“Tumben sepi, Bi?” tanya Khair kepada Bi Ocih di suatu pagi.
Kedai belum buka. Hanya Bi Ocih yang tampak seorang diri di belakang meja barista, sedang menyiapkan peralatan.
“Kemana Teh Khaira?” tanya Khair lagi. Dia celingukan mencari sosok wanita berambut kepang dengan scraft kecil di kepalanya.
“Neng Khaira di mushola sama Neng Riang.”
Mata Khair membulat. Penasaran dia, sedang apa mereka berdua di mushola. Tidak mungkin sedang main catur, kan?
Lamat-lamat Khair mendengar lantunan ayat suci Alquran kala langkahnya mendekat ke lorong menuju mushola kedai Khaira.
“ar-raḥmān. 'allamal-qur`ān. khalaqal-insān. 'allamahul-bayān. asy-syamsu wal-qamaru biḥusbān. wan-najmu wasy-syajaru yasjudān. was-samā`a rafa'ahā wa waḍa'al-mīzān. allā taṭgau fil-mīzān. wa aqīmul-wazna bil-qisṭi wa lā tukhsirul-mīzān. wal-arḍa waḍa'ahā lil-anām. fīhā fākihatuw wan-nakhlu żātul-akmām. wal-ḥabbu żul-'aṣfi war-raiḥān. fa
Khair tak lagi ribut dengan Riang, apalagi jadwal sidang skripsinya sudah sangat dekat. Dia sibuk menyiapkan dokumen dan memantapkan diri secara fisik dan mental untuk menghadapi hari penentuan kelulusannya itu.“Doain Khair ya, Teh,” pagi itu Khair pamitan kepada Khaira. Disandangnya tas ransel berisi draft skripsi dan beberapa buku referensi yang mungkin perlu dia tunjukan kepada penguji. Laptop tak lupa dia bawa, pun demikian dengan bekal kopi dari kakaknya.“Semoga lancar, ya, Khair. Semoga kamu lulus,” ucap Khaira.Seperti biasa, Khair mencium tangannya lalu pamitan. Khaira pun bersia-siap pergi ke kedainya.Hingga sore, Khair tak memberinya kabar. Di kedai, Khaira berdebar-debar menantikan hasil sidang adiknya.“Riang, hari ini sudah ke kampus?” tanya dia bermaksud mencari tahu soal Khair kepada Riang.“Hari ini Riang free, makanya bisa di sini sampai sore. Sekalian nunggu Khair.”
Esok harinya, sepulang kuliah, Riang seperti biasa melakukan tugasnya di kedai kopi Khaira. Namun, ketika tiba disana, dia dikejutkan dengan sound yang berbeda. Bukan musik dari lagu-lagu barat dan Korea kesukaannya, melainkan lagu mendayu yang baru kali ini didengarnya.Khair tampak menempati salah satu meja yang menghadap ke jendela. Sebuah laptop terbuka sedang ditatapnya.Riang penasaran dengan apa yang dilakukan Khair di sana.“Assalamualaikum, Akhi.” Sapa Riang dibalas salam Khair tanpa ekspresi. “Akhi, lagi apa?” Riang menelengkan kepalanya mencari tahu apa yang sedang dilakukan Khair lewat layar laptopnya.“Stop sebut Akhi!” Khair mendelik. “Dan, enggak usah dekat-dekat kayak gini! Kita bukan muhrim.”Bersamaan dengan itu lagu yang sedang diputar di kedai berganti. Dari irama mendayu sendu grup nasyid inteam ke ritme yang menghentak-hentak dari Justice Voice.Hey! Kamu
“Ada beberapa rekomendasi kampus yang memberikan beasiswa penuh untuk mahasiswa baru,” papar Ahsan. Dia memang sudah janji kepada Khair untuk memberikan rekomendasi kampus yang memiliki beasiswa penuh untuk program pasca-sarjana.Beberapa kampus yang dipilihkan Ahsan adalah kampus negeri di sekitar Bandung, seperti UPI dan UIN. Beberapa kampus lain di luar kota juga Ahsan rekomendasikan untuk Khair. Dia bahkan, merekomendasikan juga kampus luar negeri yang mungkin cocok dengan minat Khair.“Almamater saya dulu, bisa kamu lirik juga, loh. Di sana cukup nyaman. Lingkungannya pun cukup kondusif untuk belajar Islam. Tetapi, jika kamu ingin lebih dalam mempelajari tentang Islam, mungkin sebaiknya ke Timur Tengah saja, atau ke Mesir.”Khair menarik kedua sudut bibirnya. Dia bahkan tidak pernah membayangkan bisa kuliah di luar negeri, sebab untuk kuliah di negeri sendiri saja tantangannya tak semudah membalikkan telapak tangan.“Kul
Dua hari kemudian, di pintu masuk kedai Khaira terpasang pita dan bunga-bunga. Di dalam kedai juga sudah terpajang dekorasi yang menghias dinding, atap, serta container booth. Tak hanya itu, di ujung ruangan yang menghadap langsung ke arah booth juga terpasang sebuah panggung kecil dari penyatuan beberapa meja caffe. Balon-balon yang diborong Khaira pun telah disebar di setiap sudut ruangan kedai. Ini semua ulah Riang dibantu Bi Ocih untuk mewujudkan sebuah ide gila, membuat pesta perayaan kelulusan Khair.Walaupun tertunda hingga berhari-hari, Riang rupanya tetap ingin memberi hadiah istimewa atas gelar Sarjana Pendidikan Islam yang baru disandang Khair.“Hari ini semua kopi gratis,” Riang mengumumkan itu dari atas panggung. Dia sudah menyewa sound system dan membawa gitar untuk mengisi acara hiburan dalam perayaan ini.Pengunjung mulai berdatangan, termasuk para ojol yang mengantri mengambil pesanan. Sementara Khair baru datang belakangan.&
“Tidak semua hal yang tidak kita sukai itu buruk. Terkadang kita hanya tak tahu itu baik atau bernilai baik karena tertutupi oleh ketidaksukaan kita sendiri,” ucap Ahsan.Khair menatap Ustaz Ahsan penuh tanda tanya. Pemikiran dosennya itu ternyata di luar dugaannya.“Ketika kamu nanti mendalami fiqih, kamu pasti akan menemukan begitu banyak perbedaan pendapat terkait suatu persoalan. Penilaiannya tidak bisa didasarkan kepada rasa suka atau tidak suka semata. Nanti kamu juga bisa pelajari sendiri perbedaan pendapat para ulama terkait seni dan sastra, termasuk pandangan mereka tentang musik. Itu PR buat kamu, Khair!” Ahsan tersenyum penuh makna.“Kirain kalau sudah lulus sidang munaqasah sudah tidak ada tugas apa-apa lagi dosen pembimbing,” canda Khair. Cair juga ketegangan yang sesaat lalu mencengkeramnya. Maka, tak disia-siakannya seteguk capuccinno dengan buih susu bertekstur agak tebal itu untuk menghangatkan suasana hatinya
“Sekarang, mari kita nikmati kopi dan lagu-lagu pilihan lainnya.” Suara Riang menggema kembali. Dia memutar beragam lagu hari itu. Ada nasyid kesukaan Khair sampai shalawat yang dipopulerkan grup musik kekinian, bahkan ada pula lagu barat dan lagu berbahasa lainnya yang bernafas islami. Khair sungguh dibuat takjub oleh gadis yang satu ini.“Saya senang melihat Riang merasa nyaman disini,” celetuk Ustaz Ahsan sambil memandang ke panggung tempat Riang berada.Khair mengernyitkan dahi. “Memangnya kenapa, Ustaz?”“Saya kenal dia dari cerita mama saya dan uminya Riang sendiri. Ustaz Rofiq juga sering cerita tentang dia. Dulu anak itu susah sekali diatur. Entah apa maunya. Disuruh kuliah tidak mau, disuruh kerja juga tidak mau. Hobinya kumpul-kumpul dengan beragam komunitas. Jiwanya bebas. Saya tidak sangka dia mau kerja di kedai kopi ini bahkan sambil kuliah pula,” tutur Ahsan.Khair membatin, “Jangan sampa
Akhir pekan yang cerah ditandai pagi yang indah. Cuaca sejuk dihiasi langit berawan. Mentari bahkan tak menyengat. Sinarnya menyemburat cantik diantara gumpalan awan bakkembang gula yang terserak di luasnya cakrawala. Khaira sudah menata rapi hijabnya di hadapan cermin yang menggantung di dinding kamar. Dia tidak punya meja rias karena tidak ada kosmetik atau alat make-up yang menuntutnya untuk memiliki benda itu. Terlebih, Khaira memang tidak mahir berdandan. Jangankan kosmetik mahal, bedak dan lipstik saja dia tidak pakai. Saat keluar kamar, Khair mengamati kakaknya itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Tumben cakep. Teteh mau kemana?” tanya Khair kepo. Khaira mendelik. “Tumben cakep? Memang kemarin-kemarin enggak?” “Eh ….” Khair membekap mulutnya sendiri sambil cekikikan. “Maksud Khair, tumben Teh Khaira rapi, biasanya kan ….” Khaira mendelik lagi, “Biasanya apa?” “Hehe ….” Khair tidak berani meneruskan kalimatnya.
“Teh!” Khair menyodorkan kembang gula kapas berukuran besar, “Ibu selalu belikan ini untuk Khair dan Teh Khaira setiap ke taman hiburan.”Khaira yang sedang melepas lelah di sebuah kursi taman hanya menoleh sesaat. “Teteh enggak suka kembang gula.” Dia melepas pandang jauh ke cakrawala. Ekspresinya dingin seperti langit musim gugur yang segera berganti ke musim dingin.Awan di permukaan lazuardi tampak mengumpal serupa kapas kembang gula. Ingatan Khaira melayang ke sebuah momen di tengah pasar malam.Dia sangat iri kepada anak-anak kecil yang dengan riangnya menenteng kembang gula kapas sebesar bantal. Dia juga sangat menginginkan kembang gula kapas seperti punya mereka. Dia tertarik dengan warna dan bentuknya yang unik. Namun, nyatanya bukan itu yang menariklangkahnya mengikuti seorang anak pada malam itu.Khaira melihat anak itu dibelikan kembang gula kapas oleh orang tuanya. Anak itu tertawa gembira menyiratkan aura
Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan
“Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam
Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”
Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke
Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat
Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “
Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”
Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh
Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill