“Hei, tunggu!” Khair mencegat Riang sebelum gadis itu keluar kampus. Dia sengaja menunggu gadis itu selesai kuliah Karen jika langsung di cegat di depan ruang dosen nanti bisa mengundang keributan di kampus.
“Khair, ngapain masih di sini?” tanya dia, polos tanpa halu. “Enggak ke kedai?”
“Aku mau bicara sama kamu.”
Kalimat tersebut sontak mengundang halu di benak Riang. Mata gadis itu langsung berbinar-binar. ‘Serius? Secepat ini Khair mau bicara sama Riang?’
“Serius!” hardik Khair.
Mendapati ekpresi dingin Khair yang terlihat sangat cool, perasaan Riang jadi tidak karuan. Jantungnya berdebar kencang, tapi perutnya tidak bisa dikondisikan.
“Duh, Riang mules, nih.”
Khair sampai mendelik tak habis pikir. Bisa-bisanya gadis itu mules di saat seperti ini. “Jangan ngeles, deh!”
“Aku ke toilet dulu, ya!” Riang langsung meluncur kembali ke area belakang kampus. Terpaksa Khair mengikutinya supaya tidak kabur.
Setel
Ketika Khair tiba di rumah, Khaira juga sudah pulang dari kedai. Gadis yang baru belajar berhijab itu sedang duduk di ruang tengah. Hijabnya nampak kusut. Tepiannya sebagian basah. Mata Khaira sembab. Tangannya menggenggam sebuah figura berukuran A4. “Assalamaulaikum,” ucap Khair. “Wa’alaikumsalam,” jawab Khaira sembari tergesa meletakkan figura yang dipegangnya tadi ke meja kecil di sebelah kursi. Khair menyalami Khaira dan mencium tangannya. Sekilas, dia melirik ke arah figura. Nampak foto kedua orang tuanya tersenyum ceria bersama seorang remaja, yakni Khair yang saat itu baru masuk SMA. Sepintas kemudian, dia melihat kakaknya mengusap ujung mata dengan sebelah tangan. Jelas kakaknya itu menghindari tatapan Khair yang penuh selidik. “Teteh kenapa?” “Enggak apa-apa.” “Baru pulang dari kedai?” “iya.” “Sudah shalat Isya?” “Belum.” “Ya sudah, Teteh shalat dulu saja.” Khair sengaja tidak langsung m
Riang tidak datang ke kedai.‘Riang sakit, Teh.’ Itu pesan yang dikirimkan kepada Khaira lewat aplikasi WhatsApp.Khaira meneleponnya setelah selesai shalat dzuhur, ketika dia lepas dari intaian Khair yang saat itu sedang ke masjid.“Kamu sakit apa, Yang?”“Sakit haid, Teh.”“Sudah minum obat?”“Sudah.”“Istirahat yang cukup, ya!”“Iya, Teh. Makasih,” ucap Riang. “Tolong sampaikan terima kasih juga ke Khair ya, Teh.”“Khair?”“Iya. Kemarin Riang pingsan. Khair yang jagain.”Khaira tersenyum simpul. Tidak disangka adiknya itu bisa perhatian juga kepada ‘musuh bebuyutan’. “Nanti Teteh sampaikan. Mau tambah salam manis atau salam sayang juga, enggak?”“Ish, Teteh mah ….”Khaira bisa membayangkan betapa pipi gadis yang sela
“Apakah Ustaz akan menikah?” tanpa sadar kalimat itu meluncur dari mulutnya. Ahsan tertawa renyah. “Tentu saja saya akan menikah. Masa tidak?” “Maaf, Ustaz … maskud saya … Duh. Saya tidak bermaksud bertanya begitu, ko, Maafkan saya!” “Tidak apa-apa.” Ahsan nyengir. Sejak Khair mengenalnya lebih dari sekedar mahasiswa dan dosen, pemuda itu sering sekali melihat Ahsan nyengir. Padahal, jika di kampus, sosok kharismatik itu paling hanya senyum tanpa memamerkan gigi. Ya, tanpa Khair sadari, Ahsan memang nyaman berteman dengan pemuda itu. Selama ini, dia tidak punya teman sebaya yang satu frekuensi, selain rekan sesame dosen. Di rumah, dengan ayahnya sendiri pun dia tidak akur. Sedangkan teman-teman kuliahnya dulu, sudah terpisah sangat jauh. Hanya Khair dan Riang yang paling akrab dengannya sekarang. “Begini, Khair … Kampus kita dapat penawaran dari salah satu universitas ternama di Malaysia. Kampus akhirnya mengajukan nama kamu seba
Rasulullah setia kepada satu wanita sepanjang pernikahan pertamanya, yakni dengan Khadijah binti Khuwailid. Banyak keterangan yang menyebutkan dalamnya cinta baginda rasul kepada sang istri. Bahkan, kepergiannya menjadi tahun duka cita bagi nabi. Bahkan, istri yang beliau nikahi kemudian, yakni Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, mengetahui besarnya cinta Nabi kepada almarhumah Khadijah yang posisinya tak terganti oleh wanita manapun di hati nabi.Adapun, pernikahan Rasul dengan beberapa orang istri sepeninggal Khadijah dilatari banyak faktor yang berkaitan dengan dakwah. Toh, banyak sunah yang utama yang diwariskan nabi kepada umatnya, bukan hanya poligami semata.Itu yang disalahpahami Dean Yassa. Dia kira lelaki mapan boleh menikah sesuai keinginanya dengan satu, dua, tiga, atau empat orang wanita. Bahkan, tanpa permisi kepada istri pertama. Nyatanya dia terjerumus nafsu.Dean Yassa memang baru mengenal Islam ketika hendak menikah dengan Widya. Namun, d
“Neng ....” “Hai, Teteh ....” “Khaira .... ehm.” Itu beberapa sapaan yang diterima Khaira keesokan hari. Berkali-kali dia mengernyitkan dahi. Pikirnya, kenapa tiba-tiba banyak pelangan pria, baik mahasiswa maupun ojol yang pick up kopi di kedainya hari itu bersikap tidak normal. “Teh, boleh pesan?” seorang mahasiswa yang sepertinya seangkatan dengan Riang muncul jadi orang kesekian yang bersikap aneh saat memesan kopi Khaira. Senyum dikulum, curi-curi pandang pula, ‘Fix kesambet nih pemuda,’ pikir Khaira. “Mau pesan apa?” Khaira bertanya dengan tegas. “Pesan calon istri yang kayak Teteh, bisa?” Melotot tajam lah mata Khaira. Namun, bibirnya tersenyum bak monalisa. “Mau yang bisa karate atau yang bisa debus nyiramin kopi panas ke pelanggan kurang ajar?” “Aih … marah si Teteh mah. Bercanda atuh, Teh,” ujarnya. “Kalau gitu saya pesan yang dingin aja atuh lah, biar Tetehnya adem lagi. Frapuccino satu, ya, Teh!” Khai
“Temui Tante di RSUD, nenek ingin ketemu kamu.” Itu pesan yang masuk ke gawai Khaira setelah dua hari dia terus merejeck panggilan dari Tantenya. Masih tak percaya, gadis itu menimbang-nimbang apa yang akan dipustuskannya. Barulah pada malam hari, setelah menyelesaikan pekerjaan di kedai dan beres-beres di rumah, akhirnya dia menekan tombol dial dan memanggil nomor Tantenya. Sebelumnya, dia juga memastikan Khair sudah terlelap di kamar sebelah. “Hallo, Khaira!” Suara tante Putri terdengar sangat antusias. “Kamu susah banget sih dihubungi kalau Tante ada perlu,” gerutunya tanpa sekalimat pun ucapan maaf atas kejadian yang menimpa Khaira sebelumnya. Memang Khaira yang menelepon, tapi malah Tantenya yang bersikap seperti dia yang menelepon Khaira. “Ada apa?” tanya Khaira. “Tante kan sudah kirim pesan. Masa enggak ngerti juga ....” “Bagaimana keadaan nenek?” tanya Khaira. “Kritis.” “innalillahi ....” gumaman gadis itu terde
Dalam kondisi terguncang, dia mencoba mencari handphone-nya untuk memanggil Khair dan mengabarkan kondisinya. Namun, dia bahkan tidak bisa bergerak dari tempat duduknya saking takut bahwa pikiran buruk yang terlintas di pikirannya benar-benar terjadi menimpanya. Khaira bahkan kesulitan mengatur nafas. Dia dihantui pikiran-pikiran yang menakutkan tentang hal buruk yang mungkin sudah dilakukan Guntur dan Tante Putri kepadanya. Air matanya mengalir deras begitu saja. Dia hanya sesenggukan menahan badai yang berkecamuk di hati dan pikirannya. Dia menangis sejadi-jadinya saat itu. Tubuhnya berguncang menahan isak. Segala ingatan masa lalu tentang peristiwa pahit yang menimpanya di real estate dulu muncul kembali bagai slide film. Peristiwa bunuh dirinya, kedatangan Om nya ke kedai, teror sang Tante dan jebakan yang pernah dilakukannya kali pertama dulu sampai kejadian hari ini yang sungguh membuatnya jeri. Dia sudah berusaha untuk menjalani hidup baru bersama adik
Usai makan, Khaira dan Riang membantu Ummi Latifah mencuci piring kotor dan merapikan kembali lauk-pauk ke nakas di dapur. Setelah itu, Khaira minta ijin ke kamar sebentar untuk menghubungi adiknya. “Khair, Teteh mau menginap di rumah Riang.” Demikian isi pesan teks yang Khaira kirimkan setelah baterai gawainya terisi. Dia pinjam charger milik Riang. Sebuah panggilan masuk dari Khair langsung terpampang di layar. “Assalamualaikum,” sapa Khaira berusaha menekan intonasinya setenang mungkin. “Wa’alaikumsalam. Teteh di rumah Riang?” tanya Khair to the point. “Iya,” jawab Kahira singkat. “Kenapa tiba-tiba menginap? Kenapa enggak bilang dulu sama Khair?” “Hm ... Kemarin kan Riang sakit ....“ Khaira mereka-reka kata tanpa sedikitpun bermaksud berbohong kepada adiknya. Dia hanya mencari alasan yang masuk akal tapi tidak berisi kebohongan. “Dia sakit lagi? Owh ... jadi Teteh tadi nengok Riang? Soalnya kata Bi Ocih,