pintu ruang kerja Franco terbuka dan masuklah Luciano dengan ekspresi dingin dan datar. Putranya itu semakin hari dirasa Franco sikapnya semak
Franco tak mampu menyembunyikan keterkejutannya pada ketiga sosok yang datang ke kediamannya itu."Ka-kalian bertiga…," ucap Franco shock, namun sekian detik kemudian emosinya naik dan Franco dengan berang berseru."Apa yang kalian lakukan di tempatku? Berani sekali kalian kemari!"Franco berdiri dengan wajah merah padam akibat emosinya yang menggelegak.Ketiga sosok itu tak lain adalah Dominica, Juan dan juga Alena. Sesuai dengan apa yang sudah mereka sepakati bersama, ketiganya langsung menuju kediaman Franco Marchetti."Sabar, Franco. Tenangkan dirimu dulu," ucap Dominica mencoba melunakkan hati adik iparnya itu."Jangan pernah coba-coba menyuruhku tenang, pembunuh Giann
Alena melontarkan kalimat yang tidak akan pernah disangka-sangka oleh Franco seumur hidupnya."Aku lah penyebab kematian Bibi Gianna!" seru Alena dengan suara bergetar.Franco menatap Alena dengan ekspresi tak percaya sekaligus shock atas pengakuan tak terduga gadis itu. Ia berdiri terpaku ditempatnya, nyaris kehilangan akal sehat."Ap-apa yang baru saja kau katakan, Alena?" tanya Franco tercengang. "Jangan bercanda denganku, itu sama sekali tidak lucu," gurau Franco gugup."Aku sedang tidak bergurau, tuan Franco. Aku mengatakan yang sebenarnya," balas Alena dengan mata bergetar.Sungguh sulit baginya mengakui yang sebenarnya pada Keluarga Marchetti dibanding Keluarga Maximo, sebab korbannya dari keluarga mereka dan merupakan
Sementara itu Alena yang baru saja lepas dari maut terduduk lemas di lantai bersandar pada Juan. Dengan cemas Juan terus bertanya tentang kondisi gadis itu."Aku tidak apa-apa, Juan. Sungguh," jawab Alena."Syukurlah jika kau tidak apa-apa. Coba aku lihat lehermu, sepertinya cekikan paman Franco berbekas," balas Juan penuh perhatian.Tanpa menunggu jawaban Alena, Juan langsung memeriksa leher gadis itu yang terlihat kemerahan dengan seksama.Tanpa disadari Alena menahan nafas saat wajah Juan sangat dekat dengan wajahnya. Jantungnya berdetak sangat kencang hingga ia khawatir Juan dapat mendengarnya.Ternyata dirinya masih sangat mencintai pria ini. Pria berambut cokelat ikal dengan mata cokelat teduh serta rahang tegas khas pr
Celeste meremas dadanya yang terasa sakit saat menatap Juan memapah Alena yang bersandar di dada bidang milik kekasihnya itu. Celeste yang tak tahu menahu dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi, menelan bulat-bulat pemandangan yang tersaji di hadapannya.Pun saat Dominica keluar dari kursi depan mobil, ia sama sekali tidak memperhatikan orang tua itu. Padahal jika ia mau mendinginkan kepalanya, Celeste dapat melihat dengan jelas Dominica berjalan menjauhi mobil menuju pintu rumah.Celeste telah dibutakan oleh kecemburuannya pada Alena. Kecemburuan tak berdasar yang diawali dari menduga-duga masa lalu seseorang.Air mata Celeste menetes di sudut mata, dengan menahan perih ia melangkah masuk kedalam kamar lalu menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.Disana ia menan
Juan meringkuk di ranjangnya, wajah tampannya berubah murung. Ia teringat Alena serta keputusan yang mereka ambil tadi siang.Setelah paman Franconya tenang dan bisa menerima Alena sebagai bagian dari mereka untuk mengalahkan Igor Lazovsky, ketiganya -Juan, Franco, Dominico- mulai berdiskusi tanpa mengajak Alena ikut serta.Disini Franco menegaskan kalau Alena hanya akan menjadi alat untuk mengalahkan ayahnya yaitu Igor Lazovsky yang dengan kejamnya merencanakan semua ini hanya karena ingin membalas Keluarga Maximo.Juan mengerjap, jika boleh jujur ia sebenarnya tidak menyukai rencana yang diusulkan oleh Franco Marchetti dan oleh Dominica Maximo. Jika memungkinkan ia ingin menyelesaikan semuanya dengan damai, tanpa memakan korban satu pun.Tapi jika melihat s
Juan dan Celeste tercengang menatap wanita yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Wanita yang dibawa oleh Angelo yang dikenal dingin dan anti perempuan."Angelo?" ucap Celeste bingung."Perkenalkan, namanya Fiorella. Maafkan jika aku telah lancang mengajaknya untuk tinggal disini tanpa memberitahu kalian berdua terlebih dahulu. Tapi, ada alasan mengapa aku melakukan hal ini, tuan Juan, nona Celeste," jelas Angelo."Aku Fiorella, senang berkenalan dengan anda berdua," ucap Fiorella gugup."Ada apa ini, Angelo? Tidak biasanya kau membawa wanita seperti ini?" tanya Juan blak-blakkan didepan Fiorella."Dia adalah wanita yang diceritakan oleh Davidde tadi pagi, tuan Juan," jelas Angelo.
“A-apa maksudmu, Angelo? K-kau mengajakku tinggal bersamamu? Apakah tidak terlalu cepat? Kita berdua baru saja kenal,” ucap Fiorella dengan wajah merona merah karena malu.Menyadari kalau kalimat yang diucapkannya membuat Fiorella berpikiran macam-macam, Angelo cepat-cepat mengoreksinya dengan wajah sama merahnya dengan wanita itu.“Ah, ti-tidak! Maksudku bukan seperti itu! Maafkan aku jika ucapanku membuatmu berpikiran macam-macam!”“Maksudku, aku selama ini tinggal di hotel K bersama atasanku dan juga pacarnya. Mereka menyewa seluruh lantai, sehingga banyak kamar kosong. Jika kau mau, kau bisa mengisi salah satu kamar kosong di sana sampai kami menangkap pembunuh itu,” jelas Angelo cepat-cepat.“Oh, seperti itu,” ko
Angelo melesat bagai peluru meninggalkan ruangan itu langsung masuk kedalam mobil tanpa memperdulikan Juan yang meneriakkan namanya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya satu. Fiorella.Ciri-ciri yang diceritakan oleh Davidde sangat cocok dengan Fiorella. Apalagi wanita itu membawa sekeranjang bunga, seingatnya Fiorella pernah bercerita padanya kalau ia sering membawa pulang bunga-bunga yang mulai layu untuk dikeringkan di rumahnya.“Pantas saja, dia tak membuka tokonya hari ini. Dia pasti syok dan ketakutan dengan kejadian semalam,” gumam Angelo.Tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu, Angelo bagai kerasukan menekan pedal gas dalam-dalam. Membawa mobil dengan kecepatan penuh. Hampir semua lalulintas dilewatinya tanpa perduli apakah sedang merah atau hijau. Yang ada dipikirannya sekarang adalah
Pagi itu, Angelo kembali berjalan-jalan disekitar hotel hingga ke pasaraya yang letaknya tak jauh dari sana. Ia berniat mengenal Fiorella lebih jauh lagi. Setelah percakapan pertama keduanya, sudah sekitar 3 hari ia tak melihat wanita itu. Ia disibukkan dengan pembunuhan Domenico.Pagi ini sedikit senggang, sebelum mereka kembali ke markas Klan Maximo siang ini. Angelo menyempatkan menemui Fiorella untuk bercakap-cakap.Dengan bersemangat dan dada berdebar, Angelo berjalan menuju toko bunga Fiorella. Namun seketika ia mengernyit saat melihat toko wanita itu tutup. Tidak seperti biasanya, setahu Angelo Fiorella tidak pernah menutup tokonya.Dengan rasa penasaran ia lalu mendekati penjual tembikar yang letaknya persis di samping toko bunga Fiorella."Permisi, apa kau tahu
Angelo segera memasukkan memory card tersebut kedalam saku jasnya. Setelah itu keduanya bergegas mengembalikan barang-barang tersebut pada petugas. Dengan tergesa-gesa keduanya kembali ke mobil dan segera pergi dari sana."Ini, tuan Juan," ucap Angelo sambil memberikan memory card yang disimpannya tadi."Haruskah aku lihat sekarang?" tanya Juan meminta pendapat Angelo."Mengapa tidak? Lebih cepat kita tahu isi memory card itu bukankah lebih baik? Siapa tahu disana ada petunjuk yang kita inginkan," balas Angelo ringan.
Angelo kembali ke hotel dengan suasana hati yang lebih cerah. Pertemuannya dengan wanita pemilik toko bunga, Fiorella, sedikit mencerahkan hatinya yang cukup lama berkabut.Dengan bersenandung kecil, Angelo memasuki kamar hotelnya. Ia terus teringat akan Fiorella, dadanya berdebar kencang setiap kali ia teringat wanita itu. Apakah ia jatuh cinta lagi? Pada wanita yang sama namun sedikit berbeda? Angelo menggeleng, mengusir pikiran melantur itu."Apa yang kau pikirkan, Angelo? Dia bukan Carina, dia Fiorella. Walaupun wajah mereka sama, itu bukan dia. Carina mu tidak akan kembali, sadarlah," tegurnya pada dirinya sendiri.Walau begitu, Angelo tetap memikirkan Fiorella. Memikirkan wanita itu diluar dugaan memberikan ketenangan dalam hatinya.****
Menuruti perintah Juan, Angelo segera mengumpulkan anak buah Klan Maximo kemudian memberi mereka perintah untuk menyelidiki Alonzo. Serta berpatroli minimal 3 orang, agar menghindari penyerangan yang tidak diinginkan.Sementara Domenico telah pergi meninggalkan hotel dengan mengemban tugas menyelidiki bosnya sendiri, Armando Ferrari.Juan masuk kedalam kamar hotelnya dengan semangat baru, wajahnya kini berseri-seri tidak lagi murung seperti beberapa hari lalu. Celeste yang tengah duduk santai sambil membaca majalah mode merasa senang melihat perubahan itu."Darimana kau sayang? Aku mencarimu dari tadi," tanya Celeste sambil menurunkan majalah yang dibacanya."Aku tadi habis bertemu Domenico, sayang," jawab Juan sambil mencium pipi Celeste.
Ottavio masuk ke dalam lift hotel dengan Domenico mengekor di belakang. Ia memencet tombol 7 yang artinya mereka akan ke lantai 7, dimana semua kamar di lantai itu adalah milik Juan untuk sementara dirinya tinggal di hotel itu.Domenico mengikuti Ottavio dalam diam, hanya matanya yang memperhatikan sepanjang perjalanan menuju tempat bertemu Juan dan Angelo. Tibalah keduanya di lantai 7 dan Ottavio segera keluar lift terus berjalan menuju kamar bernomor 710 sesuai instruksi yang diberikan.TOK! TOK! TOK!Ottavio mengetuk pelan pintu kamar nomor 710. Tak butuh waktu lama pintu kamar terbuka dan muncullah sosok sempurna Angelo. Ottavio terdiam, terpesona sekaligus terintimidasi oleh kehadiran Angelo. Apalagi pria itu tepat berdiri dihadapannya.Dengan bibir gemetar, Ottavio
Angelo berjalan dengan terburu-buru meninggalkan pasaraya. Wajahnya pucat dengan keringat tak berhenti mengalir."Apa ini? Perasaan apa ini?" batin Angelo tak mengerti."Mengapa aku tak punya keberanian untuk bertanya pada wanita itu," batin Angelo lagi.Kenangan masa lalu sekilas berkelebat di pelupuk mata Angelo. Senyum manisnya, tawa renyahnya, mata hijau teduhnya tak pernah Angelo lupakan sekalipun.Angelo memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Kenangan itu serta wanita yang dilihatnya di pasaraya tadi menyakitkan kepalanya.Angelo bergegas membuka pintu kamarnya lalu melempar dirinya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan diatas kening.