Memasuki mall dengan wajah bahagia, membuat Indira yang berada disampingnya menatap bingung. Tidak peduli dengan apa yang dipikirkan wanita disampingnya, terpenting adalah menghabiskan waktu bersama, memasuki salah satu toko pakaian wanita membuat Silvi melepaskan genggaman tangannya meninggalkan Indira yang menatap bingung.
“Pilihlah apa yang kamu suka.” Silvi menghentikan langkah dengan menatap Indira sekilas sebelum berjalan ke tujuannya lagi.
Menatap pakaian yang ada dihadapannya dengan tatapan bahagia, Indira hanya bisa berjalan mengikuti langkah Fajar. Beberapa kali terlihat Fajar mengambil pakaian yang ada dan mencocokkannya depan kaca pada tubuhnya, melihat itu semua membuat Indira menatap tidak percaya. Beberapa kali Fajar mengangkat pakaian wanita lalu dipaskan di badannya, tanpa merasa malu sama sekali.
Karyawan toko pakaian menatap Indira dengan tatapan tanda tanya, memilih mengangkat bahunya karena memang tidak mengetahui apa-apa. Mengalihkan pandangan sekitar, beberapa menatap Fajar dengan tatapan yang sama seperti karyawan toko. Menghembuskan nafas panjang berjalan kearah Fajar dengan menahan malu, sampai di dekatnya Indira memegang pakaian yang sedang dicoba melalui kaca.
“Apa yang kamu lakukan?” Silvi menatap tajam pada Indira.
“Bapak mau beli apa?” tanya Indira dengan ekspresi menahan kesal.
“Bukan urusan kamu!”
“Jadi urusan saya, coba lihat sekeliling.” Indira menunjuk dengan matanya membuat Fajar mengikuti gerakan mata Indira dengan menatap sekitar, “sudah paham?”
“Lalu?” Silvi memutar bola matanya malas.
“Bapak nggak malu?” bisik Indira yang membuat Silvi langsung mundur.
“Saya beli menggunakan uang sendiri, bukan mereka. Jadi untuk apa malu?” Indira menepuk keningnya, “apa kamu mau juga dibelikan?” Silvi menatap Indira dari atas kebawah yang langsung membuat tidak nyaman.
“Bapak lanjutkan saja, saya tunggu di kursi sana.” Indira meletakkan pakaian yang dipegangnya disalah satu tempat.
“Siapa yang suruh kamu duduk? Kamu ikut untuk mencari pakaian yang cocok buatku.” Silvi memegang lengan Indira dengan memberikan tatapan tajam. “Diam dan pilihkan mana yang cocok buatku.”
Indira membuka mulutnya tidak percaya, pengalaman memilihkan pakaian tidak terlalu ahli. Sekarang harus memilihkan pakaian, hanya saja kali ini yang mencoba adalah pria. Sangat yakin jika memang tidak memiliki ukurannya, mana ada wanita yang memiliki ukuran seperti pria itu. Menggelengkan kepalanya menatap apa yang Fajar lakukan, beberapa kali mencoba mencocokkan pakaian satu dengan lain dan beberapa kali meminta pendapat Indira dalam menentukan yang digunakannya.
“Setelah ini kita mencari pakaian menarik buat kamu.” Silvi menatap lembut pada Indira yang masih memberikan tatapan tidak percaya.
Memilih diam, dalam arti sebenarnya. Membiarkan apa yang dilakukan Fajar dengan melihat beberapa pakaian dan mencobanya depan cermin. Mencoba tidak peduli dengan keadaan sekitar, tatapan Indira hanya fokus pada Fajar yang mencoba pakaian.
“Ini semua dibayar.” Silvi mengatakan pada Indira dengan santai.
Indira membelalakkan matanya menatap Fajar, “uangnya?”
“Aish...kamu jangan bego jadi orang.” Silvi memutar bola matanya malas, membuka dompet yang dikeluarkannya dari celana dan menyerahkan kartu pada Indira. “Bayar pakai itu, paham?”
Indira mengangguk tanpa mengeluarkan suara, pandangannya beralih pada pakaian yang menjadi bahan percobaan Fajar telah berantakan dan berada di tempat-tempat mengenaskan, lantai. Melangkah menuju kasir membayar semua yang Fajar beli, melihat keberadaan Fajar yang tampaknya masih berada disekitar toko.
“Pacarnya?” tanya pegawai kasir memberikan tatapan menggoda.
Indira membelalakkan matanya mendengar kata-kata pegawai itu, mencoba tidak peduli dengan menatap layar total pembelian yang dilakukan Fajar. Kali ini sekali lagi Indira membelalakkan matanya menatap nominal yang tertera disana, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tidak ada dimanapun dan seketika membuat Indira ketakutan.
“Dia masih disini, itu sebelah sana lagi mencari sepatu hak,” ucap salah satu pegawai yang membuat Indira menatap apa yang pegawai katakan.
Indira memejamkan matanya, tidak mungkin apa yang dilihatnya saat ini. Fajar menggunakan high heels, kalau karyawan kantor tahu apa yang Fajar lakukan saat ini pasti berhenti suka. Mengalihkan pandangan kearah lain, hanya saja tatapannya tertuju pada nominal dihadapannya.
“Semuanya sepuluh juta,” ucap pegawai kasir dengan senyum lebarnya.
“SEPULUH JUTA?” Indira menatap layar dan pegawai kasir secara bergantian, “nggak salah hitung?”
Petugas kasir menatap Indira tajam, “kalau nggak bisa bayar jangan belanja disini.”
“Siapa yang nggak bisa bayar?” Indira membeku mendengar suara Fajar mendekat, “kamu belum bayar? Tunggu apalagi? Saya sudah kasih kartunya tinggal bayar juga.”
Mencoba tidak peduli dengan nominal, Indira memberikan kartu pada kasir. Gerakannya terhenti saat kartu akan pindah tangan, menatap dengan tatapan bingung atas apa yang dilakukan Fajar, Indira sendiri memilih diam tidak menjawab. Menunggu proses transaksi dalam diam, bahkan saat Fajar tanda tangan tetap tidak mengeluarkan suaranya.
Menatap tidak percaya barang belanjaan mereka di toko pertama, memilih membawanya terlebih dahulu ke mobil agar tidak ribet nantinya. Bersama dengan pegawai toko dan meninggalkan Fajar sendirian di toko itu, Indira tidak tahu akan digunakan apa nantinya barang-barang yang Fajar beli. Memastikan barang berada didalam dengan selamat dan berada di tempat yang tepat, kembali ke tempat Fajar berada. Dari kejauhan dapat terlihat apa yang dilakukan pria itu, menghembuskan nafas panjang dengan berjalan mendekat kearahnya.
“LAMA!” Fajar menatap kesal pada Indira, “kita makan, aku lapar.”
Silvi merasa kesal, menunggu Indira sangat lama. Sebenarnya bisa saja barang-barangnya di bawa nanti, tapi Indira tidak mau dan menginginkan untuk meletakkannya langsung dalam mobil. Ekor matanya menatap Indira yang masih diam disampingnya, Silvi tidak suka dengan apa yang Indira lakukan.
“Dira, ngapain kamu disini?” Silvi menatap seseorang yang menyapa Indira, pandangan mereka bertemu membuat Silvi bersinar matanya. “Oh...ada loser disini.”
“Maksudnya?” Silvi menatap bingung.
“Dave sudah jangan buat perkara lagi,” tegur Indira membuat Silvi menatap penuh tanda tanya.
“Siapa kamu?” Silvi penasaran mengenai sosok yang ada dihadapan mereka berdua.
“Kapan kita balapan lagi?” Dave menatap penuh tantangan pada Silvi.
Silvi menyadari jika yang mengenal pria dihadapannya ini adalah Frans, artinya saat ini adalah harus bersikap seperti Frans yang ditemuinya saat itu.
“Apa taruhan kita?” tanya Silvi kembali membuat Dave tertawa kecil dan bertepuk tangan, “kalau memang tidak ada yang dibicarakan, jangan pernah memanggil.” Silvi mendekati dan membelai pipi Dave perlahan.
Indira dan Dave memandang takut atas apa yang Fajar lakukan, secara otomatis mundur ke belakang dan tidak ingin mendapatkan sentuhan dari pria dihadapannya, setidaknya Dave masih normal.
“Gue nggak panggil lo! Gue panggil dia bukan lo!” Dave menatap tajam pada Fajar.
“Lo panggil dia yang artinya secara otomatis gue juga berhenti, paham?” Silvi memutar bola matanya malas, “kamu mau disini atau ikut? Kalau kamu disini artinya besok pagi letakkan surat pengunduran diri di meja saya.”
Fajar berjalan terlebih dahulu, Indira menatap tidak percaya dengan pendengarannya. Kata-kata Fajar membuat Indira langsung mengejarnya, mengimbangi langkah dengan berjalan disampingnya. Melihat apa yang dilakukan Indira membuat Silvi tersenyum kecil, wanita yang diajaknya ini sangat menggemaskan dan bisa menjadi mainan.
Berjalan menuju foodcourt yang ada di mall, Silvi sangat menginginkan makanan yang ada di foodcourt dengan duduk manis dan Indira yang membeli beberapa pesanan Silvi. Tidak lama pesanan Silvi datang dan langsung memakannya yang seakan tidak makan dalam waktu lama, Indira yang melihat hanya bisa menelan saliva kasar.
“Apa yang kamu lakukan disini? Dimana kita sekarang? Ada urusan apa kita disini?”
Beranjak dari tempat duduk di foodcourt menatap Indira dengan tatapan datar, membuatnya menelan saliva kasar. Berjalan cepat menuju tempat parkir dengan Indira yang ada disampingnya, langkah Fajar terhenti menatap Indira tajam yang membuat wanita itu menelan saliva kasar atas apa yang tidak diketahuinya. Fajar sendiri mencoba mengingat alasan apa yang membuat dirinya bersama karyawannya Rifan, tapi tidak mungkin bertanya langsung karena tidak ingin orang lain tahu kelemahannya.“Panggil supir untuk ke lobby sekarang.” Fajar mengatakan dengan nada datarnya.“Kita tidak bersama supir, Pak.” Fajar membelalakkan matanya yang lagi-lagi membuat Indira menelan saliva kasar, “bapak menyetir sendiri.”“Saya menyetir sendiri?” Indira mengangguk pelan membuat Fajar menatap tidak percaya, “dimana mobilnya?”“Mari saya tunjukkan, Pak.” Indira berjalan terlebih dahulu membuat Fajar menatap bingung.
Melangkah memasuki rumahnya setelah Indira mematikan mesin mobilnya, tidak peduli dengan mobilnya sama sekali. Kepalanya sangat pusing dan ingin segera istirahat dalam kamarnya, Fajar menyadari Indira mengikutinya dari belakang. Tampaknya ingin memastikan dirinya baik-baik saja, sekali lagi Fajar tidak peduli dengan Indira yang mengikutinya.Memasuki kamar dan langsung menutup pintunya dengan kencang, meninggalkan Indira seorang diri diluar. Memilih membuka pakaiannya semua tanpa tersisa, membaringkan tubuh tanpa busananya di ranjang kesayangan. Menutup kedua matanya sambil memijat keningnya pelan, menikmati pijatan pada keningnya secara perlahan masuk dalam mimpi meninggalkan Indira seorang diri diluar.Memejamkan matanya hanya beberapa menit, terbuka karena mencium aroma masakan yang langsung membuatnya lapar. Fajar menatap sekitar, rumahnya tidak ada siapapun sama sekali, petugas rumah yang biasanya membersihkan rumahnya sudah pulang dan security tidak mungkin lanca
“Ranjang?” Indira mendorong tubuh Fajar menjauh, “bapak mau melecehkan saya?” memberikan tatapan tajam.Frans mengangkat sudut bibirnya, “melecehkan jika wanitanya tidak mau, tapi kita melakukan atas dasar suka dan suka.”“Suka dan suka?” mengulang perkataan Fajar untuk memastikan pendengarannya, “anda menjebak saya.”Frans mendekati tubuh Indira yang membuatnya semakin mundur, tapi sialnya tidak ada tempat lagi untuk mundur. Tubuh mereka semakin dekat dan hanya berjarak beberapa sentimeter, kepala Indira mengangkat keatas agar bisa menatap kearahnya. Frans tersenyum kecil melihat bagaimana ekspresi Indira saat ini, mencoba berani padahal sebenarnya ketakutan.“Ya, suka dan suka.” Frans semakin mendekat membuat bibir mereka tinggal beberapa sentimeter, “kamu membalas ciumanku dengan penuh gairah, lidah kita saling bermain didalam sana dan pakaian kamu sudah terbuka membuat tanga
Menghabiskan waktu dengan mengobati luka Fajar ditangan setelah memukul pria yang mengaku sebagai paman, penolakan Indira membuat mereka menjadi tidak menentu. Keduanya tidak tahu harus melakukan apa, Indira yang memulai inisiatif setelah melihat luka ditangan Fajar. Frans menatap Indira dalam, selama ini dirinya akan mengalihkan diri dengan mengikuti balapan liar atau membuat rumah berantakan. Indira membuat sisi liarnya hilang entah kemana, hasratnya untuk melakukan hubungan intim semakin tinggi. Frans sendiri bisa merasakan jika bagian bawah Indira telah basah, artinya siap dengan miliknya yang akan masuk kesana.“Kamu sudah pernah melakukannya?” Frans membuka suaranya membuat Indira menatap bingung, “hubungan intim.”“Apa harus dijawab?” Indira memutar bola matanya malas.“Bagian bawah kamu sudah basah, kenapa tidak dilanjutkan saja tadi?”“Aku sudah bilang kalau tidak mau menyakiti tunanganm
Menjauh dari Indira selama beberapa waktu, kejadian kemarin membuat Fajar berpikir lebih. Perbuatannya dengan Indira sangat diluar akal sehat, dirinya nyaman bersama dengan Indira tapi tidak dengan Mariska. Merasakan sesuatu yang berbeda setiap bersama dengan Indira, membuat Fajar ingin selalu dekat dan memeluknya erat. “Apa yang membuatmu jadi tidak fokus seperti ini?” tanya Rifan memasuki ruangan Fajar, memberikan tatapan bingung pada Rifan, “kerjaan kamu berantakan beberapa hari ini.” Fajar mengangkat alisnya mendengar perkataan Rifan, “mana ada perkerjaanku yang berantakan, kalau ngomong harus berdasarkan data jangan asal.” Meletakkan berkas dihadapan Fajar dengan suara keras, duduk dihadapan Fajar menatap dalam diam. Mendapatkan perlakuan seperti ini dari Rifan membuat Fajar tidak nyaman, dirinya bisa bersikap dingin pada orang lain tapi tidak dengan Rifan. “Apa yang terjadi pada kalian berdua?” tanya Rifan langsung membuat Fajar mengernyitkan dahinya,
Menatap kedatangan pamannya, Budi. Keadaannya tampak baik-baik saja membuat Fajar bernafas lega, tidak tahu apa yang terjadi pada saat itu tapi menurut cerita security tampak mengerikan dan mereka berterima kasih pada Indira jika tidak bisa saja pria dihadapannya ini mati begitu saja, membuatnya harus masuk dalam penjara. Membayangkan itu semua membuat Fajar menggelengkan kepalanya, tidak pernah ada dalam isi kepala atau bayangannya berada di penjara untuk sebuah kasus.“Kamu harus bayar biaya rumah sakit.” Budi berkata langsung membuat Fajar mengangkat alisnya.“Semua sudah dibayar.” Fajar menjawab dengan santai.Budi mengangkat sudut bibirnya dengan senyuman meremehkan, “rumah sakit sudah, tapi kerugian yang lain belum terbayar.”Memilih tidak peduli dengan perkataan Budi, memasuki kamarnya dan langsung menguncinya. Teriakan Budi tidak dihiraukan sama sekali, pikirannya benar-benar kacau ditambah sakit kepalanya yang semakin sering terja
Pulang dalam keadaan menahan emosi, sampai di rumah yang disambut oleh security membuat Frans semakin tidak terkendali. Keadaan rumah yang kosong tanpa seorang pun yang menyambutnya memberikan ruang kosong pada hatinya, menjatuhkan diri di lantai dengan menelungkupkan kepalanya. Tidak tahan dengan keadaan yang terjadi, mengangkat kepalanya agar tidak menangis membuat Frans harus melampiaskan pada sesuatu dan yang biasa dilakukan adalah merusak barang.“Jangan aneh-aneh, sudah cukup banyak barang yang kamu rusak di rumah ini,” tegur Joe.“Gue butuh pelampiasan, BEGO!” Frans berkata keras, menonjok dinding dengan tangannya yang terkepal, “gue lelah, Joe. Pemilik tubuh ini BEGO!”“Kita tahu kalau dia tidak kuat menghadapi masalah, makanya kita sering hadir. Kita lulusan terbaik dari beberapa kampus ternama, pastinya bisa menyelesaikan ini semua.” Joe menenangkan Frans.“Andai bisa dengan mudah apa yang lo bilang, Joe.” Frans mengusap wajahnya
Melangkah dengan pasti menuju ruangannya dengan tubuh tegap, ciri khas Fajar saat memasuki kantornya. Semua harus berjalan sesuai dengan rencana seperti yang mereka bicarakan semalam, setiap langkahnya mendapatkan tatapan memuja dari para wanita dan tetap tidak membuatnya senang.“Pagi, Pak.” Kunto menyapa Fajar dengan mengikuti langkahnya.“Kegiatan hari ini?” tanya Frans dengan suara khas Fajar.“Hanya bertemu dengan perwakilan yang kemarin bapak temui dengan Indira.” Kunto menjawab sambil membaca ponsel yang ada di tangannya.“Rifan ada di ruangan?” Kunto mengangguk, “suruh ke ruangan saya.”“Baik, Pak.” Kunto mengangguk.“Satu lagi kalau ada Mariska datang segera hentikan di lobby dan katakan jika saya sibuk, tidak ingin bertemu sama dia.” Frans mengatakan dengan tegas.“Bapak lagi berantem?” Kunto bertanya hati-hati.“Kenapa?” tanya Frans menatap sekilas, “ada yang disembunyikan sepertinya.”
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak