“Teh!” Khair menyodorkan kembang gula kapas berukuran besar, “Ibu selalu belikan ini untuk Khair dan Teh Khaira setiap ke taman hiburan.”
Khaira yang sedang melepas lelah di sebuah kursi taman hanya menoleh sesaat. “Teteh enggak suka kembang gula.” Dia melepas pandang jauh ke cakrawala. Ekspresinya dingin seperti langit musim gugur yang segera berganti ke musim dingin.
Awan di permukaan lazuardi tampak mengumpal serupa kapas kembang gula. Ingatan Khaira melayang ke sebuah momen di tengah pasar malam.
Dia sangat iri kepada anak-anak kecil yang dengan riangnya menenteng kembang gula kapas sebesar bantal. Dia juga sangat menginginkan kembang gula kapas seperti punya mereka. Dia tertarik dengan warna dan bentuknya yang unik. Namun, nyatanya bukan itu yang menariklangkahnya mengikuti seorang anak pada malam itu.
Khaira melihat anak itu dibelikan kembang gula kapas oleh orang tuanya. Anak itu tertawa gembira menyiratkan aura
“Khaira, Tante tungguin dari tadi siang? Mana sih kirimannya?” sentak Tante Inces lewat Voice note yang dikirim ke pesan WhatsApp Khaira.Gadis itu mendengarkannya setelah malam tiba, ketika Khair sudah terlelap tidur di kamar sebelah.Khaira: Khaira tidak punya nomor rekening, TanteTante Inces: Ya ampun. Hari gini? Kamu tuh, ya, dari dulu enggak ada kemajuan.Khaira: Bagaimana keadaan nenek sekarang?Tante Inces: Kalau kamu perduli, kirim uangnya secepat mungkin!“Astaghfirullah ….” Gumam Khaira. Seperti ada tali yang tiba-tiba menjerat lehernya hingga sesak menderanya. Dia jadi tidak bisa berpikir jernih dalam kondisi tertekan seperti ini.Tiba-tiba ponselnya berbunyi menampilkan panggilan dari sebuah nama yang sangat tidak asing baginya, Riang.“Assalamualaikum, Teh Khaira. Sudah tidur belum?” sapa gadis itu.“Belum, Yang. Ada apa?”“Stok bahan
Jantung Khair berdebar lebih kencang. Setelah berkeliling pasar dan tidak menemukan merek susu yang dicarinya, dia ditarik Riang ke sebuah tempat sejuk yang sayangnya malah membuat dadanya sesak. Riang membawanya ke sebuah super mall. “Biar belanjanya cepat, enggak muter-muter!” dalih Riang. Dia mengatakan sedang buru-buru karena sebentar lagi harus pergi ke kampus. Khair dengan patuh menurut, karena dia memang butuh. Dia bisa-bisa dijudesin Khaira jika tidak berhasil membawakan stok belanja pesanannya ke kedai. Meski demikian tetap saja Khair harus mengurut dada dan bersabar ketika Riang dengan santainya mencomot barang-barang dari rak display dan memasukkannya ke troli. “Hey, itu buat apa beli lotion sama face wash segala? Teh Khaira enggak pesen itu,” protes Khair. “Ini belanjaan aku dong,” sahut Riang cuek. “Kan biar kinclong di depan Khair. Eh …” Riang bermonolog dalam hati. “Terserah, deh, tapi jangan lupa stok buat kedai. Katanya mau ce
Begitu dia sampai di kedai dan membawa masuk semua belanjaan, pemuda itu langsung mencari keberadaan kakaknya. Namun, gadis berhijab yang biasanya berada di dalam booth itu tidak tampak. Bi Ocih lah satu-satunya orang yang ada di sana. “Bi, Teh Khaira mana?” tanya Khair kepada Bi Ocih. “Pergi keluar. Katanya ada urusan.” Khair gusar mendengarnya. Keningnya berkerut membuat alis yang lurus saling bertaut. “Pergi kemana, Bi?” “Neng Khaira enggak bilang.” “Sejak kapan perginya?” “Sudah agak lama sih. Setelah buka kedai, Neng Khaira dapat telepon terus pamit pergi,” tutur Bi Ocih. “Oh iya, dia titip ini!” Bi Ocih merogoh saku yang melekat di aprone-nya. “Buat bayar belanjaan Neng Riang. Kemana ya orangnya?” “Riang ke kampus dulu, nanti sore paling dia kesini.” Khair mengambil bangku untuk duduk. Lantas, dia mengeluarkan hape dari saku bajunya bermaksud menelepon ke nomor sang kakak. *** Di sebuah lobi hotel, h
Dihempaskannya tangan sang Tante yang mencekal lengannya. Bola mata gadis itu tidak berkedip menatap tajam Tante Putri yang kini pucat pasi persis seperti maling yang kepergok warga saat sedang mencuri. “Kamu jangan salah paham dulu,” ucapnya kala mendapati murka di sorot mata keponakannya. “Tante akan jelaskan semuanya.” “Tante mau menjual Khaira kepada lelaki itu? Tante mau menumbalkan Khaira?” teriak gadis itu dalam hati. Ya, dia hanya mampu menyuarakan amarahnya itu di dalam hati. Toh, dia juga tidak tega berkata kasar atau meninggikan intonasi di depan wanita yang puluhan tahun dia hormati. Tidak ada kalimat yang keluar dari mulut Khaira. Namun, tatapan matanya meyuarakan semua isi hatinya yang kecewa, marah, sedih, dan kesal. “Tante sedang ada masalah sekarang. Hanya kamu yang bisa menolong, Tante, Khaira!” Gadis itu menggelengkan kepala. Dia sungguh tak habis pikir, apa lagi yang diingingkan Tantenya? Uang sudah dia kirimkan. Namu
“Beritahu Khair kalau kamu mengalami kesulitan atau butuh bantuan apapun. Dia satu-satunya saudara kamu. Anak itu bisa diandalkan, ko. Dia juga sangat sayang sama kamu kan?” Kata-kata dokter Huda masih Khaira ingat.‘Haruskah menceritakan kejadian di hotel itu kepada Khair?’ pikir Khaira. ‘Bagaimana jika diamarah?’Kini dalam kepedihannya, Khaira juga dicekam ketakutan. Dia merasa telah salah bertindak karena mau saja dimanfaatkan Tante Putri untuk kesekian kalinya. Padahal, berkali-kali Khair selalu mengingatkan tentang ‘kebusukan’ keluarga neneknya itu.Di sisi lain, dia tidak bisa menepis rasa bahwa dia masih peduli kepada keluarga lamanya, terutama sang nenek. ‘Salahkah itu?’ batin Khaira.Dia menarik nafas panjang setelah isak tangisnya usai. Teringat lagi satu hal. Masih ada kedai kopi yang butuh perhatian. Namun, hari sudah sore sekarang. Senja yang jingga sudah menampakan diri di ca
“Hei, tunggu!” Khair mencegat Riang sebelum gadis itu keluar kampus. Dia sengaja menunggu gadis itu selesai kuliah Karen jika langsung di cegat di depan ruang dosen nanti bisa mengundang keributan di kampus. “Khair, ngapain masih di sini?” tanya dia, polos tanpa halu. “Enggak ke kedai?” “Aku mau bicara sama kamu.” Kalimat tersebut sontak mengundang halu di benak Riang. Mata gadis itu langsung berbinar-binar. ‘Serius? Secepat ini Khair mau bicara sama Riang?’ “Serius!” hardik Khair. Mendapati ekpresi dingin Khair yang terlihat sangat cool, perasaan Riang jadi tidak karuan. Jantungnya berdebar kencang, tapi perutnya tidak bisa dikondisikan. “Duh, Riang mules, nih.” Khair sampai mendelik tak habis pikir. Bisa-bisanya gadis itu mules di saat seperti ini. “Jangan ngeles, deh!” “Aku ke toilet dulu, ya!” Riang langsung meluncur kembali ke area belakang kampus. Terpaksa Khair mengikutinya supaya tidak kabur. Setel
Ketika Khair tiba di rumah, Khaira juga sudah pulang dari kedai. Gadis yang baru belajar berhijab itu sedang duduk di ruang tengah. Hijabnya nampak kusut. Tepiannya sebagian basah. Mata Khaira sembab. Tangannya menggenggam sebuah figura berukuran A4. “Assalamaulaikum,” ucap Khair. “Wa’alaikumsalam,” jawab Khaira sembari tergesa meletakkan figura yang dipegangnya tadi ke meja kecil di sebelah kursi. Khair menyalami Khaira dan mencium tangannya. Sekilas, dia melirik ke arah figura. Nampak foto kedua orang tuanya tersenyum ceria bersama seorang remaja, yakni Khair yang saat itu baru masuk SMA. Sepintas kemudian, dia melihat kakaknya mengusap ujung mata dengan sebelah tangan. Jelas kakaknya itu menghindari tatapan Khair yang penuh selidik. “Teteh kenapa?” “Enggak apa-apa.” “Baru pulang dari kedai?” “iya.” “Sudah shalat Isya?” “Belum.” “Ya sudah, Teteh shalat dulu saja.” Khair sengaja tidak langsung m
Riang tidak datang ke kedai.‘Riang sakit, Teh.’ Itu pesan yang dikirimkan kepada Khaira lewat aplikasi WhatsApp.Khaira meneleponnya setelah selesai shalat dzuhur, ketika dia lepas dari intaian Khair yang saat itu sedang ke masjid.“Kamu sakit apa, Yang?”“Sakit haid, Teh.”“Sudah minum obat?”“Sudah.”“Istirahat yang cukup, ya!”“Iya, Teh. Makasih,” ucap Riang. “Tolong sampaikan terima kasih juga ke Khair ya, Teh.”“Khair?”“Iya. Kemarin Riang pingsan. Khair yang jagain.”Khaira tersenyum simpul. Tidak disangka adiknya itu bisa perhatian juga kepada ‘musuh bebuyutan’. “Nanti Teteh sampaikan. Mau tambah salam manis atau salam sayang juga, enggak?”“Ish, Teteh mah ….”Khaira bisa membayangkan betapa pipi gadis yang sela
Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan
“Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam
Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”
Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke
Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat
Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “
Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”
Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh
Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill