“Neng ....”
“Hai, Teteh ....”
“Khaira .... ehm.”
Itu beberapa sapaan yang diterima Khaira keesokan hari. Berkali-kali dia mengernyitkan dahi. Pikirnya, kenapa tiba-tiba banyak pelangan pria, baik mahasiswa maupun ojol yang pick up kopi di kedainya hari itu bersikap tidak normal.
“Teh, boleh pesan?” seorang mahasiswa yang sepertinya seangkatan dengan Riang muncul jadi orang kesekian yang bersikap aneh saat memesan kopi Khaira. Senyum dikulum, curi-curi pandang pula, ‘Fix kesambet nih pemuda,’ pikir Khaira.
“Mau pesan apa?” Khaira bertanya dengan tegas.
“Pesan calon istri yang kayak Teteh, bisa?”
Melotot tajam lah mata Khaira. Namun, bibirnya tersenyum bak monalisa. “Mau yang bisa karate atau yang bisa debus nyiramin kopi panas ke pelanggan kurang ajar?”
“Aih … marah si Teteh mah. Bercanda atuh, Teh,” ujarnya. “Kalau gitu saya pesan yang dingin aja atuh lah, biar Tetehnya adem lagi. Frapuccino satu, ya, Teh!”
Khai
Episode yang singkat dan ringan ini akan mengantarkan ke jebakan kedua bagi Khaira. Terus ikuti kisahnya, ya.
“Temui Tante di RSUD, nenek ingin ketemu kamu.” Itu pesan yang masuk ke gawai Khaira setelah dua hari dia terus merejeck panggilan dari Tantenya. Masih tak percaya, gadis itu menimbang-nimbang apa yang akan dipustuskannya. Barulah pada malam hari, setelah menyelesaikan pekerjaan di kedai dan beres-beres di rumah, akhirnya dia menekan tombol dial dan memanggil nomor Tantenya. Sebelumnya, dia juga memastikan Khair sudah terlelap di kamar sebelah. “Hallo, Khaira!” Suara tante Putri terdengar sangat antusias. “Kamu susah banget sih dihubungi kalau Tante ada perlu,” gerutunya tanpa sekalimat pun ucapan maaf atas kejadian yang menimpa Khaira sebelumnya. Memang Khaira yang menelepon, tapi malah Tantenya yang bersikap seperti dia yang menelepon Khaira. “Ada apa?” tanya Khaira. “Tante kan sudah kirim pesan. Masa enggak ngerti juga ....” “Bagaimana keadaan nenek?” tanya Khaira. “Kritis.” “innalillahi ....” gumaman gadis itu terde
Dalam kondisi terguncang, dia mencoba mencari handphone-nya untuk memanggil Khair dan mengabarkan kondisinya. Namun, dia bahkan tidak bisa bergerak dari tempat duduknya saking takut bahwa pikiran buruk yang terlintas di pikirannya benar-benar terjadi menimpanya. Khaira bahkan kesulitan mengatur nafas. Dia dihantui pikiran-pikiran yang menakutkan tentang hal buruk yang mungkin sudah dilakukan Guntur dan Tante Putri kepadanya. Air matanya mengalir deras begitu saja. Dia hanya sesenggukan menahan badai yang berkecamuk di hati dan pikirannya. Dia menangis sejadi-jadinya saat itu. Tubuhnya berguncang menahan isak. Segala ingatan masa lalu tentang peristiwa pahit yang menimpanya di real estate dulu muncul kembali bagai slide film. Peristiwa bunuh dirinya, kedatangan Om nya ke kedai, teror sang Tante dan jebakan yang pernah dilakukannya kali pertama dulu sampai kejadian hari ini yang sungguh membuatnya jeri. Dia sudah berusaha untuk menjalani hidup baru bersama adik
Usai makan, Khaira dan Riang membantu Ummi Latifah mencuci piring kotor dan merapikan kembali lauk-pauk ke nakas di dapur. Setelah itu, Khaira minta ijin ke kamar sebentar untuk menghubungi adiknya. “Khair, Teteh mau menginap di rumah Riang.” Demikian isi pesan teks yang Khaira kirimkan setelah baterai gawainya terisi. Dia pinjam charger milik Riang. Sebuah panggilan masuk dari Khair langsung terpampang di layar. “Assalamualaikum,” sapa Khaira berusaha menekan intonasinya setenang mungkin. “Wa’alaikumsalam. Teteh di rumah Riang?” tanya Khair to the point. “Iya,” jawab Kahira singkat. “Kenapa tiba-tiba menginap? Kenapa enggak bilang dulu sama Khair?” “Hm ... Kemarin kan Riang sakit ....“ Khaira mereka-reka kata tanpa sedikitpun bermaksud berbohong kepada adiknya. Dia hanya mencari alasan yang masuk akal tapi tidak berisi kebohongan. “Dia sakit lagi? Owh ... jadi Teteh tadi nengok Riang? Soalnya kata Bi Ocih,
