Rasulullah setia kepada satu wanita sepanjang pernikahan pertamanya, yakni dengan Khadijah binti Khuwailid. Banyak keterangan yang menyebutkan dalamnya cinta baginda rasul kepada sang istri. Bahkan, kepergiannya menjadi tahun duka cita bagi nabi. Bahkan, istri yang beliau nikahi kemudian, yakni Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, mengetahui besarnya cinta Nabi kepada almarhumah Khadijah yang posisinya tak terganti oleh wanita manapun di hati nabi.
Adapun, pernikahan Rasul dengan beberapa orang istri sepeninggal Khadijah dilatari banyak faktor yang berkaitan dengan dakwah. Toh, banyak sunah yang utama yang diwariskan nabi kepada umatnya, bukan hanya poligami semata.
Itu yang disalahpahami Dean Yassa. Dia kira lelaki mapan boleh menikah sesuai keinginanya dengan satu, dua, tiga, atau empat orang wanita. Bahkan, tanpa permisi kepada istri pertama. Nyatanya dia terjerumus nafsu.
Dean Yassa memang baru mengenal Islam ketika hendak menikah dengan Widya. Namun, d
“Neng ....” “Hai, Teteh ....” “Khaira .... ehm.” Itu beberapa sapaan yang diterima Khaira keesokan hari. Berkali-kali dia mengernyitkan dahi. Pikirnya, kenapa tiba-tiba banyak pelangan pria, baik mahasiswa maupun ojol yang pick up kopi di kedainya hari itu bersikap tidak normal. “Teh, boleh pesan?” seorang mahasiswa yang sepertinya seangkatan dengan Riang muncul jadi orang kesekian yang bersikap aneh saat memesan kopi Khaira. Senyum dikulum, curi-curi pandang pula, ‘Fix kesambet nih pemuda,’ pikir Khaira. “Mau pesan apa?” Khaira bertanya dengan tegas. “Pesan calon istri yang kayak Teteh, bisa?” Melotot tajam lah mata Khaira. Namun, bibirnya tersenyum bak monalisa. “Mau yang bisa karate atau yang bisa debus nyiramin kopi panas ke pelanggan kurang ajar?” “Aih … marah si Teteh mah. Bercanda atuh, Teh,” ujarnya. “Kalau gitu saya pesan yang dingin aja atuh lah, biar Tetehnya adem lagi. Frapuccino satu, ya, Teh!” Khai
“Temui Tante di RSUD, nenek ingin ketemu kamu.” Itu pesan yang masuk ke gawai Khaira setelah dua hari dia terus merejeck panggilan dari Tantenya. Masih tak percaya, gadis itu menimbang-nimbang apa yang akan dipustuskannya. Barulah pada malam hari, setelah menyelesaikan pekerjaan di kedai dan beres-beres di rumah, akhirnya dia menekan tombol dial dan memanggil nomor Tantenya. Sebelumnya, dia juga memastikan Khair sudah terlelap di kamar sebelah. “Hallo, Khaira!” Suara tante Putri terdengar sangat antusias. “Kamu susah banget sih dihubungi kalau Tante ada perlu,” gerutunya tanpa sekalimat pun ucapan maaf atas kejadian yang menimpa Khaira sebelumnya. Memang Khaira yang menelepon, tapi malah Tantenya yang bersikap seperti dia yang menelepon Khaira. “Ada apa?” tanya Khaira. “Tante kan sudah kirim pesan. Masa enggak ngerti juga ....” “Bagaimana keadaan nenek?” tanya Khaira. “Kritis.” “innalillahi ....” gumaman gadis itu terde
Dalam kondisi terguncang, dia mencoba mencari handphone-nya untuk memanggil Khair dan mengabarkan kondisinya. Namun, dia bahkan tidak bisa bergerak dari tempat duduknya saking takut bahwa pikiran buruk yang terlintas di pikirannya benar-benar terjadi menimpanya. Khaira bahkan kesulitan mengatur nafas. Dia dihantui pikiran-pikiran yang menakutkan tentang hal buruk yang mungkin sudah dilakukan Guntur dan Tante Putri kepadanya. Air matanya mengalir deras begitu saja. Dia hanya sesenggukan menahan badai yang berkecamuk di hati dan pikirannya. Dia menangis sejadi-jadinya saat itu. Tubuhnya berguncang menahan isak. Segala ingatan masa lalu tentang peristiwa pahit yang menimpanya di real estate dulu muncul kembali bagai slide film. Peristiwa bunuh dirinya, kedatangan Om nya ke kedai, teror sang Tante dan jebakan yang pernah dilakukannya kali pertama dulu sampai kejadian hari ini yang sungguh membuatnya jeri. Dia sudah berusaha untuk menjalani hidup baru bersama adik
Usai makan, Khaira dan Riang membantu Ummi Latifah mencuci piring kotor dan merapikan kembali lauk-pauk ke nakas di dapur. Setelah itu, Khaira minta ijin ke kamar sebentar untuk menghubungi adiknya. “Khair, Teteh mau menginap di rumah Riang.” Demikian isi pesan teks yang Khaira kirimkan setelah baterai gawainya terisi. Dia pinjam charger milik Riang. Sebuah panggilan masuk dari Khair langsung terpampang di layar. “Assalamualaikum,” sapa Khaira berusaha menekan intonasinya setenang mungkin. “Wa’alaikumsalam. Teteh di rumah Riang?” tanya Khair to the point. “Iya,” jawab Kahira singkat. “Kenapa tiba-tiba menginap? Kenapa enggak bilang dulu sama Khair?” “Hm ... Kemarin kan Riang sakit ....“ Khaira mereka-reka kata tanpa sedikitpun bermaksud berbohong kepada adiknya. Dia hanya mencari alasan yang masuk akal tapi tidak berisi kebohongan. “Dia sakit lagi? Owh ... jadi Teteh tadi nengok Riang? Soalnya kata Bi Ocih,
Setelah semua barang selesai diangkut, kopi buatan Khaira pun siap tersaji untuk dinikmati. Ketiga kurir yang membantu mengangkut barang akhirnya pamit. Tinggalah Ahsan, Khaira, Riang dan Ummi Latifah. “Untung kita punya Barista,” kata Riang sambil menyeruput kopi susu buatan Khaira. “Kalau sudah selesai minum, langsung packing aja, ya!” perintah Ummi Latifah, “Ummi cari daftar penerima bantuannya dulu, ya. Tadi lupa naruhnya dimana.” Wanita yang selalu tampil mengenakan abaya itu lalu masuk ke sebuah ruangan di bagian dalam rumah. “Berarti ini satu-satu dimasukin dalam kotak hampers, ya, Ummi?” sahut Riang sebelum ibunya menghilang di balik pintu. “Iya, Sayang,” sahut Ummi Latifah agak berteriak supaya suaranya terdengar. “Riang tolong ambilkan pita sama hekter dan isolasi di nakas ruang kerja abi!” “Baik, Ummi.” Gadis itu bangkit setelah menerima instruksi. “Khaira sama Ahsan, langsung masuk-masukin aja mukena dan sarung
Khaira yang memutuskan menginap di rumah Riang, turut makan malam bersama dengan Riang dan ibunya. “Kamu enggak usah sungkan. Makan yang banyak! Biasanya Abinya Riang tuh yang suka ngabisin sisa makanan. Sekarang lagi enggak ada. Abinya enggak pulang karena lagi roadshow keliling Sumatra,” tutur Ummi Latifah kepada Khaira. “Roadshow, band rock kali roadshow ....” celoteh Riang. “Sama aja, kan keliling juga,” omel Ummi Latifah. Khaira jadi gemas melihat tingkah keduanya. Ummi Latifah meletakkan dua potong daging ayam ke piring Khaira meski gadis itu menolaknya. “Biar sehat! Ayo dimakan!” “Ummi, Riang yang minta malah Teh Khaira yang dikasih dua,” gerutu sang putri tercinta. “Memang Riang sayang enggak bosen gitu makan masakan Ummi?” goda ibunya. Riang manyun. “Begitu tuh Riang. Biasanya disuruh makan aja susah. Eh, ada Khaira malah sisirikan.” Khaira tertawa. Lantas, meletakkan sepotong daging ayam
“Riang, Khaira, ayo gosok gigi terus wudhu dulu sebelum tidur!” komando ummi Latifah kepada kedua perempuan muda yang bak masih kanak-kanak di matanya.“Kan sedang haid, Ummi ....” protes Riang.“Ya sudah gosok gigi. Masa lagi haid juga libur gosok gigi?”Riang bersungut-sungut. Namun, Khaira hari itu merasa seperti sungguh-sungguh diperlakukan sebagai anak oleh seorang ibu. Dengan senang hati dia mengikuti semua perintah tuan rumah.“Riang sayang, awas kamu kalau begadang!” hardik ummi Latifah, “Khaira juga, jangan mau diajak ronda sama anak ummi, ya! Kamu harus istirahat, jaga kesehatan.”Khaira mengangguk. Sementara Riang protes sambil manyun, “Masa Teh Khaira aja yang disuruh jaga kesehatan. Riang enggak?”“Iya, kamu juga, Sayang ....” Ummi Latifah menjawil pipi Riang sebelum anak gadisnya itu masuk kamar bersama Khaira.“Tadinya siang tuh Ri
Keesokan harinya, acara pengajian digelar sesuai rencana. Riang bertugas membaca ayat suci Alquran. Kemudian, dilanjutkan pidato sambutan dari donatur, Yayasan, dan pemimpin panti. Ahsan yang dijadwalkan memberikan sambutan sebagai donatur malah terlambat datang. Tak menunggu, acara inti akan tetap dilangsungkan yakni pengajian dan tausiyah oleh Ummi Latifah. Khaira menepi ke luar sejak Riang dipanggil untuk tilawah Alquran. Setelah mengecek semua bingkisan yang akan diberikan kepada para lansia, Khaira duduk di teras samping masjid yang jadi tempat pengajian digelar. Dia juga mendengar suara Riang yang merdu melantunkan ayat suci Alquran. Pagi tadi, dia suci dari haid dan sudah bisa menjalankan shalat subuh berjamaah bersama Khaira dan ibunya. Quran surat At Taubah ayat 40 dilantunkan Riang dengan mulus. Ketika tiba pada lafaz ‘Laa tahzan, Innallaha ma’ana,’ ada yang menghangat di mata Khaira. Hatinya tergetar begitu saja. Terlebih ketika dikat
Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan
“Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam
Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”
Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke
Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat
Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “
Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”
Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh
Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill