Menatap kedatangan pamannya, Budi. Keadaannya tampak baik-baik saja membuat Fajar bernafas lega, tidak tahu apa yang terjadi pada saat itu tapi menurut cerita security tampak mengerikan dan mereka berterima kasih pada Indira jika tidak bisa saja pria dihadapannya ini mati begitu saja, membuatnya harus masuk dalam penjara. Membayangkan itu semua membuat Fajar menggelengkan kepalanya, tidak pernah ada dalam isi kepala atau bayangannya berada di penjara untuk sebuah kasus.“Kamu harus bayar biaya rumah sakit.” Budi berkata langsung membuat Fajar mengangkat alisnya.“Semua sudah dibayar.” Fajar menjawab dengan santai.Budi mengangkat sudut bibirnya dengan senyuman meremehkan, “rumah sakit sudah, tapi kerugian yang lain belum terbayar.”Memilih tidak peduli dengan perkataan Budi, memasuki kamarnya dan langsung menguncinya. Teriakan Budi tidak dihiraukan sama sekali, pikirannya benar-benar kacau ditambah sakit kepalanya yang semakin sering terja
Pulang dalam keadaan menahan emosi, sampai di rumah yang disambut oleh security membuat Frans semakin tidak terkendali. Keadaan rumah yang kosong tanpa seorang pun yang menyambutnya memberikan ruang kosong pada hatinya, menjatuhkan diri di lantai dengan menelungkupkan kepalanya. Tidak tahan dengan keadaan yang terjadi, mengangkat kepalanya agar tidak menangis membuat Frans harus melampiaskan pada sesuatu dan yang biasa dilakukan adalah merusak barang.“Jangan aneh-aneh, sudah cukup banyak barang yang kamu rusak di rumah ini,” tegur Joe.“Gue butuh pelampiasan, BEGO!” Frans berkata keras, menonjok dinding dengan tangannya yang terkepal, “gue lelah, Joe. Pemilik tubuh ini BEGO!”“Kita tahu kalau dia tidak kuat menghadapi masalah, makanya kita sering hadir. Kita lulusan terbaik dari beberapa kampus ternama, pastinya bisa menyelesaikan ini semua.” Joe menenangkan Frans.“Andai bisa dengan mudah apa yang lo bilang, Joe.” Frans mengusap wajahnya
Melangkah dengan pasti menuju ruangannya dengan tubuh tegap, ciri khas Fajar saat memasuki kantornya. Semua harus berjalan sesuai dengan rencana seperti yang mereka bicarakan semalam, setiap langkahnya mendapatkan tatapan memuja dari para wanita dan tetap tidak membuatnya senang.“Pagi, Pak.” Kunto menyapa Fajar dengan mengikuti langkahnya.“Kegiatan hari ini?” tanya Frans dengan suara khas Fajar.“Hanya bertemu dengan perwakilan yang kemarin bapak temui dengan Indira.” Kunto menjawab sambil membaca ponsel yang ada di tangannya.“Rifan ada di ruangan?” Kunto mengangguk, “suruh ke ruangan saya.”“Baik, Pak.” Kunto mengangguk.“Satu lagi kalau ada Mariska datang segera hentikan di lobby dan katakan jika saya sibuk, tidak ingin bertemu sama dia.” Frans mengatakan dengan tegas.“Bapak lagi berantem?” Kunto bertanya hati-hati.“Kenapa?” tanya Frans menatap sekilas, “ada yang disembunyikan sepertinya.”
Sesuai dengan rencana mereka bertiga, mendekati Indira karena ingin tahu reaksi dari mereka bertiga saat bersama dengannya. Frans sudah bisa memastikan tidak bisa jauh darinya, rasanya ingin memeluknya setiap saat, sedangkan dua kepribadian lainnya belum tahu melakukan apa dengan Indira. Mereka hanya takut nanti saat Fajar yang mengambil posisi tubuh ini, takut Indira akan diperlakukan kasar.Menatap Indira yang menjelaskan mengenai perjanjian yang dibuat olehnya dengan perusahaan lain, Frans membenarkan perkataan Joe dimana Indira memang berbakat. Bukan hanya itu cara dia meyakinkan dan membuat orang nyaman patut diperhitungkan, terlalu asyik menatap Indira membuat Frans tidak menyadari jika sudah selesai presentasi yang dilakukan Indira.“Jadi bagaimana?” Frans menatap datar pada kliennya yang akan melakukan kerjasama, tatapan yang biasanya dilakukan Fajar.“Bukankah kita sudah sepakat jadi untuk apa dijelaskan kembali?” klien yang dihadapan Fajar
Frans tahu kalau apa yang dikatakannya pasti membuat Indira terkejut, berjalan mendekat kearahnya yang masih menatap tidak percaya. Menarik Indira lebih dekat, melingkarkan tangan di pinggang rampingnya sedangkan tangan yang lain merapikan rambutnya yang berantakan disekitar wajah.“Tempatmu nyaman, aku suka.” Menundukkan wajah dengan memegang dagu Indira, membuat wajahnya terangkat dengan segera mendekatkan bibirnya menyentuh bibir berwarna pink yang dari tadi ingin dirasakan lebih dalam. Ciuman lembut dilakukan Frans, tangan Indira sudah melingkar di leher Frans membuat ciuman mereka semakin dalam. Memasukkan lidahnya dan bermain didalam bibirnya, seakan mencari kepuasan masing-masing. Indira menarik diri dari ciuman mereka, membuat kening mereka bersentuhan satu sama lain.“Aku masak dulu.” Indira membuka suaranya.Frans mau tidak mau melepaskan Indira dalam pelukannya, menatap wanita itu berjalan kearah dapur. Tempat yang tidak terlal
Fajar menatap Indira yang menikmati makanan dihadapannya, menggelengkan kepala dan tersenyum kecil melihat bagaimana wanita dihadapannya makan seakan tidak peduli dengan penampilan sangat berbeda jauh dengan tunangannya, Mariska. Fajar mendadak berubah menjadi dingin mengingat Mariska dan apa yang diperbuatnya saat ini, tidak ingin menyakitkan Mariska tapi juga bermain dengan Indira. Tidak ingat kapan mulai dekat dengan karyawannya ini, Fajar hanya tahu kenangan terakhir mereka adalah melihat barang belanjaan dalam mobilnya, mengingat itu membuat Fajar tidak suka dan menatap tajam pada Indira.“Ada apa?” tanya Indira menatap Fajar bingung.“Pakaian yang kamu beli itu sudah kamu bawa? Coba pakai dihadapanku sekarang.” Fajar mengatakan dengan nada datar dan menahan emosi.“Baju?” Indira mencoba untuk mengingat pertanyaan Fajar, “aku nggak bawa masih ada dalam mobil.”Fajar menatap penuh selidik, mencoba mengingat keberadaan baju yang ada di
Memasuki rumahnya setelah bermalam di tempat Indira, menatap sekitar tidak ada perubahan pada rumahnya. Hembusan nafas lega dikeluarkannya saat melihat tidak ada yang aneh, keputusannya untuk pulang tidak lain karena agak aneh berada satu ruangan dengan wanita yang terlihat tubuhnya. Silvi bangun dengan Indira berada dalam pelukannya, sempat memaki mereka para pria yang bisa dengan mudah tidur dalam keadaan busana tipis.Jika nanti mereka bisa komunikasi, Silvi tidak akan menunggu untuk memaki Frans terutama. Pria itu tidak bisa menahan diri jika berdekatan dengan Indira, meskipun Silvi mengakui jika tubuh Indira sangat menggiurkan dan bisa membuat mereka tergoda. Bentuk tubuh Indira sangat berbeda dengan Mariska, Silvi sangat yakin semuanya pas berada di tangan dan milik mereka yang ada di balik celana.Masuk kedalam rumah, langsung disambut security. Saat berada depan pintu kamarnya, Silvi membeku mendengar suara kendaraan yang dikenalnya dengan sangat jelas
Silvi menatap malas berkas yang diberikan Kunto, sejak tadi hanya dilihat tanpa berniat membukanya. Pikirannya bukan pada berkas, meskipun pada kenyataan tetap saja Silvi tidak akan pernah paham dengan isi berkas. Dalam pikirannya saat ini adalah perkataan pamannya, Budi. Kata-katanya yang akan perkosa tunangan Fajar, Mariska. Menggelengkan kepalanya mendengar hal itu, padahal pemandangan yang dilihatnya melalui kamera sudah mengatakan lebih, bagaimana bisa otak mereka tidak sampai kesana.“Maaf, Pak. Bu Mariska langsung menerobos masuk kedalam.” Kunto menatap penuh penyesalan.“Biarkan saja, kamu bisa keluar.” Silvi mengusir Kunto dengan gerakan tangan.Silvi menatap tidak percaya dengan apa yang dilakukan Mariska saat ini, tatapan ketakutan yang seakan akan terjadi sesuatu yang buruk. Silvi mencoba bersikap seperti Fajar jika menghadapi masalah, hanya saja terkadang Fajar agak berlebihan jika berhubungan dengan wanita ular ini. Menghembuskan nafas
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak