Keluarga Tar dan Alex sepakat untuk membawa satu mobil saja. Tentunya kedua anak itu duduk dibangku paling belakang. Mereka masih larut dalam pemikiran masing-masing. Tar sibuk mencari cara agar Alex percaya perkataannya. Sedangkan Alex berencana memberikan kejutan spektakuler untuk sepupunya tercinta. Jalanan sepi dengan tanjakan yang berkelok-kelok. Kanan-kiri jalan yang mereka lewati adalah hutan pinus. Sesekali terlihat monyet kecil bergelantungan pada batang pohon bersama kelompoknya. Sedikit sekali jumlah mobil yang berpapasan. Hawa dingin mulai terasa hingga menembus kulit. Alex segera mengenakan sweter bergaris hitam dan putih yang sedari tadi hanya ia tempelkan dipundaknya. Dua jam kemudian samapailah dua keluarga itu pada tempat tujuan.
Alex dan Tar mulai berpisah dari orang tuanya dan mencari tempat yang cocok untuk melanjutkan obrolan mereka yang sempat terhenti.
“Aku haus. Mana soft drink yang tadi tante bawa?” Alex memecah suasana.
“Dasar bayi besar. Tangkap tasku! Ambil di bagian paling depan!” lemparan Tar tepat sasaran.
“Tempat apa dulunya ini Tar?” tanya Alex.
“Belum tahu pasti. Ada yang menyebut sebagai tempat pemujaan kepada Dewa. Ada juga yang berpendapat tempat ini sebagai pendaratan alien di bumi.”
“Mulai lagi,” Alex tidak suka dengan penjelasan tambahan tentang alien. Namun, ia juga merasa penasaran dengan relief[1] di tempat pemujaan. Ada manusia kera, manusia burung, dan lain sebagainya.
“ya sudah lah kalau tidak percaya.”
“Bukan begitu Tar. Ayo kita mendekat ke arca seberang jalan!” pinta Alex.
“Arca setengah manusia setengah burung itu?” telunjuk Tar mengarah ke sebuah arca bersayap tanpa kepala.
“Iya, aku penasaran dimana kepalanya. Yuk kita cari!” Alex asal membual
“Jaga ucapanmu Lex! Arca itulah yang kumaksudkan. Kepalanya patah. Sekarang disimpan di museum agar tidak dicuri orang. Bentuknya mirip relief yang terukir di dinding candi sebelah utara.”
Alex semakin penasaran. Ia berlari ke arah arca itu. Tar tampak ketakutan dan mengikutinya dari belakang. Sampai di sana Alex memegang sayap kanan arca itu dan melakukan selfi. Sebelum Tar mendekat, Alex meludah di atas kaki arca. Tampak dari kejauhan Tar terkejut. Ia menghentikan langkahnya. Mulutnya menganga. Sedetik kemudian ia meraih tangan Alex dan menyeretnya menjauh dari arca itu. Tar memukul Alex dua kali. Alex jatuh tersungkur tanpa melawan.
“Apa yang kau perbuat? Bukankah aku menyuruhmu untuk berhati-hati? Kenapa kau melakukan pelecehan seperti itu?” Tar hilang kendali.
“Cukup! Dongeng pengantar tidurmu tidak menarik sama sekali. Lihat, aku baik-baik saja kan? Kutukan apa yang bisa dilalukan oleh batu pahat? Ceritamu hanya sebatas imajinasi.”
Tiba-tiba banyak orang mendekat untuk melihat perkelahian mereka. Tar segera sadar. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian pengunjung lain. Terlebih lagi gadis-gadis mulai berbisik dan memandangi mereka secara bergantian. Tar membantu Alex berdiri dan membawanya pergi.
“Mama, ayo kita ke penginapan sekarang!” pinta Tar.
“Kenapa tiba-tiba? Ya ampun, apa yang terjadi dengan Alex? Pipinya membiru,” Mama Tar tampak khawatir.
“Aku baik-baik saja tante. Hanya sedikit lelah dan ingin segera tidur,” Alex merasa tidak nyaman dengan keadaannya. Ia tidak menyangka Tar bakal semarah ini dan sangat paranoid dengan kutukan.
Akhirnya keluarga Alex dan Tar segera menuju ke penginapan. Mulailah ketidak normalan yang dirasakan Alex. Setibanya di villa Alex merasa begitu lapar. Ia membuka bekal makanan dari dalam wadah besar. Ada sandwich isi daging asap kesukaannya. Begitu satu gigitan masuk ke dalam mulut, Alex`segera memuntahkannya. Rasanya sangat aneh dan membuatnya mual. Ia mencari makanan lainnya. Ada pizza masih di dalam boxnya. Ia mengambil sepotong dan mencicipinya. Sekali lagi ia muntahkan makanannya. Lau Alex mengambil air mineral. Wajahnya pucat. Kemudian ia asal memakan buah pisang. Ia mengambil satu dan ternyata masih kurang. Tidak terasa ia sudah menghabiskan empat buah.
“Alex apa kau baik-baik saja?” tanya Tar.
“Seperti yang terlihat, aku hanya sedang menikmati makananku,” jawab Alex singkat.
“Sejak kapan kau bisa makan pisang? Bukankah sedari kecil kau tidak tahan baunya? Bahkan kau muntah saat mencoba mencicipi sedikit,” Tar mulai khawatir.
Alex menghentikan makannya. Ia teringat apa yang Tar ucapkan. Benar, selama ini ia sangat membenci buah pisang. Aromanya membuat perutnya bergejolak. Mama pun tidak pernah membeli pisang karena tahu Alex alergi baunya. Namun, baru saja ia melahap buah pisang dan baik-baik saja.
“Aku tidak tahu. Pisang ini rasanya enak. Oh ya, sandwich sudah basi. Pizzanya juga membuatku muntah. Jangan dimakan Tar!” Alex` memberi saran.
“Masa sih? Mama yang membuat sandwich itu sebelum kau datang. Aku memesan pizza langgananku,” Tar tidak percaya dengan ucapan sepupunya. Ia mencicipi kedua makanan itu bergantian. Pizzanya ia makan dengan cepat. Sandwichnya ia lahap hanya dengan dua suapan. “Lihat Lex, ini enak sekali. Aku baik-baik saja. Ini sangat lezat. Mungkin kau memang harus istirahat,”
Alex merasa agak was-was. Ada apa dengan lidahnya? Pizza itu terasa seperti lendir dan roti isi daging asapnya sangat pahit dan sedikit asam di mulutnya.
“Apa yang salah dengan diriku Tar?”
“Istirahatlah! Mari aku antar.”
Tar dan Alex pergi dari ruangan itu menuju ke kamar. Mereka melewati teras belakang. Terlihat jelas villa lainnya dengan jarak lima meter. Hari ini tempat penginapan banyak yang penuh. Setelah itu mereka memasuki ruang tengah. Tiba-tiba Alex mendengar sesuatu. Percakapan di dalam ruangan.
“Lihat tampangnya! Anak ingusan itu pantas mendapatkannya!”
“Karma memang tidak pernah salah. Malam ini akan ada pertunjukkan spektakuler.”
Alex melihat ke segala arah. Ia mencari dari mana asal sumber suara. Rasanya begitu dekat. Namun, tidak seorangpun dilihatnya. Ia berbalik, tetapi tetap nihil.
“Kenapa lagi Lex?” Tar ikut kebingungan melihat tingkah laku Alex.
“Suara itu Tar. Siapa yang mengobrol? Sepertinya di dalam ruangan ini,” mata Alex masih mencari-cari seperti ketakutan.
“Tidak ada orang selain kita berdua. Mama Papa kita masih berjalan-jalan mengelilingi kompleks villa.”
“Apakah kau tidak mendengar seseorang berbicara tentang karma?”
“Karma? Apalagi sih Lex? Daritadi hanya kicauan burung yang terdengar,” Tar menjawab sambil menunjuk ke arah dua burung dalam sangkar berbeda yang letaknya berdekatan dengan lampu.
Alex menatap ke arah burung itu. Lalu sesuatu yang membuat bulu romanya berdiri terjadi.
“hai bung, selamat datang!” salah satu burung menyapa Alex.
Alex belum percaya dengan apa yang dialaminya. Ini pasti hanya halusinasi. Tidak mungkin burung itu berbicara padanya. Selama ini hidupnya sangat normal. Tiba-tiba burung di sebelahnya ikut memberi salam.
“hai bocah! Salam kenal. Memang benar ada yang berbicara tentang karma. Kami yang kau cari.”
Alex mundur dua langkah. Lalu menjerit sekencang-kencangnya. Spontan Tar memegangi saudaranya yang dalam sekejab berubah histeris. Ia mencoba menenangkan Alex sekaligus menahan rasa takut yang menyergapnya.
“Sadar Lex1 apakah kau kerasukan? Alex, aku Tar. Aku masih bersamamu,” Tar mencoba menyadarkan Alex dengan menepuk pipinya berkali-kali.
Jeritan Alex semakin kencang disertai dengan tangisan. Beberapa menit kemudian ia jatuh pingsan. Orang tuanya kembali ke villa dengan penuh tanda tanya. Mereka bersama-sama membawa Alex ke dalam kamar. Tar menjelaskan kejadian yang dialaminya dengan terbata-bata. Dua keluarga itu sepakat membawa Alex ke dokter setelah ia bangun. Tar masih ketakutan hingga memilih menunggu di ruang tv.
Menjelang malam Alex baru tersadar. Ia sendirian di dalam kamar. Terdengar suara tv disertai obrolan orang tuanya serta tante dan om. Ia hendak keluar. Namun, kedua lengannya terasa amat gatal. Ia menggaruk, terus menggaruk tanpa terkendali. Bibirnya juga mendadak kaku. Kakinya seperti kram. Keadaannya begitu payah. Akhirnya ia memutuskan untuk memanggil Tar. Anehnya, yang keluar dari mulutnya justru pekikan. Suaranya mendadak lucu.
Tar mendengar suara berisik yang tidak biasa dari kamar tempat Alex`tidur. Meski masih ketakutan, ia memberanikan diri mengecek ke dalam kamar sendirian. Semua persiapannya lengkap. Tangan kanannya memegang sebuah benda yang dianggapnya begitu penting. Perlahan-lahan Tar membuka pintu kamar. Betapa kagetnya saat pintu terbuka sedangkan Alex sudah tidak ada. Ia malah melihat makhluk mengerikan setengah burung setengah manusia sedang duduk di atas kasur. Seketika Tar berteriak kencang.
“Mama...Papa.. monster! Ada monster di kamar!” sambil masih berteriak minta tolong, Tar melempar bubuk putih yang ada di dalam toples kecil ke arah makhluk aneh yang dilihatnya.
Seketika bau bawang putih memenuhi ruangan. Tar tidak bohong. Bubuk putih itu memang bawang. Makhluk aneh itu terperanjat mendengar teriakan Tar. Ia juga tidak suka dengan bubuk bawang yang kini menempel di seluruh badannya. Tiba-tiba makhluk itu mendekat ke arah Tar. Namun, Tar segera melemparinya dengan semua jimat yang sengaja ia bawa dari rumah. Saat suasana semakin kacau, makhluk itu reflek menghadap ke arah cermin. Lucunya, makhluk aneh itu justru histeris dan terkejut melihat bayangannya dari pantulan cermin. Lalu lari menjauh keluar villa.
Keadaan bertambah gaduh. Suara Tar membuat para penyewa villa lainnya berhamburan keluar. Beberapa di anatara mereka juga sempat melihat langsung wujud monster yang dimaksud oleh Tar. Makhluk aneh itu lari ke arah hutan pinus. Jeritan tentang monster semakin riuh. Ada beberapa orang pemberani mulai mengejar sosok mengerikan setengah manusia setengah burung dengan membawa penerangan dan senjata tajam.
[1] Seni pahat dan ukiran 3 dimensi yang biasanya dibuat di atas batu. Banyak ditemukan pada candi-candi periode hindu budha.
“Tangkap monster itu!” Teriakan orang-orang semakin menggila.Kaki Alex terasa begitu sakit. Badannya pegal-pegal. Ia tidak paham bagaimana hal aneh ini bisa menimpa dirinya. Wujudnya mendadak berubah menyeramkan menyerupai monster burung. Ia menjelma menjadi manusia burung setelah bangun tidur. Tar tidak mengenalinya lagi. Alex masih trauma mengingat pantulan dirinya dari cermin yang ada di kamar villa. Bulu-bulu halus dan panjang tumbuh di bawah lengannya. Bibirnya berubah menjadi paruh kecil yang keras. Ketampanannya lenyap seketika.Cahaya bulan purnama menjadi penerang jalan satu-satunya bagi Alex. Jalanan ke arah hutan dipenuhi rumput berduri. Kaki Alex berdarah akibar tertusuk duri berkali-kali. Rasanya ia ingin menjerit sekeras-kerasnya. Namun, hal itu terlalu berbahaya bagi keselamatannya. Satu hal yang mungkin ia lakukan ialah lari lebih jauh dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi hingga wujudnya kembali seperti sedia kala. Pikirannya kaca
“Selamat datang di Falseland Kinara!” suara Medusa menyadarkan Kinara. Kinara berkedip-kedip untuk menyesuaikan diri pada cahaya terang di tempat yang amat asing. Pandangannya penuh selidik melihat ke segala penjuru. Kanan, kiri, depan, belakang, atas, bawah. Ia terkejut menatap makhluk aneh yang ada di depannya. Sepasang pegasus[1] berdiri di samping Anubis dan Medusa. Warnanya putih. Sayapnya lebar dan sangat indah. Sejenak Kinara tampak terpesona.“Kami pergi dulu. Beradaptasilah dengan baik! Ingat misimu di sini adalah untuk menjadi manusia lagi. Baiklah pada semua makhluk meski mereka tampak berbeda dari dirimu,” Anubis berkata bijak seraya naik ke punggung pegasus. Medusa menyusulnya. Sedetik kemudian keduanya terbang ke langit dan meninggalkan Kinara seorang diri. Falseland, tempat itu sangat jauh da
“Bentangkan sayapmu! Cepat!” suara Kappa sangat jelas. Kinara mencoba membentangkan tangannya. Sayapnya terbuka lebar. Sedetik kemudian ia mengambang di udara. Tepat satu meter di atas permukaan tanah. Hampir saja ia mati konyol. Seperti burung kecil yang baru belajar terbang, Kinara merasa bahagia. Kepakan sayapnya kuat dan ia segera terbang bebas ke arah langit. Pengalaman yang sangat menakjubkan. Ternyata terbang lumayan melelahkan. Ia putuskan untuk berbincang kembali dengan Kappa.“Bolehkah aku meminta sedikit air kolam ini? Aku kehausan.”“Bravo! Akhirnya kau paham Kinara. Ijin untuk meminta sesuatu sangat penting di sini,” Kappa tersenyum ramah.“Wow airnya segar. Rasanya mirip strawberry squash. Apakah ini air soda dicampur buah-buahan?” pertanyaan Kinara membuat Kappa tersenyum.“Bukan seperti itu. Selama ini air di sini
Hujan deras disertai petir menggelegar membuat suasana rumah Tar bertambah suram. Sudah sebulan sejak Alex menghilang belum ada sama sekali petunjuk yang berarti. Pihak kepolisian sudah menangani kasus itu dengan usaha yang maksimal. Dua orang detektif muda masih terus mencari jejak dan bukti-bukti demi menemukan kembali orang bernama Alex yang dilaporkan hilang secara misterius di sebuah villa dekat dengan hutan pinus.“Kasus ini membuatku gila. Apakah kau percaya takhayul?” salah satu detektif yang bernama Marko bertanya kepada rekannya.“Aku tipikal orang yang selalu realistis. Bisa jadi ini kasus penculikan untuk penjualan organ vital. Susah dipecahkan karena sang pelaku sangat jeli dan teliti. jika kita mampu memecahkannya mungkin sindikat penjualan organ ini bisa segera kita ringkus,” jawab detektif Devgan.“Please! Beberapa saksi di lokasi kejadian menyebut melihat monster menyerupai manusia burung. Jika itu satu orang saksi,
Suasana hutan menjadi riuh. Burung-burung beterbangan karena kaget mendengar suara keras. Tar berlari mengikuti detektif Devgan. Hutan itu seakan menolak kehadiran mereka berdua. Akhirnya ada sebuah batu yang besar dan memiliki lubang di bagian tengah. Sepintas bentuknya mirip gua dan menjadi alternatif terbaik sebagai tempat sembunyi. Baik Tar maupun detektif Devgan belum bisa bernapas lega. Keduanya sulit berhirup oksigen dan penuh keringat dingin. Senter yang mereka bawa benar-benar berguna dalam keadaan seperti itu. Mereka berdua segera membersihkan sedikit tempat untuk sekedar duduk dan bersandar. Sebenarnya tempat itu berbau menyengat. Sisa-sisa buah busuk bercampur kotoran hewan bertebaran di mana-mana. Namun, mereka berdua tetap bertahan.“Bagaimana keadaanmu? Apakah baik-baik saja?” tanya detektif Devgan.“Buruk. Napasku masih belum stabil. Jantungku hampir copot. Suara apa itu tadi? Kenapa kita harus melarikan diri seperti ini?” Tar be
Secepatnya polisi segera di TKP (tempat kejadian perkara) penemuan tulang belulang manusia. Detektif Devgan menyalakan alarm bantuan. Kini, hutan itu menjadi semakin ramai oleh polisi bersama tim forensik dan media yang hendak meliput berita. Hewan-hewan penghuni hutan semakin kuwalahan menghadapi para manusia yang tingkat kepekaannya rendah untuk sedikit memahami tata krama saat berada di alam terbuka.“Bodoh! Mengapa kau bergerak sendiri tanpa berdiskusi dengan tim?” suara detektif Marko meninggi. Mukanya memerah karena menahan amarah.“ya, kuakui bahwa tindakanku gegabah. Namun, kau sama sekali tidak peduli dengan penuturan dari saksi kunci sehingga kita belum bisa menemukan apa-apa,” detektif Devgan merasa lelah dan banyak tanah mengotori baju serta celananya.“Mitologi lagi yang kau bahas. Sadarlah! Kau telah membawa saksi ke dalam keadaan berbahaya. Jika kerangka yang kau temukan itu adalah korban pembunuhan, berarti pelaku bi
“Bangunlah! Ayo bangun! Kumohon, jangan mati di sini!” Sebuah suara yang masih asing bagi Kinara terdengar dari samping kirinya. Perlahan mata Kinara mulai terbuka. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya redup yang ada di dalam ruangan sempit. Udaranya pengab dan terasa panas. Bulu-bulunya seperti mengering. Kepalanya masih pening. Tangan kanannya terasa ngilu, berat, perih, dan macam-macam bercampur menjadi satu. Alas tidurnya keras. Meski begitu terlalu hangat seperti di samping perapian. Tenaganya terkuras habis. Entah kenapa ia sangat ingin minum. Perutnya juga lapar.“Di mana aku?” suara Kinara terdengar lirih seperti orang berbisik.“Astaga, terimakasih. Akhirnya kau sadar juga. Kita sudah berada di tempat ini selama dua hari,” manusia kelinci memegang kakinya dan tersenyum senang.“Kau siapa? Tempat apa ini?”“Rupanya
Hujan api telah berhenti. Kinara dan Rhara masih berada di dalam terowongan dengan persediaan makanan yang semakin menipis. Rasa haus mencekik kerongkongan Kinara. Rhara masih memantau sekeliling menggunakan teropong tahan api.“Bagaimana keadaan di luar? Kapan kita mulai mencari air? Aku mulai dehidrasi,” Kinara terbatuk-batuk sedikit dan mengusap keringat yang terus bermunculan di dahinya.“Lihatlah sendiri keadaan di luar!” Rhara menyerahkan teropongnya. Mata Kinara terasa pedih. Terlihat suasana di luar terowongan masih penuh kabut disertai asap. Lama-lama api mulai mengecil kemudian benar-benar padam. Semua pohon, rumput, dan bunga-bunga habis dilalap api. Langit berwarna abu-abu pekat. Negeri dongeng itu luluh lantah dalam waktu singkat. Sekarang menyerupai pada abu. Dominasi warna masih hitam dan sedikit putih dari kepulan asap. Kering kerontang tanpa ada air.
Ah, benar-benar minim pengetahuan. Kinara menghirup napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan. Ia ingin merelaksasi diri. Bisakah ia melakukan koprol di sini? Tentu saja tidak akan ada yang berkomentar tentang perilakunya yang aneh. Huh, pernyataan Camazotz membuatnya tidak berkutik. Seandainya Rhara tidak hilang, ia tidak harus menanggung malu.“Kinara, aku ada urusan sebentar. Temuilah manusia angsa lebih dulu. Nanti kita berkumpul lagi di tempat manusia cumi-cumi tinggal,” Harpi meminta ijin.“Memangnya ada keperluan apa? Mengapa kita tidak pergi bersama-sama?” tanya Kinara penasaran.“Ada hal pribadi yang mau aku urus. Menyangkut masalah perempuan. Aku tidak melibatkanmu dalam masalah ini,” Harpi tersipu malu.“Maaf, kupikir hal biasa.” Kinara jadi salah tingkah. “Yang terpenting nanti kita bisa bertemu lagi tepat waktu. Jangan sampai kita terpisah. Kau paham kan? Aku masih trauma dengan kejadi
Keceriaan manusia kelinci yang selalu mengisi hari-hari Kinara, kini menguap bagai air yang mendidih, menyusut, lalu habis tanpa sisa. Cita-cita besar untuk bisa kembali ke dunia asal bersama-sama seakan terputus. Kinara merasa seperti ulat yang gagal bermetamorfosis sebagai kupu-kupu. Berbagai tahapan telah dilalui dengan baik. Sayangnya, takdir berkata lain.“Ku rasa, kita memang harus melanjutkan perjalanan. Jika terus-menerus di sini, aku tetap mengingat Rhara.” Kinara bangkit dan mengepakkan sayapnya. Harpi membimbing Kinara agar terbang berdampingan. Mereka menuju gua harapan. Kinara sekarang berpikir lebih logis. Ia beruntung memiliki teman dekat seperti Harpi. Selain cantik, Harpi cepat move on dari peristiwa kelam yang dilaluinya. Ia tetap sedih, tapi tidak terlarut-larut. Mungkin Harpi sadar bahwa tindakan seperti itu menghabiskan energi.
Udara semakin dingin. Hujan es sedikit reda. Tanah dipenuhi es padat. Terasa sakit saat kaki telanjang menginjaknya. Hawa dingin dari es memicu rasa ngilu. Suhu badanpun menurun drastis.Kinara histeris. “Rhara... Rhara!” teriaknya membabi buta.Harpi berbalik dan menggapai Kinara. “Kendalikan dirimu, Kinara! Rhara jatuh ke bawah!” Harpi memegangi tubuh Kinara yang terus berontak.“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku harus turun ke bawah. Rhara akan ku selamatkan.” Tangis Kinara pecah di sela hujan es.Harpi memeluk erat Kinara. “Ini kecelakaan. Bukan salah siapapun. Tenanglah Kinara, kumohon! Kita bisa celaka semuanya jika turun ke jurang sekarang!” Harpi ikut menangis dan berusaha menenangkan Kinara yang masih shock atas jatuhnya Rhara.“Teman terbaiku jatuh. Aku belum tahu bagaimana keadaannya. Biarkan aku mencarinya ke bawah!” Kinara tetap meronta-ronta. Kali ini pelukan Harpi lepas. Hampir sa
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Falseland, tugas utama Kinara adalah mencari Kinari. Perjalanan panjang penuh liku-liku telah dialaminya. Kemudian, ia merasa senang bisa berjuang dan dibantu dalam banyak hal oleh Rhara. Betapa sepi hidupnya jika harus berjuang seorang diri hingga ke titik ini. Naik turun gunung es tidak akan berhasil tanpa bantuan dari Rhara. Semua tentang manusia kelinci itu membawa kebaikan dan selalu mengingatkan pada keberhasilan misi. Awalnya, Harpi kelihatan polos di mata Kinara. Ia juga takut jika gadis burung itu akan merepotkan. Ternyata, tebakannya melenceng jauh. Harpi terlalu kuat, mandiri, cerdas, dan cantik. Semua itu terlalun keren bagi Kinara. Hingga pada suatu hari yang tidak ditentukan, hatinya meleleh. Setengah dari dirinya mengharapkan Harpi. Sisanya mengukir dalam nama Kinari. Makhluk mitolog
Kinara menyiapkan makanan bersama Harpi. Rhara sibuk membuat terowongan. Tugas masing-masing selesai dengan cepat. Kinara makan tidak terlalu lahap. Sesekali ia memandang ke arah Harpi. Ada getaran-getaran aneh memasuki relung hatinya. Saat mengunyah, bibir Harpi terlihat eksotis di mata Kinara. Merah muda, tipis, dan bergoyang-goyang. Lalu lidah Harpi menyapu bibirnya dengan gerakan lambat. Hal itu semakin membuat Kinara menjadi gemas.Plak! Rhara menepuk jidat Kinara dengan keras.“Aduh, sakit sekali. Kau kenapa lagi sih?” Kinara melompat saking kagetnya.“Ada nyamuk besar dijidatmu!” Rhara asal menjawab. Sebenarnya ia sedikit gerah melihat kelakuan Kinara.“Mana ada hewan seperti itu di tempat ini? Lama-lama kau ngelantur,” Kinara agak kesal.“Hmmm... kalian berulah lagi. Ini sudah larut. Ayo hentikan! Aku ingin segera tidur cantik di atas dedaunan pohon yang rindang.” Harpi bangkit menuju ke arah
Kedua tangan Kinara memegang kepalanya. Ada apa sebenarnya dengan kedua sahabat dekatnya itu? Awalnya, Kinara yang merasa keberatan dengan kehadiran Harpi. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Untungnya Rhara ramah dan mengajak mereka untuk bisa rukun serta berjuang bersama. Kali ini justru Rhara ingin Harpi pergi. Ah, masalah yang kecil mampu membuat rusak pertemanan yang dijalin dengan susah payah.Kinara merangkul Rhara dan membawanya agah menjauh.”Rhara, apa yang merasukimu? Mengapa kau mendadak kejam? Sadarlah, perjalanan kita sudah cukup jauh. Redamlah egomu dan biarkan Harpi tetap bersama kita,”“Jangan, Kinara! Perjuangan kita terlalu berharga jika rusak dan gagal hanya karena gadis burung pembohong. Aku tidak mau usaha kita berujung sia-sia. Demi impian seluruh penghuni Falseland. Buatlah keputusan yang paling bijak!”“Percayalah padaku Rhara. Aku tidak akan mengecewakan siapapun.” Kinara menjabat tangan Rhara
Waktu bergulir cepat. Kinara sudah hampir hafal semua gerakan tari kesetiaan. Rhara masih terpekur membaca buku yang tidak diketahui judulnya oleh orang lain.“Apakah kau sudah hafal bagian terakhirnya?” tanya Kinara kepada Harpi.“Se... dikit,” Harpi kehilangan kendali.“Mengapa kau begitu canggung bicara padaku?” Kinara mendekatkan badannya. Harpi mundur dua langkah. Ia tidak bisa menguasai diri. Gejolak cintanya tumbuh lebih besar. Ia ingin terbang sembari berpelukan dan bersandar pada dada Kinara yang lapang. Tidak bisakah dirinya yang melakukan tarian kesetiaan di bawah pohon kalpataru bersama Kinara? Toh sama saja ia dan Kinari adalah gadis burung.“Kinara, apakah kalian sudah selesai?” Rhara mulai merapikan buku-buku dan bersiap meninggalkan perpustakaan.“Apa yang baru saja kau baca?” Kinara sudah duduk di sa
“Apa sih yang sedang kita cari? Kenapa masih belum ditemukan juga?” Harpi menggerutu sambil memasang muka cemberut.“Buku yang sangat spesial dan menentukan masa depan Kinara,” jawab Rhara. Harpi hilang fokus mendengar jawaban temannya. Ia tidak memperhatikan senderan kayu di sampingnya yang sudah rapuh. Lalu terdengar suara kayu patah agak keras. Akibatnya senderan roboh bersama badan Harpi. Untung saja Kinara sigap dan menangkap Harpi dalam pelukannya. Mereka saling memangdang satu sama lain lumayan lama. Kinara mendekatkan wajahnya ke arah Harpi. Deg! Jantung Harpi serasa berhenti berdetak. Akankah Kinara melakukan sesuatu yang membuatnya semakin cinta? Terasa angin kecil meniup matanya. Ternyata Kinara hanya meniup alis Harpi untuk menghilangkan debu yang menempel agar tidak masuk ke dalam mata.
Tujuan utama Harpi sekarang adalah menggeser kedudukan Kinari dari hati Kinara. Ia bertekad melawan takdir. Selama Kinari belum ditemukan, rencananya bisa dijalankan dengan lembut dan hati-hati. Ia membutuhkan situasi yang mendukung agar targetnya lebih perhatian dari pada sebelumnya. Mungkin waktu yang tersisa sangat terbatas mengingat misi Kinara sudah hampir selesai. Seperti kata Ganesha, setelah melewati gunung es, maka mereka memasuki labirin maut. Selanjutnya, Kinara hanya perlu mencari petunjuk terakhir di dalam perpustakaan ini. Rhara adalah batu sandungan terbesar yang nyata. Harpi tahu bahwa posisi Rhara adalah sebagai pelindung bagi Kinara untuk tetap konsisten dalan menjalankan misi. Selain itu, Rhara juga sebagai pengingat bahwa pasangan penari burung harus segera dipertemukan. Maka, rencana Harpi harus dilakukan tanpa menimbulkan kecurigaan. Misi rahasia untuk menghapus Kinari akan terwujud denga