Jadwal terapi Khaira adalah seminggu sekali. Jadi, pada hari yang ditentukan, Khaira menyiapkan Riang dan Bi Ocih agar stand by di kedai kopi. Kini urusan pesanan online sudah dialihkan kepada Riang. Jadi, Khair bisa bebas tugas jika dia sedang ada keperluan.
Riang dan Khair secara otomatis harus klop dalam komunikasi dan marketing. Jika ada pesanan kopi masuk ke nomor Khair, maka dia harus meneruskan pesan kepada Riang yang sedang stand by. Begitu juga sebaliknya.
Sedangkan urusan delivery selama Khair sibuk, dialihkan kepada Mang Ajat. Sementara itu, Khaira juga kian gencar mengajarkan Bi Ocih dan Riang meracik kopi all varian, termasuk teknik membuat latte art. Jadi, ketika dia harus meninggalkan kedai, mereka berdua bisa diandalkan.
Khaira sudah mempersiapkan semuanya dengan seksama sebelum sesi pertama psikoterapi-nya dimulai. Dia juga sudah berziarah ke makan ibu dan bapaknya. Hatinya sudah sedikit lega dan mantap untuk menjalani penyembuhan. Apalagi
Khair bersidekap sambil bersandar pada kusen pintu kamarnya. Amarah pada sorot matanya belum reda. Namun, dia sudah bersedia berdamai dengan situasi. Di kedai tadi, Khaira memohon kepadanya untuk memberi kesempatan kepada om-tantenya untuk bicara. Untuk menghindari keributan, mereka pun akhirnya membawa kedua orang itu ke rumah. “Kami mau merantau ke Kalimantan,” tutur Om Bambang kepada Khaira. “Om dapat tawaran kerja di sana.” “Iya, Khaira. Kami mau pamitan sekaligus ... hm,” Tante Inces melirik sejenak ke arah Khair yang masih memelototinya sambil berdiri. Wanita itu nampak risih dan tegang, namun tak urung juga diutarakannya niat sebenarnya kepada Khaira, “... pinjam uang, ya, untuk ongkos dan bekal kami di sana.” Khair mendongakkan kepalanya. Sang Tante langsung mengkerut melihatnya. Khaira sendiri tak habis pikir dengan permintaan tantenya. Specchless dia. “Hm ... jadi itu yang kalian lakukan kepada Teh Khaira?” Khair buka suara.
Malam sebelum kejadian ‘penculikan’, Putri Arunika –tante Khaira– memutar otak karena suaminya telah beberapa hari masuk penjara. Ya, kegagalannya menjebak Khaira di hotel pada beberapa waktu sebelumnya, telah membuat Guntur berang.Pria yang sejak dulu menaruh dendam kepada Khaira itu, ingin melampiaskan sakit hati setelah dulu pernah hampir mati terbunuh oleh gadis itu. Dia juga merasa dilecehkan oleh penolakan dan perlawanan Khaira selama ini.Meski sudah menikah dengan seorang putri pengusaha kaya, Guntur masih saja memiliki nafsu untuk memiliki Khaira dan membalas semua dendamnya kepada wanita itu. Makanya, sejak bertemu kembali dengan Khaira tanpa sengaja di sebuah mini market, dia sangat bernafsu menyampaikan berita itu kepada Putri dan Bambang, sahabat sekaligus om-tante Khaira yang sudah bertahun-tahun mencari keberadaan keponakannya.Hubungan Putri dan Bambang pun semakin erat dengan Guntur. Awalnya, dia mengungkit kembali
Cerita tantenya tentang kejadian ‘penculikan’ itu benar-benar menghantui Khaira. Sejak itu dia tidak mau keluar rumah. Bahkan ke kedai. Khair pun tidak bisa membujuknya. Bukan hanya Khaira, adiknya pun turut sedih atas apa yang menimpa sang Kakak. Dia tidak melaporkan kejadian memilukan itu kepada polisi. Sebab, untuk sekedar bercerita kepada orang lain saja, Khair tidak tega. Kakaknya pasti luar biasa menderita. Dia pernah membaca bahwa trauma seperti yang dialami Khaira tidak mudah disembuhkan. Dokter Huda pun pernah menejelaskan bahwa trauma yang diakibatkan pelecehan memang sulit dihapuskan. Itu membekas selamanya. “Dia mungkin tidak bisa lagi percaya kepada orang lain. Dia mungkin merasa sangat kotor dan hina. Kepercayaan dirinya sebagai wanita pasti turun drastis,” kata dokter Huda. “Hanya keberanian yang dapat melawannya. Dia harus sadar bahwa itu bukan kesalahannya.” Ketika Khair datang sendirian menemui Dokter Huda karena Khaira tidak mau per
“Jelasin ke aku, apa yang sebenarnya terjadi sama Teh Khaira?” tanya Riang begitu mereka keluar dari lobi hotel. Sudah sejak tadi dia menahan pertanyaan itu. Tepatnya, sejak mereka tiba di lobi dan Khair terlibat percakapan ganjil dengan resepsionis.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis hotel tersebut.“Saya ingin menanyakan sesuatu. Apakah ada seseorang bernama Guntur memesan kamar di hotel ini pada sekitar seminggu lalu?”Resepsionis itu mengernyitkan dahi. Dia menatap Khair dengan curiga. Namun dengan nada tenang berkata, “Maaf, kami tidak bisa mengungkapkan informasi terkait tamu hotel kepada orang asing.”“Saya memerlukan informasi ini, Mbak. Ini bisa jadi kasus hukum.”Resepsionis itu terdiam sejenak. Berkali-kali dia menatap layar monitor di depannya. Lantas, dia menelepon seseorang yang segera tiba di tempat. Orang itu memakai setelah jas yang rapi. Dari gaya bicara dan ge
Khaira keluar dari kamar bersama Riang. Gadis itu mau pamit pulang. Namun, di ruang tengah langkah keduanya terhenti karena mendapati seorang tamu tengah berbincang dengan Khair.“Apa kabar, Khaira?” sapa tamu tersebut yang tidak lain adalah dokter Huda.Khaira tergagap, “Ba ... baik, Dok.”Riang terkesima melihat tatapan Dokter Huda kepada Khaira. Apalagi senyumnya, bikin Riang deg-degan. Beda dengan senyum Khair yang manisnya tipis, senyum Pak Dokter satu ini sungguh berwibawa tapi tetap legit.“Astaghfirullah ....” gumam gadis imut yang gampang terbawa perasaan itu.Khaira mengamit tangan Riang. Dia seolah berkata, ‘Jangan dulu pulang!’ dan Riang meresponnya dengan tetap berdiri di tempat.“Teteh sama Riang sudah selesai ngobrol?” tanya Khair.Khaira tidak menjawab. Dia semakin mengeratkan gengaman tangannya kepada Riang seperti takut ditinggalkan sendirian.“
Di rumah, Khaira bimbang. Pikirannya terus tertujuk kepada neneknya yang sudah dibawa ke wisma, tempat singgah sementara hingga renovasi panti selesai dikerjakan. Sebenarnya dia sangat ingin membawa neneknya ke rumah, tapi Khair belum tahu apa-apa.Adiknya itu bisa marah jika tahu Khaira bertemu neneknya. Cemas dan semakin takut lah Khaira. Untung ada Riang. Gadis itu janji akan membantu Khaira bicara dengan Khair.Secangkir cappucino jadi andalan Riang untuk menenangkan Khair ketika keduanya bicara di kedai.“Ada kabar baik,” ucap Riang.“Apa?”“Teh Khaira sudah setuju untuk melakukan pemeriksaan medis, tapi ....”“Apa?”“Hm ... dia minta kamu janji satu hal.”“Apa?”“Janji tidak marah kalau Teh Khaira bertemu nenek.”Khair mendongak. “Maksud kamu apa?”Jantung Riang hampir copot melihat bara di mata Khair. Tiba
Pemeriksaan medis dan psikoteraphy berjalan lancar. Khaira pun sudah mulai beraktivitas kembali di kedai. Tentu saja Khair tetap melakukan pengawasan penuh terhadapnya di samping lebih giat promosi dan kejar setoran. Maklum, biaya untuk keperluan medis Khaira cukup menguras tabungannya. Uang yang tadinya akan dia kumpulkan untuk kuliah S2, akhirnya digunakan untuk kesembuhan kakaknya.Di saat kesulitan keuangan, dokter Huda memberikan keringanan. Selain itu, paman Khair yang berada di Malaysia, tanpa disangka-sangka mengirimkan sejumlah uang.“Khair, jom cek rekening bank. Paman dah kirim hasil penjualan kebun oppa engkau yang jadi bagian engkau dan Khaira.” Rupanya sepetak kebun peninggalan neneknya di Putrajaya kini telah laku terjual. Khair sangat bersyukur karenanya.“Apa khabar awak dan Khaira?” tanya sang Paman lewat sambungan telepon. “Awak dah lulus kah dari university?”“Sudah, P
Khaira berjalan ke mini market yang terletak di kantin rumah sakit. Dia mau membeli makanan untuk pengurus panti yang sedang menjaga neneknya di ruang rawat inap. Khaira merasa perlu menyuguhi dan menyediakan makanan buat mereka sebelum dirinya meninggalkan sang Nenek untuk pergi menemui dokter Huda.Pikirannya benar-benar terbagi ke sana kemari. Diambilnya beberapa bungkus roti dan beberapa kotak susu UHT. Setelah keranjangnya penuh, dia pergi ke meja kasir. Disana seorang ibu seusia Bi Ocih tengah kelimpungan membayar belanjaan.“Sebentar, sepertinya saya lupa menaruh dompet.”Khaira agak lama mengantri di belakangnya.“Duh, dompet saya ketinggalan di ruang rawat. Boleh saya titip dulu belanjaannya disini? Nanti saya kembali,” kata ibu perpenampilan rapi dan anggun tersebut kepada kasir.“Maaf,” Khaira menyela. “Berapa semuanya? Biar saya bayarkan dulu!”Ibu tersebut menoleh dan menatap Khair