Setelah semua barang selesai diangkut, kopi buatan Khaira pun siap tersaji untuk dinikmati. Ketiga kurir yang membantu mengangkut barang akhirnya pamit. Tinggalah Ahsan, Khaira, Riang dan Ummi Latifah. “Untung kita punya Barista,” kata Riang sambil menyeruput kopi susu buatan Khaira. “Kalau sudah selesai minum, langsung packing aja, ya!” perintah Ummi Latifah, “Ummi cari daftar penerima bantuannya dulu, ya. Tadi lupa naruhnya dimana.” Wanita yang selalu tampil mengenakan abaya itu lalu masuk ke sebuah ruangan di bagian dalam rumah. “Berarti ini satu-satu dimasukin dalam kotak hampers, ya, Ummi?” sahut Riang sebelum ibunya menghilang di balik pintu. “Iya, Sayang,” sahut Ummi Latifah agak berteriak supaya suaranya terdengar. “Riang tolong ambilkan pita sama hekter dan isolasi di nakas ruang kerja abi!” “Baik, Ummi.” Gadis itu bangkit setelah menerima instruksi. “Khaira sama Ahsan, langsung masuk-masukin aja mukena dan sarung
Khaira yang memutuskan menginap di rumah Riang, turut makan malam bersama dengan Riang dan ibunya. “Kamu enggak usah sungkan. Makan yang banyak! Biasanya Abinya Riang tuh yang suka ngabisin sisa makanan. Sekarang lagi enggak ada. Abinya enggak pulang karena lagi roadshow keliling Sumatra,” tutur Ummi Latifah kepada Khaira. “Roadshow, band rock kali roadshow ....” celoteh Riang. “Sama aja, kan keliling juga,” omel Ummi Latifah. Khaira jadi gemas melihat tingkah keduanya. Ummi Latifah meletakkan dua potong daging ayam ke piring Khaira meski gadis itu menolaknya. “Biar sehat! Ayo dimakan!” “Ummi, Riang yang minta malah Teh Khaira yang dikasih dua,” gerutu sang putri tercinta. “Memang Riang sayang enggak bosen gitu makan masakan Ummi?” goda ibunya. Riang manyun. “Begitu tuh Riang. Biasanya disuruh makan aja susah. Eh, ada Khaira malah sisirikan.” Khaira tertawa. Lantas, meletakkan sepotong daging ayam
“Riang, Khaira, ayo gosok gigi terus wudhu dulu sebelum tidur!” komando ummi Latifah kepada kedua perempuan muda yang bak masih kanak-kanak di matanya.“Kan sedang haid, Ummi ....” protes Riang.“Ya sudah gosok gigi. Masa lagi haid juga libur gosok gigi?”Riang bersungut-sungut. Namun, Khaira hari itu merasa seperti sungguh-sungguh diperlakukan sebagai anak oleh seorang ibu. Dengan senang hati dia mengikuti semua perintah tuan rumah.“Riang sayang, awas kamu kalau begadang!” hardik ummi Latifah, “Khaira juga, jangan mau diajak ronda sama anak ummi, ya! Kamu harus istirahat, jaga kesehatan.”Khaira mengangguk. Sementara Riang protes sambil manyun, “Masa Teh Khaira aja yang disuruh jaga kesehatan. Riang enggak?”“Iya, kamu juga, Sayang ....” Ummi Latifah menjawil pipi Riang sebelum anak gadisnya itu masuk kamar bersama Khaira.“Tadinya siang tuh Ri
Keesokan harinya, acara pengajian digelar sesuai rencana. Riang bertugas membaca ayat suci Alquran. Kemudian, dilanjutkan pidato sambutan dari donatur, Yayasan, dan pemimpin panti. Ahsan yang dijadwalkan memberikan sambutan sebagai donatur malah terlambat datang. Tak menunggu, acara inti akan tetap dilangsungkan yakni pengajian dan tausiyah oleh Ummi Latifah. Khaira menepi ke luar sejak Riang dipanggil untuk tilawah Alquran. Setelah mengecek semua bingkisan yang akan diberikan kepada para lansia, Khaira duduk di teras samping masjid yang jadi tempat pengajian digelar. Dia juga mendengar suara Riang yang merdu melantunkan ayat suci Alquran. Pagi tadi, dia suci dari haid dan sudah bisa menjalankan shalat subuh berjamaah bersama Khaira dan ibunya. Quran surat At Taubah ayat 40 dilantunkan Riang dengan mulus. Ketika tiba pada lafaz ‘Laa tahzan, Innallaha ma’ana,’ ada yang menghangat di mata Khaira. Hatinya tergetar begitu saja. Terlebih ketika dikat
Beberapa bingkisan tersisa dan langsung diamankan panitia. Riang sontak mendelik waktu totebag berisi sembako dan mukena itu direbut dari tangannya.“Nanti saya serahkan langsung kepada penerimanya.” Demikian kata pihak panitia. Riang melaporkan hal itu kepada Umminya.“Di acara amal pun masih ada saja yang cari-cari kesempatan, ya, Ummi?” celoteh Riang.“Sudah ada list penerimanya. Jadi kamu jangan suudzon begitu, sayang,” timpal ummi Latifah bijak.“Ummi mana tahu kelakuan orang di belakang,” sungut Riang.“Ish ... Riang!” Ummi melotot mengingatkan putrinya agar kembali berhusnudzon. “Kalau begitu, biar kamu saja nanti yang ummi tugaskan buat ngecek kondisi panti sebelum bangunannya direnovasi. Biar kamu hitung sendiri jumlah penghuninya ada berapa. Ok?”Riang mengerucutkan mulutnya. Khaira hanya mesem saja. Kelakuan Riang yang seperti itu sudah jadi pemandangan sehari