Beberapa hari sudah menghabiskan waktu dengan Indira, meminta wanita itu melakukan sesuai dengan apa yang diinginkan. Joe, masih menempati posisi Fajar dan tidak berubah sama sekali. Mencoba menganalisa tentang keberadaan Indira yang mampu membuat kepribadiannya menjadi terkendali, tidak mungkin wanita itu memiliki kemampuan menyembuhkan dirinya.
“Sayang,” ucap Mariska berjalan mendekati Fajar.
Hembusan nafas terdengar melihat tunangan Fajar. Jika bisa memilih lebih baik bersama Indira dibandingkan wanita satu ini. Mariska yang langsung duduk di pangkuan Fajar, membuat Joe terkejut hanya saja tidak bisa berbuat apapun. Ciuman lembut di bibir dengan belaian tangan Mariska membuat Joe masuk kedalam permainannya, gerakan lidah Mariska yang bermain dengan lidahnya didalam, semakin memperdalam ciuman mereka. Joe tidak tinggal diam dengan menarik Mariska menjadi dekat dengannya, meremas bukit kembar dengan perlahan membuat suara erangan terdengar.
Ciuman Joe beralih di sekitar lehernya memberikan beberapa jilatan dan gigitan kecil, erangan keluar dari bibir Mariska yang semakin membuat semangat melakukan hal lebih. Suara pintu terbuka membuat Joe melepaskan ciuman pada leher Mariska, menatap sang sumber yang berada dekat pintu dengan wajah pucatnya.
Joe melihat itu semua tersenyum kecil, ekspresi wajah Indira sangat menggemaskan baginya. Dapat merasakan pelukan Mariska yang erat pada lehernya dengan tatapannya mengarah pada Indira
“Apa kamu tidak tahu cara untuk mendatangi bos?” Joe membuka suara dengan berperan sebagai Fajar.
“Maaf, Pak. Pak Kunto tidak ada di tempatnya jadi mau tidak mau saya membuka pintu sendiri. Saya hanya memberikan surat perjanjian dengan salah satu perusahaan yang bapak datangi dengan Pak Rifan.” Indira menjelaskan panjang lebar dan meletakkan berkas diatas mejanya, “saya permisi.”
“Wanita gatal,” ucap Mariska dengan kesal.
Fajar mengangkat tubuh Mariska agar tidak berada di pangkuannya, menatap wanita itu tajam. Menggosok bibirnya dengan tangan, merapikan penampilannya dan kembali menatap tajam pada Mariska. Tatapan tajam Fajar tidak membuat Mariska takut dengan berusaha mendekatkan dirinya pada Fajar, melingkarkan tangannya pada leher Fajar yang langsung di dorongnya.
“Kamu bisa keluar! Aku banyak kerjaan.” Fajar menatap tajam pada Mariska setelah berhasil mendorong.
“Aku kira tadi kita akan menghabiskan waktu dengan hubungan ranjang. Apa karena pegawai jelekmu itu yang membuat kamu seperti ini?” Mariska menatap kesal pada Fajar.
“PERGI!” Teriak Fajar yang membuat Mariska terkejut.
Tatapan tajam yang diberikan membuat Mariska mundur perlahan, tidak melepaskan tatapan kearah Mariska sampai wanita itu benar-benar keluar dari ruangannya. Pintu tertutup membuat Fajar melepaskan kancing atas kemejanya, menghempaskan dirinya di kursi dengan menghembuskan nafas panjang.
“Ngapain tu cewek gila ada disini? Bibirku pasti sudah terkontaminasi ini.” Silvi menggosokkan bibir menggunakan tangannya berulang kali, “siapa tadi yang menerima ciuman wanita gila itu? Fajar pastinya tapi sepertinya bukan karena kalau dia sudah bertindak lebih, Joe jelas tidak mungkin. Bajingan Frans pastinya, dia mana pernah menolak cewek atau bahkan membuat cewek-cewek itu jatuh kedalam pelukannya. Pria bajingan dan menjijikkan.”
Berjalan kearah kamar mandi menatap penampilan depan cermin, membersihkan bibirnya kembali secara berulang kali, menghilangkan aroma wanita gila itu dari tubuhnya. Menatap kamar mandi memilih untuk membersihkan dirinya agar jejak wanita gila itu benar-benar menghilang. Silvi tidak tahu berada dalam kamar berapa lama, sampai terdengar suara ketukan di pintunya. Menggunakan pakaiannya dengan merapikannya terlebih dahulu, membuka pintu yang langsung membuat Silvi menatap dengan tatapan bahagia.
“Ada perlu apa datang kesini?” Silvi mencoba mengendalikan dirinya depan Rifan.
“Tadi Indira kasih berkas, sudah dibaca?” tanya Rifan menatap penuh selidik apa yang Fajar lakukan, “habis mandi?”
Silvi mengangguk, “wanita gila itu berusaha mencium dan memperkosaku.”
Rifan tertawa mendengar perkataan Fajar, “mana ada pria diperkosa? Lagian kalian sering melakukannya.”
“Kamu tidak percaya?” Silvi menatap kesal pada Rifan.
Rifan mengangkat tangannya, “baiklah aku percaya. Oh ya...tadi Indira kesini memberikan kerjasama dengan perusahaan yang kamu incar.”
Silvi memutar bola matanya malas, kepribadiannya yang gila kerja kalau bukan Fajar berarti Joe. Mengikuti langkah Rifan ke mejanya dan mengambil tempat biasanya Fajar duduk, Silvi bisa melihat berkas diatas meja hanya saja malas membacanya. Silvi tidak akan membaca biarkan Fajar atau Joe yang melakukannya, tatapannya mengarah pada Rifan yang seakan menunggu gerakan tangannya membuka berkas itu.
“Lagi tidak mood mengerjakan ini,” ucap Silvi malas membuat Rifan menatap tidak percaya, “karyawan yang bernama siapa tadi? Indi...siapa?”
“Indira.” Rifan memberitahu menahan kesal.
Silvi menjentikkan tangannya, “itu dia, bilang sama dia buat temani aku.”
“Kemana?” tanya Rifan penasaran.
“Urusan wanita. Sudah sana beritahu untuk ikut aku dan bersiap-siap.” Silvi mengusir Rifan.
“Ini jam kerja dan kamu nggak suka melanggar hal itu.” Rifan menolak perintah Silvi.
“Siapa bosnya disini? Aku atau kamu?” menatap tidak suka pada Rifan, “kalau kamu nggak mau bilang, aku saja yang bilang sama dia.”
“Urusan wanita? Kamu itu cowok, lebih baik bersama aku dengan begitu tidak menimbulkan pembicaraan karyawan lain. Indira itu karyawan kesayangan perusahaan kamu, jangan membuat imagenya jelek.” Rifan berkata dengan nada datar.
Silvi mengangkat sudut bibirnya melihat bagaimana Rifan berkata tentang Indira, “apa juga kesayangan kamu? Kamu menyukai dan mencintai dia?”
Silvi benar-benar tidak suka jika memang benar pria dihadapannya ini juga menyukai wanita itu, tidak ada yang boleh membuat pria dihadapannya ini menyukai orang lain. Cukup dirinya yang menjadi pusat perhatiannya, walaupun menggunakan tubuh Fajar setidaknya Silvi tidak terlalu jauh darinya.
“Dia anak buahku jadi sudah sewajarnya melindungi dari pria macam kamu.” Rifan menunjuk Fajar kesal, “kamu membuat dia kesulitan saat kerjasama kemarin.”
Silvi memutar bola matanya malas, “jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu bisa beralasan ada urusan bisnis yang harus kami lakukan.”
“Cukup hari ini tidak untuk lain kali.” Rifan menatap tajam pada Fajar dengan beranjak dari tempat duduknya.
“Tentu.” Silvi mengangkat sudut bibirnya menatap Rifan dalam, “aku tunggu di lobby.”
Menatap punggung Rifan yang keluar dari ruangannya, membuat Silvi merapikan penampilannya sebelum benar-benar keluar dari ruangan. Tidak lupa membawa ponsel dan juga dompet Fajar, tersenyum kecil setidaknya bisa membuat mereka berbelanja kecil, Silvi ingin menghabiskan uang Fajar dengan berbelanja. Salah satu kebiasaan wanita adalah berbelanja dan sekarang waktunya, mendapatkan teman yang tampaknya menarik untuk diajak bersenang-senang.
Melangkah keluar menuju lobby, menunggu kedatangan Indira. Menghabiskan waktu dengan berbelanja, atau bisa menggunakan waktunya untuk merawat diri. Silvi bisa melihat dari kejauhan Indira berjalan kearahnya, menahan diri untuk tidak terlihat bahagia dengan berdiri. Silvi bertindak seperti Fajar biasanya bersikap, langkah Indira semakin mendekat dan Silvi langsung berjalan tanpa menunggunya dan membiarkan Indira mengikuti langkahnya.
“Maaf, Pak. Kita mau kemana?” tanya Indira membuka suara saat mereka sudah berada didalam mobil.
“Women time.” Silvi menjawab santai.
“Women time?” Indira mengulang perkataan Silvi ragu dan bingung bersamaan.
“Belanja.” Silvi mengoreksi kata-katanya yang membuat Indira mengangguk.
Tersenyum puas melihat wanita disampingnya tidak berkata apapun, isi kepala Silvi sudah merancang banyak hal. Salah satunya adalah menghabiskan uang Fajar yang tidak akan habis, Fajar termasuk orang yang menggunakan uangnya untuk investasi. Mobil berhenti tidak lama kemudian membuat mereka berdua keluar dan berjalan kedalam mall, berjalan berdampingan membuat Silvi mengambil tangan Indira untuk digenggamnya yang membuat sang pemilik terkejut.
“Anggap saja bukan apa-apa.”
Memasuki mall dengan wajah bahagia, membuat Indira yang berada disampingnya menatap bingung. Tidak peduli dengan apa yang dipikirkan wanita disampingnya, terpenting adalah menghabiskan waktu bersama, memasuki salah satu toko pakaian wanita membuat Silvi melepaskan genggaman tangannya meninggalkan Indira yang menatap bingung.“Pilihlah apa yang kamu suka.” Silvi menghentikan langkah dengan menatap Indira sekilas sebelum berjalan ke tujuannya lagi.Menatap pakaian yang ada dihadapannya dengan tatapan bahagia, Indira hanya bisa berjalan mengikuti langkah Fajar. Beberapa kali terlihat Fajar mengambil pakaian yang ada dan mencocokkannya depan kaca pada tubuhnya, melihat itu semua membuat Indira menatap tidak percaya. Beberapa kali Fajar mengangkat pakaian wanita lalu dipaskan di badannya, tanpa merasa malu sama sekali.Karyawan toko pakaian menatap Indira dengan tatapan tanda tanya, memilih mengangkat bahunya karena memang tidak mengetahui apa-apa. Mengal
Beranjak dari tempat duduk di foodcourt menatap Indira dengan tatapan datar, membuatnya menelan saliva kasar. Berjalan cepat menuju tempat parkir dengan Indira yang ada disampingnya, langkah Fajar terhenti menatap Indira tajam yang membuat wanita itu menelan saliva kasar atas apa yang tidak diketahuinya. Fajar sendiri mencoba mengingat alasan apa yang membuat dirinya bersama karyawannya Rifan, tapi tidak mungkin bertanya langsung karena tidak ingin orang lain tahu kelemahannya.“Panggil supir untuk ke lobby sekarang.” Fajar mengatakan dengan nada datarnya.“Kita tidak bersama supir, Pak.” Fajar membelalakkan matanya yang lagi-lagi membuat Indira menelan saliva kasar, “bapak menyetir sendiri.”“Saya menyetir sendiri?” Indira mengangguk pelan membuat Fajar menatap tidak percaya, “dimana mobilnya?”“Mari saya tunjukkan, Pak.” Indira berjalan terlebih dahulu membuat Fajar menatap bingung.
Melangkah memasuki rumahnya setelah Indira mematikan mesin mobilnya, tidak peduli dengan mobilnya sama sekali. Kepalanya sangat pusing dan ingin segera istirahat dalam kamarnya, Fajar menyadari Indira mengikutinya dari belakang. Tampaknya ingin memastikan dirinya baik-baik saja, sekali lagi Fajar tidak peduli dengan Indira yang mengikutinya.Memasuki kamar dan langsung menutup pintunya dengan kencang, meninggalkan Indira seorang diri diluar. Memilih membuka pakaiannya semua tanpa tersisa, membaringkan tubuh tanpa busananya di ranjang kesayangan. Menutup kedua matanya sambil memijat keningnya pelan, menikmati pijatan pada keningnya secara perlahan masuk dalam mimpi meninggalkan Indira seorang diri diluar.Memejamkan matanya hanya beberapa menit, terbuka karena mencium aroma masakan yang langsung membuatnya lapar. Fajar menatap sekitar, rumahnya tidak ada siapapun sama sekali, petugas rumah yang biasanya membersihkan rumahnya sudah pulang dan security tidak mungkin lanca
“Ranjang?” Indira mendorong tubuh Fajar menjauh, “bapak mau melecehkan saya?” memberikan tatapan tajam.Frans mengangkat sudut bibirnya, “melecehkan jika wanitanya tidak mau, tapi kita melakukan atas dasar suka dan suka.”“Suka dan suka?” mengulang perkataan Fajar untuk memastikan pendengarannya, “anda menjebak saya.”Frans mendekati tubuh Indira yang membuatnya semakin mundur, tapi sialnya tidak ada tempat lagi untuk mundur. Tubuh mereka semakin dekat dan hanya berjarak beberapa sentimeter, kepala Indira mengangkat keatas agar bisa menatap kearahnya. Frans tersenyum kecil melihat bagaimana ekspresi Indira saat ini, mencoba berani padahal sebenarnya ketakutan.“Ya, suka dan suka.” Frans semakin mendekat membuat bibir mereka tinggal beberapa sentimeter, “kamu membalas ciumanku dengan penuh gairah, lidah kita saling bermain didalam sana dan pakaian kamu sudah terbuka membuat tanga
Menghabiskan waktu dengan mengobati luka Fajar ditangan setelah memukul pria yang mengaku sebagai paman, penolakan Indira membuat mereka menjadi tidak menentu. Keduanya tidak tahu harus melakukan apa, Indira yang memulai inisiatif setelah melihat luka ditangan Fajar. Frans menatap Indira dalam, selama ini dirinya akan mengalihkan diri dengan mengikuti balapan liar atau membuat rumah berantakan. Indira membuat sisi liarnya hilang entah kemana, hasratnya untuk melakukan hubungan intim semakin tinggi. Frans sendiri bisa merasakan jika bagian bawah Indira telah basah, artinya siap dengan miliknya yang akan masuk kesana.“Kamu sudah pernah melakukannya?” Frans membuka suaranya membuat Indira menatap bingung, “hubungan intim.”“Apa harus dijawab?” Indira memutar bola matanya malas.“Bagian bawah kamu sudah basah, kenapa tidak dilanjutkan saja tadi?”“Aku sudah bilang kalau tidak mau menyakiti tunanganm
Menjauh dari Indira selama beberapa waktu, kejadian kemarin membuat Fajar berpikir lebih. Perbuatannya dengan Indira sangat diluar akal sehat, dirinya nyaman bersama dengan Indira tapi tidak dengan Mariska. Merasakan sesuatu yang berbeda setiap bersama dengan Indira, membuat Fajar ingin selalu dekat dan memeluknya erat. “Apa yang membuatmu jadi tidak fokus seperti ini?” tanya Rifan memasuki ruangan Fajar, memberikan tatapan bingung pada Rifan, “kerjaan kamu berantakan beberapa hari ini.” Fajar mengangkat alisnya mendengar perkataan Rifan, “mana ada perkerjaanku yang berantakan, kalau ngomong harus berdasarkan data jangan asal.” Meletakkan berkas dihadapan Fajar dengan suara keras, duduk dihadapan Fajar menatap dalam diam. Mendapatkan perlakuan seperti ini dari Rifan membuat Fajar tidak nyaman, dirinya bisa bersikap dingin pada orang lain tapi tidak dengan Rifan. “Apa yang terjadi pada kalian berdua?” tanya Rifan langsung membuat Fajar mengernyitkan dahinya,
Menatap kedatangan pamannya, Budi. Keadaannya tampak baik-baik saja membuat Fajar bernafas lega, tidak tahu apa yang terjadi pada saat itu tapi menurut cerita security tampak mengerikan dan mereka berterima kasih pada Indira jika tidak bisa saja pria dihadapannya ini mati begitu saja, membuatnya harus masuk dalam penjara. Membayangkan itu semua membuat Fajar menggelengkan kepalanya, tidak pernah ada dalam isi kepala atau bayangannya berada di penjara untuk sebuah kasus.“Kamu harus bayar biaya rumah sakit.” Budi berkata langsung membuat Fajar mengangkat alisnya.“Semua sudah dibayar.” Fajar menjawab dengan santai.Budi mengangkat sudut bibirnya dengan senyuman meremehkan, “rumah sakit sudah, tapi kerugian yang lain belum terbayar.”Memilih tidak peduli dengan perkataan Budi, memasuki kamarnya dan langsung menguncinya. Teriakan Budi tidak dihiraukan sama sekali, pikirannya benar-benar kacau ditambah sakit kepalanya yang semakin sering terja
Pulang dalam keadaan menahan emosi, sampai di rumah yang disambut oleh security membuat Frans semakin tidak terkendali. Keadaan rumah yang kosong tanpa seorang pun yang menyambutnya memberikan ruang kosong pada hatinya, menjatuhkan diri di lantai dengan menelungkupkan kepalanya. Tidak tahan dengan keadaan yang terjadi, mengangkat kepalanya agar tidak menangis membuat Frans harus melampiaskan pada sesuatu dan yang biasa dilakukan adalah merusak barang.“Jangan aneh-aneh, sudah cukup banyak barang yang kamu rusak di rumah ini,” tegur Joe.“Gue butuh pelampiasan, BEGO!” Frans berkata keras, menonjok dinding dengan tangannya yang terkepal, “gue lelah, Joe. Pemilik tubuh ini BEGO!”“Kita tahu kalau dia tidak kuat menghadapi masalah, makanya kita sering hadir. Kita lulusan terbaik dari beberapa kampus ternama, pastinya bisa menyelesaikan ini semua.” Joe menenangkan Frans.“Andai bisa dengan mudah apa yang lo bilang, Joe.” Frans mengusap wajahnya
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak