Semua mata memandang kearah pria yang berjalan dengan tegas, tatapan datar dan tanpa senyum. Mereka semua tahu siapa pria itu yang tidak lain adalah pengusaha muda yang sudah sukses dengan perusahaan rintisannya sejak remaja, siapa yang tidak tahu pria bernama Fajar Herdianto. Pria dengan sejuta pesona yang bisa membuat siapa saja ingin dekat dengannya, tidak hanya wanita tapi juga pria. “Pagi, Pak.” Fajar hanya diam mendengar sapaan dari Kunto yang tidak lain adalah asistennya, “Kegiatan pagi ini adalah....” Kunto mulai menyebutkan apa saja yang harus Fajar lakukan satu hari ini dan lagi-lagi tidak mendapatkan jawaban atau reaksi apapun. “Mariska apakah kesini?” tanya Fajar membuat Kunto mengangguk, “di mana sekarang?” “Ruangan.” Kunto memilih menjawab singkat. Fajar melangkah kembali ke arah ruangannya dan membuka pintu langsung, mendapati kekasihnya duduk tenang di ruangannya dengan memainkan ponsel. Kunto memilih menutup pintu ruangan Fajar, pastinya ingin menghabiskan waktu d
BRAK “SIALAN!” Fajar membanting semua yang dilihatnya sampai di rumah. “Siapa wanita itu?” menatap tajam pada Rifan.Rifan mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Fajar “Wanita yang mana?” mencoba mengingat wanita yang dikatakan Fajar, “ah… cewek yang lo buat taruhan? Buat apaan? Udah nggak penting juga.”Fajar menatap tajam, “gara-gara dia gue kalah.”Rifan menatap bingung. “Dia salah apa? Deketin lo juga kagak terus gimana ceritanya dia bisa buat lo kalah taruhan? Ah...lo suka sama dia? Aduh… jangan macam-macam dia kesayangan semua karyawan lo.”Rifan menggerakkan tangannya ke kiri dan kanan, Fajar memicingkan matanya melihat reaksi Rifan yang seakan melindungi cewek sialan satu itu.“Lo nggak mau kasih tahu? Gue akan cari sendiri dia.” Fajar menatap tajam pada Rifan yang terdiam. “Lo bantuin gue atau gue yang akan cari sendiri dia? Lo tahu kan akibatnya kalau gue yang turun tangan?”“Gue pikirkan nanti.” Rifan memilih menyerah dengan semuanya, “tapi gue minta lo jangan berbuat mac
Fajar sangat tahu jika Indira menatap ke arahnya beberapa kali, memastikan bahwa semua baik-baik saja. Beberapa lirikan yang Indira lakukan membuat dirinya tidak nyaman sama sekali, perubahan dalam dirinya yang tiba-tiba semakin membuatnya tidak bisa mengendalikan diri. “Apa anda baik-baik saja?” Indira membuka suara membuat keheningan mereka terhenti.“Baik.” Fajar menjawab singkat, “kamu pelajari dengan baik mengenai kerjasama itu, saya yakin Rifan sudah memberikan penjelasan.”“Saya sudah membaca, bahkan sampai ke titik koma. Kerjasama ini saya yang buat bukan Pak Rifan.” Indira menjawab kesal perkataan Fajar.Fajar terdiam tidak tahu harus bersikap atau menjawab apa. Suasana kembali tenang, sibuk dengan pikiran masing-masing. Fajar mencoba mengingat mengenai keberadaan Indira disampingnya, biasanya yang ikut antara Kunto atau Rifan. Fajar yang mana membawa Indira berada disampingnya, menggelengkan kepala pelan tanda bahwa dirinya tidak bisa mengingat apapun.“Bapak, tidak papa?”
Area balapan liar menjadi tempat dimana Fajar menghabiskan waktunya setiap apa yang dilakukan Budi, menatap datar pada keadaan sekitar membuat beberapa orang tidak berani mendatanginya. Melakukan kesalahan dengan tidak membawa Rifan bersama, hembusan nafas kasar terdengar ketika mengingat apa yang dilakukan Budi. Kepalan tangannya semakin memutih, keinginannya menghajar pria itu semakin besar.“Disini lagi ternyata.” Fajar menatap suara pria yang berada dihadapannya, pria yang sama mengajaknya bertaruh. “Mau taruhan lagi? Apa kali ini yang kamu gunakan?” pria itu menatap belakang Fajar. “Motor terbaru ternyata.” “Jangan macam-macam.” Fajar menatap tajam. “Pergi kalau tidak ingin aku hajar.” Pria itu tertawa membuat Fajar semakin emosi. “Hajar saja, pria lemah seperti kamu tidak akan mampu menghajar orang,” ucapnya memandang rendah Fajar, “pimpinan model apa yang tidak pernah membuat karyawannya bahagia?” pria itu meludah disamping Fajar.“KAU!” Fajar mengangkat tangannya untuk memuk
“Anda mau bersama dengan Indira lagi?” tanya Kunto tidak percaya yang diangguki Fajar.“Ada masalah?” Fajar menatap penasaran pada Kunto.Kunto langsung menggelengkan kepalanya “Sama sekali tidak, Pak.”Fajar menganggukkan kepala “Katakan pada Rifan kirim Indira setiap kita bertemu dengan klien, suka atau tidak suka.”“Baik, Pak.” Kunto mencatat semua perkataan Fajar.Sudah membayangkan apa yang ada akan terjadi setiap bersama dengan Indira nanti, tersenyum kecil dengan memainkan dagunya. Perasaannya saat ini tidak sabar, melakukan pekerjaan dengan Indira. Interaksi dengan Indira setiap bekerja, kesalahannya saat itu sudah terbayang di isi kepalanya.Kejadian bersama dengan Indira beberapa hari lalu, membuat Fajar tidak mengalami sakit kepala. Joe yang berada di tubuh Fajar asli sejak malam itu, belum mengalami perubahan sama sekali. Mengingat itu membuat Joe tersenyum kecil, bisa jadi Indira adalah obat dari semua ini. Joe tahu akan dampaknya, kepribadiannya yang lain tidak merasakan
Beberapa hari sudah menghabiskan waktu dengan Indira, meminta wanita itu melakukan sesuai dengan apa yang diinginkan. Joe, masih menempati posisi Fajar dan tidak berubah sama sekali. Mencoba menganalisa tentang keberadaan Indira yang mampu membuat kepribadiannya menjadi terkendali, tidak mungkin wanita itu memiliki kemampuan menyembuhkan dirinya.“Sayang,” ucap Mariska berjalan mendekati Fajar.Hembusan nafas terdengar melihat tunangan Fajar. Jika bisa memilih lebih baik bersama Indira dibandingkan wanita satu ini. Mariska yang langsung duduk di pangkuan Fajar, membuat Joe terkejut hanya saja tidak bisa berbuat apapun. Ciuman lembut di bibir dengan belaian tangan Mariska membuat Joe masuk kedalam permainannya, gerakan lidah Mariska yang bermain dengan lidahnya didalam, semakin memperdalam ciuman mereka. Joe tidak tinggal diam dengan menarik Mariska menjadi dekat dengannya, meremas bukit kembar dengan perlahan membuat suara erangan terdengar.Ciuman J
Memasuki mall dengan wajah bahagia, membuat Indira yang berada disampingnya menatap bingung. Tidak peduli dengan apa yang dipikirkan wanita disampingnya, terpenting adalah menghabiskan waktu bersama, memasuki salah satu toko pakaian wanita membuat Silvi melepaskan genggaman tangannya meninggalkan Indira yang menatap bingung.“Pilihlah apa yang kamu suka.” Silvi menghentikan langkah dengan menatap Indira sekilas sebelum berjalan ke tujuannya lagi.Menatap pakaian yang ada dihadapannya dengan tatapan bahagia, Indira hanya bisa berjalan mengikuti langkah Fajar. Beberapa kali terlihat Fajar mengambil pakaian yang ada dan mencocokkannya depan kaca pada tubuhnya, melihat itu semua membuat Indira menatap tidak percaya. Beberapa kali Fajar mengangkat pakaian wanita lalu dipaskan di badannya, tanpa merasa malu sama sekali.Karyawan toko pakaian menatap Indira dengan tatapan tanda tanya, memilih mengangkat bahunya karena memang tidak mengetahui apa-apa. Mengal
Beranjak dari tempat duduk di foodcourt menatap Indira dengan tatapan datar, membuatnya menelan saliva kasar. Berjalan cepat menuju tempat parkir dengan Indira yang ada disampingnya, langkah Fajar terhenti menatap Indira tajam yang membuat wanita itu menelan saliva kasar atas apa yang tidak diketahuinya. Fajar sendiri mencoba mengingat alasan apa yang membuat dirinya bersama karyawannya Rifan, tapi tidak mungkin bertanya langsung karena tidak ingin orang lain tahu kelemahannya.“Panggil supir untuk ke lobby sekarang.” Fajar mengatakan dengan nada datarnya.“Kita tidak bersama supir, Pak.” Fajar membelalakkan matanya yang lagi-lagi membuat Indira menelan saliva kasar, “bapak menyetir sendiri.”“Saya menyetir sendiri?” Indira mengangguk pelan membuat Fajar menatap tidak percaya, “dimana mobilnya?”“Mari saya tunjukkan, Pak.” Indira berjalan terlebih dahulu membuat Fajar menatap bingung.
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak