Alena tersentak bangun dari tidur lelapnya. Bola matanya membulat sempurna dengan ekspresi terkejut. Sementara guruh menggelegar, petir menyambar-nyambar diluar jendela menerangi kelamnya malam. Badai sedang mengamuk.
Alena dengan terengah-engah duduk di tempat tidurnya, ia berusaha mengatur nafasnya agar kembali stabil. Matanya nanar menatap gelapnya kamar. Tiba-tiba perasaannya tidak enak.
“Ada apa ini? Mengapa tiba-tiba perasaanku tidak enak seperti ini?” gumam Alena.
“Apakah telah terjadi sesuatu pada Orazio?” gumamnya lagi.
Namun Alena cepat-cepat menggelengkan kepalanya menyingkirkan pikiran buruk tersebut.
“Tidak. Tidak. Jangan berpikir seperti itu, Alena. Orazio pasti baik-baik saja,&rdqu
Bola mata Juan membesar saat mendapati Alena memeluknya erat. Ia tak menduga Alena akan melakukan hal ini. Dengan raut wajah terkejut, Juan berusaha melepaskan pelukan Alena. Namun gadis itu sangat erat memeluk dirinya.“Alena, tolong lepaskan aku. Kita berdua akan mendapat masalah jika ada yang melihat kita seperti ini,” ucap Juan sambil berusaha melepaskan pelukan Alena.“Tidak! Aku tidak ingin melepaskannya! Aku takut! Aku sungguh takut, Juan!” seru Alena seraya menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Baiklah, aku tahu kau sangat takut akan badai ini. Tapi, aku mohon lepaskanlah pelukanmu sebentar. Aku berjanji akan menemanimu hingga badai mereda,” bujuk Juan sedikit was-was.“Benarkah?” tanya Alena tak percaya.
Bola mata Alena membulat sempurna demi mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Juan."Namun, bagiku sekarang tidak ada gunanya jika aku tetap membencimu. Kau juga merasakan sakit yang sama, mungkin juga lebih," ucap Juan sambil menatap Alena."Diperlukan keberanian yang sangat besar untuk masuk kedalam kandang Singa dan mengakui semua perbuatanmu," tambah Juan.Alena tertunduk, ia terharu dengan sikap Juan. Pria itu sama sekali tak menyimpan dendam padanya, pembunuh ibunya, justru ia memperlihatkan rasa simpati dan memberikan perhatian pada dirinya yang notabene adalah musuhnya.Alena tahu, keberadaannya disini tak lebih dari sekedar sandera dan sebagai alat untuk menjatuhkan ayahnya, Igor Lazovsky. Namun Alena pun tak memungkiri keberadaannya di kediaman keluarga Ma
Sementara itu di kamarnya Celeste juga terganggu tidurnya oleh badai. Wanita itu terbangun oleh suara guruh yang memekakkan telinga serta angin kencang disertai percikan air hujan yang masuk kedalam kamarnya. Rupanya sore tadi ia lupa menutup jendela.Celeste bangkit dengan malas menuju jendela dan menutupnya dengan susah payah. Dipandanginya badai yang mengamuk di luar sana. Ia tidak takut, sebab didalam sini ia aman.Celeste menjauhi jendela dan kembali naik ke tempat tidurnya, berbaring mencoba kembali tidur. Tidak bisa. Suara badai yang mengamuk di luar mengganggu indera pendengarannya. Padahal sore tadi cuaca sangat bagus. Tidak ada tanda-tanda akan adanya badai. Prakiraan cuaca di TV pun tidak menyampaikan apa-apa terkait badai malam ini.Dengan sedikit kesal Celeste bangkit dan duduk di atas tempa
"Apakah kau menyukainya?" tanya Celeste dengan mata menyipit curiga.Juan terkejut bukan main mendengar pertanyaan tak terduga yang keluar dari mulut kekasihnya itu. Ia tergagap dan berdiri dengan gelisah. Ia bingung harus menjawab apa."Juan. Tatap mataku dan jawab pertanyaanku dengan jujur," perintah Celeste pada kekasihnya.Juan menatap wajah Celeste, namun ia masih menutup mulutnya rapat-rapat. Ia sungguh tak tahu harus menjawab apa. Saat ini ia tak yakin dengan hatinya. Bimbang."Mengapa kau tak menjawab pertanyaanku, Juan?" desak Celeste."Aku… saat ini aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, sayang," jawab Juan akhirnya."Mengapa? Jika kau tidak memiliki perasaan pada
Matahari pagi bersinar cerah. Badai semalam telah hilang entah kemana meninggalkan sisa-sisa darinya. Celeste yang akhirnya tertidur lelap setelah lelah menangis mengerjapkan matanya saat sinar matahari tepat jatuh di wajahnya dari jendela yang tirainya terbuka.Ia menggeliat malas dibalik selimut tebalnya. Perlahan ia membuka matanya namun otaknya dengan cepat mengingat kejadian semalam hingga wajahnya langsung berubah murung.Tiba-tiba ia merasa sangat malas bangkit dari tempat tidurnya. Ia malas keluar dari kamarnya dan ia malas untuk melakukan apapun. Ia hanya ingin diam seperti ini, didalam kamarnya tanpa melakukan apapun.Ia tidak ingin diganggu siapapun, baik itu para pelayan ataupun Juan. Celeste merasa dirinya amat rapuh saat ini, sedikit saja ada yang menyinggung dirinya mungkin dia akan langsung meledak.
Dengan raut wajah ketakutan dan tubuh gemetar, Celeste mengikuti Juan dari belakang. Suara tembakan terus terdengar di sana sini memekakkan telinga. Reruntuhan bangunan yang hancur oleh tembakan senjata berat berserakan di lantai.Dengan hati-hati Celeste dan Juan melangkah menghindari puing-puing serta tembakan yang terdengar cukup dekat dari tempat keduanya berjalan.Celeste ketakutan setengah mati, sebab ini adalah pengalaman pertamanya berada dalam suasana perang seperti ini. Celeste bergidik ngeri membayangkan salah satu peluru itu tiba-tiba mengenai dirinya.“Hey, apa yang kau pikirkan, sayang?” tegur Juan membubarkan lamunan Celeste.“Hah? Ti-tidak ada apa-apa, Juan,” jawab Celeste tergagap.&ld
“Apa yang kau katakan, tuan Juan?” tanya Angelo yang tak bisa menutupi keterkejutannya.“Aku bilang, aku akan tetap disini. Aku ingin ikut berperang melawan Igor dan anak buahnya,” jawab Juan dengan wajah penuh tekad.“Tidak! Kau tidak boleh ikut berperang, tuan Juan. Kau harus ikut Carlos ke tempat perlindungan!” balas Angelo tegas.“Tidak. Tidak. Aku harus ikut, Angelo. Aku harus membalas dendamku pada pria yang telah membunuh mamaku. Ini kesempatanku!” tolak Juan keras kepala.“Anda tidak boleh bersikap seperti ini, tuan Juan,” ucap Carlos. “Anda adalah penerus Klan Maximo, tidak boleh terjadi apa-apa pada anda. Anda harus mendengarkan kata-kata Angelo, pergi ke tempat perlindungan.” tambah pria b
Matanya mencari kesana kemari ditengah peluru yang berdesing tak henti-hentinya, kalau-kalau ia melihat sang ayah disana. Nihil. Tidak ada tanda-tanda Dominica di ruangan ini."Dimana dia?" Batin Juan resah.Ia lalu keluar dari persembunyiannya dan menembakkan pistolnya yang langsung mengenai musuh di depannya. Rupanya anak buah Igor sudah memasuki ruangan ini.Juan berlari dengan kencang ke arah depan. Ia bertekad untuk sedekat mungkin agar dapat membunuh Igor Lazovsky, sang pembunuh ibunya.Juan kembali menembak tak henti-hentinya, menghabisi musuh-musuhnya dengan tatapan penuh kebencian. Diluar dugaan, dirinya ternyata seorang penembak handal. Angelo yang mengekor ketat dibelakangnya berdecak kagum melihat kepiawaian Juan dalam menembak.
Juan dan Celeste tercengang menatap wanita yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Wanita yang dibawa oleh Angelo yang dikenal dingin dan anti perempuan."Angelo?" ucap Celeste bingung."Perkenalkan, namanya Fiorella. Maafkan jika aku telah lancang mengajaknya untuk tinggal disini tanpa memberitahu kalian berdua terlebih dahulu. Tapi, ada alasan mengapa aku melakukan hal ini, tuan Juan, nona Celeste," jelas Angelo."Aku Fiorella, senang berkenalan dengan anda berdua," ucap Fiorella gugup."Ada apa ini, Angelo? Tidak biasanya kau membawa wanita seperti ini?" tanya Juan blak-blakkan didepan Fiorella."Dia adalah wanita yang diceritakan oleh Davidde tadi pagi, tuan Juan," jelas Angelo.
“A-apa maksudmu, Angelo? K-kau mengajakku tinggal bersamamu? Apakah tidak terlalu cepat? Kita berdua baru saja kenal,” ucap Fiorella dengan wajah merona merah karena malu.Menyadari kalau kalimat yang diucapkannya membuat Fiorella berpikiran macam-macam, Angelo cepat-cepat mengoreksinya dengan wajah sama merahnya dengan wanita itu.“Ah, ti-tidak! Maksudku bukan seperti itu! Maafkan aku jika ucapanku membuatmu berpikiran macam-macam!”“Maksudku, aku selama ini tinggal di hotel K bersama atasanku dan juga pacarnya. Mereka menyewa seluruh lantai, sehingga banyak kamar kosong. Jika kau mau, kau bisa mengisi salah satu kamar kosong di sana sampai kami menangkap pembunuh itu,” jelas Angelo cepat-cepat.“Oh, seperti itu,” ko
Angelo melesat bagai peluru meninggalkan ruangan itu langsung masuk kedalam mobil tanpa memperdulikan Juan yang meneriakkan namanya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya satu. Fiorella.Ciri-ciri yang diceritakan oleh Davidde sangat cocok dengan Fiorella. Apalagi wanita itu membawa sekeranjang bunga, seingatnya Fiorella pernah bercerita padanya kalau ia sering membawa pulang bunga-bunga yang mulai layu untuk dikeringkan di rumahnya.“Pantas saja, dia tak membuka tokonya hari ini. Dia pasti syok dan ketakutan dengan kejadian semalam,” gumam Angelo.Tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu, Angelo bagai kerasukan menekan pedal gas dalam-dalam. Membawa mobil dengan kecepatan penuh. Hampir semua lalulintas dilewatinya tanpa perduli apakah sedang merah atau hijau. Yang ada dipikirannya sekarang adalah
Pagi itu, Angelo kembali berjalan-jalan disekitar hotel hingga ke pasaraya yang letaknya tak jauh dari sana. Ia berniat mengenal Fiorella lebih jauh lagi. Setelah percakapan pertama keduanya, sudah sekitar 3 hari ia tak melihat wanita itu. Ia disibukkan dengan pembunuhan Domenico.Pagi ini sedikit senggang, sebelum mereka kembali ke markas Klan Maximo siang ini. Angelo menyempatkan menemui Fiorella untuk bercakap-cakap.Dengan bersemangat dan dada berdebar, Angelo berjalan menuju toko bunga Fiorella. Namun seketika ia mengernyit saat melihat toko wanita itu tutup. Tidak seperti biasanya, setahu Angelo Fiorella tidak pernah menutup tokonya.Dengan rasa penasaran ia lalu mendekati penjual tembikar yang letaknya persis di samping toko bunga Fiorella."Permisi, apa kau tahu
Angelo segera memasukkan memory card tersebut kedalam saku jasnya. Setelah itu keduanya bergegas mengembalikan barang-barang tersebut pada petugas. Dengan tergesa-gesa keduanya kembali ke mobil dan segera pergi dari sana."Ini, tuan Juan," ucap Angelo sambil memberikan memory card yang disimpannya tadi."Haruskah aku lihat sekarang?" tanya Juan meminta pendapat Angelo."Mengapa tidak? Lebih cepat kita tahu isi memory card itu bukankah lebih baik? Siapa tahu disana ada petunjuk yang kita inginkan," balas Angelo ringan.
Angelo kembali ke hotel dengan suasana hati yang lebih cerah. Pertemuannya dengan wanita pemilik toko bunga, Fiorella, sedikit mencerahkan hatinya yang cukup lama berkabut.Dengan bersenandung kecil, Angelo memasuki kamar hotelnya. Ia terus teringat akan Fiorella, dadanya berdebar kencang setiap kali ia teringat wanita itu. Apakah ia jatuh cinta lagi? Pada wanita yang sama namun sedikit berbeda? Angelo menggeleng, mengusir pikiran melantur itu."Apa yang kau pikirkan, Angelo? Dia bukan Carina, dia Fiorella. Walaupun wajah mereka sama, itu bukan dia. Carina mu tidak akan kembali, sadarlah," tegurnya pada dirinya sendiri.Walau begitu, Angelo tetap memikirkan Fiorella. Memikirkan wanita itu diluar dugaan memberikan ketenangan dalam hatinya.****
Menuruti perintah Juan, Angelo segera mengumpulkan anak buah Klan Maximo kemudian memberi mereka perintah untuk menyelidiki Alonzo. Serta berpatroli minimal 3 orang, agar menghindari penyerangan yang tidak diinginkan.Sementara Domenico telah pergi meninggalkan hotel dengan mengemban tugas menyelidiki bosnya sendiri, Armando Ferrari.Juan masuk kedalam kamar hotelnya dengan semangat baru, wajahnya kini berseri-seri tidak lagi murung seperti beberapa hari lalu. Celeste yang tengah duduk santai sambil membaca majalah mode merasa senang melihat perubahan itu."Darimana kau sayang? Aku mencarimu dari tadi," tanya Celeste sambil menurunkan majalah yang dibacanya."Aku tadi habis bertemu Domenico, sayang," jawab Juan sambil mencium pipi Celeste.
Ottavio masuk ke dalam lift hotel dengan Domenico mengekor di belakang. Ia memencet tombol 7 yang artinya mereka akan ke lantai 7, dimana semua kamar di lantai itu adalah milik Juan untuk sementara dirinya tinggal di hotel itu.Domenico mengikuti Ottavio dalam diam, hanya matanya yang memperhatikan sepanjang perjalanan menuju tempat bertemu Juan dan Angelo. Tibalah keduanya di lantai 7 dan Ottavio segera keluar lift terus berjalan menuju kamar bernomor 710 sesuai instruksi yang diberikan.TOK! TOK! TOK!Ottavio mengetuk pelan pintu kamar nomor 710. Tak butuh waktu lama pintu kamar terbuka dan muncullah sosok sempurna Angelo. Ottavio terdiam, terpesona sekaligus terintimidasi oleh kehadiran Angelo. Apalagi pria itu tepat berdiri dihadapannya.Dengan bibir gemetar, Ottavio
Angelo berjalan dengan terburu-buru meninggalkan pasaraya. Wajahnya pucat dengan keringat tak berhenti mengalir."Apa ini? Perasaan apa ini?" batin Angelo tak mengerti."Mengapa aku tak punya keberanian untuk bertanya pada wanita itu," batin Angelo lagi.Kenangan masa lalu sekilas berkelebat di pelupuk mata Angelo. Senyum manisnya, tawa renyahnya, mata hijau teduhnya tak pernah Angelo lupakan sekalipun.Angelo memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Kenangan itu serta wanita yang dilihatnya di pasaraya tadi menyakitkan kepalanya.Angelo bergegas membuka pintu kamarnya lalu melempar dirinya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan diatas kening.